• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI

A. Tinjauan Pustaka

4. Analytical Hierarchy Process (AHP)

Analytical Hierarchy Process (AHP) dikembangkan oleh Thomas L.

Saaty pada tahun 1970-an. Metode ini merupakan salah satu model pengambilan keputusan multi kriteria yang dapat membantu kerangka berpikir manusia di mana faktor logika, pengalaman, pengetahuan, emosi, dan rasa dioptimasikan ke dalam suatu proses sistematis. AHP adalah metode pengambilan keputusan yang dikembangkan untuk pemberian prioritas beberapa alternatif ketika beberapa kriteria harus dipertimbangkan, serta mengijinkan pengambil keputusan (decision makers) untuk menyusun masalah yang kompleks ke dalam suatu bentuk hirarki atau serangkaian level yang terintegrasi.

Pada dasarnya, AHP merupakan metode yang digunakan untuk memecahkan masalah yang kompleks dan tidak terstruktur ke dalam kelompok-kelompoknya, dengan mengatur kelompok tersebut ke dalam suatu hirarki, kemudian memasukkan nilai numerik sebagai pengganti persepsi manusia dalam melakukan perbandingan relatif. Dengan suatu sintesis maka akan dapat ditentukan elemen mana yang mempunyai prioritas

tertinggi. AHP sering digunakan sebagai metode pemecahan masalah dibanding dengan metode yang lain karena alasan-alasan sebagai berikut:

a. Struktur yang berhirarki, sebagai konsekuesi dari kriteria yang dipilih, sampai pada subkriteria yang paling dalam.

b. Memperhitungkan validitas sampai dengan batas toleransi inkonsistensi berbagai kriteria dan alternatif yang dipilih oleh pengambil keputusan.

c. Memperhitungkan daya tahan output analisis sensitivitas pengambilan keputusan.

Tahapan Analytical Hierarchy Process (AHP), dalam metode AHP dilakukan langkah-langkah sebagai berikut:

a. Menyusun hirarki dari permasalahan yang dihadapi.

Persoalan yang akan diselesaikan, diuraikan menjadi unsur-unsurnya, yaitu kriteria dan alternatif.

b. Penilaian kriteria dan alternatif

Kriteria dan alternatif dinilai melalui perbandingan berpasangan.

Menurut Saaty (1988), untuk berbagai persoalan, skala 1 sampai 9 adalah skala terbaik dalam mengekspresikan pendapat. Nilai dan definisi pendapat kualitatif dari skala perbandingan Saaty dapat dilihat pada Tabel 2.5.

Tabel 2.5 Skala Penilaian Perbandingan Berpasangan Intensitas

Kepentingan Keterangan

1 Kedua elemen sama pentingnya.

3 Elemen yang satu sedikt lebih penting daripada elemen yang lainnya.

5 Elemen yang satu lebih penting daripada elemen lainnya.

7 Satu elemen jelas lebih mutlak penting daripada elemen lainnya.

9 Satu elemen mutlak penting daripada elemen lainnya.

2,4,6,8 Nilai-nilai antara dua nilai pertimbangan-pertimbangan yang berdekatan.

Perbandingan dilakukan berdasarkan kebijakan pembuat keputusan dengan menilai tingkat kepentingan satu elemen terhadap elemen lainnya.

Proses perbandingan berpasangan dimulai dari level hirarki paling atas yang ditujukan untuk memilih kriteria, misalnya A, kemudian diambil elemen yang akan dibandingkan, misal A1, A2, dan A3. Maka susunan elemen-elemen yang dibandingkan tersebut akan tampak seperti pada tabel matriks di bawah ini:

Tabel 2.6 Contoh Matriks Perbandingan Berpasangan

A1 A2 A3

A1 1

A2 1

A3 1

Untuk menentukan nilai kepentingan relatif antar elemen digunakan skala bilangan dari 1 sampai 9 seperti pada Tabel 2.5 Penilaian ini dilakukan oleh seorang pembuat keputusan yang ahli dalam bidang persoalan yang sedang dianalisa dan mempunyai kepentingan terhadapnya. Apabila suatu elemen dibandingkan dengan dirinya sendiri maka diberi nilai 1. Jika elemen i dibandingkan dengan elemen j mendapatkan nilai tertentu, maka elemen j dibandingkan dengan elemen i merupakan kebalikannya. Dalam AHP ini, penilaian alternatif dapat dilakukan dengan metode langsung (direct), yaitu metode yang digunakan untuk memasukkan data kuantitatif. Biasanya nilai-nilai ini berasal dari sebuah analisis sebelumnya atau dari pengalaman dan pengertian yang detail dari masalah keputusan tersebut. Jika si pengambil keputusan memiliki pengalaman atau pemahaman yang besar mengenai masalah keputusan yang dihadapi, maka dia dapat langsung memasukkan pembobotan dari setiap alternatif.

c. Penentuan prioritas

Untuk setiap kriteria dan alternatif, perlu dilakukan perbandingan berpasangan (pairwise comparisons). Nilai-nilai perbandingan relatif kemudian diolah untuk menentukan peringkat alternatif dari seluruh alternatif. Baik kriteria kualitatif, maupun kriteria kuantitatif, dapat dibandingkan sesuai dengan penilaian yang telah ditentukan untuk menghasilkan bobot dan prioritas. Bobot atau prioritas dihitung dengan manipulasi matriks atau melalui penyelesaian persamaan matematik.

Pertimbangan-pertimbangan terhadap perbandingan berpasangan disintesis untuk memperoleh keseluruhan prioritas melalui tahapan-tahapan berikut:

1) Kuadratkan matriks hasil perbandingan berpasangan.

2) Hitung jumlah nilai dari setiap baris, kemudian lakukan normalisasi matriks.

d. Konsistensi Logis

Semua elemen dikelompokkan secara logis dan diperingatkan secara konsisten sesuai dengan suatu kriteria yang logis. Matriks bobot yang diperoleh dari hasil perbandingan secara berpasangan tersebut harus mempunyai hubungan kardinal dan ordinal. Hubungan tersebut dapat ditunjukkan pada Persamaan 2 dan Persamaan 3 (Suryadi & Ramdhani, 1998).

Hubungan kardinal : aij . ajk = aik (2)

Hubungan ordinal : Ai> Aj, Aj> Ak maka Ai> Ak (3) Hubungan diatas dapat dilihat dari dua hal sebagai berikut:

1) Dengan melihat preferensi multiplikatif, misalnya bila anggur lebih enak empat kali dari mangga dan mangga lebih enak dua kali dari pisang maka anggur lebih enak delapan kali dari pisang.

2) Dengan melihat preferensi transitif, misalnya anggur lebih enak dari mangga dan mangga lebih enak dari pisang maka anggur lebih enak dari pisang.

Pada keadaan sebenarnya akan terjadi beberapa penyimpangan dari hubungan tersebut, sehingga matriks tersebut tidak konsisten sempurna.

Hal ini terjadi karena ketidakkonsistenan dalam preferensi seseorang.

Penghitungan konsistensi logis dilakukan dengan mengikuti langkah-langkah sebagai berikut:

1) Mengalikan matriks dengan proritas bersesuaian.

2) Menjumlahkan hasil perkalian per baris.

3) Hasil penjumlahan tiap baris dibagi prioritas bersangkutan dan hasilnya dijumlahkan.

4) Hasil c dibagi jumlah elemen, akan didapat λmaks.

5) Indeks Konsistensi (CI) = (λmaks-n) / (n-1)

Rasio Konsistensi = CI/ RI (4)

Dimana RI (Persamaan 4) adalah indeks random konsistensi. Jika rasio konsistensi ≤ 0.1, hasil perhitungan data dapat dibenarkan. Daftar RI dapat dilihat dilihat pada Tabel 2.7.

Tabel 2.7 Nilai Indeks Random

N 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11

RC 0.00 0.00 0.58 0.90 1.12 1.24 1.32 1.41 1.45 1.49 1.51

24 A. Objek Penelitian

Objek penelitian dilakukan pada proses pengecoran di PT Aneka Adhilogam Karya yang berlokasi Jl. Kop. Batur Jaya, Batur, Tegalrejo, Kec.

Ceper, Kab. Klaten, Jawa Tengah 57465.

B. Tahapan Penelitian

Adapun tahapan – tahapan dilakukannya penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Studi Pendahuluan

Pada tahap ini dilakukan survey untuk mengkaji proses produksi, melakukan pengamatan pada objek yang akan diteliti dan pengamatan terhadap karyawan sebagai tempat penelitian.

2. Pengumpulan Data

Pengumpulan data yang diperlukan dalam penelitian ini adalah:

a. Metode pengumpulan data primer.

1) Wawancara

Melakukan wawancara secara langsung dengan pihak-pihak yang berkompeten dan terkait secara langsung untuk melakukan pengambilan data sesuai dengan kebutuhan penelitian.

2) Data Historis

Data yang diambil adalah data defect produk pada bulan Juni-November 2019 di proses pengecoran.

b. Metode pengumpulan data sekunder

Data didapat dari beberapa literatur seperti buku-buku yang berkaitan dengan objek penelitian, jurnal, internet serta sumber lain yang berhubungan dengan pokok permasalahan yang akan dibahas.

3. Populasi dan Sampel

Berikut ini merupakan penjelasan dari populasi dan sampel a. Populasi

Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri dari objek/subjek yang memiliki kualitas dan karakteristik tertentu yang diterapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya. Sugiyono, (2010).

b. Sampel

Sampel adalah bagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki dari populasi tersebut. Sudjana, M., (1984). Sampel pada penelitian ini adalah data defect yang terjadi saat proses pengecoran selama bulan Juni-November 2019.

4. Pengolahan Data

Data – data yang diperoleh dari hasil pengumpulan data kemudian dilakukan perhitungan dan pengolahan data sebagai berikut:

a. Setelah mengetahui variabel dari data temuan-temuan defect kemudian menganalisis cacat tertinggi dengan menggunakan diagram pareto.

b. Menganalisis apa yang menjadi penyebab dari kecacatan yang terjadi menggunakan diagram fishbone.

c. Analisis perbaikan juga dengan cara menggunakan analisis FMEA.

d. Mengolah data FMEA dengan mengalikan seluruh kriteria severity, occurrence, dan detactability untuk memperoleh Risk Priority Number yang kemudian diperingkatkan berdasarkan nilai RPN tertinggi.

e. Membandingkan nilai RPN cara konvensional dengan RPN yang telah dikalikan dengan nilai AHP.

5. Hasil dan Pembahasan

Pada tahap ini, menganalisis hasil RPN FMEA dan RPN dengan cara yang telah dikalikan dengan bilangan AHP. Setelah menganalisis mode kegagalan yang memiliki nilai tertinggi, dilakukan analisis peyebab kegagalannya.

6. Usulan Perbaikan

Pada tahap ini, menjabarkan apa saja perbaikan yang telah dilakukan dengan harapan defect yang ditemukan bisa menurun.

7. Kesimpulan dan Saran

Tahap kesimpulan dan saran berisi kesimpulan dan saran perusahaan sesuai dengan fokus permasalahan yang diangkat berdasarkan rencana tindakan perbaikan bagi perusahaan guna mengurangi produk defect yang ditemukan di proses pengecoran.

C. Diagram Alir

Metode penelitan adalah tata cara yang dilakukan pada penelitian dalam rangka mengumpulkan informasi atau data yang digunakan untuk mencapai tujuan. Berikut adalah gambar yang merupakan tahapan dan langkah dalam penelitian dalam bentuk diagram.

Gambar 3.1 Diagram Alir Penelitian

28 BAB IV

PENGUMPULAN DAN PENGOLAHAN DATA

A. Data Umum Perusahaan 1. Profil Perusahaan

Perusahaan pada tahun 1968 dengan nama aneka karya merupakan perusahaan perseorangan milik bapak H.M.Husnun H.S. Ketika itu Aneka Karya masih sejenis industri kecil dengan kegiatan meliputi pengecoran awal, penanganan perantara serta usaha-usaha kecil lainnya. Di samping itu produksinya masih berupa wajan atau tempat penggorengan, kerekan sumur, komponen mesin jahit dan produk lainnya. Pada perintisan awal ini seluruh permodalan masih dibiayai oleh bapak H.M. Husnun H.S dan masih menerapkan teknologi pengecoran sederhana seperti dapur tangki.

Pengadaan bahan bakunya masih local serta hasil produksinya masih sempit.

Mulai tanggal 22 maret 1973 perusahaan berubah bentuk menjadi persekutuan komanditer (CV), dengan akta notaries No.50/22/3/1973 dihadapan notaris R. Sugono Notodisuryo,D.H, saat itu perusahaan sudah mengkhususkan diri untuk memproduksi barang-barang berskala besar.

Pemimpin perusahaan ini merasa bahwa untuk dapat bersaing dengan perusahaan lainnya, CV Aneka Karya harus meningkatkan kualitas produksinya sehingga jumlah permintaan dapat meningkat.

CV Aneka Karya mendapat bimbingan terkait dari MIDC (Metal Industri Development Centre) dan departemen perindustrian. Mulai tahun 1982 proses peleburan besi dilakukan dengan menggunalkan dapur kapola.sedangkan untuk kebutuhan permodalan CV Aneka Karya mendapat bantuan dari Bank Bumi Daya cabang surakarta. Perusahaan ini untukmendapatkan kepercayaan dalam mengejar tender maka perusahaan harus memperoleh pinjaman untuk memperkuat kedudukan perusahaan.

Maka pada tanggal 23 desember 1980 perusahaan ini diubah bentuknya menjadi Perseroan Terbatas (PT) dengan akta notary Subekti, SH dengan nama PT Aneka Karya. Selanjutnya perusahaan ini mengalami peningkatan permintaan terus menerus sehingga perusahaan menjadi sulit mengimbanginnya. Untuk mengatasihal tersebut maka perusahaan mendirikan PT Aneka Karya Unit II yang diresmikan oleh Dirjen Industri Kecil Departemen Perindustrian pada tanggal 28 Juni 1986 sehingga perusahaan menjadi PT Aneka Karya Unit I dan Unit II.

Pada tahun 1992 pemerintah mengeluarkan peraturan bahwa badan usaha perseroan harus memiliki lebih dari 3 kata, maka atas keputusan itu nama perusahaan menjadi PT Aneka Adhilogam Karya pada pertengahan bulan April 1994. Pada tahun ini juga perusahaan mulai menerapkan teknologi peleburan Induction Furnace dengan kapasitas 1,1 ton/tungku/jam dan perusahaan ini memiliki dua unit tungku peleburan.

2. Jenis Produk dan Pemasaran

Jenis produk yang dihasilkan di PT Aneka Adhilogam Karya mempunyai variasi jenis yang beraneka ragam, tetapi tetap dalam batasan benda-benda cor dengan spesifikasi sambungan pipa. Jenis produksi yang dihasilkan antara lain:

a. Collar f. Box Street k. Coupling universal

b. Flage Socket g. Reducer l. DLL

c. Flage Spigot h. Tee d. All Flange Tae i. Bend

e. All Socket Tae j. Giboult Joint

Produk tersebut diproduksi dalam berbagai ukuran sesuai dengan pemesanan. pemesanan produknya selain menerima order atau pesanan dalam negeri juga mengeksport ke berbagai negara seperti Malaysia, Singapura, Filipina dan Korea Selatan.

B. Pengumpulan Data

Dalam pengumpulan data ini berisi tentang data-data yang telah dikumpulkan oleh peneliti melalui beberapa metode pengumpulan data. Data-data yang dikumpulkan yaitu Data-data umum perusahaan serta Data-data-Data-data perusahaan yang berkaitan dengan penelitian untuk diolah sebagai bahan pertimbangan dan penyelesian pada penelitian yang sedang dilakukan. Data dapat dilihat sebagai berikut:

1. Data Defect

Pada penelitian ini produk dikelompokkan menjadi 3 tipe produk yaitu Produk Manhole, Produk Flange dan Produk Giboult Joint. Pada sub bab ini berisi tentang temuan-temuan defect yang ditemukan di proses pengecoran. Data defect di ambil dari bulan Juni sampai dengan bulan November 2019. Berikut ini merupakan data defect yang terjadi di bulan Juni-November 2019 seperti tertera pada Tabel 4.1, Tabel 4.2 dan Tabel 4.3.

Tabel 4.1 Data Temuan Defect Produk Manhole

No. Nama Produk

Tabel 4.2 Data Temuan Defect Produk Flange

No. Nama Produk

Tabel 4.3 Data Temuan Defect Produk Giboult Joint Quality Control. Pengertian jenis-jenis defect dapat dilihat pada Tabel 4.4.

Tabel 4.4 Pengertian Jenis Defect

No. Jenis Defect Pengertian

1 Kropos Sebuah defect yang berupa adanya material yang kurang padat.

2 Rantap Sebuah defect dalam suatu produk seperti terkena rayap.

3 Rusak Tulisan Sebuah defect yang berupa tulisan tidak terbaca dengan sempurna.

4 Tidak Utuh Sebuah defect yang berupa bentuk produk tidak sesuai standart perusahaan.

5 Tabet Sebuah defect dalam suatu produk material tidak berbeda dalam kepadatannya.

C. Pengolahan Data

Dalam tahap ini berisi tentang analisis yang dilakukan oleh peneliti untuk menentukan jenis defect paling dominan yang terjadi saat proses pemgecoran serta mengidentifikasi penyebab-penyebab yang mengahasilkan produk cacat pada bagian tersebut. Dalam tahap ini analisa yang dilakukan

menggunakan bantuan diagram pareto dan root cause analysis menggunakan diagram fishbone. Produk yang diteliti ada 3 tipe produk yaitu produk Manhole, produk Flange dan produk Giboult Joint.

1. Produk Manhole

a. Diagram Pareto Produk Manhole

Setelah mendapatkan data defect dari proses pengecoran, selanjutnya akan menentukan jenis defect apa yang paling dominan dan harus segera dicari perbaikannya. Untuk mengetahui jenis defect, jumlah defect dan diagram pareto pada produk Manhole di proses pengecoran dapat dilihat pada Tabel 4.5 dan Gambar 4.1.

Tabel 4.5 Resume Jenis Defect Produk Manhole

Jenis Defect Jumlah Defect (Unit) Persentase (%) Kumulatif

Rantap 75 60% 60%

Rusak Tulisan 34 27% 87%

Tidak Utuh 9 7% 94%

Kropos 7 6% 100%

Tabet 0 0% 100%

Total 125

Gambar 4.1 Diagram Pareto Jenis Defect Produk Manhole Berdasarkan data-data dari temuan defect yang dilakukan pada proses pengecoran dan setelah diolah dengan Diagram Pareto, hasilnya adalah jenis defect cacat pada produk Manhole adalah jenis defect paling dominan dengan 60% yaitu rantap dan harus diprioritaskan untuk dilakukan perbaikan. Setelah didapatkan jenis defect yang diprioritaskan, akan dilakukan pengolah data dengan Diagram Pareto terhadap produk yang mengalami defect per produk. Tabel 4.6, Tabel 4.7 dan Gambar 4.2 menunjukkan data defect cacat per produk beserta resume defect nya.

Tabel 4.6 Data Defect per Produk Manhole No. Nama

Produk

Bulan Jumlah

Defect Juni Juli Agustus September Oktober November

1 Manhole

No. Nama Produk

Bulan Jumlah

Defect Juni Juli Agustus September Oktober November

4 Manhole

Tabel 4.7 Resume Jenis Defect per Produk Manhole

Nama Produk Jumlah Defect (Unit) Persentase (%) Kumulatif

Manhole Cover TA 58 48% 48%

Tabel 4.6 Data Defect per Produk Manhole (Lanjutan)

Gambar 4.2 Diagram Pareto Jenis Defect per Produk Manhole Berdasarkan pengolahan data dengan diagram pareto terhadap produk yang mengalami cacat, didapatkan hasil bahwa produk Manhole Cover TA adalah produk yang paling sering terjadi defect cacat dengan presentase 60%.

b. Diagram Fishbone Defect Rantap pada Manhole Cover TA

Berikut ini merupakan analisis penyebab-penyebab jenis defect yang paling dominan terjadi selama produk memasuki proses pengecoran. Observasi lapangan dan wawancara telah dilakukan agar data yang didapatkan lebih akurat. Diagram fishbone adalah untuk cacat pada Manhole Cover TA.

0%10%

20%30%

40%50%

60%70%

80%90%

100%

0 20 40 60 80 100 120

Jumlah Defect Kumulatif

Machine Methode

Environment Material Man

Manhole Cover Kurang terlatih TA

saat menuangkan

Gambar 4.3 Diagram Fishbone Defect Rantap pada Manhole Cover TA Kurang

c. Perhitungan Failure Mode and Effect Analysis (FMEA)

Failure Mode and Effect Analysis (FMEA) adalah suatu prosedur terstruktur untuk mengidentifikasi dan mencegah sebanyak mungkin mode kegagalan (failure mode). FMEA digunakan untuk mengidentifikasi sumber-sumber dan akar penyebab masalah kualitas serta untuk mengidentifikasi resiko kegagalan yang mungkin timbul.

Seperti Tabel dibawah ini, melakukan pembobotan terhadap kriteria FMEA yaitu Severity, Occurance, dan Detection pada defect Rantap

pada produk Manhole Cover TA.

Tabel 4.8 FMEA Defect Rantap pada Produk Manhole Cover TA

Made of Failure Potential Failure SEV Cause of Failure OCC Current Control DET RPN Ranking

Jenis Produk Manhole Cover

TA

Cara penuangan ke cetakan tidak sesuai SOP.

Memberikan teguran kepada operator terkait standart operasional agar hasil produksi memenuhi spesifikasi dan mengurangi produk cacat.

Membuat standarisasi saat kondisi suhu penuangan cairan logam.

6 180 8

Kurang perawatan secara berkala. 7

Penggunaan mesin secara continue tanpa memperhatikan perawatan mesin.

8 Menyusun jadwal perawatan

mesin. 5 280 4

Peforma mesin tidak

optimal. 5 Komponen udah tidak

layak pakai. 6 Penggantian komponen mesin. 7 210 6

Area kurang tertata 4 Kurangnya kesadaran 5 1. Menyusun jadwal 3 60 10

Made of Failure Potential Failure SEV Cause of Failure OCC Current Control DET RPN Ranking

rapi. operator dalam

menjaga kerapian pada area proses pengecoran.

kebersihan lantai produksi dan membuat kebijakan mengenai kebersihan area proses pengecoran.

2. Periksa kebersihan dan kerapian alat cetakan sesudah dan sebelum

5 Menyediakan fasilitas

penunjang kepada operator. 6 150 9

penyimpanan untuk bahan baku pasir cetak.

6 336 3

Kurang terlatih saat 7 Tidak ada pelatihan 8 Memberikan pelatihan kepada 8 448 1 Tabel 4.8 FMEA Defect Rantap pada Produk Manhole Cover TA. (Lanjutan)

Made of Failure Potential Failure SEV Cause of Failure OCC Current Control DET RPN Ranking menuangkan logam. terhadap operator. operator mengenai proses

pengecoran.

Operator kurang teliti kepadatan pasir cetak. 6

Operator terburu-buru dalam membuat cetakan pasir cetak.

7

Memberikan teguran kepada operator terkait standart operasional perusahaan.

6 252 5

Tabel 4.8 FMEA Defect Rantap pada Produk Manhole Cover TA. (Lanjutan)

2. Produk Flange

a. Diagram Pareto Produk Flange

Selanjutnya untuk mengetahui jenis defect, jumlah defect dan diagram pareto pada produk Flange di proses pengecoran dapat dilihat pada Tabel 4.9 dan Gambar 4.4.

Tabel 4.9 Resume Jenis Defect Produk Flange

Jenis Defect Jumlah Defect (Unit) Persentase (%) Kumulatif

Kropos 11 39% 39%

Gambar 4.4 Diagram Pareto Jenis Defect Produk Flange

0%

Kropos Rantap Tabet Tidak Utuh Rusak Tulisan

Jumlah Defect Kumulatif

Berdasarkan data-data dari temuan defect yang dilakukan pada proses pengecoran dan setelah diolah dengan Diagram Pareto, hasilnya adalah jenis defect cacat pada produk Flange adalah jenis defect paling dominan dengan 11% yaitu kropos dan rantap.

Selanjutnya harus diprioritaskan untuk dilakukan perbaikan. Setelah didapatkan jenis defect yang diprioritaskan, akan dilakukan pengolah data dengan diagram pareto terhadap produk yang mengalami defect per produk. Pada Tabel 4.10, Tabel 4.11 dan Gambar 4.5 memperlihatkan data defect cacat per produk beserta resume defect.

Tabel 4.10 Data Defect per Produk Flange No. Nama

Produk

Bulan Jumlah

Defect Juni Juli Agustus September Oktober November

1 Flange

Tabel 4.11 Resume Jenis Defect per Produk Flange

Nama Produk Jumlah Defect (Unit) Persentase (%) Kumulatif

Flange Spigot 11 37% 37%

Tee All Flange 9 30% 67%

Flange Socket 7 23% 90%

Bend All Flange 3 10% 100%

Total 30

Gambar 4.5 Diagram Pareto Jenis Defect per Produk Flange Berdasarkan pengolahan data dengan Diagram Pareto terhadap produk yang mengalami cacat, didapatkan hasil bahwa Produk Flange Spigot adalah produk yang paling sering terjadi defect cacat dengan presentase 37%.

b. Diagram Fishbone Defect Kropos pada Flange Spigot

Berikut ini merupakan analisis penyebab-penyebab jenis defect yang paling dominan terjadi selama produk memasuki proses pengecoran. Telah dilakukan observasi lapangan dan wawancara terkait agar data yang didapatkan lebih akurat. Diagram fishbone di

Machine Methode

Environment Material Man

Flange Spigot

Kurang Konsentrasi Cara

pembongkaran tidak sesuai

SOP

Gambar 4.6 Diagram Fishbone Defect Kropos pada Flange Spigot Area kurang

tertata rapi

Fasilitas untuk operator kurang

memadai

Kurang perawatan secara berkala

Peforma mesin tidak optimal

Kualitas bahan baku logam kurang bagus

Pasir cetak lembab

d. Perhitungan Failure Mode and Effect Analysis (FMEA)

Failure Mode and Effect Analysis (FMEA) adalah suatu prosedur terstruktur untuk mengidentifikasi dan mencegah sebanyak mungkin mode kegagalan (failure mode). Seperti Tabel 4.12 dibawah ini, melakukan pembobotan terhadap kriteria FMEA yaitu Severity, Occurance, dan Detection pada defect Kropos pada produk Flange Spigot.

Tabel 4.12 FMEA Defect Rantap pada Produk Flange Spigot

Made of Failure Potential Failure SEV Cause of Failure OCC Current Control DET RPN Ranking

Jenis Produk

Memberikan pelatihan kepada operator mengenai cara proses pembongkaran.

5 175 5

Kurang perawatan secara berkala. 7

Penggunaan mesin secara continue tanpa memperhatikan

perawatan mesin.

8 Menyusun jadwal perawatan

mesin. 5 280 3 operator dalam menjaga kerapian pada area proses pengecoran.

5

1. Menyusun jadwal kebersihan lantai produksi dan membuat kebijakan mengenai kebersihan area proses pengecoran.

2. Periksa kebersihan dan

3 60 8

Made of Failure Potential Failure SEV Cause of Failure OCC Current Control DET RPN Ranking kerapian alat cetakan

sesudah dan sebelum

Fasilitas yang diberikan perusahaan kurang memadai.

5 Menyediakan fasilitas

penunjang kepada operator. 6 150 6

Pasir cetak lembab 7 Penempatan yang salah pada pasir cetak. 8

Menyediakan tempat

penyimpanan untuk bahan baku pasir cetak.

6 336 2

Operator kurang

konsentrasi. 4 Karena operator terpapar

suhu panas. 5

Menyediakan tempat yang dingin saat istirahat untuk operator.

6 120 7

Tabel 4.12 FMEA Defect Rantap pada Produk Flange Spigot. (Lanjutan)

3. Produk Giboult Joint a. Diagram Pareto

Selanjutnya untuk mengetahui jenis defect, jumlah defect dan diagram pareto pada produk Giboult Joint di proses pengecoran dapat dilihat pada Tabel 4.13 dan Gambar 4.7.

Selanjutnya untuk mengetahui jenis defect, jumlah defect dan diagram pareto pada produk Giboult Joint di proses pengecoran dapat dilihat pada Tabel 4.13 dan Gambar 4.7.

Dokumen terkait