• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL DAN PEMBAHASAN

5.3 Kompetensi Penerapan K

5.3.1 Analisis Kompetensi Penerapan K3 Mandor Lapangan

a. Uji statistik Wilcoxon antara persepsi mandor lapangan dengan penilaian berdasarkan standar

Untuk menentukan besar dan arah hubungan antara penilaian berdasarkan standar dengan penilaian menurut responden dilakukan analisis deskriptif terhadap nilai rata-rata dari jawaban responden berdasarkan pertanyaan yang valid dan reliabel. Besarnya selisih nilai antar aspek kompetensi dapat dilihat pada Tabel 11 berdasarkan selisih nilai rata-rata.

Tabel 11 Perbedaan nilai aspek kompetensi penerapan K3 antara penilaian mandor lapangan dengan penilaian berdasarkan standar

Knowledge Skill Attitude

SA CBA Selisih SA CBA Selisih SA CBA Selisih Nilai

Total 18,40 15,90 -2,50 18,36 15,36 -3,00 15,00 13,00 -2,00 Rata-

rata 3,06 2,65 -0,41 3,06 2,56 -0,5 2,50 2,16 -0,34 Keterangan: SA = self assessment (penilaian subjektif /persepsi responden mandor lapangan)

iiiiiiiCBA = control based assessment (penilaian objektif berdasarkan standar)

Pada Tabel 11 terlihat bahwa aspek knowledge mandor lapangan memiliki selisih sebesar -0,41. Berdasarkan uji Wilcoxon menggunakan SPSS versi 19 selisih tersebut merupakan perbedaan yang signifikan, demikian halnya untuk aspek skill dan attitude terdapat perbedaan selisih sebesar -0,50 dan -0,34. Hal ini menunjukkan bahwa kompetensi yang dimiliki mandor lapangan berbeda dengan penilian yang dilakukan berdasarkan standar. Tanda negatif (-) menunjukkan bahwa penilaian yang dilakukan responden bersifat overestimate terhadap

penilaian objektif yang dilakukan sesuai standar. Untuk mengetahui terdapat perbedaan yang signifikan antara persepsi responden dengan penilaian berdasarkan standar, dapat dilihat pada Tabel 12.

Tabel 12 Hasil uji Wilcoxon antara persepsi mandor lapangan dengan penilaian berdasarkan standar

Nilai Knowledge Skill Attitude

Z -2,032 -2,023 -2,023

Asymp. Sig. (2-tailed) 0,042 0,043 0,043

α 0,05 0,05 0,05

Keterangan: H0 diterima jika angka probabilitas(asymp.sig) > nilai α

Keterangan: H0 ditolak jika angka probabilitas(asymp.sig) < nilaiα

Berdasarkan Tabel 12 dapat dilihat bahwa aspek kompetensi (knowledge, skill, attitude) memiliki nilai probabilitas masing-masing sebesar (0,042; 0,043; 0,043) yang kurang dari nilai α sebesar 0,05 sehingga hipotesis H1 diterima atau

tolak H0 (H0: tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara persepsi responden

dengan penilaian berdasarkan standar).

b. Hubungan antar aspek kompetensi pada pekerja mandor lapangan

Untuk melihat keeratan hubungan antar aspek kompetensi pada pekerja mandor lapangan sebagai strategi untuk meningkatkan aspek kompetensi, dapat dilihat pada Tabel 13.

Tabel 13 Hasil uji korelasi Spearman antar aspek kompetensi mandor lapangan

Knowledge Skill Attitude

Spearman's rho Knowledge Correlation Coefficient 1,000 0,971* 0,529

Sig. (2-tailed) . 0,001 0,280

N 6 6 6

Skill Correlation Coefficient 0,971* 1,000 0,588

Sig. (2-tailed) 0,001 . 0,219

N 6 6 6

Attitude Correlation Coefficient 0,529 0,588 1,000

Sig. (2-tailed) 0,280 0,219 .

N 6 6 6

Keterangan: * = korelasi signifikan pada taraf nyata 0,05(2-tailed) H0 diterima jika angka probabilitas(asymp.sig) > nilaiα

H0 ditolak jika angka probabilitas (asymp.sig) < nilaiα

Berdasarkan hasil perhitungan korelasi peringkat Spearman pada Tabel 13, terdapat korelasi yang signifikan antara aspek knowledge dengan skill dengan nilai koefisien korelasi sebesar 0,971 dan nilai probabilitas (Sig.2-tailed) < nilai α pada selang kepercayaan 95%, atau dapat dikatakan bahwa hipotesis H0 ditolak (H0:

Untuk hubungan antara aspek knowledge dengan attitude dan skill dengan attitude (koefisien korelasi sebesar 0,529; 0,588) tidak terdapat hubungan yang signifikan (nilai probabilitas (Sig.2-tailed) > nilai α). Hal ini dapat dikatakan bahwa walaupun terdapat korelasi sebesar 0,529 dan 0,588 tetapi korelasi tidak cukup signifikan untuk menggambarkan hubungan antara knowledge dengan attitude dan skill dengan attitude.

Berdasarkan penilaian objektif menggunakan standar terhadap aspek kompetensi responden mandor lapangan, aspek skill merupakan prioritas utama yang harus ditingkatkan. Adanya hubungan yang signifikan pada aspek skill dengan knowledge pada korelasi peringkat Spearman dan terjadi korelasi yang bernilai positif antara kedua peubah maka korelasi bersifat searah, sehingga dengan meningkatkan aspek skill dapat meningkatkan aspek knowledge. Sarwono (2006) menyebutkan bahwa korelasi positif menyebabkan dengan meningkatkan salah satu peubah maka peubah yang lainnya akan meningkat searah peningkatan yang dilakukan pada peubah sebelumnya.

Dari hasil analisis pada aspek skill diketahui bahwa responden mandor lapangan memiliki nilai rata-rata sebesar 2,56 yang apabila dilihat berdasarkan rataan skala Likert aspek keterampilan tentang pemahaman K3 mandor lapangan berada pada tingkatan kurang baik (buruk). Data hasil kuisioner menunjukkan bahwa perlunya peningkatan aspek keterampilan mandor lapangan tentang pembuatan data statistik kecelakaan dan penyakit akibat kerja berdasarkan data laporan kecelakaan dan penyakit akibat kerja. Menurut Depnakertrans (2008) perusahaan yang mempekerjakan 11 orang atau lebih karyawan harus membuat laporan tentang cedera dan sakit yang diakibatkan oleh kerja. Termasuk dalam kategori sakit kerja berupa kondisi abnormal atau kesalahan fungsi tubuh (disorder) yang diakibatkan oleh kecelakaan. Pelaporan kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja untuk selanjutnya dapat digunakan sebagai dasar penyusunan statistik kecelakaan kerja yang berhubungan pada kegiatan pemanenan kayu. Suma’mur (1977) menyatakan bahwa angka kecelakaan kerja merupakan tujuan utama penyusunan statistik kecelakaan dengan angka kecelakaan yang sangat terperinci biasanya memadai jika data dikumpulkan setiap lima tahun, sedangkan statistik tahunan yang dilakukan bertujuan memberikan

informasi mengenai banyaknya kecelakaan yang digolongkan menurut akibat dan angka peristiwa yang terjadi (frekuensi, hilangnya waktu kerja, biaya). Dengan adanya penyusunan statistik kecelakaan secara tepat maka dapat dilakukan upaya penanggulangan resiko (pendekatan pencegahan) untuk mengatasi persoalan kecelakaan kerja.

Mandor lapangan sebagai pengawas langsung kegiatan pemanenan kayu (penebangan, penyaradan, dan pengangkutan) di lokasi petak tebang tidak dapat melaksanakan kegiatan penerapan K3 tanpa adanya dukungan manajemen puncak. Secara umum dalam menangani permasalahan K3, Perum Perhutani KPH Bogor telah membentuk Panitia Pembina Keselamatan dan Kesehatan Kerja (P2K3) berdasarkan keputusan administratur perum perhutani No.76/KPTS/BGR/ III/2011 namun penerapan K3 pada kegiatan pemanenan kayu belum diimplementasikan sepenuhnya berdasarkan penilaian objektif yang dilakukan sesuai standar terhadap kompetensi pekerja. Dalam pelaksanaan kegiatan wawancara dengan pihak responden mandor lapangan dapat disimpulkan bahwa pimpinan perusahaan belum mendukung secara penuh dalam pelaksanaan K3 di lokasi kerja, antara lain dengan belum tersedianya alat pelindung diri (APD) bagi pekerja bidang pemanenan kayu. Hal ini bertolak belakang dengan standar pengelolaan hutan menurut LEI (2004), bahwa prinsip-prinsip FSC terkait pengelolaan hutan produksi lestari menyaratkan perlu dilakukannya perlindungan terhadap kepentingan para pekerja industri hutan.

Sumber: koleksi pribadi

Gambar 8 Pemberian ukuran diameter dan panjang pada bontos (kiri) dan pengawasan penebangan (kanan)

Flippo (1984) menyebutkan bahwa manajemen puncak harus memberikan dukungan aktif pada program keselamatan dan memberikan lebih banyak perhatian dimana terdapat suatu hubungan yang kuat antara dukungan manajemen puncak terhadap berkurangnya jumlah pekerja yang cedera. Tanpa adanya

komitmen penuh dari keseluruhan manajemen tingkat atas suatu perusahaan terhadap keselamatan dan kesehatan kerja maka setiap upaya untuk melakukan tindakan pencegahan kecelakaan akan kurang mendapatkan hasil yang signifikan.

Berdasarkan data hasil kuisioner pada keseluruhan aspek kompetensi, menunjukkan bahwa keseriusan pihak manajemen puncak perusahaan terhadap pengadaan alat pelindung diri (APD), pelayanan kesehatan, penyediaan bantuan medis, penyusunan peraturan K3, dan pembinaan K3 bagi pekerja bidang penebangan, penyaradan, dan pengangkutan masih tergolong perlu untuk dilakukan peningkatan. Suma’mur (1977) menyatakan bahwa pemeriksaan kesehatan bagi pekerja yang menetap sangat dianjurkan untuk mengetahui apakah terdapat penyakit seperti kardio-vaskuler (paru-paru berat), persendian, hernia inguinal, kelainan tulang belakang, tuli, dan pengelihatan yang buruk dimana pekerja yang mendapatkan penyakit akibat kerja tersebut tidak dibenarkan untuk melakukan pekerjaannya. Berdasarkan kondisi di lingkungan kerja dengan karakteristik cuaca yang panas dan timbulnya kebisingan maupun getaran mekanis akibat peralatan kerja seperti chainsaw maka pihak Perhutani KPH Bogor setidaknya melaksanakan pemeriksaan kesehatan berkala bagi tenaga kerja sekurang kurangnya satu tahun sekali sebagaimana tercantum dalam Pasal 3 Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No.2 Tahun 1980 dan menurut Suma’mur (1977) yang menyebutkan bahwa pekerja yang memungkinkan menderita akibat dari pekerjaan yang berat, kebisingan, dan getaran mekanis perlu dilakukan pemeriksaan kesehatan secara berkala dengan jangka waktu satu tahun termasuk cukup memadai. Untuk upaya pertolongan terhadap kecelakaan kerja, fasilitas P3K (Pertolongan Pertama pada Kecelakaan) sudah seharusnya disediakan perusahaan. Berdasarkan wawancara terhadap mandor lapangan, pihak perhutani termasuk tidak serius terhadap penyediaan perlengkapan kotak P3K minimum dalam mengatasi kecelakaan kerja yang terjadi.

Berbahayanya tingkat pekerjaan pemanenan kayu di kelas perusahaan Acacia mangium akibat terdapatnya unsur unsafe action dan unsafe condition seharusnya menjadikan pihak manajemen puncak Perhutani KPH Bogor untuk mementingkan kondisi K3 para pekerja sebagai prioritas utama yang disejajarkan dengan kondisi pencapaian target produksi, kualitas log, dan biaya produksi.

Unsafe action merupakan segala macam tindakan tidak aman dan berbahaya bagi pekerja, antara lain tidak melakukan prosedur kerja dengan baik dimana sedang berhadapan dengan peralatan yang dapat mengancam keselamatan. Dalam pelaksanaan kegiatan penebangan masih terdapatnya beberapa pohon yang gagal direbahkan dan menimpa pohon lainnya kemudian tidak langsung direbahkan kembali menyebabkan kondisi tidak aman terhadap keselamatan pekerja.

Sumber: koleksi pribadi

Gambar 9 Hasil kegiatan penebangan pohon akibat unsur unsafe action Adapun unsafe condition merupakan segala macam kondisi yang tidak aman dan berbahaya bagi pekerja. Dalam hal ini keseluruhan pekerja tidak menggunakan alat pelindung diri (APD) yang sesuai dengan standar yang telah ditetapkan, adanya pekerja pengumpul kayu bakar di sekitar lokasi penebangan yang berasal dari masyarakat desa sekitar kawasan hutan perhutani KP Acacia mangium, kondisi areal tebangan yang memiliki cuaca panas, dan bahaya ular tanah yang dapat menyebabkan luka serius pada jaringan tubuh.

Sumber: koleksi pribadi

Gambar 10 Pengumpul kayu bakar

Mandor lapangan sebagai pihak pengawas dalam kegiatan pemanenan kayu termasuk tidak menggunakan APD sesuai standar (tanpa pelindung kaki dan pelindung kepala yang sesuai standar). Menurut Suma’mur (1988) untuk melindungi kepala dari benda sedang tidak terlalu berat dan dapat berterbangan

digunakan topi berbahan aluminium atau topi plastik (helm keselamatan kerja yang biasa digunakan pada jenis pekerjaan beresiko tinggi seperti pertambangan dan industri berat/pekerjaan konstruksi). Selain pelindung tubuh dan kepala, pelindung kaki yang tepat juga diperlukan dalam menghadapi bahaya ular tanah. Suma’mur (1988) menyatakan bahwa racun-racun dari hewan berbisa seperti ular dapat digolongkan menjadi hemotoksik yang meracuni darah dengan menghancurkan butir pembuluh darah dan neurotoksik yang merusak saraf. Pakaian pelindung yang berguna untuk pencegahan gigitan ular tanah berupa sepatu boot (Suma’mur 1988). Selain itu sepatu boot karet juga berfungsi sebagai anti slip dan baik untuk digunakan dalam kondisi lembab dan basah.

Adapun untuk meningkatkan aspek keterampilan mandor lapangan dalam penerapan K3 hal-hal yang perlu diperhatikan adalah:

a. Pemberian pelatihan berupa pembuatan statistik kecelakaan sesuai angka kecelakaan yang terjadi berdasarkan data laporan kecelakaan dan penyakit akibat kerja pada perusahaan.

b. Pemberian penyuluhan terkait unsur unsafe action dan unsafe condition yang berpengaruh terhadap terjadinya kecelakaan dan penyakit akibat kerja agar kegiatan pemanenan kayu dilakukan sesuai prosedur yang aman.

Untuk meningkatkan kinerja Perum Perhutani KPH Bogor dalam menerapkan kebijakan K3 maka perlu dibentuk Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja (SMK3) dibawah komitmen penuh Panitia Pembina K3 yang pelaksanaannya dilaksanakan oleh mandor lapangan sebagai pimpinan di lokasi pemanenan kayu, meliputi identifikasi bahaya dan pengendalian resiko terhadap kegiatan yang dapat menimbulkan kecelekaan dan penyakit akibat kerja.

Identifikasi bahaya di tempat kerja yang berpeluang mengalami kecelakaan perlu untuk dilakukan karena bahaya akibat pekerjaan tidak saja terjadi pada saat kejadian tetapi dapat menimbulkan dampak di waktu yang akan datang, seperti adanya kebisingan akibat pengaruh peralatan penebangan dan cara menyarad tanpa menggunakan alat bantu. Berdasarkan Suardi (2005) sumber data yang digunakan dalam identifikasi bahaya dan resiko dapat berasal dari rekaman insiden (laporan kecelakaan kerja), informasi dari tinjauan aktivitas K3 pekerja, dan informasi dari perusahaan sejenis berupa insiden yang terjadi.

Pengendalian resiko dapat dilakukan dengan pengendalian secara administrasi dan penggunaan alat pelindung diri (APD). Menurut Suardi (2005) pengendalian secara administrasi antara lain berupa pembuatan prosedur/instruksi kerja pengamanan, pembatasan waktu untuk memasuki area kerja, dan pembuatan tanda bahaya. Pengendalian secara administrasi bermanfaat bagi pekerja pengumpul kayu bakar dimana resiko akibat tertimpa pohon yang ditebang cukup tinggi. Pekerja pengumpul kayu bakar terlihat tidak begitu khawatir akan resiko kecelakaan yang terjadi akibat terlalu dekat dengan operator chainsaw yang sedang dalam kondisi menebang pohon. Dalam pelaksanaannya, mandor lapangan dapat memberikan instruksi pengamanan bahwa kegiatan pengumpulan kayu bakar harus berada cukup jauh dari pohon yang ditebang. Pembuatan tanda larangan untuk memasuki areal penebangan selain petugas tidak diterapkan oleh pekerja pengumpul kayu bakar. Hal ini dikarenakan para pekerja sudah terbiasa untuk melakukan pekerjaan dalam keadaan bahaya.

Sumber: koleksi pribadi

Gambar 11 Tanda peringatan untuk tidak memasuki areal tebangan

Pada tahap akhir, kebijakan K3 yang dibentuk oleh pimpinan manajemen puncak (P2K3) untuk selanjutnya harus dikomunikasikan pada semua tingkatan bidang produksi (khususnya pada pekerja lapangan) karena kebijakan K3 yang telah ditetapkan harus dapat dipahami oleh semua tingkatan pekerja. Suardi (2005) menjelaskan bahwa kesuksesan sistem manajemen K3 sangat dipengaruhi dari keterlibatan dan komitmen personilnya serta peran aspek bahasa perlu untuk diperhatikan. Mandor lapangan berfungsi dalam menyampaikan kebijakan K3 dengan bahasa yang ringkas dan mudah dimengerti terhadap pekerja penebangan, penyaradan, dan pengangkutan. Untuk pengumpul kayu bakar, harus dilakukan oleh seseorang yang memiliki pengaruh kuat untuk dipatuhi, yaitu peran ketua lembaga masyarakat desa hutan (LMDH) untuk menanganinya. Ketua LMDH

dapat berperan untuk menangani hal ini karena salah satu kegiatan LMDH adalah turut membantu terlaksananya kegiatan pemanenan kayu, biasanya berupa pembuatan jalan di petak tebang agar kendaraan angkutan (truk) mudah untuk masuk ke areal lokasi penebangan. Selain itu, ketua LMDH termasuk turut aktif dalam pengawasan kegiatan pemanenan bersama mandor lapangan.

Untuk aspek attitude mandor lapangan berdasarkan analisis uji korelasi peringkat Spearman, aspek attitude tidak menunjukkan hubungan yang signifikan terhadap aspek skill dan knowledge sehingga untuk meningkatkan aspek attitude dapat melalui pendekatan disiplin kerja dalam hal penggunaan APD pada kegiatan pengawasan pemanenan kayu (penebangan, penyaradan, dan pengangkutan) dan mengawasi kegiatan penebangan agar tidak menimbulkan kondisi yang berbahaya akibat terdapat pohon yang tidak berhasil direbahkan (menimpa pohon lainnya). Untuk tingkatan mandor lapangan, perspektif displin yang sesuai adalah berupa disiplin retributif yang bertujuan memberikan hukuman bagi yang melanggar. Rivai dan Sagala (2009) menyatakan bahwa pendekatan untuk mengatasi tindakan disipliner berupa memberi peringatan dan memberikan sanksi terhadap pelanggaran kerja berupa teguran lisan maupun teguran tertulis. Sikap mandor lapangan dalam menggunakan APD sebagai bagian dari kerja dan menyusun suatu laporan kecelakaan kerja perlu untuk ditingkatkan. Berjalannya aturan untuk meningkatan aspek attitude mandor lapangan tidak terlepas dari peran manajemen puncak dalam memberikan komitmen dan dukungan penuh terhadap pembuatan dan penerapan kebijakan K3.