• Tidak ada hasil yang ditemukan

METODE PENELITIAN

4.2 Analisis Penguasaan Konsep

Uji t-test Pihak Kanan pada Penguasaan Konsep

Berdasarkan perhitungan uji t-test pihak kanan pada penguasaan konsep fisika siswa terhadap nilai postes diperoleh nilai thitung = 3.32 sedangkan ttabel = 1.67. Karena nilai thitung > ttabel maka � ditolak, artinya hasil tes kemampuan penguasaan konsep fisika siswa pada pembelajaran inkuiri laboratorium berbantuan PhET lebih baik dibandingkan pembelajaran inkuiri terbimbing. Perhitungan selengkapnya terdapat pada lampiran 21.

Peningkatan Penguasaan Konsep

Uji peningkatan rata- rata penguasaan konsep dilakukan terhadap nilai pretes dan postes siswa pada kelas eksperimen dan kelas kontrol. Perhitungan selengkapnya tentang analisis pretes dan postes terdapat pada lampiran 23. Hasil analisis terhadap nilai pretes dan postes dapat dilihat pada tabel 4.1.

Tabel 4.1. Hasil analisis nilai pretes dan postes untuk penguasaan konsep No Statistik Deskriptif Kelas Eksperimen Kelas Kontrol

Pretes Postes Pretes Postes 1 2 3 Nilai Tertinggi Nilai Terendah Rata-rata 63 47 51.17 96 71 78.25 60 47 51.58 85 66 73.78

Berdasarkan Tabel 4.1, hasil uji gain diperoleh nilai <g>=0.555 pada kelas eksperimen. Sesuai dengan kriteria, maka peningkatan rata-rata penguasaan konsep pada model pembelajaran inkuiri laboratorium berbantuan PhET adalah sedang. Sedangakan, hasil uji gain pada kelas kontrol diperoleh nilai <g>=0.458. Sesuai dengan kriteria, maka peningkatan rata-rata penguasaan konsep pada model pembelajaran inkuiri terbimbing adalah sedang. Perhitungan selengkapnya terdapat pada lampiran 19. Untuk lebih detailnya, dibawah ini ditampilkan gambar grafik perbandingan peningkatan rata- rata penguasaan konsep fisika siswa antara kelas eksperimen, dan kelas kontrol pada tiap materi.

Gambar 4.1 Grafik nilai penguasaan konsep pada kelas eksperimen dan kontrol

Pretes Postes Pretes Postes

Kelas Eksperimen Kelas Kontrol

Materi 1 24.86 36.53 25.86 33.72 Materi 2 22.19 36.36 22.94 35.28 Materi 3 27.25 40.31 25.97 37.44 Materi 4 2.75 4.5 2.86 4.47 0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 Nila i

Grafik peningkatan rata- rata penguasaan konsep per materi

Gambar 4.2 Grafik uji gain penguasaan konsep pada kelas eksperimen dan kontrol Berdasarkan gambar 4.1, dan gambar 4.2, hasil uji gain pada materi 1 (kuat arus, hambatan, dan hukum Ohm) diperoleh nilai <g>=0.464 pada kelas eksperimen, dan nilai <g>=0.326 pada kelas kontrol. Sesuai dengan kriteria, maka peningkatan rata-rata penguasaan konsep materi 1 pada model pembelajaran inkuiri laboratorium berbantuan PhET adalah sedang, sedangkan peningkatan rata-rata penguasaan konsep materi 1 pada model pembelajaran inkuiri terbimbing adalah sedang. Selanjutnya, hasil uji gain pada materi 2 (rangkaian hambatan) diperoleh nilai <g>=0.621 pada kelas eksperimen, dan nilai <g>=0.559 pada kelas kontrol. Sesuai dengan kriteria, maka peningkatan rata-rata penguasaan konsep materi 2 pada model pembelajaran inkuiri laboratorium berbantuan PhET adalah sedang, sedangkan peningkatan rata-rata penguasaan konsep materi 2 pada model pembelajaran inkuiri terbimbing adalah sedang. Selanjutnya, hasil uji gain pada materi 3 (hukum Khirchhoff) diperoleh nilai <g>=0.574 pada kelas eksperimen,

Materi 1 Materi 2 Materi 3 Materi 4

Kelas Eksperimen Gain 0.464 0.621 0.574 0.777

Kelas Kontrol Gain 0.326 0.559 0.477 0.752

0 0.1 0.2 0.3 0.4 0.5 0.6 0.7 0.8 0.9 Nila i

Grafik peningkatan rata- rata penguasaan konsep per materi

dan nilai <g>=0.477 pada kelas kontrol. Sesuai dengan kriteria, maka peningkatan rata-rata penguasaan konsep materi 3 pada model pembelajaran inkuiri laboratorium berbantuan PhET adalah sedang, sedangkan peningkatan rata-rata penguasaan konsep materi 3 pada model pembelajaran inkuiri terbimbing adalah sedang. Terakhir, hasil uji gain pada materi 4 (alat ukur listrik) diperoleh nilai <g>=0.777 pada kelas eksperimen, dan nilai <g>=0.752 pada kelas kontrol. Sesuai dengan kriteria, maka peningkatan rata-rata penguasaan konsep materi 4 pada model pembelajaran inkuiri laboratorium berbantuan PhET adalah tinggi, sedangkan peningkatan rata-rata penguasaan konsep materi 4 pada model pembelajaran inkuiri terbimbing adalah tinggi. Perhitungan selengkapnya terdapat pada lampiran 24.

Pada penelitian ini, penguasaan konsep siswa meningkat dengan adanya penerapan model pembelajaran inkuiri laboratorium berbantuan PhET, dan model pembelajaran inkuiri terbimbing, bedanya hanya pada tingkat peningkatan (gain) dari masing- masing model. Hal ini disebabkan karena dalam kedua model pembelajaran yang diterapkan, dalam penekanan proses pembelajarannya berpusat pada siswa. Berdasarkan hal tersebut, maka siswa berperan aktif dalam pembelajaran sehingga dapat mendorong siswa untuk memahami sendiri tentang konsep fisika dengan lebih baik. Menurut Roestiyah (2008: 76), pembelajaran inkuiri dapat membentuk dan mengembangkan self concept pada diri siswa. Selain itu, pendekatan inkuiri dapat melibatkan siswa berperan aktif, mengembangkan kemampuan berpikir dan konsep diri siswa dalam pembelajaran. Jadi peserta didik

tidak hanya diberi materi pembelajaran dengan metode ceramah saja, akan tetapi melatih dan mengajar peserta didik untuk melakukan inkuiri ilmiah.

Berdasarkan hasil uji gain, peningkatan rata- rata penguasaan konsep peserta didik dari pretes ke postes mencapai kriteria sedang, baik dalam kelas eksperimen maupun kelas kontrol. Perbedaannya hanya pada tingkat signifikansi peningkatannya pada masing- masing kelas, yaitu 55.5% pada kelas eksperimen, dan 45.8% pada kelas kontrol. Hal ini disebabkan karena pada pembelajaran inkuiri laboratorium berbantuan PhET terjadi peningkatan perhatian peserta didik yang lebih baik ketika melakukan pembelajaran dibanding model pembelajaran inkuiri terbimbing. Menurut Slameto (2003: 56), dengan adanya peningkatan perhatian dalam proses pembelajaran dapat menjamin hasil belajar yang baik. Dengan demikian, pembelajaran tersebut menghindarkan siswa dari rasa bosan dan meningkatkan perhatian siswa terhadap kegiatan pembelajaran.

Ketika ditinjau dari peningkatan konsep per materi, pada materi 1, yaitu kuat arus, hambatan, dan hukum ohm, prosentase peningkatan penguasaan konsep peserta didik dari kelas eksperimen sebesar 46.4%, sedangkan kelas kontrol sebesar 32.6%. Hal ini disebabkan karena dengan menggunakan simulasi PhET, siswa dapat lebih tau bagaimana elektron-elektron mengalir dalam suatu penghantar dari ujung berpotensial rendah ke ujung berpotensial lebih tinggi (sedangkan arus listrik kebalikan dengan arah alir elektron), selain itu juga siswa dapat dengan jelas melihat hubungan antara tegangan, kuat arus dan hambatan dari suatu rangkaian listrik. Pada materi 2, yaitu rangkaian hambatan, prosentase peningkatan penguasaan konsep peserta didik dari kelas eksperimen sebesar

62.1%, sedangkan kelas kontrol sebesar 55.9%. Pada materi 2, ada perbedaan gain antara kelas eksperimen dan kelas kontrol tidak terlalu mencolok, hal ini dikarenakan baik pada model pembelajaran inkuiri laboratorium dan inkuiri terbimbing sama- sama melakukan praktikum untuk penyusun rangkaian seri, dan paralel. Bedanya hanya pada kelas kontrol ada beberapa alat listrik yang rusak, atau tidak bisa digunakan. Pada materi 3, yaitu hukum khirchhoff, prosentase peningkatan penguasaan konsep peserta didik dari kelas eksperimen sebesar 57.4%, sedangkan kelas kontrol sebesar 47.7%. Hal ini disebabkan karena dengan menggunakan simulasi PhET, siswa dapat dengan mudah membuktikan kebenaran hukum Khirchhoff ini melalui berbagai macam variasi dalam percobaan listrik total, seperti membuktikan bahwa arus listrik yang masuk titik cabang harus sama dengan total arus listrik yang keluar titik cabang dan jumlah beda potensial pada loop tertutup adalah nol. Pada materi 4, yaitu alat ukur listrik, prosentase peningkatan penguasaan konsep peserta didik dari kelas eksperimen sebesar 77.7%, sedangkan kelas kontrol sebesar 75.2%. Peningkatan penguasaan konsep pada materi 4 lebih tinggi dibanding materi sebelumnya, hal ini dikarenakan pada model pembelajaran inkuiri laboratorium, dan inkuiri terbimbing, siswa dapat mencoba berbagai macam cara pemasangan voltmeter dan ampermeter, karena dalam rangkaian voltmeter harus dipasang secara paralel, dan ampermeter harus dipasang secara seri. Jika dalam pemasangannya keliru, maka alat akan meledak (didalam simulasi PhET) atau nilainya tidak terbaca pada alat ukurnya.

Menurut Slameto (2003: 28), belajar merupakan proses yang kontinyu. Dengan demikian dalam proses belajar perlu adanya kegiatan yang diulang-ulang secara bertahap agar pengetahuan dan keterampilan dapat mendalam pada diri siswa. Pengetahuan fisika terdiri atas banyak konsep dan prinsip yang pada umumnya bersifat abstrak. Siswa cenderung mempelajari fisika sebagi suatu kumpulan konsep- konsep yang tidak ada hubungannya satu sama lain. Prinsip- prinsip dalam fisika seringnya dinyatakan oleh sederetan persamaan matematis yang dapat dimanipulasi, dicari pemecahannya, serta dijelaskan dan diprediksi perilaku dari sistem fisis tersebut. Menurut Martinez et al., (2006), Fenomena yang secara alami sulit diamati dalam kehidupan sehari- hari dapat divisualisasikan melalui media simulasi virtual. Selain itu menurut Roestiyah (2008:76), pada model pembelajaran inkuiri dapat membantu dalam meningkatkan ingatan dan transfer pada proses belajar. Maksudnya, siswa yang telah berhasil menemukan konsep sendiri sampai dapat memecahkan masalah yang ada, akan meningkatakan kepuasan intelektual yang datang dari dalam dirinya. Hal ini dapat ditinjau dari ketuntasan belajar yang dicapai oleh peserta didik seperti tabel 4.2, dengan kriteria ketuntasan (kkm) pada mata pelajaran fisika di SMAN 1 Kragan adalah 72.

Tabel 4.2. Analisis ketuntasan penguasaan konsep peserta didik No Statistik Deskriptif Kelas Eksperimen Kelas Kontrol

Pretes Postes Pretes Postes 1 2 3 4 Nilai Tertinggi Nilai Terendah Rata-rata Ketuntasan 63 47 51.17 0% 96 71 78.25 91.7% 60 47 51.58 0% 85 66 73.78 69.4%

Menurut BSNP (2006: 12), kriteria ketuntasan ideal untuk setiap indikator penilaian dalam pembelajaran sebesar 75%. Dengan demikian, berdasarkan Tabel 4.2, maka ketuntasan penguasaan konsep siswa pada model pembelajaran inkuiri laboratorium berbantuan PhET mencapai kriteria ideal. Sedangkan ketuntasan penguasaan konsep siswa pada model pembelajaran inkuiri terbimbing belum mencapai kriteria ideal. Dari data diatas, dapat disimpulkan bahwa presentase peningkatan penguasaan konsep pada model inkuiri laboratorium berbantuan PhET lebih baik dari pada model inkuiri terbimbing.

Sering siswa tidak memahami dan tidak terdorong untuk memahami struktur koheren penyokong fisika. Dengan adanya PhET yang bisa difungsikan menjadi laboratorium virtual ini, sangat berpotensi memberikan peningkatan pengalaman belajar yang lebih efektif. Selain itu laboratorium virtual juga dapat dijadikan sebagai fasilitas belajar yang lebih dalam mengenai model-based knowledge domain, karena media simulasi virtual dikembangkan sedemikian rupa untuk dapat memberikan banyak kebebasan pada siswa dalam memanipulasi variabel- variabel yang berkaitan dengan eksperimennya, sekaligus dapat melihat bagaimana pengaruh perubahan suatu variabel terhadap variabel lainnya untuk meningkatkan penguasaan konsep siswa.

Menurut Ariani (2010), ada beberapa manfaat apabila kita memahami penggunaan PhET secara tepat, yaitu:

a) PhET dapat dijadikan sebagai media pembelajaran fisika dalam kelas yang berbasis teknologi.

c) Siswa dapat belajar dengan menyenangkan serta dapat memahami materi yang disampaikan dengan baik.

d) Penerapan PhET dalam kelas dapat memberikan bahan pengalaman atau landasan teori bagi guru dan siswa sebelum melakukan praktikum.

Selain itu, simulasi PhET juga dapat menjadi sarana praktikum/eksperimen alternatif bagi sekolah-sekolah yang belum atau tidak memiliki alat- alat fisis untuk praktikum. Aktifitas pembelajaran inkuiri berbasis laboratorium adalah model belajar yang efektif untuk meningkatkan pemahaman murid, kemampuan proses sains, sikap ilmiah di sekolah, dan keterampilan berpikir tingkat tinggi siswa. Oleh karena itu, simulasi PhET didesain khusus oleh para ahli dengan tujuan memberikan kemudahan kepada para pengajar/ guru dalam menyampaikan materi pembelajaran. Selain itu, PhET juga berfungsi untuk memudahkan siswa memahami materi, khususnya materi- materi yang berkaitan dengan alam nyata, dan perlu dipraktekkan dilaboraturium, seperti listrik dinamis yang diteliti dalam penelitian ini. PhET memberi kemudahan kepada guru untuk menghindari percobaan berat yang memerlukan alat-alat yang serba mahal dan sulit untuk didapatkan, PhET juga memberi kemudahan karena hanya menggunakan komputer sebagai alat utama dengan menggunakan PhET itu sendiri sebagai master programnya.

Menurut Sanjaya (2007: 131), keberhasilan suatu strategi pembelajaran ditentukan dari keberhasilan siswa mencapai tujuan pembelajaran. Dengan demikian, berdasarkan penjelasan pada paragraf-paragraf sebelumnya, maka dapat disimpulkan bahwa penggunaan media simulasi PhET dalam model pembelajaran

model inkuiri laboratorium dapat meningkatan penguasaan konsep fisika siswa kelas X pada materi listrik dinamis lebih baik dibanding model pembelajaran inkuiri terbimbing. Namun, perbedaan peningkatan penguasaan konsep diantara kedua perlakuan tersebut tidak terlalu signifikan seperti yang ditunjukkan dalam lampiran 24, dan lampiran 25.

Keefektifan penggunaan simulasi PhET dalam model pembelajaran inkuiri laboratorium terhadap peningkatan penguasaan konsep siswa sesuai dengan hasil penelitian Usman (2008: 50), yang menunjukan bahwa penguasaan konsep siswa dapat meningkat secara signifikan pada model inkuiri laboratorium jika dibandingkan dengan model laboratorium verifikasi. Hasil penelitian Mursalin (2013: 6), juga menunjukan bahwa penggunaan simulasi PhET dapat digunakan untuk meremediasi dan meminimalkan miskonsepsi mahasiswa calon guru fisika pada topik rangkaian listrik mulai dari responden yang berstatus menebak konsep, kurang paham konsep, hingga yang miskonsepsi. Selain itu, hasil penelitian Stephen & Fraser (2007: 337) menunjukan bahwa: “the small-scale inquiry laboratory activities appear to have benefited students in terms of developing a stronger support system within the class. Students in the inquiry class were not confined to specific directions and were often found to explore interactions in greater detail than did students in the non-inquiry group.”