• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Laju Transmisi Uap Air

BAB III. METODOLOGI PENELITIAN

3.5. Analisis Percobaan

3.5.9. Analisis Laju Transmisi Uap Air

WVTR) Biokomposit

Laju transmisi uap air (WVTR) merupakan transmisi uap air melalui suatu unit luasan bahan yang permukaannya rata dengan ketebalan tertentu, sebagai akibat dari suatu perbedaan unit tekanan uap antara dua permukaan pada kondisi dan suhu tertentu (Suyatma dkk. 2005). Rumus perhitungan laju transmisi uap air / Water Vapor Transmission Rate (ASTM E96, 1995)

WVTR = x 24 (3.7)

Keterangan :

n = Perubahan berat (gram) t = Waktu (jam)

A = Luas permukaan (m2)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 ANALISIS ALFA SELULOSA

4.1 1 Analisis X-Ray Diffraction (XRD) Alfa Selulosa

Penentuan kristalinitas dilakukan dengan metode Difraksi Sinar-X (XRD) berdasarkan pola spektrum difraksi kristal amorf. Karakterisasi XRD digunakan untuk menganalisis kristalinitas dari alfa selulosa yang diperoleh dari serat bambu.

Hasil dari pengujian kristalinitas menggunakan XRD dapat dilihat pada Gambar 4.1 dibawah ini:

Gambar 4.1 Hasil Spektrum XRD Alfa Selulosa dari Serat Bambu

Indeks kristalinitas dari alfa selulosa serat bambu yang dihitung dengan menggunakan metode Segal. Puncak serapan dari spektra yang dihasilkan oleh sampel alfa selulosa dari serat bambu adalah pada 2θ = 20°, 22° dan 28°. Puncak serapan pada 2θ = 20° dan 28° menunjukkan struktur selulosa I, sedangkan

puncak serapan pada 2θ = 22° mengindikasikan bagian kristal dari selulosa II.

Dari puncak serapan tersebut dapat ditentukan indeks kristalinitas pada alfa selulosa. Penentuan indeks kristalinitas dari bahan selulosa dapat dihitung melalui metode Segal, dengan persamaan di bawah ini (Anupama dan Ramanpreet, 2016):

Crl [

] x 100 (1) Dari persamaan diatas digunakan untuk menghitung indeks kristalinitas (crystallinity index), dimana I002 merupakan intensitas maksimum dari difraksi pola 002 yang merupakan representasi dari kedua zona yaitu zona kristal dan zona amorf sedangkan IAM merupakan intensitas dari difraksi dalam unit yang sama pada 2θ = 16° yang merupakan representasi dari zona amorf (Anupama dan Ramanpreet, 2016; Halimatuddahliana dkk. 2017).

Dari hasil perhitungan menggunakan Persamaan 1 (perhitungan dapat dilihat pada Lampiran L2.2) diperoleh indeks kristalinitas dari alfa selulosa serat bambu yaitu sebesar 93,33%, diindikasikan oleh puncak serapan yang tajam (sharp peak) dari spektrum yang dihasilkan pada sampel alfa selulosa serat bambu tersebut.

Kristalinitas yang tinggi menunjukkan bahwa susunan rantai polimer dalam bahan tersusun secara teratur atau bagian kristalinnya lebih sempurna (Lu dan Hsieh, 2010).

Peningkatan kristalinitas ini disebabkan oleh penurunan komposisi serat yang bersifat amorf akibat perlakuan kimiawi. Perlakuan kimiawi diarahkan untuk menghilangkan hemiselulosa, lignin, pektin, yang merupakan komponen serat yang berkontribusi terhadap bagian amorf serat (Morán dkk. 2008). Bagian amorf lebih mudah terhidrolisis dibandingkan dengan bagian kristalin, sehingga perlakuan hidrolisis menyebabkan serat menjadi lebih kristalin (Elanthikkal dkk.

2010.). Alfa selulosa dari serat bambu yang diperoleh memiliki index kristalinitas yang cukup tinggi dimana index kristalinitas dari alfa selulosa biasanya berada dikisaran 55-80% (Elnaz dkk. 2014).

4.1.2 Analisis Fourier Transform Infra Red (FTIR) Alfa Selulosa

Karakterisasi Fourier Transform Infra Red (FTIR) alfa selulosa serat bambu untuk mengidentifikasi gugus fungsi yang ada pada pengisi alfa selulosa dan dibandingkan dengan serat bambu sebagai bahan baku alfa selulosa.

Karakterisasi FTIR dan daerah absorbansi gugus fungsi dari bahan pengisi alfa selulosa dan serat bambu dapat dilihat pada Gambar 4.2 dan Tabel 4.1 di bawah ini:

Gambar 4.2 Spektrum FTIR Bambu (a) Serat Bambu (b) Alfa Selulosa Serat Bambu

Tabel 4.1 Daerah Serapan Infra Merah Serat Bambu dan Alfa Selulosa Serat Bambu

Jenis Ikatan Daerah Serapan (cm-1) Serat Bambu

(cm-1)

Alfa Selulosa Serat Bambu(cm-1)

O-H Stretching 3331 3334

C-H Stretching 2891 2905

C-H Deformation 1602 1641

C=C 1241 1225

C-O 1031 1024

Gambar di atas menunjukkan puncak serapan pada serat bambu dan alfa selulosa. Dalam proses alkalisasi terjadi pengurangan ikatan hidrogen karena penghapusan gugus hidroksil yang bereaksi dengan natrium hidroksida. Hasil proses alkalisasi menunjukkan konsentrasi gugus peregangan -OH.

Frekuensi gelombang 3350 - 3175 cm-1 menunjukkan adanya ikatan OH (Zhbankov, 1966). Seperti terlihat pada serat bambu dengan puncak serapan 3331 cm-1 sedangkan pada alfa selulosa menunjukkan area serapan yang lebih tajam pada 3334 cm-1. Ini menunjukkan bahwa ikatan O-H sedang meregang akibat pengaruh alkalisasi. Alkalisasi mengurangi ikatan hidrogen karena gugus hidroksil bereaksi dengan natrium hidroksida yang menyebabkan peningkatan konsentrasi -OH bila dibandingkan dengan serat bambu (Lojewska dkk. 2005).

Selain itu, frekuensi gelombang dari 3000 - 2850 cm-1 menunjukkan adanya kelompok peregangan CH (Zhbankov, 1966). Serat bambu diperlihatkan di daerah serapan 2891 cm-1 dan di alfa selulosa tampak daerah serapan yang lebih tajam pada 2905 cm-1. Puncak serapan menunjukkan peregangan gugus alifatik C-H di mana hemiselulosa residual dari proses delignifikasi dan perubahan struktural ikatan C-H menyebabkan puncak bergeser ke arah maksimum (Zhbankov, 1966).

Konsentrasi ikatan deformasi -CH2 ditunjukkan pada serat bambu dengan area serapan 1602 cm-1. Sedangkan alfa selulosa terlihat lebih tajam dengan area serapan 1641 cm-1. Ini menunjukkan area kristal, di mana area penyerapan akan meningkat seiring dengan proses pemurnian (Alves dkk. 2015).

Ikatan rangkap C = C senyawa aromatik terbukti memiliki puncak pada susunan yang rentan 1200-1300 cm-1. Penyerapan area 1241cm-1 dalam serat bambu terlihat lebih tajam dibandingkan dengan alfa selulosa di area penyerapan 1225 cm-1. Pada kelompok aromatik C = C, dapat dilihat bahwa lignin masih ada, yang berarti bahwa perlakuan alkali belum sepenuhnya menghilangkan lignin tetapi hanya mengurangi tingkat lignin (Hongchang, 2015).

Pada gambar di atas juga dapat dilihat bahwa ada konsentrasi gugus C-O di daerah serapan antara 1000-1200 cm-1. Dalam serat bambu, dapat dilihat bahwa puncak serapan tampak lebih tajam pada 1031cm-1, sedangkan pada alfa selulosa memiliki puncak serapan pada 1024cm-1. Kedua sampel diperkirakan berasal dari getaran kelompok cincin pyronose pada unit selulosa 1035-1170cm-1 yang mengacu pada cincin pyronose dimana puncak penyerapan menunjukkan pengayaan serat selulosa dan dapat dibuktikan bahwa penyerapan puncak tajam dari gugus CO yang terkandung dalam alfa selulosa lebih lanjut menunjukkan adanya cincin pirona yang merupakan kelompok tipikal yang hanya dimiliki oleh unit selulosa dan tidak dimiliki oleh komponen lignin dan hemiselulosa (Peng dkk. 2011 ).

4.2 ANALISIS AKTIVITAS ANTIOKSIDAN DAUN KERSEN

Biopolimer merupakan salah satu alternatif bahan polimer yang ramah lingkungan. Salah satu alternatif bahan utama biopolimer yang ramah lingkungan

dan ekonomis berupa pati sagu. Ditambahkannya ekstrak daun kersen sebagai antioksidan sehingga dihasilkan biokomposit yang memiliki umur simpan lebih lama. Penambahan antioksidan yang tepat diharapkan mampu mengisi ruang antar molekul pada stuktur polimer. Sehingga dapat meningkatkan kerapatan antar ruang molekul dan biokomposit yang dihasilkan lebih elastis. Pengujian aktivitas antioksidan dilakukan untuk mengetahui nilai IC50 dari sampel. Nilai inhibisi (%I) diperoleh sebesar 61,96%. Dari hasil pengujian, ekstrak daun kersen memiliki nilai IC50 sebesar 6,2 ppm. Nilai IC50 dari ekstrak daun kersen tergolong memiliki aktivitas antioksidan yang baik.

4.3 ANALISIS BIOKOMPOSIT

4.3.1 Analisis Scanning Electron Microscope (SEM)

Karakterisasi morfologi alfa selulosa dari serat bambu dengan SEM bertujuan untuk mengetahui morfologi dari biokomposit dengan alfa selulosa dan antioksidan yang disajikan pada Gambar 4.3 dibawah ini:

Gambar 4.3 (a) Analisis SEM pada Pengisi 1% dan Antioksidan 3% dan (b) Analisis SEM pada Pengisi 5% dan Antioksidan 3%.

Analisis Scanning Electron Microscopy (SEM) pada Gambar 4.3 (a) untuk hasil analisa SEM biokomposit pati sagu dengan penambahan pengisi 1% alfa

selulosa dan antioksidan 3% ekstrak daun kersen, dimana untuk jumlah/

komposisi pengisi alfa selulosa dan antioksidan ekstrak daun kersen masih sedikit sehingga biokomposit masih didominasi oleh matriks pati sagu. Hal ini dapat dilihat dari morfologi yang menunjukkan komponen alfa selulosa masih sedikit.

Sedangkan pada Gambar 4.3 (b) untuk hasil analisa SEM biokomposit pati sagu dengan penambahan pengisi 5% alfa selulosa dan antioksidan 3% ekstrak daun kersen, dimana untuk jumlah/ komposisi pengisi alfa selulosa dan antioksidan ekstrak daun kersen yang ada telah cukup untuk memenuhi ruang-ruang matriks sehingga meningkatkan interaksi ikatan hidrogen antara alfa selulosa dan pati.

Distribusi pengisi yang seragam pada matriks menunjukkan interaksi yang baik dan telah terdistribusi merata, sehingga meningkatkan interaksi ikatan hidrogen antara alfa selulosa dan pati (Melissa dkk. 2014).

Penggabungan ekstrak daun kersen sebagai antiokasidan pada struktur biokomposit menunjukkan adanya struktur tanpa pori-pori yang tidak menyebabkan perbedaan signifikan dalam struktur biokomposit tersebut.

Penambahan ekstrak daun kersen menunjukkan ekstrak tersebar dengan baik dalam matriks pati melalui ikatan hidrogen (Siripatrawan dan Harte, 2010).

4.3.2 Analisis Fourier Transform Infra Red (FTIR) Biokomposit dengan Alfa Selulosa Dan Biokomposit dengan Alfa Selulosa dan Antioksidan.

Analisa dengan spektrum infra merah ini dilakukan dengan cara mengamati frekuensi yang khas dari gugus fungsi spectra FTIR pada gugus fungsi bioplastik dengan alfa selulosa dan bioplastik dengan alfa selulosa dan antioksidan. Dari

analisa gugus fungsi menggunakan FT-IR diperoleh hasil spektrum dalam bentuk grafik yang dapat dilihat pada Gambar 4.4 dan Tabel 4.2 berikut ini:

Gambar 4.4 Karakterisasi FT-IR Biokomposit dengan Alfa Selulosa dan Biokomposit dengan Alfa Selulosa dan Antioksidan.

Tabel 4.2 Daerah Absorbansi Gugus Fungsi dari Biokomposit dengan Alfa Selulosa Dan Biokomposit dengan Alfa Selulosa dan Antioksidan.

Jenis Ikatan Biokomposit dengan Alfa Selulosa (cm-1)

Biokomposit dengan Alfa Selulosa dan Antioksidan

(cm-1)

Gugus O-H Bending 1640 1645

Dari Gambar 4.4 di atas dapat diketahui bahwa konsentrasi gugus OH Bending ditunjukkan pada serapan area antara 1600 sampai 1650 cm-1 dan ditandai dengan terdapatnya serapan area 1645 cm-1 pada biokomposit dengan alfa selulosa dan antioksidan. Sedangkan, tampak biokomposit dengan alfa selulosa sedikit lebih tajam dengan daerah serapan yaitu 1640 cm-1. Ini menunjukkan area kristal, di mana area penyerapan akan meningkat seiring dengan proses pemurnian

(Alves dkk. 2015). Dapat diketahui bahwa spektrum biokomposit dengan alfa selulosa dan biokomposit dengan alfa selulosa dan antioksidan, keduanya memiliki gugus fungsi yang hampir mirip karena berasal dari tumbuhan namun ukuran banyaknyalah yang menjadi perbedaannya.

4.3.3 Pengaruh Penambahan Alfa Selulosa dari Serat Bambu dan Antioksidan Ekstrak Daun Kersen Terhadap Densitas Biokomposit

Gambar 4.5 berikut ini menunjukkan pengaruh penambahan alfa selulosa dan ekstrak daun kersen terhadap densitas biokomposit.

Gambar 4.5 Pengaruh Penambahan Alfa Selulosa Dan Ekstrak Daun Kersen Terhadap Densitas Biokomposit.

Dari Gambar 4.5 di atas dapat dilihat penambahan alfa selulosa dan ekstrak daun kersen terhadap densitas biokomposit. Nilai densitas tertinggi yang diperoleh adalah sebesar 0,26 gram/cm3 pada penambahan alfa selulosa 7% dan ekstrak daun kersen 3%. Sedangkan nilai densitas terendah diperoleh pada penambahan alfa selulosa 1% dan ekstrak daun kersen 1% dengan nilai densitas sebesar 0,09 gram/cm3. Dari Gambar 4.5 tersebut juga dapat dilihat dimana dengan

0 0.05 0.1 0.15 0.2 0.25 0.3

1 3 5 7

Densitas (gram/cm3)

Alfa Selulosa (%)

Ekstrak daun kersen 1%

Ekstrak daun kersen 3%

Ekstrak daun kersen 5%

Ekstrak daun kersen 7%

meningkatnya penambahan alfa selulosa maka nilai densitas yang diperoleh juga akan semakin meningkat. Pada penambahan alfa selulosa 7% biokomposit memiliki nilai densitas tertinggi karena alfa selulosa terdistribusi secara merata sehingga meningkatkan keefektifan penguatannya dalam kerapatan struktur biokomposit (Zimmermann dkk. 2010).

Nilai densitas yang tinggi tersebut akibat interaksi antioksidan ekstrak daun kersen yang terdistribusi secara merata. Struktur pati yang rusak diserap oleh gliserol, sehingga ekstrak daun kersen dapat masuk dan terdegradasi dengan baik.

Penggabungan antioksidan ekstrak daun kersen 3% paling baik pada biokomposit ini kerenaberat molekul rendah antioksidan yang dimasukkan ke dalam bahan polimer (Estiningtyas, 2010). Dimana ekstrak daun kersen bertindak sebagai antioksidant yang bertujuan mendegradasi pati bersama substrat yang dapat teroksidasi, dapat menunda atau menghambat oksidasi senyawa tersebut (Kuncahyo dan Sunardi, 2007).

4.3.4 Pengaruh Penambahan Alfa Selulosa dari Serat Bambu dan Antioksidan Ekstrak Daun Kersen Terhadap Sifat Kekuatan Tarik (Tensile Strength) Biokomposit.

Pada Gambar 4.6 berikut ini menunjukkan pengaruh penambahan alfa selulosadari serat bambu dan antioksidan ekstrak daun kersen terhadap sifat kekuatan tarik (tensile strength) biokomposit.

Gambar 4.6 Pengaruh Penambahan 5% Alfa Selulosa dan Antioksidan Ekstrak Daun Kersen 3% Terhadap Sifat Kekuatan Tarik (Tensile Strength) Biokomposit.

Dari Gambar 4.6 di atas terlihat bahwa penambahan alfa selulosa dan ekstrak daun kersen terhadap sifat kekuatan tarik biokomposit diperoleh nilai kekuatan tarik tertinggi adalah sebesar 1,37 MPa yang diperoleh pada penambahan alfa selulosa 5% dengan penambahan ekstrak daun kersen 3%.

Penambahan pengisi (filler) berupa alfa selulosa dapat memperbaiki dan meningkatkan sifat mekanis pada film yang dihasilkan (Azaredo dkk. 2012).

Selain penambahan pengisi (filler), peningkatan sifat mekanis juga dipengaruhi pada ikatan adhesi antara matriks dan serat (Rosa dkk. 2009). Nilai kekuatan tarik juga dipengaruhi oleh kerapatan massa suatu bahan, dimana semakin rapat suatu bahan, maka nilai dari kekuatan tarik akan semakin meningkat. Hal ini sesuai dengan penelitian Bilbao-Sainz dkk. (2011) yang menyatakan bahwa kerapatan suatu bahan akan meningkatkan sifat fisik dan mekaniknya.

0 0.2 0.4 0.6 0.8 1 1.2 1.4 1.6

1 3 5 7

Kekuatan Tarik (MPa)

Alfa Selulosa (%)

Ekstrak daun kersen 1%

Ekstrak daun kersen 3%

Ekstrak daun kersen 5%

Ekstrak daun kersen 7%

Sedangkan nilai kekuatan tarik terendah diperoleh pada penambahan alfa selulosa 7% dengan penambahan ekstrak daun kersen 7% dengan nilai kekuatan tarik sebesar 0,70 MPa. Seperti dilaporkan oleh Cho dkk. (2006) dan Roohani dkk. (2008) penurunan nilai kekuatan tarik ini disebabkan karena alfa selulosa membentuk penggumpalan (agregat) dalam matriks film. Tegangan (stress) yang disebabkan oleh penggumpalan (agregat) dalam matriks yang tidak dapat terdistribusi secara seragam, sehingga memunculkan perpindahan tegangan (stress) yang kurang seragam (Roohani dkk. 2008). Massa pengisi selulosa yang tinggi akan memperlambat interaksi antar molekul biokomposit, menyebabkan perkembangan struktur biokomposit menjadi heterogen (Siagian, 2016). Sifat kuat tarik juga akan menurun apabila distribusi pengisi (filler) berupa alfa selulosa tidak merata dan pencampuran bahan yang tidak rata maupun tidak padu antara matriks dan pengisi (filler) (Kengkhetkit dan Amornsakchai, 2012).

Dari Gambar 4.6 tersebut hasil peningkatan nilai kekuatan tarik seiring dengan penambahan ekstrak daun kersen hingga 3%. Namun, pada penambahan ekstrak daun kersen 5%, nilai kekuatan tarik menjadi menurun. Penambahan antioksidan dikaitkan dengan pengurangan kekuatan pati, yang mengarah pada penurunan kekuatan tarik. Penurunan ini biasa ditemukan ketika berat molekul rendah seperti plastisizer dimasukkan ke dalam bahan polimer (Estiningtyas, 2010). Ekstrak daun kersen bertindak sebagai antioksidant yang bertujuan mendegradasi pati bersama substrat yang dapat teroksidasi, dapat menunda atau menghambat oksidasi senyawa tersebut (Kuncahyo dan Sunardi, 2007).

Penambahan ekstrak dalam biokomposit tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan dalam parameter fisik dari matriks.

4.3.5 Pengaruh Penambahan Alfa Selulosa dari Serat Bambu dan Ekstrak Daun Kersen Terhadap Pemanjangan Saat Putus (Elongation At Break) Biokomposit.

Gambar 4.7 berikut ini menunjukkan pengaruh penambahan alfa selulosa dan ekstrak daun kersen terhadap sifat pemanjangan saat putus (Elongation At Break) biokomposit.

Gambar 4.7 Pengaruh Penambahan Alfa Selulosa dan Antioksidan Ekstrak Daun Kersen Terhadap Sifat Pemanjangan Saat Putus Biokomposit.

Dari Gambar 4.7 di atas terlihat bahwa nilai pemanjangan saat putus (elongation at break) tertinggi adalah sebesar 5,84% yang diperoleh pada penambahan alfa selulosa 1% dengan penambahan ekstrak daun kersen 3%.

Peningkatan sifat pemanjangan saat putus (elongation at break) ini disebabkan selulosa dengan larutan pati tidak homogen yang memicu pembentukan penggumpalan (agregat) yang dapat menurunkan sifat kekuatan tarik (tensile

0 1 2 3 4 5 6 7

1 3 5 7

Pemanjangan pada saat putus (%)

Alfa Selulosa (%)

Ekstrak daun kersen 1%

Ekstrak daun kersen 3%

Ekstrak daun kersen 5%

Ekstrak daun kersen 7%

strength) sehingga meningkatkan sifat pemanjangan saat putus (elongation at break) (Melissa dkk. 2014).

Sedangkan nilai pemanjangan saat putus (elongation at break) terendah diperoleh pada penambahan alfa selulosa 7% dengan penambahan ekstrak daun kersen 7% dengan nilai pemanjangan saat putus (elongation at break) sebesar 2,20%. Dengan meningkatnya penambahan alfa selulosa maka nilai pemanjangan saat putus (elongation at break) yang diperoleh juga akan semakin menurun.

Penurunan pemanjangan saat putus maksimum dengan peningkatan konsentrasi ekstrak disebabkan oleh adanya molekul dengan berat molekul rendah dari sebagian besar komponen ekstrak yaitu disisipkan diantara rantai pati. Dengan adanya molekul rendah pada formulasi jaringan, matriks menjadi kurang padat (Mali dkk. 2005).

Interaksi antara alfa selulosa dan pati dapat meningkatkan sifat kuat tarik pada biokomposit yang dihasilkan, namun mengakibatkan gerakan rantai polimer menjadi lebih terbatas yang menyebabkan kemampuan pemanjangan putus (elongation at break) pada biokomposit yang dihasilkan menjadi berkurang (Müller dkk. 2009b). Interaksi antara rantai pati dan serat selulosa dapat mencegah terjadinya interaksi antara rantai pati dan air yangbiasanya berperan sebagai pemplastis. Sehingga mengurangi sifat higroskopis film berbahan dasar pati (Muller dkk. 2009a).

Dengan penambahan antioksidan ekstrak daun kersen nilai pemanjangan pada saat putus semakin turun seiring bertambahnya konsentrasi antioksidan (Krochta dkk. 1997) . Persentase pemanjangan pada saat putus yang rendah diperlukan agar kekuatan plastik unggul. Nilai kekuatan untuk film biokomposit

yang berisi ekstrak tampak agak rendah untuk kemasan makanan. Namun film akan efektif sebagai pelapis makanan langsung (Fama, 2008; Parzanese, 2010).

4.3.6 Pengaruh Penambahan Alfa Selulosa dari Serat Bambu dan Antioksidan Ekstrak Daun Kersen Terhadap Penyerapan Air (Water Uptake) Biokomposit.

Gambar 4.8 berikut ini menunjukkan pengaruh penambahan alfa selulosa dan ekstrak daun kersen terhadap penyerapan air (water uptake) biokomposit.

Gambar 4.8 Pengaruh Penambahan Alfa Selulosa Serat Bambu dan Antioksidan Ekstrak Daun Kersen terhadap Sifat Penyerapan Air.

Dari Gambar 4.8 dapat dilihat bahwa pada penambahan pengisi alfa selulosa 1% merupakan penyerapan air tertinggi dalam penelitian tersebut. Dimana hal ini terjadi pada penambahan ekstrak daun kersen 1% yaitu 38,27%. Sedangkan penyerapan air terbaik dalam penelitian ini adalah pada penambahan antioksidan ekstrak daun kersen 7%. Dimana hal ini terjadi pada penambahan pengisi alfa selulosa 7% yaitu 24,67%. Penambahan antioksidan ekstrak daun kersen

0

menunjukkan adanya penurunan sifat penyerapan air (water uptake) biokomposit.

Penurunan persentase daya serap air ini disebabkan oleh peningkatan konsentrasi pemplastis, hal ini diduga menyebabkan ikatan yang terjadi antara pemlastis dan polimer menjadi rapuh ketika terkena air. Dari Gambar 4.8 dapat dilihat bahwa penambahan pengisi (filler) berupa selulosa dapat menurunkan penyerapan air.

Hal ini dikarenakan selulosa membentuk suatu ikatan kuat yang dapat mencegah pembengkakan pati dan juga penyerapan air (water uptake). Ukuran serat juga mempengaruhi daya serap air pada biokomposit berpengisi alfa selulosa, semakin kecil pori-pori maka daya serap air menjadi lebih rendah (Nur dkk. 2014).

4.3.7 Pengaruh Penambahan Alfa Selulosa dari Serat Bambu dan Antioksidan Ekstrak Daun Kersen Terhadap Laju Transmisi Uap Air (Water Vapour Transmission Rate/ WVTR) Biokomposit.

Gambar 4.9 berikut ini menunjukkan pengaruh penambahan alfa selulosa dan ekstrak daun kersen terhadap laju transmisi uap air (Water Vapour Transmission Rate/ WVTR) biokomposit.

Gambar 4.9 Pengaruh Penambahan Alfa Selulosa dan Ekstrak Daun Kersen terhadap Laju Transmisi Uap Air (WVTR) Biokomposit.

0

Dari Gambar 4.9 dapat dilihat bahwa nilai laju transmisi uap air (water vapour transmission rate/ WVTR) biokomposit yang dihasilkan berkisar 0,256 – 0,592g/s.m2. Nilai laju transmisi uap air biokomposit tertinggi diperoleh pada penambahan antioksidan ekstrak daun kersen 1% dengan pengisi alfa selulosa 5%.

Sedangkan laju transmisi uap air terendah diperoleh pada penambahan antioksidan ekstrak daun kersen 5% dengan pengisi alfa selulosa 1%. Laju transmisi uap air (WVTR) merupakan transmisi uap air melalui suatu unit luasan bahan yang permukaannya rata dengan ketebalan tertentu, sebagai akibat dari suatu perbedaan unit tekanan uap antara dua permukaan pada kondisi dan suhu tertentu (Suyatma dkk. 2005).

Penambahan alfa selulosa dapat menurunkan laju transmisi uap air (water vapour transmission rate/ WVTR). Hal ini dikarenakan selulosa membentuk suatu ikatan kuat yang dapat mencegah pembengkakan pati dan juga (WVTR). Transmisi uap air pada biokomposit dipengaruhi ukuran serat juga, sehingga pori-pori pada biokomposit semakin kecil dan kerapatan menjadi lebih tinggi (Nur dkk. 2014).

Penambahan antioksidan pada biokomposit juga menunjukkan adanya penurunan nilai transmisi uap air. Jika penambahan konsentrasi antioksidan pada biokomposit film semakin banyak maka nilai transimisi uap air pada film semakin menurun.

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 KESIMPULAN

Adapun kesimpulan yang dapat diambil pada penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Komposisi pengisi alfa selulosa dari serat bambu yang tepat dan antioksidan ekstrak daun kersen yang tepat terhadap karakteristik dan sifat biokomposit berbasis pati sagu adalah pada alfa selulosa 5% dan antioksidan 3% dengan kekuatan tarik 1,37 MPa dan pemanjangan saat putus (elongation at break) 3,19%. Dan hasil analisa SEM diperoleh komposisi pengisi dan antioksidan yang ada telah cukup untuk memenuhi ruang-ruang matriks yang meningkatkan interaksi ikatan hidrogen.

2. Hasil analisis X-Ray Diffraction (XRD) alfa selulosa yang diperoleh indeks kristalinitas dari alfa selulosa serat bambu yaitu sebesar 93,33%.

Hasil analisa FTIR pada alfa selulosa terlihat lebih tajam dengan area serapan 1641 cm-1 yang menunjukkan area kristal. Aktivitas antioksidan ekstrak daun kersen pada %I (Inhibisi) 61,96% dengan nilai IC50 sebesar 6,2 ppm.

5.2 SARAN

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, penulis menyarankan dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai optimasi waktu aktivitas antioksidan dari ekstrak daun kersen terhadap sifat dan karakteristik dalam biokomposit berbasis pati sagu.

DAFTAR PUSTAKA

Abed, K. M., B. M. Kurji, B. A. Abdul-Majeed. 2015. Extraction and Modelling of Oil from Eucalyptus camadulensis by Organic Solvent. Journal of Material Science and Chemical Engineering, 3 : 35-42.

Aboshora, W., Z. Lianfu, M. Dahir, M. Qingran, S. Qingrui, L. Jing, N. Q. M. Al-Haj dan A. Ammar. 2014. Effect of Extraction Method and Solvent Power on Polyphenol and Flavonoid Levels in Hyphaene Thebaica L Mart (Arecaceae) (Doum) Fruit, and its Antioxidant and Antibacterial Activities. Tropical Journal of Pharmaceutical Research, 13(12) : 2057-2063.

Ahmad E. 2012. Sintesis Bioplastik Dari Pati Ubi Jalar Menggunakan Penguat Logam ZnO Dan Penguat Alami Kitosan. Skripsi. Program Studi Teknik Kimia. Fakultas Teknik. Universitas Indonesia.

Alves L., Bruno Medronho, Filipe Antunes, Maria P., Fernández García, João Ventura, João Araújo, Anabela Romano, Bjorn Lindman. 2015.

Unusual Extraction and Characterization of Nanocrystalline Cellulose from Cellulose Derivatives. Journal of Molecular Liquids. Vol. 210 106-112.

Andrade, R. A. M. S., M. I. S. Maciel, A. M. P. Santos, E. A. Melo. 2015.

Optimization of the extraction process of polyphenols from cashew apple agro-industrial residues. Food Sci. Technol. Campinas, 35(2) : 354-360.

Anita dan Ririn. 2017. Aktivitas Antioksidan Dan Penetapan Kadar Flavonoid Total Ekstrak Etil Asetat Daun Kersen (Muntingia Calabura). Jurnal Pharmascience, Vol .04, No.02, hal: 167 – 175.

Anupama K. dan Ramanpreet K. 2016. Thermoplastic Starch Nanocomposites Reinforced With Cellulose Nanocrystals: Effect of Plasticizer on Properties. Composite Interfaces. ISSN: 0927 6440.

Arabani, A. A., F. Hosseini, N. Anarjan. 2015. Pretreatment and Extraction of Oil

Arabani, A. A., F. Hosseini, N. Anarjan. 2015. Pretreatment and Extraction of Oil