• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pertanian hulu ke hilir merupakan sumber kehidupan petani di Desa Ciaruteun Ilir. Kegiatan pertanian yang dilakukan oleh petani tidak hanya pada kegiatan on-farm, yaitu pertanian yang berhubungan langsung dengan lahan, tetapi juga kegiatan pertanian off-farm, kegiatan yang masih berhubungan dengan pertanian secara tidak langsung. Banyak masyarakat yang melakukan kegiatan pertanian baik on-farm ataupun off-farm sehingga menyebabkan terjadinya variasi kegiatan yang dilakukan oleh masyarakat. Kegiatan pertanian on-farm dilakukan para petani dengan langsung menanam sendiri sayuran yang berupa bayam, kangkung, kemangi, caesin, daun singkong, bunga pepaya, dan selada di lahan mereka. Kegiatan pertanian off-farm dapat berupa berdagang sayuran di pasar. Pasar yang menjadi tempat menampung sayuran tersebut adalah Pasar Bogor, Pasar Ciampea, Pasar Anyar, Pasar Cibinong, dan ada beberapa pasar di Jakarta. Masyarakat lain yang tidak melakukan kegiatan pertanian baik on-farm ataupun

off-farm bekerja sesuai dengan keahlian masing-masing.

Variasi pekerjaan yang dimiliki oleh masyarakat khususnya petani sayuran menyebabkan kondisi sosial ekonomi masing-masing rumahtangga berbeda. Penelitian ini mencoba menganalisis kondisi sosial ekonomi rumahtangga petani sayuran yang dilihat dari tingkat pendapatan, tingkat pengeluaran, dan jumlah anggota rumahtangga.

Tingkat Pendapatan

Variasi pekerjaan yang dimiliki oleh petani sayuran di Desa Ciaruteun Ilir menyebabkan kondisi sosial ekonomi setiap rumahtangga berbeda, salah satunya pada tingkat pendapatan. Pendapatan petani didapatkan dari pekerjaan yang berupa pekerjaan usahatani dan kegiatan nonusahatani. Kegiatan usahatani berupa pekerjaan rumahtangga petani sebagai petani, kegiatan nonusahatani terdiri dari pekerjaan upah, usaha keluarga, kiriman atau remitan, dan lain-lain. Pendapatan rumahtangga petani sayuran dibedakan menjadi tiga, yaitu tinggi, sedang, dan rendah sesuai dengan rataan pendapatan 60 responden penelitian. Penggolongan ini didapatkan dari data hasil penelitian di lapangan atau data emik. Dari data penelitian diketahui bahwa jumlah pendapatan minimal rumahtangga petani per rumahtangga setiap bulannya adalah Rp250.000,- sedangkan pendapatan maksimal per rumahtangga setiap bulannya adalah Rp17.950.000,-. Pendapatan maksimal dikurangi pendapatan minimal dan dibagi tiga sesuai dengan kategori tinggi, sedang, dan rendah dengan penjabaran sebagai berikut :

Rata-rata pendapatan rumahtangga petani = = Rp5.900.000,- Selanjutnya perhitungan tingkat pendapatan rumahtangga rendah adalah jumlah pendapatan rumahtangga minimal dijumlahkan dengan rata-rata pendapatan per rumahtangga, yaitu Rp250.000,- + Rp5.900.000,- = Rp6.150.000,- . Jadi, rumahtangga petani yang memiliki pendapatan rendah merupakan rumahtangga petani yang memiliki pendapatan Rp250.000,- sampai dengan

Rp6.150.000,- per rumahtangga. Perhitungan tingkat pendapatan rumahtangga sedang adalah Rp6.150.000,- + Rp5.900.000,- = Rp12.050.000,- sehingga rumahtangga petani yang memiliki pendapatan sedang merupakan rumahtangga petani yang berpendapatan Rp6.150.000,- sampai dengan Rp12.050.000,- per rumahtangga. Perhitungan tingkat pendapatan rumahtangga tinggi adalah Rp12.050.000,- + Rp5.900.000,- = Rp17.950.000,- sehingga tingkat pendapatan rumahtangga petani tinggi merupakan rumahtangga yang memiliki pendapatan Rp12.050.000,- sampai dengan Rp17.950.000,- setiap bulannya per rumahtangga. Pada Tabel 7 disajikan jumlah dan persentase rumahtangga petani berdasarkan tingkat pendapatan rumahtangga.

Tabel 7 Jumlah dan persentase rumahtangga petani berdasarkan tingkat pendapatan rumahtangga

No Tingkat Pendapatan Besaran (ribuan rupiah) Jumlah (orang) Persentase (%) 1 Rendah 250-6.150 36 60,00 2 Sedang 6.150-12.050 22 36,70 3 Tinggi 12.050-17.950 2 3,30 Total 60 100,00

Tingkat pendapatan rumahtangga petani juga digambarkan pada histogram berikut (Gambar 3).

Gambar 3 Histogram tingkat pendapatan rumahtangga petani

Berdasarkan Tabel 7 dapat diketahui bahwa mayoritas rumahtangga petani berada pada tingkat pendapatan rendah, yaitu 68,33 persen. Pada Gambar 3

dijelaskan bahwa sebaran normal yang ada pada gambar tersebut lebih menjulur ke kanan. Hal ini berarti mayoritas tingkat pendapatan rumahtangga petani berada di bawah rata-rata pendapatan, yaitu Rp5.900.000,-. Rumahtangga petani yang memiliki tingkat pendapatan rendah disebabkan oleh tidak adanya atau hanya sedikit variasi pekerjaan yang dimiliki oleh anggota rumahtangga apabila dibandingkan dengan rumahtangga lainnya. Mereka mengandalkan pekerjaan sebagai petani untuk mencukupi kebutuhan sehari-harinya. Komoditas sayuran yang ditanam oleh rumahtangga petani ini terdiri dari dua sampai tiga macam saja, yaitu bayam, kangkung, dan kemangi, sehingga tidak ada tambahan pendapatan per bulan. Harga sayuran yang dijual juga mempengaruhi pendapatan yang mereka terima. Rumahtangga petani menjual hasil sayuran yang dipanen ke tengkulak dengan harga yang rendah sehingga pendapatan yang diterimanya juga menurun. Pada saat penelitian ini dilakukan, pasokan sayuran sedang berada pada kondisi yang buruk. Panen melimpah di desa namun permintaan dari konsumen yang tetap sehingga banyak sayuran yang terbuang karena tidak laku untuk dijual. Biasanya mereka dapat menjual sayuran bayam satu gabung (50 ikat) dengan harga minimal Rp10.000,- namun turun menjadi Rp5.000,- per gabung. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh AD sebagai berikut :

“Sekarang mah ya neng, harga sayuran tuh lagi pada turun, anjlok semuanya. Susah buat balik modal lagi uangnya buat makan juga susah neng.” (AD, 50 tahun)

Hal yang sama juga diungkapkan oleh EN sebagai berikut :

“Iya neng, harga kangkung bayam sekarang lagi pada turun. Ini aja, kangkung bapak kemaren ga laku dijual ya bapak kasih aja ke kambing daripada dibuang sayang.” (EN, 60 tahun)

Lahan yang digunakan untuk bertani merupakan lahan orangtua, baik warisan maupun pinjaman untuk dimanfaatkan. Ada beberapa petani yang mendapatkan lahan untuk bertani dari sewa atau kontrak dari bos atau teman mereka. Meskipun pendapatan yang dihasilkan tidak tergolong rendah, petani kadang-kadang mendapatkan bantuan dari pemerintah berupa beras miskin (raskin) dan BLSM. Bantuan dari pemerintah ini didapatkan setiap 3 bulan sekali dengan uang sebesar Rp300.000,- untuk BLSM dan beras 6 L untuk raskin. Selain itu, rumahtangga petani merasa sudah cukup untuk memenuhi kebutuhannya sehari-hari dengan menjadi petani sehingga mereka merasa tidak membutuhkan lagi pekerjaan lain diluar petani. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh SH sebagai berikut :

“ga ah neng, saya mah ga ada pekerjaan lain selain petani. Tenaganya udah ga ada buat kerja yang lain, ini aja udah cukup.” (SH, 68 tahun)

Rumahtangga petani yang memiliki tingkat pendapatan sedang adalah rumahtangga petani yang menanam komoditas sayuran empat sampai lima macam sayuran. Selain bayam, kangkung, dan kemangi, biasanya mereka menanam caesin dan selada sebagai tambahan untuk dijual. Disamping menjadi petani, rumahtangga petani ini biasanya mencari pekerjaan lain sebagai tambahan

pendapatan rumahtangganya. Ada yang berkerja masih di bidang pertanian ada juga yang non pertanian. Pekerjaan di bidang pertanian yang dilakukan oleh rumahtangga petani ini adalah kuli sayuran atau pedagang yang menjual sayuran hasil panen mereka. Kuli sayuran ini juga dibagi menjadi tiga macam, diantaranya ada kuli pencabut sayuran, kuli pengangkut sayuran, dan pengikat sayuran. Petani yang mengerjakan pekerjaan kuli ini biasanya dilakukan oleh perempuan untuk membantu suami mencari nafkah. Laki-laki melakukan pekerjaan sebagai kuli bangunan selain menjadi petani sayuran di ladang.

Rumahtangga petani dengan tingkat pendapatan tinggi merupakan rumahtangga dengan persentase sebesar 3,30 persen. Pendapatan ini dihasilkan dari berbagai aktivitas nafkah baik kegiatan usahatani maupun nonusahatani. Ada berbagai macam komoditas sayuran yang ditanam dengan hasil yang banyak. Rumahtangga petani ini memiliki lahan yang cukup luas untuk menanam sayuran sehingga hasil yang didapatkan juga banyak. Selain bayam, kangkung, caesin, selada, dan kemangi, mereka juga menanam daun singkong, bunga pepaya. Saat penelitian ini dilakukan, komoditas bunga pepaya menjadi daya tarik tersendiri bagi para petani sayuran karena sayuran ini sedang diminati oleh konsumen sehingga banyak diantara petani yang sementara beralih ke sayuran bunga pepaya. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh DY sebagai berikut :

“Kalo sekarang mah ya neng, itu tuh bunga pepaya yang lain ditanam bapak. Soalnya banyak yang mau jadi harganya mahal yaudah bapak tanam aja ngikutin yang lain.” (DY, 60 tahun)

Tidak semua petani ikut menanam bunga pepaya. Menurut rumahtangga petani yang tidak menanam, untuk bunga pepaya petani membutuhkan waktu dua bulan sampai masa panen sedangkan sayuran lain seperti bayam dan kangkung hanya membutuhkan waktu 20 sampai dengan 30 hari. Selain itu, modal awal untuk menanam bunga pepaya ini juga menjadi kendala petani sehingga mereka lebih memilih untuk tetap menanam sayuran selain bunga pepaya. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh EC sebagai berikut :

“ga neng, Bapak ga nanem bunga pepaya. Boro-boro buat nanem, modal buat ganti sayurannya aja bapak ga ada. ini ajalah yang bapak tanem, bayam ama kangkung yang penting cukup buat makan” (EC, 46 tahun)

Rumahtangga petani dengan tingkat pendapatan tinggi ini juga memiliki lahan sendiri untuk menanam sayuran-sayuran tersebut. Bahkan ada beberapa rumahtangga petani yang merupakan “juragan sayuran”. Juragan sayuran ini merupakan petani yang memiliki lahan luas untuk menanam sayuran, menanam dan memanen sayuran sendiri, serta mengambil sayuran dari petani lain untuk dijual. Mereka juga biasanya disebut tengkulak di desa. Selain menjadi pengumpul sayuran, ada beberapa rumahtangga petani yang melakukan aktivitas nafkah lain seperti beternak kambing atau ayam, dan budidaya ikan bawal. Mereka melakukan pekerjaan ini untuk menambah pendapatan rumahtangga.

Tingkat Pengeluaran

Tingkat pengeluaran rumahtangga petani dibagi menjadi tiga bagian, yaitu pengeluaran pangan, nonpangan, dan lainnya. Pengeluaran pangan merupakan kebutuhan sehari-hari yang dibeli atau dibelanjakan oleh rumahtangga petani terkait dengan bahan pangan rumahtangga seperti beras, sayuran, lauk pauk, bumbu dapur, jajan. Pengeluaran nonpangan yaitu pengeluaran selain kebutuhan makanan sehari-hari yang dibelanjakan oleh rumahtangga petani, di antaranya kebutuhan transportasi, pendidikan, pupuk, dan bibit. Pengeluaran lainnya dalam rumahtangga merupakan pengeluaran selain bahan pangan dan nonpangan seperti arisan, pembayaran hutang. Proses perhitungan tingkat pengeluaran rumahtangga dibedakan menjadi dua, yaitu pengeluaran pangan dan nonpangan (termasuk pengeluaran lainnya).

Tingkat pengeluaran pangan rumahtangga rumahtangga petani ini dikelompokkan menjadi tiga bagian, yaitu tinggi, sedang, dan rendah. Penggolongan ini didapatkan dari data hasil penelitian di lapangan atau data emik. Dari data penelitian diketahui bahwa jumlah pengeluaran pangan minimal rumahtangga petani per rumahtangga setiap bulannya adalah Rp56.200,- sedangkan pengeluaran pangan maksimal per rumahtangga setiap bulannya adalah Rp680.000,-. Pengeluaran maksimal dikurangi pengeluaran minimal dan dibagi tiga sesuai dengan kategori tinggi, sedang, dan rendah dengan penjabaran sebagai berikut :

Rata-rata pendapatan rumahtangga petani = = Rp207.933,-

Selanjutnya perhitungan tingkat pengeluaran pangan rumahtangga rendah adalah jumlah pengeluaran rumahtangga minimal dijumlahkan dengan rata-rata pengeluaran per rumahtangga, yaitu Rp56.200,- + Rp207.933,- = Rp264.133,-. Jadi, rumahtangga petani yang memiliki tingkat pengeluaran pangan rendah merupakan rumahtangga petani yang memiliki pengeluaran pangan sebesar Rp56.200,- sampai dengan Rp264.133,- per rumahtangga. Perhitungan tingkat pengeluaran pangan rumahtangga sedang adalah Rp264.133,- + Rp207.933,- = Rp472.067,- sehingga rumahtangga petani yang memiliki tingkat pengeluaran pangan sedang merupakan rumahtangga petani yang memiliki pengeluaran pangan sebesar Rp264.133,- sampai dengan Rp472.067,- per rumahtangga. Perhitungan tingkat pengeluaran pangan rumahtangga tinggi adalah Rp472.067,- + Rp207.933,- = Rp680.000,- sehingga tingkat pengeluaran pangan rumahtangga petani tinggi merupakan rumahtangga yang memiliki pengeluaran pangan sebesar Rp472.067,- sampai dengan Rp680.000,- setiap bulannya per rumahtangga. Pada Tabel 8 disajikan jumlah dan persentase rumahtangga petani berdasarkan tingkat pengeluaran pangan rumahtangga.

Tabel 8 Jumlah dan persentase rumahtangga petani berdasarkan tingkat pengeluaran pangan rumahtangga

No Tingkat pengeluaran pangan Besaran (ribuan rupiah) Jumlah (orang) Persentase (%) 1 Rendah 56-264 34 56,67 2 Sedang 246-427 24 40,00 3 Tinggi 427-680 2 3,33 Total 60 100,00

Tingkat pengeluaran pangan rumahtangga petani juga digambarkan pada histogram berikut (Gambar 4).

Gambar 4 Tingkat pengeluaran pangan rumahtangga petani

Berdasarkan Tabel 8 sebanyak 56,67 persen rumahtangga petani berada pada tingkat pengeluaran pangan yang rendah. Hal ini didukung oleh Gambar 4 yang menjelaskan sebaran normal pada histogram tersebut lebih menjulur ke kanan. Hal ini berarti rumahtangga petani berada pada tingkat pengeluaran pangan dibawah rata-rata, yaitu Rp207.933,-. Rumahtangga petani dengan pengeluaran pangan rendah dapat memperkirakan biaya dalam rumahtangga yang dikeluarkan untuk kebutuhan pangan sesuai dengan pendapatan yang diterima.

Proses perhitungan yang sama dilakukan pada tingkat pengeluaran nonpangan. Tingkat pengeluaran nonpangan rumahtangga rumahtangga petani ini dikelompokkan menjadi tiga bagian, yaitu tinggi, sedang, dan rendah. Penggolongan ini didapatkan dari data hasil penelitian di lapangan atau data emik. Dari data penelitian diketahui bahwa jumlah pengeluaran nonpangan minimal rumahtangga petani per rumahtangga setiap bulannya adalah Rp35.000,-

sedangkan pengeluaran nonpangan maksimal per rumahtangga setiap bulannya adalah Rp1.810.000,-. Pengeluaran maksimal dikurangi pengeluaran minimal dan dibagi tiga sesuai dengan kategori tinggi, sedang, dan rendah dengan penjabaran sebagai berikut :

Rata-rata pendapatan rumahtangga petani = = Rp591.667,- Selanjutnya perhitungan tingkat pengeluaran nonpangan rumahtangga rendah adalah jumlah pengeluaran rumahtangga minimal dijumlahkan dengan rata-rata pengeluaran per rumahtangga, yaitu Rp35.000,- + Rp591.667,- = Rp626.667,-. Jadi, rumahtangga petani yang memiliki tingkat pengeluaran nonpangan rendah merupakan rumahtangga petani yang memiliki pengeluaran nonpangan sebesar Rp35.000,- sampai dengan Rp591.667,- per rumahtangga. Perhitungan tingkat pengeluaran nonpangan rumahtangga sedang adalah Rp626.667,- + Rp591.667,- = Rp1.218.334,- sehingga rumahtangga petani yang memiliki tingkat pengeluaran nonpangan sedang merupakan rumahtangga petani yang memiliki pengeluaran nonpangan sebesar Rp626.667,- sampai dengan Rp1.218.334,- per rumahtangga. Perhitungan tingkat pengeluaran nonpangan rumahtangga tinggi adalah Rp1.218.334,- + Rp591.667,- = Rp1.810.000,- sehingga tingkat pengeluaran nonpangan rumahtangga petani tinggi merupakan rumahtangga yang memiliki pengeluaran nonpangan sebesar Rp472.067,- sampai dengan Rp680.000,- setiap bulannya per rumahtangga. Pada Tabel 9 disajikan jumlah dan persentase rumahtangga petani berdasarkan tingkat pengeluaran nonpangan rumahtangga.

Tabel 9 Jumlah dan persentase rumahtangga petani berdasarkan tingkat pengeluaran nonpangan rumahtangga

No Tingkat pengeluaran nonpangan Besaran (ribuan rupiah) Jumlah (orang) Persentase (%) 1 Rendah 35-626 48 80,00 2 Sedang 626-1.218 10 16,67 3 Tinggi 1.218-1.810 2 3,33 Total 60 100,00

Tingkat pengeluaran nonpangan rumahtangga petani juga digambarkan pada histogram berikut (Gambar 5).

Gambar 5 Tingkat pengeluaran nonpangan rumahtangga petani

Berdasarkan Tabel 9 sebanyak 80,00 persen rumahtangga petani berada pada tingkat pengeluaran nonpangan yang rendah. Hal ini didukung oleh Gambar 5 yang menjelaskan sebaran normal pada histogram tersebut lebih menjulur ke kanan. Hal ini berarti rumahtangga petani berada pada tingkat pengeluaran nonpangan dibawah rata-rata, yaitu Rp591.667,-. Rumahtangga petani dengan pengeluaran nonpangan rendah tidak memiliki banyak pengeluaran selain pangan karena disesuaikan dengan pendapatan yang ada. Pengeluaran nonpangan yang banyak dilakukan oleh rumahtangga petani adalah pengeluaran untuk pupuk dan bibit karena sebagai modal awal rumahtangga petani untuk menanam sayuran di lahan mereka.

Tingkat pengeluaran total rumahtangga rumahtangga petani dikelompokkan menjadi tiga bagian, yaitu tinggi, sedang, dan rendah. Penggolongan ini didapatkan dari data hasil penelitian di lapangan atau data emik. Dari data penelitian diketahui bahwa jumlah pengeluaran minimal rumahtangga petani per rumahtangga setiap bulannya adalah Rp226.200,- sedangkan pengeluaran maksimal per rumahtangga setiap bulannya adalah Rp2.087.000,-. Pengeluaran maksimal dikurangi pengeluaran minimal dan dibagi tiga sesuai dengan kategori tinggi, sedang, dan rendah dengan penjabaran sebagai berikut :

Rata-rata pendapatan rumahtangga petani = = Rp620.266,- Selanjutnya perhitungan tingkat pengeluaran total rumahtangga rendah adalah jumlah pengeluaran rumahtangga minimal dijumlahkan dengan rata-rata pengeluaran per rumahtangga, yaitu Rp226.200,- + Rp620.266,- = Rp846.466,-. Jadi, rumahtangga petani yang memiliki tingkat pengeluaran rendah merupakan rumahtangga petani yang memiliki pengeluaran Rp226.200,- sampai dengan Rp846.466,- per rumahtangga. Perhitungan tingkat pengeluaran rumahtangga sedang adalah Rp846.466,- + Rp620.266,- = Rp1.466.733,- sehingga rumahtangga

petani yang memiliki tingkat pengeluaran sedang merupakan rumahtangga petani yang memiliki pengeluaran Rp846.466,- sampai dengan Rp1.466.733,- per rumahtangga. Perhitungan tingkat pengeluaran rumahtangga tinggi adalah Rp1.466.733,- + Rp620.266,- = Rp2.087.000,- sehingga tingkat pengeluaran rumahtangga petani tinggi merupakan rumahtangga yang memiliki pengeluaran Rp1.466.733,- sampai dengan Rp2.087.000,- setiap bulannya per rumahtangga. Pada Tabel 10 disajikan jumlah dan persentase rumahtangga petani berdasarkan tingkat pengeluaran total rumahtangga.

Tabel 10 Jumlah dan persentase rumahtangga petani berdasarkan tingkat pengeluaran total rumahtangga

No Tingkat pengeluaran total Besaran (ribuan rupiah) Jumlah (orang) Persentase (%) 1 Rendah 226-846 47 78,33 2 Sedang 846-1.466 10 16,67 3 Tinggi 1.466-2.087 3 5,00 Total 60 100,00

Tingkat pengeluaran total rumahtangga petani juga digambarkan pada histogram berikut (Gambar 6).

Gambar 6 Tingkat pengeluaran rumahtangga petani

Berdasarkan Tabel 10 sebanyak 78,33 persen rumahtangga petani berada pada tingkat pengeluaran rendah. Gambar 6 juga menjelaskan tentang sebaran normal pada tingkat pengeluaran total rumahtangga petani lebih menjulur ke kanan. Artinya, tingkat pengeluaran rumahtangga petani berada di bawah rata-rata

pengeluaran, yaitu Rp620.266,-. Rumahtangga petani dengan tingkat pengeluaran rendah ini biasanya belanja untuk kebutuhan sehari-hari sesuai dengan pendapatan yang diterimanya. Mereka menyesuaikan makanan, minuman, dan kebutuhan lain dengan pendapatan yang telah diterima setiap hari, minggu, atau bulan. Untuk kebutuhan pangan yang dibeli sehari-hari adalah beras, sayuran, lauk pauk berupa ikan asin, tahu, dan tempe. Kebutuhan pangan tersebut setidaknya yang dibeli oleh rumahtangga petani sehari-harinya. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh ED sebagai berikut :

“ibu tiap hari juga belinya cuma ini-ini aja neng, paling juga beras yang pasti beli mah. Sayuran paling, tapi sayur yang buat sop gitu neng kalo bayam kangkung ibu mah juga tinggal ambil aja di kebon ga usah beli. Sama lauknya ikan asin ama tahu tempe tiap hari, mau beli ayam mahal neng kalo ada rejeki lebih aja ibu beli.” (ED, 41 tahun)

Rata-rata rumahtangga petani membeli beras sebanyak 2 L untuk 2 sampai dengan 3 hari. Namun ada juga yang membeli beras 1 L untuk 2 sampai dengan 3 hari karena disesuaikan dengan jumlah anggota rumahtangga dan pendapatan yang diperoleh rumahtangga petani. Harga beras di Desa Ciaruteun Ilir sendiri berkisar antara Rp6.000,- sampai dengan Rp7.000,-. Meskipun di Desa Ciaruteun Ilir banyak sayuran yang melimpah namun masyarakat tetap membeli sayuran untuk dimasak namun berupa sayur untuk membuat sop. Rumahtangga petani biasanya membeli sayuran tersebut untuk satu hari makan dan tidak setiap hari mereka belanja sayuran tersebut. Rata-rata rumahtangga petani mengkonsumsi tahu, tempe, dan ikan asin hampir setiap harinya untuk lauk-pauk. Menurut rumahtangga petani, bahan pangan tersebut yang mudah dijangkau di masyarakat dan harganya sangat terjangkau bagi mereka. Ketika mereka bosan dengan ketiga bahan pangan tersebut, alternatif lain yang digunakan untuk makan sehari-hari adalah mie instan, telur, daging ayam, ikan air tawar. Namun tambahan bahan pangan seperti daging ayam, ikan air tawar dibeli oleh rumahtangga petani yang memiliki tingkat pengeluaran tergolong tinggi. Rumahtangga petani dengan tingkat pengeluaran tinggi memiliki variasi pengeluaran bahan pangan yang disesuaikan dengan pendapatan yang mereka miliki.

Kebutuhan nonpangan yang setiap bulan dikeluarkan adalah kebutuhan untuk membeli bahan bakar transportasi yang mereka gunakan. Ada beberapa rumahtangga petani yang memiliki transportasi seperti motor untuk mengangkut hasil panen sayuran mereka ke pasar. Rata-rata rumahtangga petani membeli bensin untuk motor mereka adalah satu liter yang dihabiskan dalam jangka waktu 2 sampai dengan 3 hari. Hal ini dikarenakan jarak antara rumah rumahtangga petani dengan pasar tempat menjual sayuran jauh. Selain kebutuhan bahan bakar, tingkat pengeluaran rumahtangga petani juga dilihat dari angsuran/cicilan kendaraan seperti motor, biaya pendidikan, biaya untuk pupuk dan bibit, biaya arisan dan pinjaman. Beberapa rumahtangga petani saat diwawancarai masih memiliki tanggungan pada kendaraan yang dibeli. Rumahtangga petani membayar sekitar Rp200.000,- sampai dengan Rp800.000,- setiap bulan untuk cicilan motor mereka. Hal ini ditambah dengan kebutuhan lain seperti pupuk dan bibit yang wajib mereka keluarkan sebagai awal untuk penanaman sayuran. Rumahtangga petani biasanya mengeluarkan biaya rata-rata Rp50.000,- untuk membeli pupuk setiap bulannya mengingat sayuran yang ditanam membutuhkan waktu sekitar 21

sampai dengan 25 hari setiap panen. Rata-rata biaya yang dikeluarkan rumahtangga petani untuk biaya bibit sayuran adalah Rp25.000,- setiap bulannya.

Bagi rumahtangga petani yang masih memiliki anak, biaya pendidikan masih perlu dikeluarkan. Meskipun sekolah gratis namun ada beberapa yang masih dimintai biaya untuk keperluan sekolah seperti biaya buku, tabungan setiap bulannya. Rata-rata rumahtangga petani mengeluarkan uang Rp18.000,- setiap bulannya untuk biaya pendidikan ini. Untuk biaya arisan dan tabungan, rumahtangga petani mengeluarkan biaya untuk masing-masing sebesar Rp82.000,- dan Rp30.000,- setiap bulannya. Arisan dan tabungan masih diperlukan oleh masyarakat untuk tambahan pendapatan meskipun pengeluaran yang dikeluarkan tidak sedikir. Dengan mengadakan sistem arisan dan tabungan juga membantu masyarakat yang sedang dalam keadaan membutuhkan. Ada satu sistem tabungan masyarakat di Desa Ciaruteun Ilir yang fungsi tabungan tersebut adaalah membantu masyarakat yang akan mengadakan hajatan di rumahnya. Biaya yang dikeluarkan oleh setiap rumahtangga seikhlasnya namun wajib untuk membantu yang akan mengadakan hajatan. Biayanya pun beragam sesuai dengan kondisi keuangan masing-masing rumahtangga. ada yang memberikan Rp50.000,- setiap bulan atau bahkan ada yang menyumbang ratusan ribu setiap bulannya. Waktu untuk pembayaran tabungan ini pun tidak harus setiap bulan, ada juga yang membayar dengan sistem harian atau mingguan, tergantung pada kondisi keuangan mereka.

Jumlah Anggota Rumahtangga

Jumlah anggota rumahtangga adalah jumlah individu yang tinggal atau menetap bersama dalam satu atap dan hidup dalam penghasilan yang sama.