• Tidak ada hasil yang ditemukan

Oleh: Andrew Reynolds (University of North Carolina at Chapel Hill), August Mellaz (Perludem)

ABSTRAK

Sistem Pemilu merupakan hal yang menentukan penyelenggaraan pemilu yang lebih baik. dalam rangka penyelenggaraan Pemilu 2014, setidaknya terdapat tujuh isu yang perlu diperhatikan guna menyediakan landasan yang sah dan demokratis untuk pemilihan anggota parlemen di tingkat nasional atau anggota dewan Perwakilan rakyat (dPr). Ketujuh isu tersebut itu adalah: (1) formula penghitungan dan perolehan kursi partai politik; (2) formula dan alokasi kursi dPr ke provinsi; (3) penerapan ambang batas (threshold) perolehan suara sebagai syarat mendapatkan kursi dPr; (4) mekanisme penyertaan gender karena sekarang terdapat sistem daftar calon terbuka; (5) perlu atau tidaknya pengurangan kursi setiap daerah pemilihan; (6) ukuran parlemen atau jumlah anggota dPr, dan; (7) masalah-masalah yang berkaitan dengan desain surat suara dan tata cara pemberian suara.

B

anGSa Indonesia mestinya bangga dengan sistem pemilunya yang demokratis. Sejak tahun 1998 Indonesia telah mengembangkan sistem demokrasi yang kompetitif dan dinamis. Pemilu adalah tentang kompetisi, ada pihak yang menang dan yang kalah; pemilu adalah soal pembentukan pemerintahan atas kehendak rakyat yang diekspresikan melalui pemungutan suara. namun dalam penerapannya, baik di negara mapan maupun negara yang baru menerapkan demokrasi, banyak hal dalam pemilu yang harus ditingkatkan, baik dari segi kerangka hukum maupun praktek pelaksanaannya.

dalam rangka penyelenggaraan Pemilu 2014, setidaknya terdapat tujuh isu yang perlu diperhatikan guna menyediakan landasan yang sah dan demokratis untuk pemilihan anggota parlemen di tingkat nasional atau anggota dewan Perwakilan rakyat (dPr). Ketujuh isu tersebut itu adalah: (1) formula penghitungan dan perolehan kursi partai politik; (2) formula dan alokasi kursi DPR ke provinsi; (3) penerapan ambang batas (threshold) perolehan suara sebagai syarat mendapatkan kursi dPr; (4) mekanisme penyertaan gender karena sekarang terdapat sistem daftar calon terbuka; (5) perlu atau tidaknya pengurangan kursi setiap daerah pemilihan; (6) ukuran parlemen atau jumlah anggota DPR, dan; (7) masalah-masalah yang berkaitan dengan desain surat suara dan tata cara pemberian suara.tercapainya kesepakatan di antara partai politik dan kelompok- kelompok masyarakat sipil atas ketujuh isu tersebut akan menstabilkan proses pemilu dan meningkatkan legitimasi hasil pemilu.

Prinsip utama reformasi pemilu adalah membangun legitimasi dan kejelasan. Hal ini akan terwujud apabila terdapat pemahaman mendalam dan konsistensi penerapan undang-undang pemilu, bukan hanya bagi pemilih dan partai politik, tetapi juga bagi lembaga penyelenggara pemilu (KPU). Ketika semua peserta pemilu beserta penyelenggara pemilu memiliki kejelasan yang sama mengenai aturan main, maka proses pemilu akan berjalan seperti yang dikehendaki dan hasilnya akan disepakati. Kejelasan yang berkaitan dengan isu-isu di atas dapat ditemukan melalui pilihan-pilihan yang sesuai dengan kebutuhan demokrasi Indonesia. Selanjutnya, aturan pemilu hendaknya memberikan kejelasan kriteria dan kepastian hukum sehingga terbebas dari kemungkinan praktek manipulasi atau pengaruh yang sifatnya partisan.

1. FORMULA PENGHITUNGAN PEROLEHAN

KURSI PARTAI POLITIK

Semua sistem pemilu proporsional (Proportional representation, Pr) memanfaatkan formula matematika untuk mendistribusikan perolehan kursi kepada setiap partai politik yang memenuhi syarat ambang

batas (threshold). ada sejumlah metode atau formula yang sah dan demokratis, diantaranya: metode kuota “sisa suara terbanyak” (droop dan Hare) dan metode “rata-rata tertinggi” atau divisor (d’Hondt dan Saint-

Laguё). Pada Pemilu 2009, Indonesia mengadaptasi metode sisa suara

terbanyak (kuota Hare). Untuk penghitungan kursi dPr pada tingkat nasional, partai politik harus memenangkan setidaknya 0,5% dari kuota (50% Bilangan Pembagi Pemilih) sebagai syarat untuk mendapatkan alokasi kursi pada tahap II, dan syarat lainnya pada penghitungan kursi tahap III. Persyaratan serupa tidak berlaku pada penghitungan kursi dPrd provinsi dan dPrd kabupaten/kota.

dalam proses penyelenggaraan Pemilu 2009, terjadi sengketa berkenaan dengan dua unsur dari formula pembagian sisa kursi tersebut: Pertama, dalam hal perolehan kursi yang tidak memenuhi kuota, apakah ketentuan 0,5% kuota atau (50% BPP) dihitung hanya berdasarkan suara total partai politik yang telah memenangakan kursi di setiap daerah pemilihan, atau juga berlaku baik untuk suara total dan “sisa suara”? Kedua, dalam hal penghitungan kursi tahap III pada tingkat propinsi, apakah melibatkan suara partai politik dari seluruh daerah pemilihan, atau hanya suara partai politik dari setiap daerah pemilihan yang memiliki sisa kursi?

Setelah melalui sengketa hukum di Mahkamah agung dan Mahkamah Konstitusi, KPU akhirnya menerapkan penghitungan perolehan kursi partai politik pada tahap II atau 50% BPP dengan melibatkan sisa suara. Sementara untuk penghitungan perolehan kursi tahap III melibatkan sisa suara dari seluruh daerah pemilihan yang ada pada setiap provinsi.

Berdasarkan berbagai perbandingan, tampak bahwa metode kuota “sisa suara terbanyak” sedikit menguntungkan partai-partai besar, sementara metode rata-rata tertinggi atau divisor memberikan sedikit keuntungan kepada partai yang lebih kecil. namun secara keseluruhan, perbedaan dari dua metode tersebut dalam alokasi kursi tidaklah

signifikan.

Untuk Pemilu 2014, ada dua pilihan untuk mengakhiri kontroversi masa mendatang: Pertama, mempertahankan dan menyetujui formula penghitungan perolehan kursi yang telah diterapkan oleh KPU pada Pemilu 2009 dalam penghitungan hasil akhir pemilu legislatif. Kedua, mengubah undang-undang dan ketentuan penghitungan perolehan kursi

partai politik dengan mengadopsi formula rata-rata tertinggi ―baik Saint- Laguё atau D’Hondt.

Simulasi penghitungan perolehan kursi dengan metode berbeda dapat diliihat pada Lampiran A. Keuntungan utama menggunakan metode divisor adalah penghitungan perolehan kursi partai politik hanya memerlukan satu tahap penghitungan saja. tentu saja hal itu dapat menghindari kompleksitas dan kontroversi penghitungan kursi partai politik sebagaimana terjadi pada Pemilu 2009, yang bisa mencapai empat tahap. Kami juga merekomendasikan adanya suatu lokakarya yang mengarah kepada kesepakatan bersama, di mana semua pemangku kepentingan (partai politik dan KPU) memahami dan menyetujui formula pengitungan perolehan kursi partai politik yang akan digunakan dan bagaimana formula tersebut akan diterapkan.

2. FORMULA ALOKASI KURSI DPR RI KE

PROVINSI

Ketentuan yang mengatur jumlah kursi dPr bagi masing-masing provinsi masih menjadi perdebatan. Praktik internasional terbaik dari alokasi kursi berpegang pada tiga prinsip: pertama, harus ada dasar logis yang jelas untuk menentukan jumlah kursi yang akan

dialokasikan pada wilayah geografis tertentu, dan kriteria tersebut

harus jelas secara hukum dan transparan; kedua, data kependudukan terkini atau data pemilih terkini hendaknya digunakan sebagai dasar dalam pengambilan keputusan, meskipun beberapa persyaratan khusus

perlu dilibatkan (seperti pertimbangan faktor geografis), dan; ketiga,

kewenangan pengalokasian kursi dibebaskan dari pertimbangan dan kelompok partisan, serta dilakukan oleh sebuah badan independen.

Masalah pokok alokasi kursi dPr ke 33 provinsi kursi saat ini adalah adanya ketidakjelasan dan ketidakkonsisten. Pertanyaannya adalah, apakah seharusnya alokasi kursi murni didasarkan hanya pada populasi semata, atau mulai dengan pembagian 50/50 antara Jawa dan Luar Jawa? Pertanyaan kedua adalah, apakah harus ada ketentuan minimal 3 kursi untuk setiap provinsi terlepas dari ukurannya?

data Lampiran B menggunakan data Sensus Penduduk 2010 dan menawarkan empat skenario: pertama, pembagian Jawa-Luar Jawa 50/50 tanpa ada batasan jumlah kursi minimal; kedua,pembagian 50/50 antara Jawa-Luar Jawa dengan minimal 3 kursi; ketiga,alokasi sepenuhnya berdasarkan populasi tanpa ada batasan jumlah kursi minimal, dan;

keempat,alokasi berdasarkan populasi dengan minimal 3 kursi.

Sebagaimana ditunjukan oleh Lampiran B, pemberlakuan pembatasan minimal 3 kursi hanya akan mempengaruhi Papua Barat. namun perbedaan antara pembagian 50/50 dan alokasi semata- mata berdasarkan jumlah penduduk jauh lebih berdampak. Pada Pemilu 2009, 55% kursi jatuh ke Jawa. Jika aturan 50/50 digunakan, enam provinsi di Jawa akan kehilangan 26 kursi. Jika hanya jumlah penduduk digunakan, maka berdasarkan data Sensus Penduduk 2010, Jawa akan memperoleh 15 kursi (dan memiliki 57% dari kursi, sesuai dengan proporsi populasi di Jawa).

3. AMBANG BATAS PERWAKILAN –