• Tidak ada hasil yang ditemukan

RULE BREAKING DAN TEORI HUKUM PROGRESIF DALAM MENYELESAIKAN

Oleh: Devi Darmawan, S.H.

G. RULE BREAKING DAN TEORI HUKUM PROGRESIF DALAM MENYELESAIKAN

PERMASALAHAN PENEGAKAN HUKUM

TINDAK PIDANA PEMILU

Hukum Progresif mengandung sejumlah ide seperti hukum itu seharusnya pro-rakyat dan pro-keadilan, bertujuan untuk kesejahteraan dan kebahagiaan, berdasarkan pada kehidupan yang baik, bersifat

30 Topo Santoso, Tindak Pidana Pemilu, Cet. 1, (Jakarta; Sinar Grafika, 2006), hal. 148. Lihat pula Abdul Fickar Hadjar, Perspektif Penegakan Hukum Tindak Pidana Pemilu, Jurnal Hukum Pantarei (November 2008), Hal. 24

31 Ibid. hal. 29. 32 Ibid. hal. 7-8.

dijalankan dengan kecerdasan spiritual serta bersifat membebaskan.33

Perlu ditekankan disini bahwa hukum progresif bukanlah hukum yang antidengan undang-undang dan bukan juga hukum yang dipakai sebagai dasar pembenaran pelanggaran hukum. teori Hukum Progresif tidak sama sekali menepis kehadiran hukum positif karena hukum progresif tetap menjunjung tinggi aturan hukum tetapi tidak bisa terpasung oleh aturan itu apabila menemui kebuntuan legalitas formal.

Hukum progresif selalu menanyakan “apa yang bisa saya lakukan dengan hukum ini untuk menghadirkan keadilan kepada rakyat (bringing justice to the people)? Rule Breaking menjadi jawaban utamanya.”34 Berkaitan

dengan hal tersebut, maka metode penemuan hukum yang sesuai dengan karakteristik penemuan hukum progresif adalah sebagai berikut:

Metode penemuan hukum yang bersifat visioner dengan melihat 1.

permasalahan hukum tersebut untuk kepentingan jangka panjang ke depan dengan melihat secara case by case.

Metode penemuan hukum yang berada dalam melakukan suatu 2.

terobosan (Rule breaking) dengan melihat dinamika masyarakat, tetapi juga tetap berpedoman pada hukum, kebenaran, dan keadilan serta memihak dan peka pada nasib dan keadaan bangsa dan negaranya.

Metode penemuan hukum yang dapat membawa kesejahteraan 3.

dan kemakmuran masyarakat dan juga dapat membawa bangsa dan negara keluar dari keterpurukan dan ketidakstabilan sosial seperti saat ini.

dengan demikian, Rule breaking merupakan salah satu metode penemuan hukum yang digagas oleh teori Hukum Progressif dengan cara melihat dinamika masyarakat, tetap berpedoman pada hukum, kebenaran, dan keadilan. Oleh karena itu, dalam praktiknya, rule breaking dapat dilakukan oleh seluruh aparat penegak hukum demi menegakan keadilan dengan cara menyampingkan peraturan yang dianggap merugikan dan menimbulkan ketidakadilan yang menyengsarakan masyarakat. Begitu

33 Ibid. hal. 55. 34 Ibid. hal. 48.

pula, dalam menghadapi permasalahan hukum penegakan hukum tindak Pidana Pemilu, sudah sepatutnya aparat penegak hukum keluar dari tekstual hukum dengan menindaklanjuti perkara tindak pidana Pemilu dengan serius tanpa terkendala pada pengaturan jangka waktu penuntutan yang sangat singkat dan tidak rasional. Hal ini didukung pula dengan pendapat dari topo Santoso yang menyatakan bahwa Pembuat Undang-Undang telah keliru dalam menetapkan batasan waktu pelaporan sebagaimana dikutip sebagai berikut:35

“Seharusnya tindak pidana Pemilu memiliki batas waktu daluwarsa yang lebih masuk akal (jika disesuaikan dengan di Pasal 78 KUHP maka daluwarsanya 6 tahun atau 12 tahun, bukan tiga hari). Untuk menjamin adanya keadilan dan kesamaan, disesuaikan saja dengan ketentuan mengenai daluwarsa dalam Pasal 78 KUHP. atau, jika Pembuat Undang- Undang ingin mengadakan aturan yang khusus, bisa saja batas waktu itu dibuat lebih masuk akal, misalnya 1–6 tahun sesudah kejadian.”

Berdasarkan penjelasan yang telah dikemukakan diatas, sudah seharusnya Peraturan Pemilu harus direvisi karena sudah jelas ketentuan batas waktu pelaporan dalam peraturan Pemilu tidak memberikan kebahagiaan dan keadilan bagi masyarakat dimana cara yang dapat ditempuh adalah dengan menggunakan metode rule breaking untuk menghentikan keadaan tersebut. Lagi pula, ketentuan jangka waktu daluwarsa dalam Peraturan Pemilu pada dasarnya merupakan ketentuan yang mengatur mengenai keadilan prosedural semata sehingga harus dapat disampingkan untuk menegakan keadilan substantif. Hanya saja, penggunaan metode penemuan rule breaking ini harus digunakan secara hati-hati untuk menghindari terjadinya penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) oleh aparat penegak hukum tindak Pidana Pemilu.

H PENUTUP

dari uraian yang telah dikemukakan di atas, kesimpulan yang dapat

35 Topo Santoso, Problem Desain dan Penanganan Pelanggaran Pidana

Pemilu dalam Menuju Keadilan Pemilu; Refleksi dan Evaluasi Pemilu 2009,

yang diatur dalam Peraturan Pemilu bukanlah jangka waktu penuntutan dan tidak bertentangan dengan konstitusi.36 akan tetapi, jangka waktu

pelaporan dalam Peraturan Pemilu merupakan ketentuan mengenai daluwarsa penuntutan karena jelas mengakibatkan banyak tindak Pidana Pemilu yang tidak bisa diproses atau diperiksa lebih lanjut karena sudah dianggap daluwarsa.37 Lagipula, Secara teoritis, Penuntutan (dalam arti

luas) merupakan serangkaian proses bilamana sesesorang dituntut telah melakukan pelanggaran hukum dengan ditangkap tangan, atau dilaporkan atau diadukannya kepada pihak yang berwenang kemudian diperiksa, ditahan, dan diadili oleh hakim, akhirnya dieksekusi untuk menjalani hukuman, dan dengan selesai dari menjalani hukuman atau diampuni oleh penguasa maka penuntutan terhadap pelaku telah berakhir.

Secara praktis, batas waktu pelaporan dalam Peraturan Pemilu merupakan ketentuan daluwarsa penuntutan karena dengan terlewatinya batas waktu pelaporan yang ditetapkan oleh Peraturan Pemilu ini terhadap pelaku tindak pidana Pemilu tidak dapat lagi dimintai pertanggungjawaban pidana. Jika merujuk pada penerapan prinsip Lex Specialis Derogat Legi Generali, ketentuan daluwarsa penuntutan dalam KUHP tidak dapat diberlakukan dalam menyelesaikan tindak Pidana Pemilu yang telah daluwarsa karena KUHP merupakan peraturan yang bersifat umum (Lex Generalis) sedangkan Peraturan Pemilu adalah peraturan yang bersifat khusus (Lex Specialis). akan tetapi, jika merujuk pada teori Hukum Progresif dan semangat untuk mewujudkan keadilan dalam Penegakan Hukum Pemilu, sudah seharusnya asas Lex Specialis Derogat Legi Generali

dapat disampingkan untuk mewujudkan keadilan dalam masyarakat. Penyampingan asas Lex Specialis Derogat Legi Generali tersebut merupakan implementasi dari metode penemuan hukum rule breaking

yang digagas oleh teori Hukum Progresif. namun demikian, penggunaan metode penemuan hukum rule breaking ini harus digunakan secara hati- hati agar tidak digunakan secara sewenang-wenang sebagai upaya untuk menghindari munculnya abuse of power dari pihak penegak hukum,

36 putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 100/PUndang-Undang/VII/2009 37 Ibid.

khususnya dalam penyelesaian tindak Pidana Pemilu.

Mengacu pada kesimpulan di atas, saran yang dapat diajukan adalah revisi terhadap ketentuan yang mengatur tentang batas waktu pelaporan dalam tindak Pidana Pemilu. Batas waktu yang ditentukan harus lebih panjang yaitu selama lima tahun sejak perbuatan dilakukan atau setidaknya setara dengan batas waktu yang ditentukan dalam Pasal 78 KUHP. rasio untuk memperpanjang batas waktu pelaporan menjadi lima tahun adalah bahwa penyelenggaraan pemilu ditujukan untuk mengisi kekosongan jabatan pemerintahan dimana masa jabatan pemerintahan yang dipilih melalui pemilu adalah lima tahun.38 dengan demikian, batas

waktu pelaporan tidak dihapuskan sama sekali, karena jika dihapus maka

akan sangat banyak perkara Tindak Pidana Pemilu fiktif yang diajukan

untuk diperiksa dan diadili ke pengadilan sehingga justru mengganggu penyelenggaraan Pemilu. Hal ini penting karena urgensi dari revisi batas waktu pelaporan dalam peraturan Pemilu dilakukan untuk mewujudkan keadilan dalam masyarakat dan menjaga integritas penyelenggaraan Pemilu.

Daftar Pustaka