• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I. PENDAHULUAN

1.5. Lingkup Penelitian

1.5.2. Variabel berubah

Variabel berubah dilakukan untuk mendapatkan konsentrasi yang optimum. Untuk berat pengisi dengan perbandingan berat pati sagu (w/w) 1%, 3%, 5% dan 7% (Jose dan Amparo, 2011). Untuk berat antioksidan dengan perbandingan berat pati sagu (w/w) 1%, 3%, 5% dan 7% (Budiyanto dan Yulianingsih, 2008).

1.5.3.Analisis hasil penelitian

Analisis hasil penelitian pada karakterisasi alfa selulosa meliputi X-Ray Diffraction (XRD) dan Fourier Transform Infra Red (FTIR). Karakterisasi antioksidan menggunakan spektrofotometer UVVis. Karakterisasi dan Uji biokomposit meliputi Scanning Electron Microscopy (SEM), Fourier Transform Infra Red (FTIR).

1.5.4 Model Rancangan Percobaan

Pada penelitian mengenai pengaruh pemanfaatan alfa selulosa dari serat bambu sebagai pengisi dan ekstrak daun kersen (Muntingia Calabura L.) sebagai antioksidan terhadap karakteristik dan sifat biokomposit berbasis pati sagu akan menghasilkan produk biokomposit sebanyak 16 sampel dengan masing – masing akan dilakukan pengulangan sampel sebanyak 3 kali meliputi densitas (density), kekuatan tarik (tensile strength), pemanjangan pada saat putus (elongation at break), penyerapan air (water absorption) dan laju transmisi uap air (water vapour transmission rate).

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Biokomposit

Biokomposit merupakan bahan alami yang memiliki perpaduan/ gabungan bahan yang terdiri dari dua atau lebih bahan yang berlainan pada skala makroskopis untuk menghasilkan material ketiga yang lebih bermanfaat (Jusuf dkk. 2014). Komposit memiliki keunggulan yaitu kekuatan terhadap berat yang tinggi, sifat mekanik yang baik dan dapat dibuat dalam berbagai bentuk.

Sedangkan kekurangan dari material komposit yaitu tidak dapat digunakan pada temperatur lebih dari 204,4 0C dan kekakuan tidak terlalu tinggi dibandingkan dengan logam maupun bahan baku lain yang mempunyai harga relatif tinggi (Eldo, 2012).

Komposit terdiri dari dua komponen yaitu matriks dan pengisi. Matriks berfungsi untuk memegang dan mempertahankan serat pada posisinya, memberikan sifat tertentu, misalnya ketahanan dan kekuatan serta meneruskan beban sehingga serat harus bisa melekat pada matrik dan kompatibel antara serat dan matrik. Artinya tidak ada reaksi yang mengganggu, merubah bentuk dan mendistribusikan tegangan ke unsur utamanya yaitu serat pada saat pembebanan (Diharjo dan Triyono, 1999). Sedangkan pengisi biasanya ditambahkan ke dalam matriks untuk meningkatkan sifat mekanik dari komposit misalnya kekuatan atau kekakuan komposit, peningkatan sifat fisik, penyerapan kelembapan yang rendah, pembasahan yang baik dan ketahanan terhadap bahan kimia yang baik (Nurun, 2013).

Biokomposit menjadi salah satu alternatif untuk menghasilkan produk yang dapat terdegradasi dibandingkan dengan material yang tidak dapat diperbaharui (Eldo, 2012). Penggunaan utama bioplastik ditujukan untuk kemasan makanan dan serat aplikasi. Keuntungan penggunaan bioplastik (Laxmana dkk. 2013) antara lain:

1. Mengurangi emisi CO2: Bioplastik menghasilkan 0,8 dan 3,2 metrik karbon dioksida dalam satu metrik ton, lebih sedikit dibandingkan plastik konvensional yang berbasis minyak bumi.

2. Alternatif yang murah: Bioplastik menjadi lebih layak dengan volatilitas harga minyak.

3. Limbah: Bioplastik dapat mengurangi jumlah racun yang dihasilkan oleh plastik konvensional yang berbasis minyak bumi.

Upaya dan inovasi dilakukan untuk mengurangi penggunaan plastik berbahan polimer sintetis. Plastik biodegradable berasal dari bahan alam seperti pati, selulosa, kolagen, kasein atau protein yang terdapat dalam hewan. Plastik ini bersifat dapat terdegradasi dengan mudah oleh mikroba pengurai (Prima dan Hesmita. 2015).

2.2 Pati dari Sagu (Metroxylon sp) sebagai Matriks.

Pati dari sagu merupakan hasil ekstraksi pati dari batang tanaman sagu. Di Indonesia tanaman utama penghasil pati sagu adalah Metroxylon yang tumbuh di lahan basah dan sagu baruk (Arenga microcarpha) yang tumbuh di lahan kering.

Setiap batang sagu mengandung sekitar 200 kg sagu, sehingga setiap hektar tanaman sagu mampu memproduksi 20-25 ton per hektar. Menurut Deputi Kepala Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) Bidang Agroindustri dan

Bioteknologi Wahono Sumaryono, kadar pati kering dalam sagu mampu mencapai 25 ton per hektar, yakni jauh diatas kandungan pati beras yang hanya 6 ton per hektar dan pati jagung yang hanya 5,5 ton per hektar (Thoriq, 2017).

Komposisi kimia dan sifat fungsional pati sagu dapat dilihat pada Tabel 2.1 berikut ini.

Tabel 2.1 Komposisi Kimia dan Sifat Fungsional Pati Sagu Parameter Pati Sagu

Kadar Air (%) 11,58

Kadar Pati (%) 82,94

Kadar Amilosa (%) 28,11 Kadar Amilopektin (%) 71,89

WHC (g/g) 2,15

OHC (g/g) 2,41

(Yuniarty dkk. 2014)

Sagu merupakan salah satu tanaman yang memiliki kadar pati yang tinggi dengan kadar pati sagu sebesar 82,94% (Yuniarty dkk. 2014). Kandungan pati yang tinggi inilah yang dapat menjadi bahan baku untuk pembuatan bioplastik. Pati merupakan homopolimer glukosa dengan ikatan α-glikosidik yang terdiri dari dua fraksi yaitu amilosa dan amilopektin. Amilosa mempunyai struktur rantai lurus dengan ikatan α-(1,4)-D-glukosa sedangkan amilopektin selain mempunyai rantai lurus juga mempunyai cabang dengan ikatan α-(1,6)-D-glukosa sebanyak 4–5% dari bobot total (Vico, 2006). Pati mempunyai granula pati yang terdiri dari kawasan amorf dan kristal. daerah kristalin pada pati terdiri dari amilopektin, sedangkan amilosa terdapat di daerah amorf. Di dalam pati, amilopektin juga merupakan komponen yang paling penting dari daerah kristalin.

Amilosa yang terdapat dalam pati bergabung dengan lipid dari struktur kristal

yang lemah dan memperkuat granula tersebut. Struktur molekul pati dapat dilihat pada Gambar 2.1 berikut ini.

Gambar 2.1 Struktur Molekul Pati (Sanchez-Vazquez dkk. 2013)

Sementara amilopektin larut dalam air, amilosa dan granula pati sendiri tidak larut dalam air dingin. Hal ini meyebabkan relatif mudah untuk mengekstrak granula pati dari sumber tanaman. Ketika suspensi pati dalam air dipanaskan, butiran pertama membengkak sampai tercapai suatu titik di mana pembengkakan tidak dapat kembali ke bentuk semula. Proses pembengkakan ini disebut gelatinisasi. Selama proses ini, amilosa akan terekstrak keluar dari granul yang menyebabkan peningkatan viskositas suspensi. Peningkatan suhu lebih lanjut akan menyebabkan pembengkakan maksimum butiran dan meningkatkan viskositas.

Hasilnya, butiran pecah akan menghasilkan dispersi koloid kental. Kemudian, pendinginan pada koloid hasil dispersi pati tersebut menghasilkan bentuk gel yang elastis (Ben dkk. 2007). Beberapa penelitian terbaru yang telah dilakukan untuk menghasilkan bioplastik dengan bahan baku pati seperti pisang (Yuli dkk. 2010), beras (Thawien, 2008), sagu (Zuraida dkk. 2011) dan sebagainya.

2.3 Selulosa dari Serat Bambu sebagai Matriks

Bambu sebagai salah satu tumbuhan daerah tropis dan subtropik. Secara alami bambu dapat tumbuh pada hutan primer maupun hutan skunder (bekas

perladangan dan belukar). Bambu tergolong dalam hasil hutan non kayu, yang oleh masyarakat dikenal sebagai tanaman serbaguna. Dikatakan demikian karena tanaman ini dapat digunakan untuk berbagai keperluan, salah satu manfaatnya adalah sebagai alternatif pengganti kayu. Bambu mudah diperoleh dengan harga yang relatif murah dan umur produksinya relatif cepat.

Tanaman bambu termasuk dalam serat alam dimana serat alam adalah serat yang dapat langsung diperoleh dari alam. Serat alam memiliki kelemahan yaitu ukuran serat yang tidak seragam, kekuatan serat sangat dipengaruhi oleh usia.

Serat sintetis adalah serat yang dibuat dari bahan-bahan anorganik dengan komposisi kimia tertentu. Serat sintetis mempunyai beberapa kelebihan yaitu sifat dan ukurannya yang relatif seragam, kekuatan serat dapat diupayakan sama sepanjang serat (Fui dkk. 2015). Parameter sifat mekanisme serat bambu dapat dilihat pada Tabel 2.2 berikut ini.

Tabel 2.2. Parameter Sifat Mekanisme Serat Bambu Parameter Serat Bambu

Panjang (mm) -

Diameter (mm) 0,1-0,4

Massa jenis (Kg/m3) 1500

Modulus Young (GPa) 27

Kekuatan Tarik (MPa) 575

Regangan (%) 3

Sumber: Building Material and Technology Promotion Council (2001).

Serat sebagai penguat dalam struktur komposit harus memenuhi persyaratan yaitu modulus elastisitas yang tinggi, kekuatan patah yang tinggi, kekuatan yang seragam di antara serat, stabil selama penanganan proses produksi dan diameter serat yang seragam (Nur dkk. 2014). Jumlah selulosa dalam serat bervariasi

menurut sumbernya dan biasanya berkaitan dengan bahan-bahan seperti air, lilin, pektin, protein, lignin dan substansi-substansi mineral.

Selulosa merupakan polimer yang relatif stabil dikarenakan adanya ikatan hidrogen. Selulosa tidak larut dalam pelarut air dan tidak memiliki titik leleh.

Serat selulosa memiliki beberapa keuntungan seperti: densitas rendah, sumber yang dapat diperbaharui, dapat terdegradasi, mengurangi emisi karbondioksida di alam, kekuatan dan modulus yang tinggi, permukaan yang relatif reaktif sehingga dapat digunakan untuk pemutusan beberapa gugus kimia, dan harga yang murah (Marc dkk. 2002).

Bagian mikrofibril yang banyak mengandung jembatan hidrogen antar molekul selulosa bersifat sangat kuat dan tidak dapat ditembus dengan air. Bagian ini disebut sebagai bagian berkristal dari selulosa, sedangkan bagian lainnya yang sedikit atau sama sekali tidak mengandung jembatan hidrogen disebut bagian amorf. Perbandingan bagian kristal dan bagian amorf adalah 85 persen dan 15 persen. Struktur berkristal dari selulosa merupakan hambatan utama dalam proses hidrolisis. Penentuan struktur selulosa bisa dilakukan dengan difraksi X-Ray, NMR, dan FTIR (Saharman, 2010). Struktur kimia dari selulosa dapat dilihat pada Gambar berikut ini:

Gambar 2.2. Struktur kimia dari Selulosa (Nuringtyas, 2010).

Menurut Klemm dkk (1998), alfa selulosa (Alpha Cellulose) adalah selulosa berantai panjang, tidak larut dalam larutan NaOH 17,5% atau larutan basa kuat dengan DP 600-1500. Selulosa alfa dipakai sebagai penduga dan atau penentu tingkat kemurnian selulosa. Struktur kimia dari alfa selulosa dapat dilihat pada Gambar 2.3 berikut ini.

Gambar 2.3 Struktur Kimia dari Alfa Selulosa (Nuringtyas, 2010).

2.4 Daun Kersen sebagai Antioksidan

Kersen merupakan tumbuhan dikotil dari keluarga Palmae, genus Muntingia dari ordo Malvales/Columniferae dan kersen atau talok adalah sejenis pohon berbuah kecil dan manis berwarna merah cerah. Kersen adalah tanaman tahunan yang dapat mencapai ketinggian 10 meter. Kersen memiliki beberapa bagian seperti daun, batang,bunga, dan buah. Batang tumbuhan kersen berkayu, tegak, bulat, dan memiliki percabangan simpodial. Gambar daun kersen dapat dilihat pada Gambar 2.4 berikut ini.

Gambar 2.4 Daun Kersen

Hasil analisis kimia pada kersen segar dapat dilihat pada Tabel 2.3 berikut ini.

Tabel 2.3 Analisa Kimia pada Kersen Segar

Parameter Daun

Kadar air 68,33%

Kadar lemak (%b/b) 1,1

Kadar protein (%b/b) 2,99

Kadar abu (%b/b) 5,08

Kadar karbohidrat (%b/b) 28,76

Kadar serat (%b/b) 49,6

Kadar flavonoid (% b/b) 93,21 Sumber: Anita dan Ririn (2017).

Untuk mendapatkan nilai aktivitas antioksidan dari daun kersen. Perlu dilakukan metode pemisahan senyawa dari campurannya menggunakan pelarut yang disebut ekstraksi.

2.4.1 Proses Ekstraksi Daun Kersen

Ekstraksi merupakan pemisahan senyawa aktif dengan menggunakan pelarut (Depkes RI, 1995). Metode ekstraksi yang biasa digunakan adalah maserasi, perkolasi dan soxhlet (Depkes RI, 2000). Selain metode tersebut, terdapat metode ekstraksi baru yang lebih efisien, diantaranya adalah metode ekstraksi ultrasonik. Metode ekstraksi secara ultrasonik banyak diterapkan dalam memperoleh komponen fitokimia dan dianggap ramah lingkungan.

Gelombang ultrasonik meningkatkan transfer massa, dimana pecahnya gelembung udara (berukuran mikro) akan merusak dinding sel tumbuhan sehingga meningkatkan penetrasi pelarut ke dalam matriks tumbuhan dan lepas ke dalam pelarut (Arabani dkk. 2015; Azwanida, 2015).

Pengecilan ukuran dilakukan untuk meningkatkan luas permukaan sampel sehingga laju transfer massa dari sampel akan semakin maksimal ketika berkontak dengan pelarut (Abed dkk. 2015). Faktor yang mempengaruhi proses ekstraksi secara ultrasonik antara lain kekuatan ultrasonik dan frekuensi yang digunakan, suhu ektraksi, lama ektraksi, ukuran partikel, pengunaan pelarut, rasio antara sampel-pelarut, dan lain sebagainya (Vladimir-Knežević dkk. 2012). Pemilihan pelarut merupakan salah satu faktor yang penting dalam proses ekstraksi. Pelarut yang digunakan dalam proses ekstraksi daun kerpsen (Muntingia calabura L.) adalah pelarut etanol. Menurut Azmir dkk. (2013), etanol dapat mengekstrak sejumlah komponen bioaktif, antara lain tannin, polifenol, flavonoid, terpenoid, dan alkaloid. Meskipun memiliki sifat mudah terbakar, etanol banyak digunakan sebagai pelarut karena mudah didapatkan bahkan dalam kemurnian yang tinggi, murah, tidak beracun, dan bersifat biodegradable (Chemat dkk. 2012).

Proses akhir untuk mendapatkan ekstrak daun kersen adalah melalui tahap evaporasi. Evaporasi dilakukan untuk meningkatkan konsentrasi padatan pada sampel cair. Tujuan proses ini antara lain untuk mengurangi kadar air serta volume dari sampel cair sehingga memungkinkan untuk mengefisiensi perpindahan dan penyimpanan produk. Proses evaporasi terhadap produk yang mengandung komponen bersifat termolabil umumnya dilakukan dalam kondisi vakum. Melalui penerapan kondisi vakum tinggi (tekanan rendah), kadar air dapat dihilangkan dalam jumlah tinggi tanpa adanya penurunan yang signifikan terhadap kualitas komponen termolabil (Phoungchandang dkk.

2009).

2.4.2 Aktivitas Antioksidan Ekstrak Daun Kersen

Aktivitas antioksidan pada penelitian ini dianalisa menggunakan metode DPPH. DPPH sendiri merupakan radikal bebas stabil yang akan bertindak sebagai penerima electron atau hidrogen dari agen antioksidan sehingga membentuk molekul diamagnetik yang stabil (Aboshora dkk. 2014). Interaksi dari reagen radikal (DPPH) berwarna ungu dengan agen antioksidan akan menetralkan karakter radikal bebas reagen dan menghasilkan perubahan warna sebagai akibat terbentuknya diphenylpicrylhydrazine (berwarna kuning).

Mekanisme penangkapan radikal ditunjukan pada Gambar 2.5 reaksi di berikut

Gambar 2.5 Reaksi penangkapan radikal DPPH oleh Antioksidan (AH= Antioksidan, ox=Oksidasi, red=Reduksi) (Dehpour dkk. 2009) Perubahan warna inilah yang kemudian diukur secara spektrofotometri dan dinyatakan sebagai aktivitas antioksidan sampel uji (Vladimir Knežević dkk.

2012).

Aktivitas antioksidan tertinggi dihasilkan dari ekstrak daun kersen yang diperoleh melalui ekstraksi pada suhu 600C selama 30 menit adalah adalah 83,094% (Prajitno, 2018). Menurut Andrade dkk. (2015) aktivitas antioksidan suatu produk dapat digolongkan sebagai kuat, menengah, dan lemah yang secara berurutan ditunjukan melalui persentase kapasitas pengikatan reagen

DPPH (Ox) purple

DPPH (Red) yellow

radikal DPPH dengan nilai diatas 70%, 60-70%, dan dibawah 50%. Hal ini menunjukkan bahwa ekstrak daun kersen dapat dikategorikan sebagai produk dengan antioksidan tinggi.

2.5 Gliserol sebagai Plastisizer.

Gliserol (1,2,3-propanetriol) merupakan cairan yang tidak berwarna, tidak berbau, cairan kental dengan rasa manis. Gliserol berasal dari kata Yunani yang berarti '’manis’,' glykys, dan istilah gliserin, gliserin, dan gliserol. Gliserin pada umumnya merujuk kepada solusi komersial gliserol dalam air yang komponen utamanya adalah gliserol. Gliserol mentah adalah 70-80% murni dan sering terkonsentrasi dan dimurnikan sebelum penjualan secara komersial dengan kemurnian 95,5-99% (Pagliaro dan Rossi. 2008).

Dalam kondisi anhidrat murni, gliserol memiliki berat jenis 1,261 g/mL, titik leleh 18,20C dan titik didih 2900C di bawah tekanan atmosfer normal, disertai dengan dekomposisi. Pada suhu rendah, gliserol dapat membentuk kristal yang meleleh pada 17,90C. Gliserol sangat stabil di bawah kondisi penyimpanan yang normal, kompatibel dengan banyak bahan kimia lainnya, hampir non-iritasi dalam berbagai penggunaannya, dan tidak berdampak negatif pada lingkungan (Pagliaro dan Rossi, 2008). Sifat fisikokimia gliserol dapat dilihat pada tabel berikut ini.

Tabel 2.4 Sifat Fisikokimia Gliserol Pada Suhu 200C

Parameter Unit Nilai

Molecular Mass g mol-1 60,05

Density g cm-3 1,051

Food Energy kcal g-1 4,32

Surface Tension mN m-1 64,00

Temperature Coefficient mN (mK)-1 -0,0598 (Pagliaro dan Rossi, 2008).

Struktur Gliserol dapat dilihat pada Gambar 2.6 berikut ini.

Gambar 2.6 Struktur Gliserol

Penggunaan gliserol ini sendiri diaplikasikan dalam pembuatan bioplastik seperti yang dilakukan Utomo dkk (2013) yang melakukan penelitian tentang pengaruh suhu dan lama pengeringan terhadap karakteristik fisikokimiawi plastik biodegradable dari komposit pati lidah buaya (Aloe vera)–kitosan dengan hasil terbaik pada perlakuan suhu 50 0C dan waktu pengeringan 2 jam konsentrasi gliserol 8%.

2.6 Metode Pembuatan Bioplastik

Pembuatan bioplastik dengan memanfaatkan sumber daya pati di Indonesia dapat dilakukan melalui 3 cara yaitu (Ahmad, 2012):

1. Pencampuran (blending) antara polimer plastik dengan pati, dimana pati yang digunakan dapat berupa pati mentah berbentuk granular maupun pati yang sudah tergelatinisasi, dan plastik yang digunakan adalah PCL, PBS, atau PLA maupun plastik konvensional (polietilen). Pencampuran dilakukan dengan menggunakan extruder atau dalam mixer berkecepatan tinggi (high speed mixer) yang dilengkapi pemanas untuk melelehkan polimer plastik.

2. Modifikasi kimiawi pati, dimana untuk menambahkan sifat plastisitas pada pati, metode grafting sering digunakan. Sifat biodegradabilitas dari produk plastik yang dihasilkan tergantung daripada jenis polimer yang dicangkokkan pada pati.

3. Penggunaan pati sebagai bahan baku fermentasi menghasilkan monomer/ polimer plastik biodegradabel.

Metode yang dilakukan dalam pembuatan bioplastik pada penelitian ini merujuk pada metode Weiping Band (2005). Proses pencampuran antara pati, pengisi dan plasticizer dilakukan bertahap sambil dipanaskan dan diaduk.

Pencampuran yang dilakukan dapat menggunakan pengaduk (stirrer) dengan pemanasan menggunakan water batch. Dapat juga menggunakan alat hot plate magnetic stirrer. Campuran yang sudah homogen membentuk larutan bioplastik yang kemudian dicetak dan dikeringkan. Pengeringan menggunakan oven dengan temperatur 60 0C. Pengeringan dilakukan hingga plastik mengeras dan dapat dikeluarkan dari cetakan, waktu yang digunakan yaitu ± 24 jam (Yuli dkk. 2010).

Pada analisis Scanning Electron Microscopy (SEM) untuk analisis morfologi permukaan pada pati sagu dan bioplastik seperti terlihat pada Gambar 2.7 berikut.

Gambar 2.7 Analisis Morfologi Permukaan (a) Pati Sagu, (b) Bioplastik Pada Gambar 2.7 (a) diperoleh dari hasil penelitian Fasihuddin dkk. (1999) terlihat morfologi granula dari pati sagu yaitu berbentuk oval dengan ukuran

rata-a b

rata 20-40 μm. (b) diperoleh dari hasil penelitian Thoriq, (2017) terlihat morfologi bioplastik dengan penambahan gliserol sebagai plasticizer menyebabkan saling menyatu satu sama lain. Hal ini dikarenakan terjadinya pembentukan ikatan hidrogen yang lebih stabil antara plasticizer dan pati (Tomasz dkk. 2014).

Selulosa diketahui memiliki ketahanan terhadap asam lemah (Luis, 2015), sehingga ketika asam asetat yang ditambahkan kedalam campuran biokomposit, selulosa tidak akan larut kedalam campuran pati, tetapi selulosa akan terdistribusi pada matriks pati sagu. Pendistribusian ini dilakukan oleh asam asetat dengan cara merusak struktur pati. Struktur pati yang rusak nantinya akan diserap oleh gliserol, sehingga membuka jalan bagi asam asetat untuk meningkatkan interaksi antara pati dan pengisi (Xiaofei dkk. 2005).

2.7 Uji dan Karakterisasi Hasil Penelitian

Beberapa pengujian/karakterisasi hasil penelitian yang dilakukan pada biokomposit adalah sebagai berikut:

2.7.1 Analisis SEM (Scanning Electron Microscopy)

Analisi SEM (Scanning Electron Microscopy) dilakukan untuk mengetahui bentuk permukaan bioplastik, besar pori yang terbentuk pada lembaran bioplastik, untuk melihat morfologi α-selulosa, morfologi penyebaran dengan penambahan pengisi α-selulosa dan plasticizer gliserol dalam matriks selanjutnya di letakkan di bawah lensa pengamatan yang ada di dalam alat uji SEM (Hendri dkk. 2014).

2.7.2 Analisis XRD (X-Ray Diffraction)

Analisis XRD (X-Ray Diffraction) bertujuan untuk menganalisis struktur kristal. Prinsip kerja dari XRD adalah difraksi sinar X yang

disebabkan adanya hubungan fasa tertentu antara dua gerak gelombang atau lebih sehingga paduan gelombang tersebut saling menguatkan. Sinar X dihamburkan oleh atom-atom dalam zat padat material. Ketika sinar X jatuh pada kristal dari material maka akan terjadi hamburan ke segala arah yang bersifat koheren. Sifat hamburan sinar X yang koheren mengakibatkan sifat saling menguatkan atau saling melemahkan pada paduan gelombang (Eldo, 2012).

2.7.3 Analisis FTIR (Fourier Transform Infra Red)

Analisis FTIR (Fourier Transform Infra Red) merupakan metode yang digunakan spektroskopi inframerah. Dalam spektroskopi inframerah, radiasi IR dilewatkan melalui sampel. Beberapa radiasi inframerah diserap oleh sampel dan sebagian melewati (ditransmisikan). Spektrum yang dihasilkan merupakan penyerapan molekul dan transmisi, menciptakan sidik jari molekul sampel. Seperti sidik jari tidak ada dua struktur molekul yang unik menghasilkan spectrum inframerah yang sama. Spektrum inframerah merupakan sidik jari dari sampel dengan puncak serapan yang sesuai dengan frekuensi getaran antara obligasi atom yang membentuk materi. Karena setiap bahan yang berbeda adalah kombinasi unik dari atom, ada dua senyawa menghasilkan persis spektrum inframerah yang sama. Oleh karena itu, spektroskopi inframerah dapat menghasilkan identifikasi positif (analisis kualitatif) dari setiap jenis bahan yang berbeda. Selain itu, ukuran puncak di spektrum adalah indikasi langsung dari jumlah material. Dengan algoritma perangkat lunak modern,

inframerah adalah alat yang sangat baik untuk analisis kuantitatif (Thermo, 2001).

2.7.4 Uji Densitas

Kepadatan adalah salah satu sifat mekanik yang paling penting dan begitu juga banyak digunakan dalam perhitungan proses. Hal ini didefinisikan sebagai massa per unit volume. Satuan SI densitas adalah kg/m3. Pada pengujian densitas plastik sampel film diuji berdasarkan standar ASTM D792-91, 1991.

2.7.5 Sifat Kekuatan Tarik dan Pemanjangan Saat Putus

Uji Kekuatan Mekanik yang diberikan pada bahan adalah uji kekuatan tarik (tensile strength), pemanjangan pada saat putus (elongation at break). Sampel film plastik diuji berdasarkan pada ASTM D-638. Metode pengujian ini mencakup penentuan tarik yang sifat plastik diperkuat dalam bentuk standar dumbel (dumbbell shaped) yang ketika diuji di bawah kondisi yang ditentukan dari perlakuan awal (pretreatment), suhu, kelembaban, dan kecepatan mesin uji. Metode uji ini dapat digunakan untuk pengujian bahan dari setiap ketebalan sampai 14 mm (0,55 in.).

Namun, untuk pengujian spesimen dalam bentuk lembaran tipis, termasuk film yang kurang dari 1,0 mm (0.04 in.) Ketebalan Metode Uji D 882 adalah metode yang paling tepat. Bahan dengan ketebalan lebih besar dari 14 mm (0,55 in.) harus dikurangi oleh mesin (ASTM D 638-00, 2005).

2.7.6 Uji Penyerapan Air (Water Absorption)

Partikel yang terlarut dalam air adalah karbohidrat yang memiliki berat molekul besar dan mengembang yang merupakan pecahan dari

molekul pati. Proses ekstrusi menyebabkan penurunan ukuran molekul pati. Penyerapan Air (Water absorption) tergantung pada ketersediaan gugus hidrofilik untuk dapat mengikat air. Pati yang mengalami gelatinisasi memiliki kemampuan penyerapan air yang sangat besar dan cepat. Penyerapan air tergantung pada ketersediaan gugus hidrofilik yang mengikat molekul air pada kapasitas pembentukan gel dari makromolekul (Chandra dkk. 2013).

2.7.7 Uji Laju Transmisi Uap Air (Water Vapour Transmission Rate/

WVTR).

Water Vapor Transmission Rate (WVTR) atau sering juga disebut Moisture Vapor Transmission Rate (MVTR) adalah metode untuk mengukur jumlah uap air yang dapat melewati lapisan kemasan. Satuan unit yang umum dipakai untuk metode ini adalah g H₂O/m2/jam (berapa banyak (gram) uap air yang lewat dalam satuan meter persegi dalam jam).

Pengujian WVTR dilakukan dengan metode cawan. Semakin tinggi nilai WVTR maka permeabilitas kemasan juga tinggi, maka semakin banyak uap air yang keluar dari dalam atau masuk ke dalam kemasan (Bayu, 2007). Biofilm yang baik harus tidak mudah dilewati oleh uap air atau memiliki nilai laju transmisi uap air yang rendah. Biofilm yang baik adalah film yang memiliki WVTR seminimal mungkin.

3.1 Lokasi Dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Kimia Organik Fakultas Teknik, Departemen Teknik Kimia, Universitas Sumatera Utara. Penelitian ini dilakukan kurang lebih selama 7 bulan.

3.2 Peralatan Dan Bahan 3.2.1 Alat

3.2.1.1 Isolasi Alfa Selulosa dari Serat Bambu

Alat yang digunakan untuk isolasi alfa selulosa dari serat bambu adalah hot plate, oven dan.ayakan 50 mesh

3.2.1.2 Aktivitas Antioksidan dari Daun Kersen

Alat yang digunakan untuk mengekstraksi antioksidan dari daun kersen adalah ultrasonic bath dan rotary evaporator.

3.2.1.3. Biokomposit Berbasis Pati Sagu

Alat yang digunakan untuk pembuatan biokomposit adalah cetakan biokomposit, hot plate, magnetic stirrer, dan ayakan 200 mesh.

Alat yang digunakan untuk pembuatan biokomposit adalah cetakan biokomposit, hot plate, magnetic stirrer, dan ayakan 200 mesh.