• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III METODE PENELITIAN

C. Diagram Alir

Metode penelitan adalah tata cara yang dilakukan pada penelitian dalam rangka mengumpulkan informasi atau data yang digunakan untuk mencapai tujuan. Berikut adalah gambar yang merupakan tahapan dan langkah dalam penelitian dalam bentuk diagram.

Gambar 3.1 Diagram Alir Penelitian

28 BAB IV

PENGUMPULAN DAN PENGOLAHAN DATA

A. Data Umum Perusahaan 1. Profil Perusahaan

Perusahaan pada tahun 1968 dengan nama aneka karya merupakan perusahaan perseorangan milik bapak H.M.Husnun H.S. Ketika itu Aneka Karya masih sejenis industri kecil dengan kegiatan meliputi pengecoran awal, penanganan perantara serta usaha-usaha kecil lainnya. Di samping itu produksinya masih berupa wajan atau tempat penggorengan, kerekan sumur, komponen mesin jahit dan produk lainnya. Pada perintisan awal ini seluruh permodalan masih dibiayai oleh bapak H.M. Husnun H.S dan masih menerapkan teknologi pengecoran sederhana seperti dapur tangki.

Pengadaan bahan bakunya masih local serta hasil produksinya masih sempit.

Mulai tanggal 22 maret 1973 perusahaan berubah bentuk menjadi persekutuan komanditer (CV), dengan akta notaries No.50/22/3/1973 dihadapan notaris R. Sugono Notodisuryo,D.H, saat itu perusahaan sudah mengkhususkan diri untuk memproduksi barang-barang berskala besar.

Pemimpin perusahaan ini merasa bahwa untuk dapat bersaing dengan perusahaan lainnya, CV Aneka Karya harus meningkatkan kualitas produksinya sehingga jumlah permintaan dapat meningkat.

CV Aneka Karya mendapat bimbingan terkait dari MIDC (Metal Industri Development Centre) dan departemen perindustrian. Mulai tahun 1982 proses peleburan besi dilakukan dengan menggunalkan dapur kapola.sedangkan untuk kebutuhan permodalan CV Aneka Karya mendapat bantuan dari Bank Bumi Daya cabang surakarta. Perusahaan ini untukmendapatkan kepercayaan dalam mengejar tender maka perusahaan harus memperoleh pinjaman untuk memperkuat kedudukan perusahaan.

Maka pada tanggal 23 desember 1980 perusahaan ini diubah bentuknya menjadi Perseroan Terbatas (PT) dengan akta notary Subekti, SH dengan nama PT Aneka Karya. Selanjutnya perusahaan ini mengalami peningkatan permintaan terus menerus sehingga perusahaan menjadi sulit mengimbanginnya. Untuk mengatasihal tersebut maka perusahaan mendirikan PT Aneka Karya Unit II yang diresmikan oleh Dirjen Industri Kecil Departemen Perindustrian pada tanggal 28 Juni 1986 sehingga perusahaan menjadi PT Aneka Karya Unit I dan Unit II.

Pada tahun 1992 pemerintah mengeluarkan peraturan bahwa badan usaha perseroan harus memiliki lebih dari 3 kata, maka atas keputusan itu nama perusahaan menjadi PT Aneka Adhilogam Karya pada pertengahan bulan April 1994. Pada tahun ini juga perusahaan mulai menerapkan teknologi peleburan Induction Furnace dengan kapasitas 1,1 ton/tungku/jam dan perusahaan ini memiliki dua unit tungku peleburan.

2. Jenis Produk dan Pemasaran

Jenis produk yang dihasilkan di PT Aneka Adhilogam Karya mempunyai variasi jenis yang beraneka ragam, tetapi tetap dalam batasan benda-benda cor dengan spesifikasi sambungan pipa. Jenis produksi yang dihasilkan antara lain:

a. Collar f. Box Street k. Coupling universal

b. Flage Socket g. Reducer l. DLL

c. Flage Spigot h. Tee d. All Flange Tae i. Bend

e. All Socket Tae j. Giboult Joint

Produk tersebut diproduksi dalam berbagai ukuran sesuai dengan pemesanan. pemesanan produknya selain menerima order atau pesanan dalam negeri juga mengeksport ke berbagai negara seperti Malaysia, Singapura, Filipina dan Korea Selatan.

B. Pengumpulan Data

Dalam pengumpulan data ini berisi tentang data-data yang telah dikumpulkan oleh peneliti melalui beberapa metode pengumpulan data. Data-data yang dikumpulkan yaitu Data-data umum perusahaan serta Data-data-Data-data perusahaan yang berkaitan dengan penelitian untuk diolah sebagai bahan pertimbangan dan penyelesian pada penelitian yang sedang dilakukan. Data dapat dilihat sebagai berikut:

1. Data Defect

Pada penelitian ini produk dikelompokkan menjadi 3 tipe produk yaitu Produk Manhole, Produk Flange dan Produk Giboult Joint. Pada sub bab ini berisi tentang temuan-temuan defect yang ditemukan di proses pengecoran. Data defect di ambil dari bulan Juni sampai dengan bulan November 2019. Berikut ini merupakan data defect yang terjadi di bulan Juni-November 2019 seperti tertera pada Tabel 4.1, Tabel 4.2 dan Tabel 4.3.

Tabel 4.1 Data Temuan Defect Produk Manhole

No. Nama Produk

Tabel 4.2 Data Temuan Defect Produk Flange

No. Nama Produk

Tabel 4.3 Data Temuan Defect Produk Giboult Joint Quality Control. Pengertian jenis-jenis defect dapat dilihat pada Tabel 4.4.

Tabel 4.4 Pengertian Jenis Defect

No. Jenis Defect Pengertian

1 Kropos Sebuah defect yang berupa adanya material yang kurang padat.

2 Rantap Sebuah defect dalam suatu produk seperti terkena rayap.

3 Rusak Tulisan Sebuah defect yang berupa tulisan tidak terbaca dengan sempurna.

4 Tidak Utuh Sebuah defect yang berupa bentuk produk tidak sesuai standart perusahaan.

5 Tabet Sebuah defect dalam suatu produk material tidak berbeda dalam kepadatannya.

C. Pengolahan Data

Dalam tahap ini berisi tentang analisis yang dilakukan oleh peneliti untuk menentukan jenis defect paling dominan yang terjadi saat proses pemgecoran serta mengidentifikasi penyebab-penyebab yang mengahasilkan produk cacat pada bagian tersebut. Dalam tahap ini analisa yang dilakukan

menggunakan bantuan diagram pareto dan root cause analysis menggunakan diagram fishbone. Produk yang diteliti ada 3 tipe produk yaitu produk Manhole, produk Flange dan produk Giboult Joint.

1. Produk Manhole

a. Diagram Pareto Produk Manhole

Setelah mendapatkan data defect dari proses pengecoran, selanjutnya akan menentukan jenis defect apa yang paling dominan dan harus segera dicari perbaikannya. Untuk mengetahui jenis defect, jumlah defect dan diagram pareto pada produk Manhole di proses pengecoran dapat dilihat pada Tabel 4.5 dan Gambar 4.1.

Tabel 4.5 Resume Jenis Defect Produk Manhole

Jenis Defect Jumlah Defect (Unit) Persentase (%) Kumulatif

Rantap 75 60% 60%

Rusak Tulisan 34 27% 87%

Tidak Utuh 9 7% 94%

Kropos 7 6% 100%

Tabet 0 0% 100%

Total 125

Gambar 4.1 Diagram Pareto Jenis Defect Produk Manhole Berdasarkan data-data dari temuan defect yang dilakukan pada proses pengecoran dan setelah diolah dengan Diagram Pareto, hasilnya adalah jenis defect cacat pada produk Manhole adalah jenis defect paling dominan dengan 60% yaitu rantap dan harus diprioritaskan untuk dilakukan perbaikan. Setelah didapatkan jenis defect yang diprioritaskan, akan dilakukan pengolah data dengan Diagram Pareto terhadap produk yang mengalami defect per produk. Tabel 4.6, Tabel 4.7 dan Gambar 4.2 menunjukkan data defect cacat per produk beserta resume defect nya.

Tabel 4.6 Data Defect per Produk Manhole No. Nama

Produk

Bulan Jumlah

Defect Juni Juli Agustus September Oktober November

1 Manhole

No. Nama Produk

Bulan Jumlah

Defect Juni Juli Agustus September Oktober November

4 Manhole

Tabel 4.7 Resume Jenis Defect per Produk Manhole

Nama Produk Jumlah Defect (Unit) Persentase (%) Kumulatif

Manhole Cover TA 58 48% 48%

Tabel 4.6 Data Defect per Produk Manhole (Lanjutan)

Gambar 4.2 Diagram Pareto Jenis Defect per Produk Manhole Berdasarkan pengolahan data dengan diagram pareto terhadap produk yang mengalami cacat, didapatkan hasil bahwa produk Manhole Cover TA adalah produk yang paling sering terjadi defect cacat dengan presentase 60%.

b. Diagram Fishbone Defect Rantap pada Manhole Cover TA

Berikut ini merupakan analisis penyebab-penyebab jenis defect yang paling dominan terjadi selama produk memasuki proses pengecoran. Observasi lapangan dan wawancara telah dilakukan agar data yang didapatkan lebih akurat. Diagram fishbone adalah untuk cacat pada Manhole Cover TA.

0%10%

20%30%

40%50%

60%70%

80%90%

100%

0 20 40 60 80 100 120

Jumlah Defect Kumulatif

Machine Methode

Environment Material Man

Manhole Cover Kurang terlatih TA

saat menuangkan

Gambar 4.3 Diagram Fishbone Defect Rantap pada Manhole Cover TA Kurang

c. Perhitungan Failure Mode and Effect Analysis (FMEA)

Failure Mode and Effect Analysis (FMEA) adalah suatu prosedur terstruktur untuk mengidentifikasi dan mencegah sebanyak mungkin mode kegagalan (failure mode). FMEA digunakan untuk mengidentifikasi sumber-sumber dan akar penyebab masalah kualitas serta untuk mengidentifikasi resiko kegagalan yang mungkin timbul.

Seperti Tabel dibawah ini, melakukan pembobotan terhadap kriteria FMEA yaitu Severity, Occurance, dan Detection pada defect Rantap

pada produk Manhole Cover TA.

Tabel 4.8 FMEA Defect Rantap pada Produk Manhole Cover TA

Made of Failure Potential Failure SEV Cause of Failure OCC Current Control DET RPN Ranking

Jenis Produk Manhole Cover

TA

Cara penuangan ke cetakan tidak sesuai SOP.

Memberikan teguran kepada operator terkait standart operasional agar hasil produksi memenuhi spesifikasi dan mengurangi produk cacat.

Membuat standarisasi saat kondisi suhu penuangan cairan logam.

6 180 8

Kurang perawatan secara berkala. 7

Penggunaan mesin secara continue tanpa memperhatikan perawatan mesin.

8 Menyusun jadwal perawatan

mesin. 5 280 4

Peforma mesin tidak

optimal. 5 Komponen udah tidak

layak pakai. 6 Penggantian komponen mesin. 7 210 6

Area kurang tertata 4 Kurangnya kesadaran 5 1. Menyusun jadwal 3 60 10

Made of Failure Potential Failure SEV Cause of Failure OCC Current Control DET RPN Ranking

rapi. operator dalam

menjaga kerapian pada area proses pengecoran.

kebersihan lantai produksi dan membuat kebijakan mengenai kebersihan area proses pengecoran.

2. Periksa kebersihan dan kerapian alat cetakan sesudah dan sebelum

5 Menyediakan fasilitas

penunjang kepada operator. 6 150 9

penyimpanan untuk bahan baku pasir cetak.

6 336 3

Kurang terlatih saat 7 Tidak ada pelatihan 8 Memberikan pelatihan kepada 8 448 1 Tabel 4.8 FMEA Defect Rantap pada Produk Manhole Cover TA. (Lanjutan)

Made of Failure Potential Failure SEV Cause of Failure OCC Current Control DET RPN Ranking menuangkan logam. terhadap operator. operator mengenai proses

pengecoran.

Operator kurang teliti kepadatan pasir cetak. 6

Operator terburu-buru dalam membuat cetakan pasir cetak.

7

Memberikan teguran kepada operator terkait standart operasional perusahaan.

6 252 5

Tabel 4.8 FMEA Defect Rantap pada Produk Manhole Cover TA. (Lanjutan)

2. Produk Flange

a. Diagram Pareto Produk Flange

Selanjutnya untuk mengetahui jenis defect, jumlah defect dan diagram pareto pada produk Flange di proses pengecoran dapat dilihat pada Tabel 4.9 dan Gambar 4.4.

Tabel 4.9 Resume Jenis Defect Produk Flange

Jenis Defect Jumlah Defect (Unit) Persentase (%) Kumulatif

Kropos 11 39% 39%

Gambar 4.4 Diagram Pareto Jenis Defect Produk Flange

0%

Kropos Rantap Tabet Tidak Utuh Rusak Tulisan

Jumlah Defect Kumulatif

Berdasarkan data-data dari temuan defect yang dilakukan pada proses pengecoran dan setelah diolah dengan Diagram Pareto, hasilnya adalah jenis defect cacat pada produk Flange adalah jenis defect paling dominan dengan 11% yaitu kropos dan rantap.

Selanjutnya harus diprioritaskan untuk dilakukan perbaikan. Setelah didapatkan jenis defect yang diprioritaskan, akan dilakukan pengolah data dengan diagram pareto terhadap produk yang mengalami defect per produk. Pada Tabel 4.10, Tabel 4.11 dan Gambar 4.5 memperlihatkan data defect cacat per produk beserta resume defect.

Tabel 4.10 Data Defect per Produk Flange No. Nama

Produk

Bulan Jumlah

Defect Juni Juli Agustus September Oktober November

1 Flange

Tabel 4.11 Resume Jenis Defect per Produk Flange

Nama Produk Jumlah Defect (Unit) Persentase (%) Kumulatif

Flange Spigot 11 37% 37%

Tee All Flange 9 30% 67%

Flange Socket 7 23% 90%

Bend All Flange 3 10% 100%

Total 30

Gambar 4.5 Diagram Pareto Jenis Defect per Produk Flange Berdasarkan pengolahan data dengan Diagram Pareto terhadap produk yang mengalami cacat, didapatkan hasil bahwa Produk Flange Spigot adalah produk yang paling sering terjadi defect cacat dengan presentase 37%.

b. Diagram Fishbone Defect Kropos pada Flange Spigot

Berikut ini merupakan analisis penyebab-penyebab jenis defect yang paling dominan terjadi selama produk memasuki proses pengecoran. Telah dilakukan observasi lapangan dan wawancara terkait agar data yang didapatkan lebih akurat. Diagram fishbone di

Machine Methode

Environment Material Man

Flange Spigot

Kurang Konsentrasi Cara

pembongkaran tidak sesuai

SOP

Gambar 4.6 Diagram Fishbone Defect Kropos pada Flange Spigot Area kurang

tertata rapi

Fasilitas untuk operator kurang

memadai

Kurang perawatan secara berkala

Peforma mesin tidak optimal

Kualitas bahan baku logam kurang bagus

Pasir cetak lembab

d. Perhitungan Failure Mode and Effect Analysis (FMEA)

Failure Mode and Effect Analysis (FMEA) adalah suatu prosedur terstruktur untuk mengidentifikasi dan mencegah sebanyak mungkin mode kegagalan (failure mode). Seperti Tabel 4.12 dibawah ini, melakukan pembobotan terhadap kriteria FMEA yaitu Severity, Occurance, dan Detection pada defect Kropos pada produk Flange Spigot.

Tabel 4.12 FMEA Defect Rantap pada Produk Flange Spigot

Made of Failure Potential Failure SEV Cause of Failure OCC Current Control DET RPN Ranking

Jenis Produk

Memberikan pelatihan kepada operator mengenai cara proses pembongkaran.

5 175 5

Kurang perawatan secara berkala. 7

Penggunaan mesin secara continue tanpa memperhatikan

perawatan mesin.

8 Menyusun jadwal perawatan

mesin. 5 280 3 operator dalam menjaga kerapian pada area proses pengecoran.

5

1. Menyusun jadwal kebersihan lantai produksi dan membuat kebijakan mengenai kebersihan area proses pengecoran.

2. Periksa kebersihan dan

3 60 8

Made of Failure Potential Failure SEV Cause of Failure OCC Current Control DET RPN Ranking kerapian alat cetakan

sesudah dan sebelum

Fasilitas yang diberikan perusahaan kurang memadai.

5 Menyediakan fasilitas

penunjang kepada operator. 6 150 6

Pasir cetak lembab 7 Penempatan yang salah pada pasir cetak. 8

Menyediakan tempat

penyimpanan untuk bahan baku pasir cetak.

6 336 2

Operator kurang

konsentrasi. 4 Karena operator terpapar

suhu panas. 5

Menyediakan tempat yang dingin saat istirahat untuk operator.

6 120 7

Tabel 4.12 FMEA Defect Rantap pada Produk Flange Spigot. (Lanjutan)

3. Produk Giboult Joint a. Diagram Pareto

Selanjutnya untuk mengetahui jenis defect, jumlah defect dan diagram pareto pada produk Giboult Joint di proses pengecoran dapat dilihat pada Tabel 4.13 dan Gambar 4.7.

Tabel 4.13 Resume Jenis Defect Produk Giboult Joint Jenis Defect Jumlah Defect (Unit) Persentase (%) Kumulatif

Rantap 125 39% 39%

Gambar 4.7 Diagram Pareto Jenis Defect Produk Giboult Joint

0%

Berdasarkan data-data dari temuan defect yang dilakukan pada proses pengecoran dan setelah diolah dengan diagram Pareto, hasilnya adalah jenis defect cacat pada produk Giboult Joint adalah jenis defect paling dominan dengan 39% yaitu rantap. Selanjutnya harus diprioritaskan untuk dilakukan perbaikan. Setelah didapatkan jenis defect yang diprioritaskan, akan dilakukan pengolah data dengan diagram pareto terhadap produk yang mengalami defect per produk.

Pada Tabel 4.14, Tabel 4.15 dan Gambar 4.8 memperlihatkan data defect cacat per produk beserta resume defect.

Tabel 4.14 Data Defect per Produk Giboult Joint No. Nama

Produk

Bulan Jumlah

Defect Juni Juli Agustus September Oktober November

1 Giboult

Tabel 4.15 Resume Jenis Defect per Produk Giboult Joint

Nama Produk Jumlah Defect (Unit) Persentase (%) Kumulatif

Giboult Joint 110 150 47% 47%

Gambar 4.8 Diagram Pareto Jenis Defect per Produk Giboult Joint Berdasarkan pengolahan data dengan Diagram Pareto terhadap produk yang mengalami cacat, didapatkan hasil bahwa Produk Giboult Joint 110 adalah produk yang paling sering terjadi defect cacat dengan presentase 47%.

b. Diagram Fishbone Defect Rantap pada Giboult Joint

Berikut ini merupakan analisis penyebab-penyebab jenis defect yang paling dominan terjadi selama produk memasuki proses pengecoran. Telah dilakukan observasi lapangan dan wawancara terkait agar data yang didapatkan lebih akurat. Diagram Fishbone di bawah ini adalah untuk defect Rantap pada Giboult Joint 110.

Machine

Environment Material Man

Giboult

Gambar 4.9 Diagram Fishbone Defect Rantap pada Giboult Joint 110 Fasilitas untuk

c. Perhitungan Failure Mode and Effect Analysis (FMEA)

Failure Mode and Effect Analysis (FMEA) adalah suatu prosedur terstruktur untuk mengidentifikasi dan mencegah sebanyak mungkin mode kegagalan (failure mode). Seperti Tabel 4.16 dibawah ini, melakukan pembobotan terhadap kriteria FMEA yaitu Severity, Occurance, dan Detection pada defect Kropos pada produk Giboult Joint 110.

Tabel 4.16 FMEA Defect Rantap pada Produk Giboult Joint 110

Made of Failure Potential Failure SEV Cause of Failure OCC Current Control DET RPN Ranking

Jenis Produk Giboult Joint 110

Kurang perawatan secara berkala. 7

Penggunaan mesin secara continue tanpa memperhatikan

perawatan mesin.

8 Menyusun jadwal perawatan

mesin. 5 280 3 operator dalam menjaga kerapian pada area proses pengecoran.

5

1. Menyusun jadwal kebersihan lantai produksi dan membuat kebijakan mengenai kebersihan area proses pengecoran.

2. Periksa kebersihan dan kerapian alat cetakan sesudah dan sebelum

5 Menyediakan fasilitas penunjang kepada operator.

6 150 5

Made of Failure Potential Failure SEV Cause of Failure OCC Current Control DET RPN Ranking

memadai. memadai.

Kualitas bahan baku logam kurang bagus. 8

Jenis logam yang dimasukkan kedalam mesin terlalu banyak.

8

Membuat standarisasi pengadaan bahan baku jenis logam.

6 384 1

Pasir cetak lembab 7 Penempatan yang salah pada pasir cetak. 8

Menyediakan tempat

penyimpanan untuk bahan baku pasir cetak.

6 336 2

Operator kurang

bersih dalam

membersihkan sisa pasir cetak.

4 Karena pembersih sisa

pasir cetak sudah rusak. 6 Mengganti alat pembersih sisa

pasir cetak. 5 120 6

Tabel 4.16 FMEA Defect Rantap pada Produk Giboult Joint 110 (Lanjutan)

4. Pembobotan AHP dari Kriteria FMEA

Selain pembobotan dengan FMEA, akan dilakukan pembobotan AHP (Analytical Hierarcy Process) terhadap kriteria FMEA. Pembobotan AHP dilakukan karena faktor tersebut memiliki pengaruh yang berbeda. Sehingga, bobot severity, occurrence, dan detection akan dikalikan terlebih dahulu dengan bobot AHP sebelum dilakukan pemeringkatan RPN (Risk Priority Number) dengan bobot AHP. Dapat dilihat pada Tabel 4.17.

Tabel 4.17 Pembobotan terhadap Kriteria Severity, Occurrence, dan Detection

KRITERIA A

SKALA KRITERIA

9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 B

Severity 5 Occurance

Severity 3 Detection

Occurance 3 Detection

Pembobotan di atas didasarkan pada ketetapan pembobotan oleh Thomas L. Saaty dengan memberikan bobot 1-9 pada perbandingan antar kriteria. Dapat dilihat pada Tabel 4.18.

Tabel 4.18 Kriteria Intensitas Kepentingan AHP Intensitas

Kepentingan Keterangan

1 Kedua elemen sama pentingnya.

Intensitas

Kepentingan Keterangan

3 Elemen yang satu sedikt lebih penting daripada elemen yang lainnya.

5 Elemen yang satu lebih penting daripada elemen lainnya.

7 Satu elemen jelas lebih mutlak penting daripada elemen lainnya.

9 Satu elemen mutlak penting daripada elemen lainnya.

2,4,6,8 Nilai-nilai antara dua nilai pertimbangan-pertimbangan yang berdekatan.

Pada Tabel 4.18 expert berpendapat bahwa kriteria severity sedikit lebih penting dibandingkan kriteria occurrence, kriteria severity lebih penting dibandingkan kriteria detactability, dan kriteria occurrence sedikit lebih penting dibandingkan dengan kriteria detectability.

a. Perhitungan Bobot AHP (Analytical Hierarchy Process)

Perhitungan metode FMEA secara normal menimbang bobot Severity (S), Occurrence (O), dan Detactability (D) secara sama atau sebanding, namun dalam kasus yang nyata kriteria tersebut memiliki bobot yang berbeda-beda (Aslani, 2014) . Untuk menjawab permasalahan tersebut, digunakan metode AHP (Analytical Hierarchy Process). Berikut adalah hasil dari pembobotan AHP yang diberikan oleh expert:

Tabel 4.18 Kriteria Intensitas Kepentingan AHP (Lanjutan)

1) Faktor severity sedikit lebih penting dari pada faktor occurrence (3).

2) Faktor severity lebih penting dari pada faktor detactability (5).

3) Faktor occurence sedikit lebih penting dari pada faktor detectability (3).

Dari pendapat expert di atas, perbandingan antar kriteria disajikan pada Tabel 4.19.

Tabel 4.19 Pendapat expert terhadap Kriteria Perbandingan Berpasangan

Kriteria Severity Occurance Detection

Severity 1 3 5

Occurance 0.33 1 3

Detection 0.20 0.33 1

Total 1.53 4.33 9.00

b. Menghitung Priority Weight

Nilai ini didapat dari membagi nilai sel dengan jumlah setiap kolom yang berkesesuaian, kemudian dijumlahkan dan dirata-rata tiap barisnya. Rata-rata menunjukkan nilai priority weight untuk setiap baris yang bersangkutan. Berikut adalah hasil menghitung priority weight pada Tabel 4.20.

Tabel 4.20 Hasil Perhitungan Priority Weight

Priority Weight Severity Occurance Detection Jumlah Eigen Vector

Severity 0.65 0.69 0.56 1.90 0.63

Priority Weight Severity Occurance Detection Jumlah Eigen Vector

Occurance 0.22 0.23 0.33 0.78 0.26

Detection 0.13 0.08 0.11 0.32 0.11

Total 1 1 1 3 1

c. Menghitung Consistency Ratio

1) Mengalikan matriks dengan prioritas bersesuaian.

|

2) Membagi hasil dari perhitungan diatas dengan Priority Weight.

Untuk memperoleh nilai Rasio Konsistensi maka dilakukan pembagian antara Consistency Index (CI) dan Indeks Random (IR).

Jika rasio konsistensi ≤ 0.1, hasil perhitungan data dapat dibenarkan. Dapat dilihat pada Tabel 4.21.

Tabel 4.20 Hasil Perhitungan Priority Weight (Lanjutan)

Tabel 4.21 Nilai Indeks Random

N 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11

RC 0.00 0.00 0.58 0.90 1.12 1.24 1.32 1.41 1.45 1.49 1.51 Dari tabel random di atas diperoleh untuk n = 3, dengan nilai RI sebesar 0.58. Maka nilai Rasio Konsistensi = 0.005/0.58 = 0.0086. Karena nilai rasio konsistensi adalah 0.0086 dan nilai tersebut kurang dari 0.1 maka perbandingan yang dilakukan bersifat konsisten dan dapat dibenarkan.

5. Perhitungan Nilai RPN dengan Pembobotan AHP

Menurut Ari Basuki (2015) nilai RPN (Risk Priority Number) yang baru merupakan hasil perkalian antara nilai RPN cara konvensional dengan pembobotan AHP yang telah dilakukan.

Besarnya nilai RPN baru adalah:

RPN = (WS x S) + (WO x O) + (WD x D)

Dimana:

WS, WO, dan WD adalah bobot relatif dari faktor severity, occurrence, dan detection.

Berikut ini adalah hasil perkalian antara bobot relatif dengan nilai severity, occurrence, dan detection terhadap jenis defect Rantap pada produk Manhole Cover TA. Dapat dilihat pada Tabel 4.22.

Tabel 4.22 Perhitungan RPN Baru dengan Bobot AHP Defect Rantap pada Manhole Cover TA

No Potential Failure SEV OCC DET WS WO WD RPN

Selanjutnya adalah mengenai perhitungan RPN baru dengan bobot AHP pada jenis defect Kropos pada produk Flange Spigot.

Dapat dilihat pada Tabel 4.23.

Tabel 4.23 Perhitungan RPN Baru dengan Bobot AHP Defect Kropos pada Flange Spigot

No Potential Failure SEV OCC DET WS WO WD RPN

Selanjutnya adalah mengenai perhitungan RPN baru dengan bobot AHP pada jenis defect Rantap pada produk Giboult Joint 110.

Dapat dilihat pada Tabel 4.24.

Tabel 4.24 Perhitungan RPN Baru dengan Bobot AHP Defect Rantap pada Giboult Joint 110

No Potential Failure SEV OCC DET WS WO WD RPN

No Potential Failure SEV OCC DET WS WO WD RPN berisi perbandingan antara nilai RPN Normal dengan nilai RPN yang telah dikalikan dengan bobot AHP terhadap defect pada Manhole Cover TA, Flange Spigot dan Giboult Joint 110:

Tabel 4.25 Perbandingan RPN Normal dengan RPN-AHP Defect Rantap pada Manhole Cover TA

No Potential Failure RPN Ranking RPN-AHP Ranking

1

Cara penuangan ke cetakan tidak sesuai SOP.

No Potential Failure RPN Ranking RPN-AHP Ranking

Tabel 4.25 Perbandingan RPN Normal dengan RPN-AHP Defect Kropos Flange Spigot

No Potential Failure RPN Ranking RPN-AHP Ranking 1 Cara pembongkaran

Tabel 4.25 Perbandingan RPN Normal dengan RPN-AHP Defect Rantap Giboult Joint 110

No Potential Failure RPN Ranking RPN-AHP Ranking 1 Kurang perawatan secara

berkala. 280 3 7.04 3

2 Peforma mesin tidak

optimal. 210 4 5.48 4

3 Area kurang tertata rapi. 60 7 4.15 7

4

Fasilitas untuk operator

kurang memadai. 150 5 5.11 5

5

Kualitas bahan baku

Kualitas bahan baku

Dokumen terkait