• Tidak ada hasil yang ditemukan

Uji Laju Transmisi Uap Air (Water Vapour Transmission Rate)

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

2.7. Uji dan Karakterisasi Hasil Penelitian

2.7.7. Uji Laju Transmisi Uap Air (Water Vapour Transmission Rate)

WVTR).

Water Vapor Transmission Rate (WVTR) atau sering juga disebut Moisture Vapor Transmission Rate (MVTR) adalah metode untuk mengukur jumlah uap air yang dapat melewati lapisan kemasan. Satuan unit yang umum dipakai untuk metode ini adalah g H₂O/m2/jam (berapa banyak (gram) uap air yang lewat dalam satuan meter persegi dalam jam).

Pengujian WVTR dilakukan dengan metode cawan. Semakin tinggi nilai WVTR maka permeabilitas kemasan juga tinggi, maka semakin banyak uap air yang keluar dari dalam atau masuk ke dalam kemasan (Bayu, 2007). Biofilm yang baik harus tidak mudah dilewati oleh uap air atau memiliki nilai laju transmisi uap air yang rendah. Biofilm yang baik adalah film yang memiliki WVTR seminimal mungkin.

3.1 Lokasi Dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Kimia Organik Fakultas Teknik, Departemen Teknik Kimia, Universitas Sumatera Utara. Penelitian ini dilakukan kurang lebih selama 7 bulan.

3.2 Peralatan Dan Bahan 3.2.1 Alat

3.2.1.1 Isolasi Alfa Selulosa dari Serat Bambu

Alat yang digunakan untuk isolasi alfa selulosa dari serat bambu adalah hot plate, oven dan.ayakan 50 mesh

3.2.1.2 Aktivitas Antioksidan dari Daun Kersen

Alat yang digunakan untuk mengekstraksi antioksidan dari daun kersen adalah ultrasonic bath dan rotary evaporator.

3.2.1.3. Biokomposit Berbasis Pati Sagu

Alat yang digunakan untuk pembuatan biokomposit adalah cetakan biokomposit, hot plate, magnetic stirrer, dan ayakan 200 mesh.

3.2.2 Bahan

3.2.2.1 Isolasi Alfa Selulosa dari Serat Bambu

Adapun bahan yang digunakan pada proses isolasi alfa selulosa antara lain berasal dari penjual bambu dan toko kimia yang terdiri dari aquadest (H2O), asam nitrat (HNO3), natrium hidroksida (NaOH),

natrium hipoklorit (NaOCl), hidrogen peroksida (H2O2), natrium nitrit (NaNO2), dan natrium sulfit (Na2SO3).

3.2.2.2 Aktivitas Antioksidan dari Daun Kersen

Bahan yang digunakan dalam proses ekstraksi antioksidan antara lain daun kersen, air suling, DPPH , dan etanol 96%.

3.2.2.3. Biokomposit Berbasis Pati Sagu

Adapun bahan yang digunakan dalam pembuatan biokomposit antara lain berasal dari toko kimia antara lain pati sagu, air, alfa selulosa, gliserol, aquadest, asam asetat dan ekstrak daun kersen.

3.3 Prosedur Penelitian

3.3.1 Prosedur Isolasi Alfa Selulosa Prosedur isolasi alfa selulosa meliputi:

3.3.1.1 Prosedur Preparasi Serat Bambu

Adapun prosedur preparasi serat bambu adalah sebagai berikut (Fenny dkk. 2013):

1. Bambu dipotong kecil dan dicuci dengan air.

2. Dikeringkan di bawah sinar matahari selama 2 jam.

3. Dihancurkan dengan grinder hingga diperoleh ukuran yang lebih kecil.

4. Dikumpulkan untuk isolasi alfa selulosa.

3.3.1.2 Prosedur Isolasi Alfa Selulosa dari Serat Bambu

Adapun prosedur isolasi alfa selulosa dari serat bambu adalah (Fenny dkk. 2013):

1. 75 gram serat bambu dimasukkan ke dalam beaker glass, kemudian ditambah 1 L campuran HNO3 3,5% dan 10 mg NaNO2, dipanaskan diatas hotplate pada suhu 90 oC selama 2 jam.

2. Disaring dan ampas dicuci hingga filtrat netral.

3. 750 ml larutan yang mengandung NaOH 2% dan Na2SO3 2% pada dimasak di atas hot plate suhu 50 oC selama 1 jam.

4. Disaring dan ampas dicuci hingga filtrat netral.

5. Dilakukan pemutihan dengan 250 ml larutan NaOCl 1,75% dengan panasan menggunakan hot plate pada temperatur mendidih selama 30 menit.

6. Disaring dan ampas dicuci hingga filtrat netral.

7. Dilakukan pemurnian alfa selulosa dari sampel dengan 500 ml larutan NaOH 17,5% dengan pemanasan menggunakan hot plate pada suhu 80 oC selama 30 menit.

8. Disaring dan ampas dicuci hingga filtrat netral.

9. Dilakukan pemutihan dengan H2O2 10% dengan pemanasan menggunakan hot plate pada suhu 60 oC dalam oven selama 1 jam.

10. Disaring dan ampas dicuci hingga filtrat netral.

3.3.2 Prosedur Aktivitas Antioksidan dari Daun Kersen

Prosedur aktivitas antioksidan dari daun kersen meliputi:

3.3.2.1 Prosedur Ekstraksi Etanol Daun Kersen (Muntingia Calabura L) (Handayani dkk. 2016)

1. Daun kersen sebanyak 500g dicuci dan dipotong kecil-kecil.

2. Kemudian dikeringkan dengan menggunakan oven pada suhu 30-370C selama ± 3 jam.

3. Serbuk daun kersen dimasukkan dalam erlenmeyer dan dilarutkan dengan 500ml etanol 96%.

4. Dimasukkan kedalam alat ultrasonik selama 20 menit pada suhu 400C dan difiltrasi dengan menggunakan kertas saring dan filtrat dikumpulkan.

5. Kemudian diulangi langkah no 3 dan 4 sebanyak 2 kali dengan waktu, suhu dan jumlah pelarut yang sama.

6. Filtrat dievaporasi menggunakan rotary evaporator dengan suhu 30-400C.

7. Proses evaporasi dihentikan sampai pelarut habis dengan ditandai tidak adanya penetesan pelarut pada labu pelarut.

3.3.2.2 Pembuatan larutan 2,2-diphenyl-1-picrylhydrazyl (DPPH) (Molyneux, 2004):

Ditimbang 5 mg DPPH dan dilarutkan dengan methanol dalam labu sampai 250 mL sehingga diperoleh larutan dengan konsentrasi + 50 µM.

3.3.2.3 Pentapan Panjang Gelombang Serapan Maksimum (DPPH) (Brand Williams dkk. 1995)

Dipipet sebanyak 3,9 mL larutan DPPH 100 µM dan ditambahkan 0,1 mL etanol. Setelah dibiarkan selama 30 menit di tempat gelap, serapan larutan diukur dengan spektrofotometer UVVis pada panjang gelombang 500-700 nm.

3.3.2.4 Penetapan Serapan Kontrol (Brand Williams dkk. 1995)

Dipipet larutan DPPH 100 µM sebanyak 3,9 mL dan ditambahkan etanol 0,1 mL. Diukur serapan dengan spektrofotometer UV-Vis.

3.3.2.5 Pemeriksaan Aktivitas Antioksidan (Brand Williams dkk. 1995) 1. Ditimbang ekstrak 5 mg, kemudian dilarutkan dengan etanol 5 mL.

2. Diambil 100 µL sistem yang mengandung ekstrak (0,1 mL).

3. Sampel dipipet sebanyak 0,1 mL larutan sampel dengan pipet mikro dan masukan ke dalam vial, kemudian ditambahkan 3,9 mL larutan DPPH (25mg DPPH/ L etanol).

4. Campuran dihomogenkan dan dibiarkan selama 45 menit di tempat gelap

5. Kemudian absorbansi diukur dengan spektrofotometer UV-Vis pada panjang gelombang maksimum.

3.3.3 Prosedur Pembuatan Biokomposit dari Pati Sagu

Adapun prosedur pembuatan biokomposit adalah sebagai berikut (Savadekar dkk. 2012):

1. Ditimbang 1% alfa selulosa dari 10g berat pati.

2. Alfa selulosa tersebut dimasukkan ke dalam beaker glass dan ditambahkan aquadest sebanyak 100 ml lalu diaduk menggunakan stirrer dengan kecepatan 1000 rpm selama 15 menit.

3. Kemudian ditimbang 1% ekstrak daun kersen dari 10g berat pati.

4. Ekstrak daun kersen ditambahkan ke dalam larutan (tahapan prosedur ke 2) dan diaduk kembali selama 15 menit.

5. Kemudian ditambahkan pati sebanyak 10g ke dalam larutan tersebut.

6. Hot plate dipanaskan dan diatur temperatur yang akan digunakan.

7. Ditambahkan gliserol 30ml dan asam asetat 20ml pada larutan dan diaduk sampai homogen.

8. Setelah homogen, hot plate dan stirrer dimatikan.

9. Beaker glass berisi larutan dicetak.kemudian dikeringkan dalam oven pada T = 60 oC selama 24 jam.

10. Setelah dikeringkan, diangkat dan dikeringkan ke dalam desikator selama 24 jam.

11. Kemudian bioplastik dilepas dari cetakannya dan siap untuk dianalisis.

12. Ulangi kembali langkah langkah diatas untuk no 1, 2, 3 dengan mengganti berat alfa selulosa pada 3%, 5% dan 7% dari 10g berat pati dan mengganti berat untuk ekstrak daun kersen 3%, 5% dan 7% dari 10g berat pati.

3.4 Flowchart Percobaan

3.4.1 Flowchart Preparasi Serat Bambu

Adapun flowchart preparasi serat bambu dibawah ini (Fenny dkk. 2013):

Dikumpulkan untuk isolasi α-selulosa Selesai

Mulai

Bambu dipotong kecil, dicuci dan dikeringkan di bawah sinar matahari selama 2 jam

Dihancurkan dengan grinder hingga diperoleh ukuran yang lebih kecil

Gambar 3.1 Flowchart Preparasi Serat Bambu

3.4.2 Flowchart Isolasi Alfa Selulosa

Adapun flowchart isolasi alfa selulosa dapat dilihat pada gambar dibawah ini (Fenny dkk. 2013):

Gambar 3.2 Flowchart Isolasi Alfa Selulosa Serat disaring dan dicuci hingga filtrat netral

75g serat bambu dimasukkan ke beaker glass, lalu ditambahkan 1L campuran HNO3 3,5% dan 10mg NaNO2, dipanaskan pada suhu 900C selama 2 jam

Mulai

Ditambahkan 750ml NaOH 2% dan Na2SO3 2% dan diaduk pada suhu 500C selama 1 jam Serat disaring dan dicuci hingga filtrat netral

Ditambahkan 250ml NaOCl 1,75% dan diaduk pada suhu mendidih selama 30 menit

Ditambahkan 500ml NaOH 17,5% dan diaduk pada suhu 800C selama 30 menit Serat disaring dan dicuci hingga filtrat netral

Serat disaring dan dicuci hingga filtrat netral

Ditambahkan H2O2 10% dan diaduk pada suhu 600C dalam oven selama 1 jam

Selesai

Serat disaring dan dicuci hingga filtrat netral

3.4.3 Flowchart Ekstraksi Daun Kersen

Adapun flowchart ekstraksi daun kersen dapat dilihat pada gambar dibawah ini (Fenny dkk. 2013):

Gambar 3.3 Flowchart Ekstraksi Daun Kersen

Daun kersen sebanyak 1kg dicuci, dipotong kecil-kecil dikeringkan dengan menggunakan oven pada suhu 30-370C selama ± 3 jam

Serbuk daun kersen dimasukkan dalam erlenmeyer dan dilarutkan dengan 500ml etanol 96%.

Kemudian diulangi langkah no 3 dan 4 sebanyak 2 kali dengan waktu, suhu dan jumlah pelarut yang sama

Filtrat dievaporasi menggunakan rotary evaporator dengan suhu 30-400C

Selesai Mulai

Dimasukkan kedalam alat ultrasonik selama 20 menit pada suhu 400C dan difiltrasi dengan menggunakan kertas saring dan filtrat dikumpulkan

Proses evaporasi dihentikan setelah pelarut habis dengan ditandai tidak adanya penetesan pelarut pada labu pelarut

3.4.4 Flowchart Pemeriksaan Aktivitas Antioksidan

Adapun flowchart aktivitas antioksidan selulosa dapat dilihat pada gambar dibawah ini (Brand Williams dkk. 1995)

Gambar 3.4 Flowchart Pemeriksaan Aktivitas Antioksidan Mulai

Ditimbang ekstrak 5 mg, kemudian dilarutkan dengan etanol 5 mL

Selesai

Absorbansi diukur dengan spektrofotometer UV-Vis

Campuran dihomogenkan dan dibiarkan selama 45 menit di tempat gelap Sampel dipipet sebanyak 0,1 mL larutan sampel dengan pipet mikro dan

masukan ke dalam vial, kemudian ditambahkan 3,9 mL larutan DPPH Diambil 100 µL sistem yang mengandung ekstrak (0,1 mL)

3.4.5 Flowchart Pembuatan Biokomposit dari Pati Sagu

Adapun flowchart biokomposit dari pati sagu (Fenny dkk. 2013):

Gambar 3.5 Flowchart Pembuatan Biokomposit dari Pati Sagu Selesai

Mulai

Ditimbang 1% alfa selulosa dari 10g berat pati dsn dimasukkan ke dalam beaker glas

Ditambahkan aquadest 100 ml lalu diaduk dengan kecepatan 1000 rpm selama 15 menit

Ditimbang 1% ekstrak daun kersen dari 10g berat pati tersebut

Ditambahkan ke dalam larutan dan diaduk kembali selama 15 menit Ditambahkan pati 10g dan dipanaskan

Larutan dicetak.kemudian dikeringkan dalam oven pada T = 60 oC selama 24jam

Bioplastik dilepas dari cetakannya dan siap untuk dianalisis Ditambahkan gliserol 30ml dan asam asetat 20ml

pada larutan dan diaduk sampai homogen

Apakah ada variasi alfa selulosa dan ekstrak daun

kersen yang lain?

Tidak

Ya

3.5 Analisis Percobaan

3.5.1 Analisis XRD (X-Ray Diffraction)

Sampel yang akan dianalisis dengan XRD (X-Ray Diffracion) yaitu pengisi selulosa nanokristal. Tujuan dilakukan analisis ini adalah untuk mengukur kristalinitas selulosa nanokristal yang dihasilkan. Analisis XRD (X-Ray Diffraction) dilakukan di Laboratorium Fisika, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Negeri Medan. Rumus perhitungan indeks kristalinitas dari sampel adalah sebagai berikut (Anupama dkk. 2016):

Crl = [

] x 100 (3.1) Keterangan:

Crl = Derajat relatif kristalinitas

I002 =Intensitas maksimum dari difraksi pola 0 0 2

IAM = Intensitas dari difraksi dalam unit yang sama pada 12-18o 3.5.2 Analisis FTIR (Fourier Transform Infra-Red)

Sampel yang akan dianalisis dengan FTIR (Fourier Transform Infra-Red) yaitu berupa:

1. Alfa Selulosa

2. Biokomposit dengan penambahan pengisi Alfa Selulosa.

Tujuan dilakukan analisis ini adalah untuk melihat apakah ada atau tidak terbentuknya gugus baru dalam produk biokomposit dengan pengisi α-Selulosa dan plasticizer gliserol (Thermo, 2001). Analisis FTIR (Fourier Transform Infra-Red) dilakukan di Laboratorium Penelitian Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara, Medan.

3.5.3 Uji Aktivitas Antioksidan dengan Metode DPPH (2,2-Diphenyl-L-Pycrylhdrazyl)

DPPH (2,2-diphenyl-1-picrylhydrazyl) merupakan metode yang cepat, sederhana, dan tidak membutuhkan biaya tinggi dalam menentukan kemampuan antioksidan menggunakan radikal bebas DPPH. Metode ini sering digunakan untuk menguji senyawa yang berperan sebagai free radical scavengers atau donor hidrogen dan mengevaluasi aktivitas antioksidannya, serta mengkuantifikasi jumlah kompleks radikal-antioksidan yang terbentuk.

Penentuan operating time dari DPPH dengan menggunakan panjang gelombang teori yaitu 500-700 nm, dan panjang gelombang maksimal diukur pada range 500 - 700 nm, diukur dari konsentrasi DPPH 1000 ppm. Vitamin C (Asam askorbat) biasa digunakan sebagai pembanding untuk uji aktivitas antioksidan. Metode DPPH dapat digunakan untuk sampel yang berupa padatan maupun cairan (Prakash dkk. 2001). Aktivitas antioksidan dapat dihitung dengan rumus:

% I = x 100 % (3.2) Keterangan :

I = Inhibisi

. = Absorbansi dari kontrol . = Absorbansi sampel

3.5.4 Analisis SEM (Scanning Electron Microscopy)

Sampel yang akan dianalisis dengan SEM (Scanning Electron Microscopy) yaitu berupa biokomposit dengan penambahan pengisi alfa selulosa. Tujuan dilakukan analisis ini adalah untuk melihat morfologi selulosa, dalam matriks.

Pengujian dilakukan dengan melakukan pemotongan sampel dengan ukuran 5 mm x 5 mm, diletakkan di kaca preparasi, selanjutnya di letakkan di bawah lensa pengamatan yang ada di alat uji SEM (Hendri dkk. 2014). Analisis SEM (Scanning Electron Microscope) dilakukan di Laboratorium Fisika, FMIPA, Universitas Negeri Medan.

3.5.5 Uji Densitas Dengan Standar ASTM D792-91, 1991

Adapun prosedur analisis densitas adalah sebagai berikut:

1. Film dipotong dengan ukuran 5 cm x 5 cm dan tebal tertentu, kemudian dihitung volumenya.

2. Kemudian potongan film tersebut ditimbang.

Rapat massa (densitas) dari film dapat ditentukan dengan rumus (Maulida dkk, 2016):

Densitas = (3.3)

Keterangan:

m = massa (gram) v = volume (cm3)

Berikut adalah flowchart densitas ASTM D792-91. 1991:

Dihitung volumenya

Dipotong film dengan ukuran 5 cm x 5 cm dengan tebal tertentu Mulai

Selesai

Dihitung dengan rumus analisa densitas

3.5.6 Uji Kekuatan Tarik (Tensile Strength) Dengan Standar ASTM D 638

Kekuatan tarik adalah salah satu sifat dasar dari bahan produk biokomposit yang terpenting dan sering digunakan untuk karakteristik suatu bahan produk biokomposit. Kekuatan tarik suatu bahan didefenisikan sebagai besarnya beban maksimum (F maks) yang digunakan untuk memutuskan spesimennya bahan dibagi dengan luas penampang awal (Ao).

Produk biokomposit dipilih dan dipotong membentuk spesimen untuk pengujiankekuatan tarik (uji tarik) sesuai dengan standar ASTM D 638.

Pengujian kekuatan tarik dilakukan dengan tensometer terhadap tiap spesimen. Tensometer terlebih dahulu dikondisikan pada beban 100 kgf dengan kecepatan 500 mm/menit, kemudian dijepit kuat dengan penjepit yang ada dialat. Mesin dihidupkan dan spesimen akan tertarik ke atas spesimen diamati sampai putus, dicatat tegangan maksimum dan regangannya (ASTM D 638-00, 2005). Adapun rumusnya adalah sebagai berikut :

σ = (3.4)

Keterangan :

σ =Engineering Stress (N/m2)

Fmaks =Gaya tarik yang diberikan kepada penampang spesimen (N) Ao =Luas penampang mula-mula spesimen sebelum diberikan

pembebanan (m2)

3.5.7 Uji Penyerapan Air Dengan Standar ASTM D570-98, 2005 Adapun prosedur analisis penyerapan air adalah sebagai berikut:

1. Dipotong biokomposit dengan diameter 50,8 mm dan tebal ± 0,18 mm dan ditimbang berat sampel.

2. Masukkan sampel biokomposit ke dalam wadah berisi air distilat denngan temperatur 23±1 oC selama 24 jam Setelah 24 jam, sampel diambil dan dibersihkan dengan menggunakan kain kering. Rumus perhitungan penyerapan air dari sampel adalah sebagai berikut (Maulida dkk, 2016):

Penyerapan Air (%) = x 100% (3.5)

Keterangan:

WO = berat sampel kering W = berat sampel setelah direndam air

Berikut adalah flowchart penyerapan air ASTM 570-98. 2005:

Gambar 3.7 Flowchart Analisis Penyerapan Air

3.5.8 Analisis Sifat Pemanjangan Saat Putus (Elongation at Break )

Elongasi adalah peningkatan panjang material saat diuji dengan beban tarik, dinyatakan dalam satuan panjang, biasanya inci atau millimeter.

Selesai

Sampel plastik dimasukkan ke dalam wadah berisi air distilat dengan temperatur 230C selama 24 jam

Diukur berat sampel awal dengan diameter 50,8mm dan tebal ± 0,18mm Mulai

Dihitung nilai penyerapan air

Sampel diambil, dibersihkan dengan kain kering dan ditimbang sebagai berat sampel akhir

Persen elongasi adalah pemanjangan benda uji yang dinyatakan sebagai persen dari panjangnya. Percent elongation at break adalah persen pemanjangan pada saat putusnya benda uji. Pengukuran dilakukan dengan cara yang sama dengan kekuatan tarik yaitu dilakukan berdasarkan ASTM D882 dengan ketentuan model Universal Testing Machine (UTM) (ASTM D 638-00, 2005). Adapun rumusnya adalah sebagai berikut:

Elongasi (%) = x 100% (3.6)

Keterangan :

∆l = Perubahan panjang (cm) l0 = Panjang awal (cm)

3.5.9 Analisis Laju Transmisi Uap Air (Water Vapour Transmission Rate/

WVTR) Biokomposit

Laju transmisi uap air (WVTR) merupakan transmisi uap air melalui suatu unit luasan bahan yang permukaannya rata dengan ketebalan tertentu, sebagai akibat dari suatu perbedaan unit tekanan uap antara dua permukaan pada kondisi dan suhu tertentu (Suyatma dkk. 2005). Rumus perhitungan laju transmisi uap air / Water Vapor Transmission Rate (ASTM E96, 1995)

WVTR = x 24 (3.7)

Keterangan :

n = Perubahan berat (gram) t = Waktu (jam)

A = Luas permukaan (m2)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 ANALISIS ALFA SELULOSA

4.1 1 Analisis X-Ray Diffraction (XRD) Alfa Selulosa

Penentuan kristalinitas dilakukan dengan metode Difraksi Sinar-X (XRD) berdasarkan pola spektrum difraksi kristal amorf. Karakterisasi XRD digunakan untuk menganalisis kristalinitas dari alfa selulosa yang diperoleh dari serat bambu.

Hasil dari pengujian kristalinitas menggunakan XRD dapat dilihat pada Gambar 4.1 dibawah ini:

Gambar 4.1 Hasil Spektrum XRD Alfa Selulosa dari Serat Bambu

Indeks kristalinitas dari alfa selulosa serat bambu yang dihitung dengan menggunakan metode Segal. Puncak serapan dari spektra yang dihasilkan oleh sampel alfa selulosa dari serat bambu adalah pada 2θ = 20°, 22° dan 28°. Puncak serapan pada 2θ = 20° dan 28° menunjukkan struktur selulosa I, sedangkan

puncak serapan pada 2θ = 22° mengindikasikan bagian kristal dari selulosa II.

Dari puncak serapan tersebut dapat ditentukan indeks kristalinitas pada alfa selulosa. Penentuan indeks kristalinitas dari bahan selulosa dapat dihitung melalui metode Segal, dengan persamaan di bawah ini (Anupama dan Ramanpreet, 2016):

Crl [

] x 100 (1) Dari persamaan diatas digunakan untuk menghitung indeks kristalinitas (crystallinity index), dimana I002 merupakan intensitas maksimum dari difraksi pola 002 yang merupakan representasi dari kedua zona yaitu zona kristal dan zona amorf sedangkan IAM merupakan intensitas dari difraksi dalam unit yang sama pada 2θ = 16° yang merupakan representasi dari zona amorf (Anupama dan Ramanpreet, 2016; Halimatuddahliana dkk. 2017).

Dari hasil perhitungan menggunakan Persamaan 1 (perhitungan dapat dilihat pada Lampiran L2.2) diperoleh indeks kristalinitas dari alfa selulosa serat bambu yaitu sebesar 93,33%, diindikasikan oleh puncak serapan yang tajam (sharp peak) dari spektrum yang dihasilkan pada sampel alfa selulosa serat bambu tersebut.

Kristalinitas yang tinggi menunjukkan bahwa susunan rantai polimer dalam bahan tersusun secara teratur atau bagian kristalinnya lebih sempurna (Lu dan Hsieh, 2010).

Peningkatan kristalinitas ini disebabkan oleh penurunan komposisi serat yang bersifat amorf akibat perlakuan kimiawi. Perlakuan kimiawi diarahkan untuk menghilangkan hemiselulosa, lignin, pektin, yang merupakan komponen serat yang berkontribusi terhadap bagian amorf serat (Morán dkk. 2008). Bagian amorf lebih mudah terhidrolisis dibandingkan dengan bagian kristalin, sehingga perlakuan hidrolisis menyebabkan serat menjadi lebih kristalin (Elanthikkal dkk.

2010.). Alfa selulosa dari serat bambu yang diperoleh memiliki index kristalinitas yang cukup tinggi dimana index kristalinitas dari alfa selulosa biasanya berada dikisaran 55-80% (Elnaz dkk. 2014).

4.1.2 Analisis Fourier Transform Infra Red (FTIR) Alfa Selulosa

Karakterisasi Fourier Transform Infra Red (FTIR) alfa selulosa serat bambu untuk mengidentifikasi gugus fungsi yang ada pada pengisi alfa selulosa dan dibandingkan dengan serat bambu sebagai bahan baku alfa selulosa.

Karakterisasi FTIR dan daerah absorbansi gugus fungsi dari bahan pengisi alfa selulosa dan serat bambu dapat dilihat pada Gambar 4.2 dan Tabel 4.1 di bawah ini:

Gambar 4.2 Spektrum FTIR Bambu (a) Serat Bambu (b) Alfa Selulosa Serat Bambu

Tabel 4.1 Daerah Serapan Infra Merah Serat Bambu dan Alfa Selulosa Serat Bambu

Jenis Ikatan Daerah Serapan (cm-1) Serat Bambu

(cm-1)

Alfa Selulosa Serat Bambu(cm-1)

O-H Stretching 3331 3334

C-H Stretching 2891 2905

C-H Deformation 1602 1641

C=C 1241 1225

C-O 1031 1024

Gambar di atas menunjukkan puncak serapan pada serat bambu dan alfa selulosa. Dalam proses alkalisasi terjadi pengurangan ikatan hidrogen karena penghapusan gugus hidroksil yang bereaksi dengan natrium hidroksida. Hasil proses alkalisasi menunjukkan konsentrasi gugus peregangan -OH.

Frekuensi gelombang 3350 - 3175 cm-1 menunjukkan adanya ikatan OH (Zhbankov, 1966). Seperti terlihat pada serat bambu dengan puncak serapan 3331 cm-1 sedangkan pada alfa selulosa menunjukkan area serapan yang lebih tajam pada 3334 cm-1. Ini menunjukkan bahwa ikatan O-H sedang meregang akibat pengaruh alkalisasi. Alkalisasi mengurangi ikatan hidrogen karena gugus hidroksil bereaksi dengan natrium hidroksida yang menyebabkan peningkatan konsentrasi -OH bila dibandingkan dengan serat bambu (Lojewska dkk. 2005).

Selain itu, frekuensi gelombang dari 3000 - 2850 cm-1 menunjukkan adanya kelompok peregangan CH (Zhbankov, 1966). Serat bambu diperlihatkan di daerah serapan 2891 cm-1 dan di alfa selulosa tampak daerah serapan yang lebih tajam pada 2905 cm-1. Puncak serapan menunjukkan peregangan gugus alifatik C-H di mana hemiselulosa residual dari proses delignifikasi dan perubahan struktural ikatan C-H menyebabkan puncak bergeser ke arah maksimum (Zhbankov, 1966).

Konsentrasi ikatan deformasi -CH2 ditunjukkan pada serat bambu dengan area serapan 1602 cm-1. Sedangkan alfa selulosa terlihat lebih tajam dengan area serapan 1641 cm-1. Ini menunjukkan area kristal, di mana area penyerapan akan meningkat seiring dengan proses pemurnian (Alves dkk. 2015).

Ikatan rangkap C = C senyawa aromatik terbukti memiliki puncak pada susunan yang rentan 1200-1300 cm-1. Penyerapan area 1241cm-1 dalam serat bambu terlihat lebih tajam dibandingkan dengan alfa selulosa di area penyerapan 1225 cm-1. Pada kelompok aromatik C = C, dapat dilihat bahwa lignin masih ada, yang berarti bahwa perlakuan alkali belum sepenuhnya menghilangkan lignin tetapi hanya mengurangi tingkat lignin (Hongchang, 2015).

Pada gambar di atas juga dapat dilihat bahwa ada konsentrasi gugus C-O di daerah serapan antara 1000-1200 cm-1. Dalam serat bambu, dapat dilihat bahwa puncak serapan tampak lebih tajam pada 1031cm-1, sedangkan pada alfa selulosa memiliki puncak serapan pada 1024cm-1. Kedua sampel diperkirakan berasal dari getaran kelompok cincin pyronose pada unit selulosa 1035-1170cm-1 yang mengacu pada cincin pyronose dimana puncak penyerapan menunjukkan pengayaan serat selulosa dan dapat dibuktikan bahwa penyerapan puncak tajam dari gugus CO yang terkandung dalam alfa selulosa lebih lanjut menunjukkan adanya cincin pirona yang merupakan kelompok tipikal yang hanya dimiliki oleh unit selulosa dan tidak dimiliki oleh komponen lignin dan hemiselulosa (Peng dkk. 2011 ).

4.2 ANALISIS AKTIVITAS ANTIOKSIDAN DAUN KERSEN

Biopolimer merupakan salah satu alternatif bahan polimer yang ramah lingkungan. Salah satu alternatif bahan utama biopolimer yang ramah lingkungan

dan ekonomis berupa pati sagu. Ditambahkannya ekstrak daun kersen sebagai antioksidan sehingga dihasilkan biokomposit yang memiliki umur simpan lebih lama. Penambahan antioksidan yang tepat diharapkan mampu mengisi ruang antar molekul pada stuktur polimer. Sehingga dapat meningkatkan kerapatan antar ruang molekul dan biokomposit yang dihasilkan lebih elastis. Pengujian aktivitas antioksidan dilakukan untuk mengetahui nilai IC50 dari sampel. Nilai inhibisi (%I) diperoleh sebesar 61,96%. Dari hasil pengujian, ekstrak daun kersen memiliki nilai IC50 sebesar 6,2 ppm. Nilai IC50 dari ekstrak daun kersen tergolong memiliki aktivitas antioksidan yang baik.

4.3 ANALISIS BIOKOMPOSIT

4.3.1 Analisis Scanning Electron Microscope (SEM)

Karakterisasi morfologi alfa selulosa dari serat bambu dengan SEM bertujuan untuk mengetahui morfologi dari biokomposit dengan alfa selulosa dan antioksidan yang disajikan pada Gambar 4.3 dibawah ini:

Gambar 4.3 (a) Analisis SEM pada Pengisi 1% dan Antioksidan 3% dan (b) Analisis SEM pada Pengisi 5% dan Antioksidan 3%.

Analisis Scanning Electron Microscopy (SEM) pada Gambar 4.3 (a) untuk hasil analisa SEM biokomposit pati sagu dengan penambahan pengisi 1% alfa

selulosa dan antioksidan 3% ekstrak daun kersen, dimana untuk jumlah/

komposisi pengisi alfa selulosa dan antioksidan ekstrak daun kersen masih sedikit sehingga biokomposit masih didominasi oleh matriks pati sagu. Hal ini dapat

komposisi pengisi alfa selulosa dan antioksidan ekstrak daun kersen masih sedikit sehingga biokomposit masih didominasi oleh matriks pati sagu. Hal ini dapat