• Tidak ada hasil yang ditemukan

AnALIsIs DAn PeMBAHAsAn oLeH MAnAJeMen

Analisis dan pembahasan ini disusun berdasarkan laporan keuangan konsolidasian Perseroan dan Anak Perusahaan untuk periode 6 (enam) bulan yang berakhir pada tanggal 30 Juni 2010 dan untuk tahun yang berakhir pada tanggal 31 Desember 2009, 2008 dan 2007 yang telah diaudit oleh Kantor Akuntan Publik Tanudiredja, Wibisana & Rekan (a member irm of PricewaterhouseCoopers) dengan Pendapat Wajar Tanpa Pengecualian dengan Paragraf Penjelasan.

1. Umum

Perseroan berkedudukan di Jakarta Selatan dan didirikan dengan nama PT Borneo Lumbung Energi sebagaimana termaktub dalam Akta Perseroan Terbatas “PT Borneo Lumbung Energi” No. 109 tanggal 15 Maret 2006 juncto Akta Pernyataan Perubahan Anggaran Dasar “PT Borneo Lumbung Energi” No. 225 tanggal 28 Maret 2006, keduanya dibuat di hadapan Sutjipto, S.H., Notaris di Jakarta dan telah memperoleh persetujuan Menteri Hukum sesuai dengan Surat Keputusan No. C–09502 HT.01.01. TH.2006 tanggal 3 April 2006 serta telah didaftarkan di Kantor Pendaftaran Perusahaan Kodya Jakarta Selatan di bawah No. 1016/BH.09.03/V/2006 tanggal 1 Mei 2006 serta telah diumumkan dalam Tambahan No. 11258 Berita Negara Republik Indonesia No. 55 tanggal 8 Juli 2008.

Anggaran Dasar Perseroan yang terakhir adalah sebagaimana yang termaktub dalam Akta Pernyataan Keputusan di Luar Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa PT Borneo Lumbung Energi No. 28 tanggal 25 Agustus 2010, yang dibuat di hadapan Fathiah Helmi, S.H., Notaris di Jakarta telah memperoleh persetujuan Menteri Hukum sesuai dengan Surat Keputusan No. AHU-43248.AH.01.02.Tahun 2010 tanggal 2 September 2010 serta telah didaftarkan dalam Daftar Perseroan di bawah No. AHU-0066035. AH.01.09.Tahun 2010 tanggal 2 September 2010, yang mengubah seluruh ketentuan Anggaran Dasar Perseroan dalam rangka untuk disesuaikan dengan Peraturan Bapepam dan LK No. IX.J.1 tentang Pokok-pokok Anggaran Dasar Perseroan Yang Melakukan Penawaran Umum Efek Bersifat Ekuitas dan Perusahaan Publik – Lampiran Keputusan Ketua Bapepam dan LK No. Kep-179/BL/2008 tanggal 14 Mei 2008termasuk perubahan nama Perseroan menjadi PT Borneo Lumbung Energi & Metal Tbk. Perseroan, melalui anak perusahaannya, AKT saat ini merupakan satu-satunya perusahaan penambangan

hard coking coal di Indonesia. Kegiatan operasi Perseroan berlokasi Kalimantan Tengah, Indonesia dan berfokus pada aktivitas eksplorasi, penambangan terbuka (open cut), pemrosesan dan ekspor hard coking coal berkualitas premium yang dipasarkan dengan nama Tuhup Coal kepada pelanggan di Cina, India, Jepang dan Korea Selatan. Anak perusahaan Perseroan lainnya, BMS, memiliki peralatan pertambangan yang disewakan kepada AKT.

sejarah singkat

Perseroan adalah perusahaan pertambangan terintegrasi dimana seluruh kegiatan usaha pertambangan dilakukan oleh Anak Perusahaan.

Pada tanggal 3 Oktober 2007, Perseroan menandatangani perjanjian pembelian saham untuk mengakuisisi 99% kepemilikan saham di AKT dari Transasia Mineral Ltd. dan Bondline Ltd dan Perseroan mulai mengkonsolidasikan Laporan Keuangan AKT sejak 1 Januari 2008. Pada tanggal 30 Mei 2008, Perseroan melakukan pembayaran cicilan perdana dan secara sah menguasai 30% kepemilikan saham di AKT. Pada tanggal 20 Desember 2009, Perseroan mengakuisisi tambahan 69% kepemilikan saham di AKT, sehingga kepemilikan saham Perseroan menjadi 99%.

Pada tanggal 14 Mei 2008, Perseroan mengakuisisi 99,99% kepemilikan saham di BMS dari MKA, entitas sepengendalian Perseroan. Perseroan mencatat transaksi tersebut dengan metode pooling of interest sebagaimana disyaratkan dalam PSAK No. 38 (Revisi 2004) “Akuntansi Restrukturisasi Entitas Sepengendali”

Permintaan dan Pasokan Batubara dan Harga Batubara global dan regional

Coking coal merupakan komoditas yang diperjualbelikan secara internasional di pasar yang kompetitif. Pada jangka panjang, tren harga batubara yang diperjualbelikan secara internasional di pasar global cenderung berubah-ubah (cyclical) dan berluktuasi. Harga batubara secara global terutama dipengaruhi oleh dinamika permintaan dan pasokan batubara secara keseluruhan. Peningkatan atau surplus atas persediaan batubara dapat menurunkan harga batubara secara global.

Sedangkan harga yang tinggi dapat mendorong para produser batubara untuk meningkatkan kapasitas produksinya. Permintaan atas batubara ditentukan oleh sejumlah faktor yang tidak dapat dikontrol Perseroan, termasuk permintaan global atas baja dan produk-produk berbahan baja, ketersediaan hard coking coal yang kompetitif, pergerakan mata uang internasional, kondisi ekonomi dan politik internasional, kondisi cuaca dan iklim, dan biaya produksi pada daerah-daerah yang memproduksi batubara.

Berdasarkan AME, net impor dari Republik Rakyat Cina (Cina) atas batubara metalurgi meningkat dari 11,2 juta ton pada tahun 2008 menjadi 30,2 ton pada tahun 2009, dengan adanya pertumbuhan lebih lanjut pada tahun 2010 dan 2011. Selama periode enam bulan yang berakhir pada tanggal 30 Juni 2010, sejumlah 55,5% dari total penjualan batubara Perseroan berasal dari pelanggan yang berasal dari negara Cina yang merupakan pasar utama bagi produk Perseroan. Pada tanggal 25 Juni 2010, Komisi Nasional terkait Pembangunan dan Reformasi di Cina mengumumkan adanya pengontrolan harga batubara untuk menjaga kestabilan harga dan memerintahkan kepada perusahaan-perusahaan agar tidak menaikkan harga spot dan harga kontrak batubara diatas level pada saat itu. Dengan harga rata-rata hard coking coal sekitar USD225 per ton yang lebih tinggi dari harga rata-rata historis, Perseroan berkeyakinan bahwa hal tersebut tidak akan memiliki dampak langsung terhadap Perseroan. Selain itu, Pemerintah Cina juga secara tidak langsung mempengaruhi harga batubara dengan mengontrol alokasi dari kapasitas transportasi dari jalur kereta api nasional. Perubahan yang signiikan terkait dengan pergerakan harga batubara di Cina sebagai akibat dari kebijakan yang dilakukan Pemerintah Cina tersebut maupun kebijakan lainnya dapat mempengaruhi kegiatan operasional Perseroan.

Permintaan atas batubara sangat berpengaruh pada harga pasar batubara secara global dan kenaikan permintaan dapat dilihat dari kenaikan harga kontrak premiumhard coking coal (secara free on board

(FOB), berdasarkan data AME, dari USD100 per ton pada bulan Juni 2006 menjadi USD450 per ton pada bulan Juli 2008 dan mencapai lebih dari USD250 pada bulan Juni 2010. Tidak seperti halnya komoditas lain, harga batubara tidak memiliki satu referensi yang digunakan secara global, melainkan terbagi secara geograis dan tipe batubara itu sendiri. Fluktuasi yang terjadi pada harga batubara memiliki pengaruh yang signiikan terhadap Perseroan, mengingat Perseroan menjual batubara pada harga spot dan pada saat ini tidak memiliki kontrak jangka panjang penjualan batubara. Pada 6 (enam) bulan yang berakhir 30 Juni 2010, seluruh pendapatan diperoleh dari penjualan batubara pada harga spot.

Produksi Batubara dan Peningkatan Kapasitas Produksi

Pendapatan Perseroan merupakan fungsi dari volume dan harga hard coking coal yang diproduksi dan dijual. Volume produksi batubara tergantung pada perencanaan yang dilakukan oleh manajemen dan manajemen logistik Perseroan dalam menambang batubara dan mengangkutnya dari area konsesi ke pelabuhan di Muara Tuhup, dan juga ke lokasi bongkar muat di Taboneo.

Selama 3 bulan terakhir di tahun 2009 dan enam bulan yang berakhir pada tanggal 30 Juni 2010, Perseroan masing-masing memproduksi 445.999 ton dan 752.107 ton, dan menjual 131.359 ton dan 617.604 ton batubara hard coking coal, dimana perbedaan antara volume produksi dan penjualan batubara mengakibatkan perubahan pada level persediaan. Secara umum, kondisi cuaca yang buruk pada musim hujan, yang terjadi pada kuartal pertama dan keempat setiap tahunnya, memberikan dampak negatif terhadap operasional penambangan batubara Perseroan. Oleh karena itu, Perseroan biasanya memproduksi batubara lebih banyak pada musim kemarau untuk mengimbangi produksi yang menurun pada musim hujan. Volume produksi dan penjualan Perseroan juga dipengaruhi oleh kapasitas produksi yang dimiliki Perseroan, jumlah permintaan di pasar, ketersediaan kapal, dan kinerja dari kontraktor.

Perseroan merencanakan penambangan untuk 1 (satu) tahun kedepan pada area konsesi yang secara periodik dianalisa dan diperbarui dengan mempertimbangkan permintaan pada saat itu dan di masa depan, penjualan dari produk-produk batubara, khususnya hard coking coal, serta volume dan kualitas dari persediaan batubara Perseroan. Perseroan berencana untuk meningkatkan kapasitas produksi terpasang batubara kotor per tahunnya menjadi 3,6 mtpa pada akhir tahun 2010 dan 5,0 mtpa pada akhir tahun 2011. Perseroan juga berencana untuk memulai pengembangan Blok Telakon pada tahun 2011 yang berpotensi meningkatkan proil produksi Perseroan secara signiikan. Rencana peningkatan kapasitas akan mampu meningkatkan pendapatan, beban pokok penjualan dan biaya operasional secara signiikan.

Beban Pokok Penjualan

Salah satu faktor yang juga dapat mempengaruhi laba Perseroan di masa depan adalah biaya produksi. Beban pokok penjualan Perseroan terdiri dari biaya pengupasan tanah (overburden removal), crushing, hauling, bahan peledak, bahan bakar, penyusutan peralatan, dan amortisasi pengeluaran eksplorasi yang ditangguhkan. Biaya produksi tunai (production cash cost) Perseroan per ton pada tahun 2009 dan pada 6 (enam) bulan yang berakhir pada 30 Juni 2010 masing-masing adalah sebesar USD60,6 dan USD57,5. Hal-hal penting yang mempengaruhi biaya produksi Perseroan adalah eisiensi proses produksi, kinerja peralatan tambang yang berdampak pada variasi dari volume produksi, biaya bahan bakar minyak dan tenaga kerja.

Pada tahun 2009 dan pada 6 (bulan) yang berakhir 30 Juni 2010, biaya bahan bakar masing-masing memberikan kontribusi 20,2% dan 7,2% dari beban pokok penjualan Perseroan, sehingga biaya tersebut termasuk salah satu elemen utama dalam kinerja operasional Perseroan. Setiap kenaikan pada harga bahan bakar akan mengakibatkan kenaikan pada biaya bahan bakar minyak yang digunakan dalam memproses batubara, biaya pengangkutan (hauling) dan juga biaya yang pengapalan batubara. Kenaikan yang signiikan pada harga bahan bakar minyak akan meningkatkan biaya produksi dan biaya pengapalan di masa depan. Seiring dengan rencana meningkatkan produksi, Perseroan memperkirakan keperluan dan biaya bahan bakar minyak, akan meningkat secara proporsional. Pada saat Prospektus diterbitkan, Perseroan tidak dan belum pernah melakukan hedging atas risiko terhadap luktuasi harga bahan bakar, namun Perseroan mungkin saja mempertimbangkan untuk melakukan hedging di masa depan. Sejak akhir tahun 2003 sampai 2008, karena kekurangan pasokan baja dan karet (digunakan untuk ban) di dunia, harga untuk peralatan pertambangan, mesin dan suku cadangnya, dan pembayaran sewa untuk operasi dan sewa pembiayaan untuk peralatan dan mesin mengalami peningkatan. Saat ini, tidak ada kelangkaan baja atau karet di pasar global dan harga peralatan pertambangan, mesin dan suku cadang terkait masih stabil. Jika pertumbuhan global di masa akan datang menyebabkan kelangkaan baja, karet atau komoditas lain yang diperlukan untuk operasi Perseroan, biaya penggantian atau penambahan peralatan dan mesin untuk operasi dan biaya suku cadang dapat meningkat, sehingga meningkatkan beban pokok penjualan Perseroan. Bahan peledak, terutama yang terbuat dari ammonium nitrat, juga merupakan bahan utama dalam operasi penambangan dan berkontribusi untuk beban pokok penjualan Perseroan. Seiring dengan rencana Perseroan untuk memperluas operasi penambangan di Kohong dan nantinya di Telakon, Perseroan memperkirakan total beban pokok penjualan akan terus meningkat.

Biaya Penalti Terkait Keterlambatan Pengapalan (Demurrage Costs)

Dalam perjanjian penyediaan batubara, biasanya tertera suatu ketentuan dimana Perseroan dikenakan penalti apabila terjadi keterlambatan dalam bongkar muat batubara kedalam kapal. Pada umumnya, Perseroan mempertahankan persediaan yang mencukupi. Namun, apabila terjadi gangguan transportasi yang diakibatkan cuaca yang buruk, gangguan distribusi, perselisihan tenaga kerja atau kejadian lain yang dapat membatasi Perseroan dalam mengirimkan batubara kepada pelanggan, terdapat risiko dimana persediaan tidak dapat mencukupi dalam memenuhi jumlah minimum batubara yang harus dikirimkan. Selain itu, keterlambatan dalam memuat batubara kedalam kapal juga dapat terjadi apabila terdapat beberapa kapal milik pelanggan Perseroan yang berlabuh pada saat yang bersamaan. Situasi tersebut dapat mengakibatkan timbulnya biaya keterlambatan pengapalan (demurrage cost) yang diklaim oleh pemilik kapal sehingga menambah biaya operasional Perseroan. Pada periode enam bulan yang berakhir 30 Juni 2010, demurrage cost memberikan kontribusi 8,7% dari biaya lain-lain Perseroan. Tingginya demurrage cost pada masa awal operasi komersial disebabkan Perseroan masih dalam tahap

percobaan pengapalan produksi batubaranya dan belum memiliki sarana conveyor belt dan akses ke ISP, dimana memberikan leksibilitas untuk stockpile batubara atau pemuatan ke kapal tongkang yang akan menurunkan waktu bongkar muat batubara.

Saat ini, Perseroan telah memiliki conveyor belt berkapasitas 2.400 ton/jam dan memiliki kontrak dengan 2 (dua) operator ISP di Teluk Timbau di sekitar sungai Barito yang memberikan akses kepada ISP untuk meningkatkan persediaan batubara cadangan, untuk dapat memenuhi permintaan pelanggan dengan tepat waktu dan secara kontiniu sepanjang tahun. Pada bulan April 2010, Perseroan menyewa tambahan 5 unit tongkang berkapasitas 8.000 ton dan pada bulan Desember 2009, Perseroan menambah jumlah armada tongkang dari 10 unit menjadi 35 unit, sehingga dapat melayani beberapa kapal yang datang secara bersamaan. Oleh karena itu, Perseroan memperkirakan demurrage cost akan berkurang di masa depan.

Pembayaran royalti kepada Pemerintah Indonesia

Sesuai dengan PKP2B, Pemerintah Indonesia melalui Kementerian ESDM, memiliki hak atas 13,5% dari jumlah batubara yang diproduksi oleh Perseroan dan tersedia untuk dijual setiap tahunnya. Pada bulan September 1996, Pemerintah Indonesia mengeluarkan Keputusan Presiden yang mewajibkan pembayaran royalti secara tunai kepada Kementerian ESDM untuk mengganti kewajiban memberikan batubara. Sesuai dengan Keputusan tersebut dan PKP2B, sejak dimulai operasi pada akhir bulan September 2009, Perseroan telah membayar royalti kepada Kementerian ESDM yang besarnya setara dengan 13,5% nilai penjualan dari produksi batubara setiap tahunnya.

Dalam laporan keuangan konsolidasian Perseroan, pembayaran tunai kepada Kementerian ESDM dicatat dalam beban pokok penjualan sebagai royalti kepada Pemerintah. Sejak dimulainya produksi komersial pada bulan September 2009, Perseroan telah memperhitungkan royalti kepada pemerintah sebesar 13,5% dari FOB faktur harga untuk penjualan batubara di titik bongkar muat terakhir di area konsesi. Oleh karena itu, royalti yang dibayarkan AKT kepada Pemerintah Indonesia bervariasi berdasarkan volume penjualan dan harga penjualan batubara yang ditetapkan.

Walaupun Perseroan telah membayar royalti untuk batubara yang diproduksi pada saat masa kegiatan produksi percobaan yang berakhir pada 15 September 2009, namun Perseroan belum melakukan pembayaran royalti kepada Pemerintah sejak kegiatan komersial Perseroan dimulai pada bulan September 2009. Pada tanggal 30 Juni 2010, Perseroan memiliki hutang royalti sebesar USD17 juta kepada Pemerintah, tanpa memperhitungkan kemungkinan adanya penalti atas keterlambatan pembayaran, yaitu sebesar bunga New York Prime rate, ditambah 4%, dari jumlah royalti yang harus dibayarkan pada saat jatuh tempo. Perseroan memutuskan untuk tidak melakukan pembayaran royalti tersebut mengingat Perseroan sempat memiliki keterbatasan arus kas pada saat awal kegiatan operasional sehingga keseluruhan dana yang ada pada saat itu digunakan untuk mendanai ekspansi Perseroan. Dalam PKP2B, Pemerintah memiliki hak untuk meminta pembayaran royalti, dan apabila dalam 30 hari setelah pemberitahuan permintaan pembayaran royalti tersebut Perseroan tidak melakukan pembayaran royalti, Pemerintah memiliki hak untuk melakukan tindakan yang dapat berujung pada arbitrase. Perseroan berencana untuk melakukan pembayaran atas seluruh hutang royalti kepada Pemerintah.

Tren rasio Pengupasan (Strip Ratio) pada Pertambangan

Biaya produksi batubara dipengaruhi oleh rasio pengupasan (strip ratio) yang dihadapi saat menambang batubara dari pit lokasi tambang. Rasio pengupasan (strip ratio) merupakan volume dari overburden (meter kubik) yang harus dikupas/diangkat untuk memperoleh 1 (satu) ton batubara. Semakin tinggi strip ratio

berarti semakin tinggi pula volume overburden yang harus dikupas untuk memperoleh batubara sehingga mengakibatkan kenaikan pada biaya produksi. Untuk setiap area baru yang ditambang, nilai strip ratio

bergantung pada karakteristik geologis dari lapisan tanah. Pada tanggal 31 Desember 2009 dan untuk periode enam bulan yang berakhir pada tanggal 30 Juni 2010, rata-rata strip ratio pada pertambangan milik Perseroan adalah masing-masing sebesar 15,08 BCM per ton dan 12,85 BCM per ton. Penurunan yang terjadi pada strip ratio pada kedua periode tersebut disebabkan oleh meningkatnya perolehan batubara di lokasi tambang yang memiliki strip ratio yang rendah. Untuk meminimalisasi biaya yang harus dibayarkan tunai secara pada masa awal operasi, Perseroan memutuskan untuk memfokuskan sumber

untuk mengeksploitasi area-area dengan strip ratio yang lebih rendah. Rata-rata strip ratio Perseroan sejak dimulainya operasi sampai dengan 30 Juni 2010 adalah sebesar 14,4 BCM per ton. Kenaikan pada

strip ratio di masa datang akan terjadi dan akan berakibat meningkatnya biaya produksi. Rata-rata strip ratio umur tambang yang terdapat di tambang Perseroan 17 BCM per ton.

Komisi Pemasaran

AKT telah menunjuk Glencore, sebagai agen eksklusif untuk melakukan jasa pemasaran dan penjualan Tuhup Coal, berskala internasional, dengan pengecualian: (i) penjualan yang dilakukan kepada atau melalui Sumitomo; (ii) penjualan dimana Glencore bertindak sebagai pembeli; dan (iii) setiap perjanjian

offtake yang disepakati antara Perseroan dan AKT. Sesuai dengan perjanjian pemasaran yang dilakukan dengan Glencore, Perseroan akan membayar komisi sebesar 4,5% dari nilai penjualan batubara (dengan asumsi FOB pada dermaga pengangkutan di Indonesia) dan, apabila memungkinkan, penjualan yang tidak digolongkan sebagai FOB, namun tidak termasuk asuransi, transportasi, pengangkutan dan biaya serupa. Pada tahun 2009 dan periode enam bulan yang berakhir pada tanggal 30 Juni 2010, seluruh penjualan Perseroan dilakukan lewat agen pemasaran internasional, Glencore, dan Perseroan berencana mengantisipasi ketergantungannya pada Glencore untuk memasarkan batubaranya di masa datang.

Fluktuasi nilai Mata Uang Asing

Seluruh pendapatan dari penjualan batubara dan sebagian besar dari hutang dan biaya produksi Perseroan dilakukan dalam mata uang USD, sedangkan Perseroan menggunakan mata uang Rupiah dalam pelaporan keuangannya. Walaupun Perseroan tidak dihadapi risiko transaksi mata uang asing mengingat model bisnis memungkinkan terjadinya natural hedging, Perseroan tetap dihadapi risiko translasi nilai mata uang yang diakibatkan oleh luktuasi nilai Rupiah terhadap USD dan mata uang lain dimana Perseroan melakukan kegiatan usaha.

Kondisi Perekonomian global

Industri keuangan dan pasar kredit terus dihadapi oleh volatilitas yang terjadi akibat dari kebangkrutan, kegagalan, dan penjualan berbagai institusi keuangan, volatilitas yang meningkat pada harga-harga efek, likuiditas dan ketersediaan kredit yang semakin mengetat, dan berbagai intervensi yang dilakukan oleh Pemerintah Amerika Serikat dan Pemerintah lainnya. Kekhawatiran akan pengaruh sistemik atau resesi yang meluas dan panjang, biaya energi, masalah geopolitik, ketersediaan dan biaya kredit, pasar real estate (residensial dan komersil) dan pasar mortgage yang terkait, dan kepercayaan pelanggan yang menurun turut menyumbang kondisi volatilitas pasar dan menurunnya ekspektasi atas ekonomi pada negara-negara maju dan berkembang.

Kebijakan Pemerintah dan Perubahan Peraturan

Walaupun secara umum kebijakan Pemerintah Indonesia terhadap industri pertambangan batubara pada saat ini berorientasi pasar, Pemerintah Indonesia dapat mengeluarkan kebijakan atau membuat peraturan baru yang dapat mempengaruhi kinerja operasional Perseroan.

Sejak tanggal 12 Januari 2009, Pemerintah Indonesia mengeluarkan UU Pertambangan yang menggantikan sistem PKP2B sebelumnya. Menurut UU Pertambangan, seluruh PKP2B yang ada saat ini harus diubah sehingga Pemerintah Indonesia dan perusahaan-perusahaan pertambangan saat ini tengah melakukan negosiasi atas persyaratan pada amandemen kontrak karya penambangan batubara. Sesuai dengan UU Pertambangan, Pemerintah diharuskan menerbitkan beberapa peraturan pelaksanaan, namun masih ada peraturan pelaksanaan yang belum diterbitkan.

Pada tahun 2009, Pemerintah Indonesia mengundangkan Undang-Undang Lingkungan. Namun demikian, terdapat sejumlah hal permasalahan terkait peraturan yang lebih rinci yang mengatur izin lingkungan, jaminan kelestarian lingkungan dan analisis risiko lingkungan masih perlu diatur lebih lanjut. Perubahan dari undang undang dan kebijakan Pemerintah Indonesia (termasuk Kebijakan Pemerintah Daerah) yang mempengaruhi kemampuan Perseroan untuk melaksanakan kegiatan usahanya dapat berakibat merugikan kegiatan usaha Perseroan, keadaan keuangan dan hasil usaha Perseroan.

2. Kebijakan Akuntansi Penting

Diskusi dan analisis atas kondisi keuangan dan kinerja operasional Perseroan dilakukan berdasarkan Laporan Keuangan Konsolidasian Perseroan yang telah disusun sesuai dengan Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan yang berlaku di Indonesia. Dalam menyusun Laporan Keuangan tersebut, manajemen Perseroan telah melakukan estimasi dan membuat sejumlah asumsi yang mempengaruhi nilai yang tercantum pada Laporan Keuangan Konsolidasian Perseroan. Perseroan meyakini bahwa kebijakan akuntansi yang dijelaskan di bawah ini merupakan kebijakan yang dinilai penting untuk mereleksikan kondisi keuangan dan kinerja operasional Perseroan, antara lain:

a. Persediaan

Persediaan batubara dinilai berdasarkan nilai terendah antara harga perolehan atau nilai realisasi bersih. Harga perolehan ditentukan dengan metode rata-rata tertimbang (weighted average) atas biaya yang terjadi selama periode berjalan dan mencakup alokasi bagian biaya overhead tetap dan variabel tidak langsung. Nilai realisasi bersih adalah estimasi harga penjualan dalam kegiatan usaha normal dikurangi biaya penyelesaian dan penjualan.

Persediaan habis pakai (consumable) dinilai pada harga perolehan, ditentukan berdasarkan metode masuk pertama keluar pertama (irst-in irst-out), dikurangi dengan penyisihan untuk persediaan usang. Penyisihan untuk persediaan usang dan bergerak lambat ditentukan berdasarkan estimasi penggunaan atau penjualan masing-masing jenis persediaan pada masa mendatang. Bahan pendukung pemeliharaan dicatat sebagai beban produksi pada periode digunakan.

b. Aset Tetap dan Penyusutan

Aset tetap diakui sebesar harga perolehan dikurangi akumulasi penyusutan.

Aset tetap disusutkan menggunakan metode garis lurus selama yang lebih pendek antara estimasi umur aset atau umur tambang atau sisa umur PKP2B:

Aset Tetap Tahun

Infrastruktur 10 – 30

Peralatan komunikasi 4

Komputer 4

Peralatan dan perlengkapan kantor 4

Kendaraan 4 – 8

Alat berat 4 – 8

Gedung 5 – 20

Masa manfaat dan nilai sisa aset ditelaah dan disesuaikan secara memadai setiap tanggal neraca. Perubahan yang terjadi diakui dalam laporan laba/(rugi) konsolidasian secara prospektif.

Biaya yang terjadi setelah tanggal transaksi dimasukkan ke dalam nilai tercatat aset atau diakui sebagai aset yang terpisah, hanya jika manfaat dari aset tersebut dimasa mendatang akan didapatkan oleh Perseroan dan Anak Perusahaan dan biaya dari aset tersebut dapat diukur secara memadai. Nilai tercatat