• Tidak ada hasil yang ditemukan

KAJIAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI

C. Analisis Struktur

1. Sastra Kitab

Sastra kitab merupakan karya-karya keagamaan yang berbentuk kitab yang dimasukkan ke dalam kesusastraan Melayu. Sastra kitab berbeda dengan karya-karya sastra pada umumnya yang mengandung unsure imajinasi atau rekaan. Kandungan isi

commit to user 27

sastra kitab bersifat ilmiah, logis dan tidak mengandung imajinasi atau rekaan yang bersifat fiktif melainkan ajaran agama yang jelas sumbernya, seperti Alquran dan hadis Nabi serta diyakini sebagai sebuah kebenaran oleh pemeluknya.

Kajian terhadap sastra yang dipengaruhi ajaran Islam, R. Roollvink berpendapat bahwa, untuk sementara waktu, kaidah yang paling baik untuk mengkaji sastra yang dihasilkan di bawah pengaruh islam itu adalah membaginya ke dalam beberapa jenis atau kategori. Lima jenis sastra zaman Islam antara lain: cerita Alquran, cerita Nabi Muhammad, cerita sahabat Nabi Muhammad, cerita pahlawan Islam dan sastra kitab (dalam Liaw Yock Fang, 1991:204).

Siti Chamamah Soeratno berpendapat bahwa “sastra kitab” adalah sastra yang mengemukakan ajaran Islam yang bersumber pada ilmu fikih, tasawuf, ilmu kalam, dan tarikh serta riwayat tokoh-tokoh historis (Siti Chamamah Soeratno, 1982:149). Dalam bukunya “Memahami Karya-karya Nurudin Ar Raniri, Siti Chamamah Soeratno berpendapat bahwa sastra kitab atau kesusastraan kitab di Indonesia merupakan corak yang khusus, yang tersebar luas bersama penyebaran Islam, tidak hanya di Melayu dan dalam sastra Melayu saja melainkan di daerah-daerah Indonesia lain juga, misalnya Jawa dengan sastra Jawa yang oleh pegaud disebut atau digolongkan pada sastra keagamaan Jawa, antara lain meliputi teks-teks yang berhubungan dengan Islam, mistik, kumpulan doa-doa dan mantera-mantera yang berhubungan dengan Islam, risalah-risalah Jawa tentang teologi Islam, dan buku.-buku didaktis serta pendidikan Jawa yang berhubungan dengan etika Islam (Siti Chamamah Soeratno, 1982:150-151).

commit to user 28

Berdasarkan pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa sastra kitab adalah suatu jenis karya sastra yang mengemukakan ajaran Islam, mengemukakan ajaran yang bersumber dari ilmu tasawuf, ilmu fikih, ilmu kalam dan kitab-kitab lain dalam agama Islam. Teks RM dapat dimasukkan ke dalam sastra kitab karena kandungan isi teks tersebut memuat ajaran Islam khususnya ilmu tasawuf.

2. Struktur Sastra Kitab

Suatu karya sastra merupakan suatu kesatuan yang utuh. Ada beberapa unsur pembangun yang terstruktur hingga menjadi suatu karya sastra yang dapat dinikmati. Sastra kitab memiliki struktur berbeda dengan karya sastra pada umumnya. Sulastin Sutrisno (Sulastin Sutrisno, 1981:36) dalam menyikapi struktur sebuah karya sastra menyatakan bahwa setiap karya sastra merupakan satu kesatuan yang didukung oleh bagian-bagianya guna membawakan suatu kesan.

Sastra kitab sebagai salah satu ragam sastra Islam mempunyai struktur yang berbeda dengan karya sastra Islam lainnya. Selanjutnya Chamamah (1982:152) juga berpendapat bahwa struktur narasi sastra kitab adalah struktu penyajian teks, sama halnya dengan struktur penceritaan dalam sastra fiksi yang berupa plot atau alur. Struktur sastra kitab terbagi dalam empat hal yaitu:

(1). Struktur Penceritaan

Struktur penceritaan sastra kitab pada umumnya dibagi dalam tiga hal yaitu bagian pendahuluan, isi, dan penutup. Adapun rinciannya sebagai berikut.

commit to user 29 a). Pendahuluan

Pendahuluan dalam sastra kitab siasanya dimulai dengan bacaan Bismillah, dilanjutkan dengan pujian dan salawat kepada Nabi Muhammad saw serta doa kepada para sahabat dan keluarga Nabi Muhammad saw, motivasi penulis dan judul

b). Isi

Isi biasanya berupa uraian panjang atau penjelasan mengenai masalah yang menjadi topik dalam naskah tersebut.

c). Penutup

Bagian penutup atau bagian akhir ini biasanya berupa doa kepada Allah SWT, salawat Nabi dan doa kepada keluarga dan para sahabat Nabi Muhammad hanya saja pada bagian ini ditutup dengan kata tamat atau kata penutup sejenis seperti Wa` l-lhu alam (Siti Chamamah Soeratno, 1982:153)

(2). Gaya Pengisahan

Gaya pengisahan dalam sastra kitab dimulai dengan pembukaan. Siti Chamamah Soeratno (1982:160) mengungkapkan bahwa gaya pengisahan di sini adalah cara pandang yang khusus dalam penyampaianya ceritanya, pikiran, serta pendapat-pendapatnya. Setiap karya sastra mempunyai gaya sendiri yang membedakanya dengan gaya tulisan orang lain dengan mengetahui gaya pengisahannya, maka orang akan mudah mengetahui uraian karya sastranya.

commit to user 30 (3). Pusat Pengisahan

Sebuah cerita, ajaran disampaikan oleh pencerita atau pembawa ajaran. Orang yang menyampaikan cerita atau ajaran tersebut menjadi pusat atau titik pandang cerita yang menyampaikan cerita atau ajaran kepada orang lain. Atau istilah lainnya Point of viuw (Siti Chamamah Soeratno, 1982:172). Rene Wellek (1976:222, dalam Siti Chamamah Soeratno, et.al. 1982:172), menjabarkan bahwa pendapat dapat dituturkan oleh diri si tokoh sendiri sebagai penyampai pikiran atau pendapatnya sendiri, dapat pula disampaikan oleh orang lain. Pengarang dapat secara langsung menjadi pusat penyajian atau disebut sebagai sudut pandang orang pertama. Sudut pandang orang pertama biasanya menggunakan kata ganti: aku, saya, kami, kita dan semcamnya. Pusat pengisahan yang demikian itu disebut pusat pengisahan metode orang pertama.

Pusat pengisahan dapat juga disampaikan orang lain, melalui tokoh yang disebut kata ganti orang ketiga, yakni: ia, dia, mereka ataupun yang semacam itu. Metode pusat pengisahan semacam itu disebut dengan metode orang ketiga

(omniscient author), pengarang mahatahu, sebab si penyampai (pengarang) tahu

segala-galanya tentang tokoh yang diberikan (Siti Chamamah Soeratno, et.al. 1982: 172). Metode orang ketiga ini dibagi dua cara, yakni cara romantik-ironik dan cara objektif (Rene Weleek dalam Siti Chamamah Soeratno et.al. 1982:173). Dalam cara Romantik-Ironik ini pengarang sengaja memperbesar peranannya, sebab apa yang disampaikan berupa “kehidupan” dan bukan “seni”. Dalam metode objektif, pengarang membiarkan para tokohnya berbicara dengan berbuat sendiri.

commit to user 31 (4) Gaya Bahasa

Gaya bahasa dalam karya sastra merupakan ciri khas tersendiri yang membedakan antara pengarang satu dengan yang lainya. Gaya bahasa dalam sastra kitab memiliki gaya bahasa yang khusus. Siti Chamamah Soeratno berpendapat bahwa “sastra kitab sebagai ragam sastra Islam mempunyai gaya bahasa yang khusus” (Siti Chamamah Soeratno,1982:211). Meninjau gaya bahasa seorang pengarang berati meneliti segala permainan bahasanya yang khusus, sejak dari pemilihan kata sampai pada penyusunan kalimat yang menarik pembaca.

3. Tasawuf

Ilmu tasawuf merupakan suatu ilmu yang menekankan aspek kerohanian dalam Islam. Ilmu ini mementingkan perasaan cinta kepada Tuhan dengan beribadah dan berzikir kepada-Nya. Ilmu ini muncul sebagai reaksi terhadap perkembangan intelektual pada masa keemasan Islam yang memalingkan hal-hal yang sifatnya empirical dan material (Sangidu, 2003: 106).

Tasawuf mempunyai ciri-ciri terminologi tertentu yang dapat dibedakan dengan gerakan kerohanian Islam lainnya. Ciri yang menonjol adalah adanya syekh (guru) yang dianggap sebagai wasilah (perantara) menuju Allah, adanya silsilah ilmu yang mendudukan guru pada tingkat tertinggi, adanya pembagian ilmu menjadi ilmu syariat, tarekat, hakikat dan makrifat, serta adanya latihan-latihan kerohanian tertentu (Bani Sudardi, 2003:13). Jadi, dalam tasawuf syekh atau guru sangat berpengaruh.

commit to user 32

Menurut Hamka jalan tasawuf adalah merenung ke dalam diri sendiri yakni dengan membersihkan diri dan melatihnya dengan berbagai macam latihan

(riadlatun nafs), sehingga kian lama kian terbukalah selubung diri itu dan

timbullah cahayanya yang gemilang, yang dapat menembus segala hijab yang menyelubunginya selama ini (Hamka, 1973:73). Pendapat Istadiyantha tentang tasawuf yaitu, bahwa tasawuf diartikan suatu upaya pendekatan diri kepada Allah secara bersungguh-sungguh berdasarkan Alquran dan hadis Nabi (Istadiyantha, 2007:50).

Asmaran berpendapat lain terhadap tasawuf. Tasawuf adalah falsafah hidup yang di maksudkan untuk meningkatkan jiwa seorang manusia secara moral lewat latihan-latihan praktis tertentu, kadang-kadang untuk menyatakan kondisi fana‟ dalam realitas tertinggi serta mengenal-Nya secara intuitif, tidak secara rasional, yang membuahkan kebahagiaan rohaniah yang hakikatnya sukar diungkapkan dengan kata-kata, sebab karakternya bercorak intuitif dan subjektif (Asmaran, 2002:43).

Adapun definisi tasawuf menurut Ahmad Amin di dalam Ensikopedi Islam, bahwa tasawuf ialah bertekun dalam beribadah, berhubungan langsung dengan Allah, menjauhkan diri dari kemewahan duniawi, berlaku zuhud terhadap yang diburu oleh orang banyak (hal-hal yang bersifat duniawi), khalwat (pengasingan diri) untuk beribadah (Sirojuddin, et.al. 2003: 75).

Dari beberapa pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa arti tasawuf adalah suatu jalan untuk mendekat kepada Tuhan dengan cara membersihkan hati dan anggota-anggota lahir daripada dosa-dosa dan kesalahan dengan berlandaskan

commit to user 33

Alquran dan Hadis Nabi. Membersihkan hati dapat dicontohkan dengan hati terbebas dari sifat syirik, riya‟, ujub, pendendam dan lain-lain. Bersih dari anggota-anggota lahir hal ini dimaksudkan adalah menjaga segala panca indra dari perbuatan maksiat dan dosa. Tujuan akhir dari penyucian diri adalah tercapainya kebahagian dan keselamatan yang abadi. Seorang sufi seringkali menghindari keramaian, bahkan terkadang hidup menyendiri merenungi makna hidup dengan melakukan amalan agama sebagai sarana pencucian diri sebagai wujud pendekatan diri kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Secara garis besar aliran tasawuf dibagi menjadi dua macam yaitu:

1.Wahdatu’I-wujūd

Peletak dasar ajaran Wahdatu’I-wujūd adalah Al-Hallaj, Ajaran ini berkembang dikalangan para sufi serta pengaruhnya sampai ke Indonesia. Ajaran Al-Hallaj dapat dibagi menjadi tiga golongan. Pertama, ajaran tentang hulul (Tuhan menjelma menjadi dalam diri manusia).

Kedua, Hakikat Muhammadiyyah (Nur Muhammad) sebagai asal mula

segala sesuatu. Ketiga kesatuan semua agama (Bani Sudardi, 2003:18).

Wahdatu’I-wujūd menurut Asmaran adalah suatu paham yang

mengakui hanya ada satu wujud dalam kesemestaan ini, yaitu satu wujud Tuhan. Tuhan adalah alam dan alam adalah Tuhan, sehingga dapat disimpulkan bahwa alam ini merupakan emanasi Tuhan (Asmaran, 2002: 174). Simuh berpandangan lain terhadap aliran wahdatu’I-wujūd, aliran ini berpaham bahwa wujud yang hakiki itu hanyalah satu, walaupun ada banyak macam penampakan keluarnya. Artinya, bahwa mahkluk adalah

commit to user 34

aspek lahiriah, sedang aspek batin dari segala sesuatu ini adalah Allah (Simuh, 2002:177).

Sangidu dalam bukunya yang berjudul “Wachdatul Wujud” menjabarkan pengertian wahdatu’I-wujūd yaitu:

a. sang hamba menegetahui bahwa Allah Taala adalah hakikat seluruh mahkluk. Akan tetapi, ia tidak menyaksikan Allah Taala dalam ciptaan-Nya.

b. sang hamba dapat menyaksikan Allah Taala melalui mahkluknya melalui kesaksian hati.

c. sang hamba menyaksikan Allah Taala pada mahkluk-Nya dan menyaksikan mahkluk pada Allah Taala (Sangidu, 2003:46).

2. Wahdatu ‘sy-syuhūd

Para sufi juga mengembangkan pemahaman dzattullah. Selain paham tasawuf Wahdatu’I-wujūd, berkembang juga paham Wahdatu ‘sy -syuhūd. Paham Wahdatu ‘sy-syuhūd dapat diartikan bahwa diri manusia mampu menjadi satu zat dengan Allah (Bani Sudardi, 2003:4)

4. Tarekat

Pada abad keenam sampai ketujuh di kalangan dunia sufi timbul kelompok-kelompok yang disebut tarekat. Tarekat dapat dikatakan sebagai tempat khusus bagi para penempuh jalan sufi (ahlussuluk) untuk mendapatkan maqam-maqam yang makin meningkat kemuliaannya di bawah bimbingan guru (syekh) yang dianggap musyid. Dalam tarekat ini ditemukan wirid-wirid yang kadang-kadang

commit to user 35

demikian panjang yang digali dari Alquran dan Sunah Rasul, dan sebagaian dari karangan dari guru-guru mereka (Bani Sudardi, 2003:22).

Tarekat berati „jalan‟, yaitu bertunjuk dalam melaksanakan suatu ibadah sesuai dengan ajaran yang ditentukan dan dicontohkan oleh nabi dan dikerjakan oleh sahabat dan tabi‟in, turun temurun sampai dengan guru-guru, sambung-menyambung (Aboebakar Atjeh, 1992: 67).

Tarekat menurut istilah tasawuf adalah perjalanan seorang salik menuju Tuhan dengan cara mensucikan diri atau perjalanan yang harus ditempuh oleh seorang untuk dapat mendekatkan diri sedekat mungkin kepada Tuhan (Noegarsyah, 2004: 472).

Dari pendapat-pendapat di atas dapat diperoleh simpulan bahwa tarekat adalah suatu cara khusus yang dipakai oleh seseorang untuk mendekatkan diri pada Allah Taala melalui tahapan-tahapan ibadah sesuai contoh Nabi Muhammad dengan bimbingan seorang guru atau mursyid (wali). Dikalangan tarekat ini kemudian dipercaya adanya wali-wali yang mempunyai silsilah jiwa kebatinan sampai pada Nabi Muhammad.

Goldziher menerangkan bahwa seorang pemeluk tarekat harus melalui empat tahapan dalam belajar tasawuf (Ignaz Goldziher, 1991:146). Empat tahapan tersebut adalah :

a) Syariat

Syariat secara harfiah berati jalan menuju air, etika eksternal dan normal moral islam yang di dasarkan atas Alquran dan sunah. (Noegarsyah, 2004:438).

commit to user 36

Makna syariat ialah peraturan-peraturan atau garis-garis yang telah ditentukan, termaasuk di dalamnya hukum-hukum halal dan haram, yang disuruh dan yang dilarang, yang sunah, yang makruh dan yang mubah (M. Zain Abdullah, 1991:26).

Syariat adalah hukum atau undang-undang agama yang sudah pasti ketentuannya. Di dalamnya termasuk keterangan mengenai halal-haram, wajib dan sunah, syahadat, salat, puasa, zakat, haji, keimanan, dan sebagainya. Hasan Shadiliy mengatakan bahwa syariat juga dapat dikatakan sebagai peraturan yang ditetapkan Tuhan bagi manusia berupa hukum-hukum yang disampaikan oleh rasul-Nya, yang berhubungan dengan keyakinan, ibadah, dan muamalah (Hasan Shadiliy dalam Istadiyantha, 2006:401).

b) Tarekat

Tarekat berati jalan. Tarekat menurut istilah tasawuf adalah perjalanan seorang salik menuju Tuhan dengan cara mensucikan diri atau perjalanan yang harus ditempuh oleh seorang untuk mendekatkan diri sedekat mungkin kepada Tuhan (Nogarsyah, 2004:472).

Asmaran memiliki pandangan tersendiri mengenai arti tarekat. Beliau menjelaskan bahwa tarekat adalah berupa teori yang diigunakan untuk memperdalam syariat sampai kepada hakikatnya dengan melalui tingkat-tingkat pendidikan tertentu, maqamat dan

commit to user 37 c) Hakikat

Hakikat berasal dari istilah arab haqiqatun yang berati „kebenaran‟; al-haq : berati Tuhan, maka hakikat menurut istilah sufi diartikan sebagai suatu kebenaran yang berhubungan dengan masalah ke-Tuhanan. Ibnu Arabi (dalam Aboebakar Atjeh, 1984:67) berpendapat bahwa hakikat yang menjadi maujud itu satu, yang berada dalam jauhar (Arab: nyata) dan zat-Nya, jika ditinjau dari sudut dan sifatnya terjadilah berbagai kemungkinan, yaitu mahkluk dan alam.

Noegarsyah berpendapat bahwa hakikat adalah segala sesuatu dibalik kenyataan, makna dasar yang terkandung di dalamnya (Noegarsyah, 2004:177).

Bani Sudardi menerangkan bahwa hakikat adalah satu realitas hakiki yang menjadi sumber dasi segala realitas. Realitas yang hakiki inilah yang menjadi tujuan seorang sufi (Bani Sudardi, 2003:7). Seorang salik dalam mencapai tingkatan hakikat haruslah melewati beberapa fase yang tidak mudah dan sedikit. Karena suatu keberhasailan dan kesuksesan tidak dapat diraih tanpa kerja keras. d) Makrifat

Simuh memandang bahwa makrifat dalam konsep tasawuf diartikan sebagai penghayatan atau pengalaman kejiwaan (Simuh, 2002:115). Dalam menghayati kemahabesaran Tuhan tidak hanya dengan pikiran saja, melainkan dengan mata batin (kalbu). Hati merupakan organ yang sangat penting, karena hanya dengan mata

commit to user 38

hatilah bisa mengahayati segala rahasia yang ada dalam alam ghaib dan puncaknya adalah penghayatan makrifat (kesungguhan dalam beribadah) pada zatullah. Kesungguhan dalam peribadatan, dalam istilah barat disebut gnosis. Reynold berpendapat tentang gnosis sebagai berikut:

“Makrifat dalam pengertian sufisme adalah “gnosis” dari teori Hellenistik, yaitu pengetahuan langsung tentang Tuhan berdasarkan atas wahyu atau petunjuk Tuhan. Ia bukanlah hasil atau buah dari proses mental, tetapi sepenuhnya amat tergantung pada kehendak dan karunia Tuhan, yang akan memberikannya sebagai karunia dari-Nya” (Reynold A. Nicholson, 1993: 68).

5. Aliran Tarekat Syattariah

Gerakan Sufi sebenarnya bermanfaat bagi dunia muslim dalam berbagai segi. Pada masa-masa kemunduran politik dan ekonomi (1500-1900), beberapa tarekat sufi mengambil alih tugas dakwah Islam kepada seluruh manusia. Sementara ulama tradisonal umumnya jauh dari umat, lebih suka meneliti dan berdebat di ruang tertutup, adalah kaum sufi yang berkelana sebagai pendakwah, mendistribusikan derma, dan memberi bimbingan spiritual di tempat terpencil (Yahya, 2007:387). Salah satu tarekat yang telah berhasil membangun moral umat manusia adalah tarekat Syattariyah.

Tarekat Syattariyah adalah aliran tarekat yang pertama kali muncul di India pada abad ke 15. Tarekat ini dinisbahkan kepada tokoh yang mempopulerkan dan berjasa mengembangkannya yaitu Abdullah asy-Syattar. Awalnya tarekat ini lebih dikenal di Iran dan Transoksania (Asia Tengah) dengan nama Isyqiyah,

commit to user 39

sedangkan di wilayah Turki Usmani, tarekat ini disebut Bistamiyah. Kedua nama ini diturunkan dari nama Abu Yazid al-Isyqi, yang dianggap sebagai tokoh utamanya. Tarekat Syattariyah berkembang dan memiliki banyak pengikut namun, dalam perjalanan dakwahnya tarekat ini tidak menganggap dirinya sebagai cabang dari persatuan sufi mana pun (Nogarsyah, 2004:441-443).

Tarekat Syattariyah dibawa dan dikembangkan di Indonesia oleh syekh Abdur Rauf Singkel (1615-1693), seorang ulama yang berasal dari singkel Aceh. Dia turut mewarnai sejarah mistik Islam di Indonesia pada abad ke-17. Pada waktu melaksanakan ibadaah haji ia memperdalam ilmu tasawuf kepada banyak guru diantaranya adalah Ahmad Qusasi dan dan Ibrahim al-Qur‟ani (Sirojuddin et.al, 2003:1).

Sebagaimana halnya dengan tarekat-tarekat lain, Tarekat Syattariyah menonjolkan aspek zikir di dalam ajaranya. Para pengikut tarekat ini mencapai tujuan-tujuan mistik melalui kehidupan yang sederhana (zuhud).

Syattariyah barangkali merupakan aliran sufi yang paling bercorak India, karena dalam praktik ajaran ia menampakkan hampir seluruh karakteristik budaya India dan gagasan agama hindu, khususnya menyangkut ajaran normatif yoga (John. L. Esposito, 2002: 301).

Snouck Hurgronje mengatakan bahwa selain bernama Syattariyah, tarekat tersebut diberi nama pula tarekat kosasi (Qusyayi), nama ini dihubungkan dengan nama tokoh tarekat tersebut yaitu syekh Ahmad Qusyayi dari Madinah. Salah seorang murid Ahmad Qusyayi yang terkenal di Nusantara adalah Abdurrauf

commit to user 40

Assingkeli. Setelah syekh Abdurrauf memperoleh ijazah dari gurunya, lalu dikukuhkan sebagai guru tarekat Syattariyah (Istadiyantha, 2007:56).

a. Ajaran Tarekat Syattariyah

Sebagaimana halnya dengan tarekat-tarekat lain, Tarekat Syattariyah menonjolkan aspek zikir didalam ajarannya. Para pengikut tarekat ini mencapai tujuan-tujuan mistik melalui kehidupam asketisme atau zuhud. Perkembangan mistik dalam tarekat ini ditujukan untuk mengembangkan suatu pandangan yang membangkitkan kesadaran akan kepasrahan hidup kepada Allah SWT di dalam hati, tetapi tidak harus mencapai atau melalui tahap fana (Sirojuddin et.al, 2003:2).

Sebuah tarekat tentu saja memiliki pelatihan ibadah untuk mencapai tujuan tasawuf. M. Zain Abdullah menjelaskan bahwa mujahadah, khalwat dan zikir sangat penting untuk terbukanya dinding pendapatan hissi (perasaan pancaindera yang lima) dan terbukanya beberapa rahasia alam dari pekerjaan Allah Taala yang manusia lemah mendapatkannya (1991:60)

Zikir dalam tarekat memiliki arti yang sangat penting. Dengan berzikir seorang penganut tarekat akan senantiasa berada dalam penglihatan Allah. Zikir dalam Tarekat Syattariyah terbagi menjadi dalam tiga kelompok yaitu : menyebut nama-nama Allah SWT yang berhubungan dengan keagungan-Nya, menyebut nama-nama Allah SWT yang berhubungan dengan keindahan-Nya, dan menyebut nama-nama Allah SWT yang merupakan gabungan dari kedua sifat tersebut (Sirojuddin et.al, 2003:2).

commit to user 41

b. Syarat berzikir dalam Tarekat Syattariyah

Secara terperinci, persyaratan-persyaratan penting untuk dapat menjalani zikir di dalam Tarekat Syattariyah adalah sebagai berikut : makanan yang dimakan haruslah berasal dari jalan yang halal, selalu berkata benar, rendah hati, sedikit makan dan sedikit bicara, setia terhadap gurunya, konsentrasi hanya kepada Allah SWT, selalu berpuasa, berdiam diri dalam suatu ruangan yang gelap tetapi bersih, memisahkan diri dari dalam kehidupan yang ramai, tidak egois dan penuh rela dalam menjalani ritual tarekat, makan dan minum dari pemberian pelayan, menjaga mata, telinga,dan hidung dari melihat, mendengar, dan mencium segala sesuatu yang haram, membersihkan hati, mematuhi aturan-aturan yang terlarang bagi orang yang sedang melaksanakan ibadah haji, seperti menghias diri dan memakai pakaian yang berjahit (Sirojuddin et.al, 2003:2-3).

Untuk mencapai tujuan tasawuf, yaitu memperoleh hubungan dan kedekatan rohaniah dengan Tuhan diperlukan jalan yang harus ditempuh dengan sungguh-sungguh. Sirojuddin et.al, mengatakan bahwa ada sepuluh aturan yang harus dilalui untuk mencapai tujuan tarekat syattariyah ini, yaitu tobat, tawakal, qana‟a, huzlah, muraqabah, zuhud, sabar, ridha, zikir dan musyahadah (Sirojuddin et.al, 2003: 2).

Mengenai zikir tarekat Syattariyah, Harun Nasution memberikan pendapat bahwa bila kesadaran atau kesucian rohaniah meningkat, maka semakin singkat lafal zikir itu, dan bahkan pada suatu saat (pada puncaknya) lafal itu sudah memenuhi hati. Itulah yang dinamakan fana,

commit to user 42

dimana kesadaran dirinya hilang dan hanya Allah yang diingat (Harun Nasution, 2002:1108).

Dokumen terkait