• Tidak ada hasil yang ditemukan

BATAS WAKTU PELAPORAN DALAM PERATURAN PEMILU

Oleh: Devi Darmawan, S.H.

B. BATAS WAKTU PELAPORAN DALAM PERATURAN PEMILU

Penetapan Batas Waktu Pelaporan tersebut mengakibatkan setiap tindak Pidana Pemilu yang baru diketahui setelah lewat dari jangka waktu yang ditentukan tidak dapat dituntut sehingga pelakunya dapat bebas dari pertanggungjawaban pidana. Hal tersebut tentu saja menimbulkan perasaan tidak adil bagi korban khususnya dan masyarakat pada umumnya karena sangat mungkin suatu temuan tentang adanya tindak Pidana Pemilu baru ditemukan setelah batas waktu pelaporan yang ditetapkan oleh Peraturan Pemilu sebagaimana dikutip sebagai berikut:

“Pembatasan yang seharusnya diatur adalah pembatasan yang dilakukan pada tindakan penyidikan, penuntutan, atau pemeriksaan di pengadilan, dan bukan dengan membatasi masa pelaporan 3 (tiga) hari sesudah kejadian. batasan waktu tidak seharusnya diterapkan pada masa pelaporan tindak Pidana Pemilu, sebab adakalanya suatu peristiwa baru diketahui beberapa hari, minggu, bulan atau bahkan tahun, setelah dilakukannya pelanggaran pidana Pemilu.”1

Secara historis, ketentuan tentang batas waktu pelaporan dalam Peraturan Pemilu dibuat agar penyelenggaraan pemilihan umum dapat berlangsung sesuai dengan waktu yang telah diagendakan.2 namun,

pengaturan tersebut justru menimbulkan ketidakadilan dan menutupi kebenaran materiil. Ketidakadilan dirasakan oleh masyarakat akibat adanya Pelaku tindak Pidana yang tidak diperiksa dan diadili sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku sehingga secara faktual menutupi kebenaran materiil yang seharusnya ditemukan melalui proses peradilan pidana. Idealnya, Setiap Pelaku yang memenuhi unsur tindak pidana harus dimintai pertanggungjawaban pidana tetapi dengan adanya ketentuan tentang batas waktu pelaporan dalam peraturan Pemilu kewenangan penuntut umum untuk melakukan penuntutan terhadap pelaku tindak

1 Topo Santoso, Penguatan Penegakan Hukum Pemilu, Tulisan disajikan di konferensi“Memperbarui Penegakan Hukum Pemilu di Indonesia Dan Pengalaman

Internasional Dalam Hal Penyelesaian Sengketa Pemilu”, Jakarta, Indonesia – 6 Oktober 2011, hal. 17.

pidana Pemilu menjadi gugur atau hapus setelah lewatnya jangka waktu yang ditentukan.

Pada dasarnya Peraturan Pemilu tidak mengatur ketentuan daluwarsa penuntutan tindak Pidana Pemilu, hanya saja terdapat ketentuan dalam Peraturan Pemilu yang membatasi jangka waktu pelaporan tindak Pidana Pemilu dimana setelah lampaunya jangka waktu yang ditentukan tersebut sehingga penuntutan terhadap tindak Pidana Pemilu tidak lagi dimungkinkan.

Berkaitan dengan pengaturan batas waktu pelaporan dalam Peraturan Pemilu tersebut, sudah ada Putusan nomor 100/PUU-VII/2009 tentang uji materil terhadap ketentuan batas waktu pelaporan dalam Peraturan Pemilu. Permohonan uji materil tersebut diajukan oleh ahmad Husaini dan rekan karena berpendapat bahwa ketentuan batas waktu pelaporan dalam Peraturan Pemilu telah membuat pihak yang seharusnya dimintai pertanggungjawaban pidana lepas begitu saja karena dilaporkan lebih dari batas waktu yang ditentukan.

terhadap permohonan yang diajukan ahmad Husaini dan rekan, majelis hakim mahkamah konstitusi dalam pertimbangannya menyatakan bahwa norma hukum yang terkandung dalam pasal 247 ayat (4) Undang- Undang nomor 10 tahun 2008 (ketentuan batas waktu pelaporan) tidak memberikan pengecualian dan tidak menghambat hak konstitusional para pemohon untuk berpartisipasi dalam politik, karena sebagai perorangan warga negara Indonesia hak para pemohon tidak terhalangi dengan ketentuan pasal a quo, mengingat Pasal 247 ayat (4) Undang-Undang nomor 10 tahun 2008 mengatur tentang tata cara pelaporan terjadinya Pelanggaran Pemilu kepada Bawaslu/Panwaslu. Selain itu, mengenai tenggang waktu tiga hari bagi para pemohon untuk menyampaikan laporan adalah berkenaan dengan pelaksanaan tahapan-tahapan Pemilu yang telah diatur secara limitatif menurut undang-undang a quo, yang secara langsung berkaitan dengan agenda ketatanegaraan, dan tenggang waktu tiga hari berlaku pula bagi Bawaslu/Panwaslu untuk menentukan laporan tersebut terbukti kebenarannya dan ditindaklanjuti apakah laporan tersebut bersifat administratif atau pidana.

MK pun berpendapat bahwa keberlakuan pasal 247 ayat (4) Undang- Undang nomor 10 tahun 2008 tidak menimbulkan kerugian konstitusional

merugikan hak konstitusional para pemohon, mengingat hal tersebut merupakan salah satu mekanisme dalam tahapan Pemilu untuk kelancaran tahapan Pemilu berikutnya yang pada akhirnya berkaitan pula dengan agenda ketatanegaraan. dengan demikian ketentuan yang berkaitan dengan Pemilu, syarat-syarat untuk ikut Pemilu, mekanisme penyelesaian sengketa Pemilu dan sebagainya, oleh Undang-Undang dasar 1945 didelegasikan kepada pembentuk Undang-Undang untuk mengaturnya dalam undang-undang secara bebas sebagai kebijakan hukum (legal policy) yang terbuka bagi pembentuk Undang-Undang, sepanjang tidak menegasikan prinsip yang terkandung dalam Undang-Undang dasar 1945, seperti prinsip negara hukum, prinsip kedaulatan rakyat, prinsip keadilan, prinsip persamaan, dan prinsip non-diskriminasi. dengan demikian, menurut MK, pembatasan tenggang waktu tiga hari bukanlah menyangkut konstitusionalitas norma karena pengaturan tenggang waktu merupakan kebijakan hukum (legal policy) yang terbuka atau pilihan bebas yang isinya tidak bertentangan dengan konstitusi yang dimiliki oleh lembaga legislatif.

atas dasar pertimbangan tersebut, Majelis Hakim MK yang mengadili perkara a quo menyatakan permohonan para pemohon tidak dapat diterima. Selain itu, MK juga menyatakan bahwa ketentuan mengenai batas waktu pelaporan bukanlah jangka waktu penuntutan. Bahkan, batas waktu pelaporan yang dibuat oleh lembaga legislatif dinilai tidak inkonstitusional karena tujuannya untuk menjaga ketertiban penyelenggaraan Pemilu yang merupakan agenda ketatanegaraan. dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa secara yuridis batas waktu pelaporan dalam Peraturan Pemilu bukanlah ketentuan jangka waktu penuntutan sebagaimana dimaksud dalam khasanah hukum pidana.

Secara yuridis, Pengaturan batas waktu penuntutan dalam Peraturan Pemilu lebih singkat dari pengaturan jangka waktu penuntutan dalam KUHP padahal ancaman sanksi pidana yang diatur oleh kedua peraturan tersebut sama ancaman pidananya. Padahal, Implikasi yuridis penerapan daluwarsa penuntutan dalam Peraturan Pemilu membuat banyak perkara pidana pemilu yang tidak diperiksa dan diadili sebagaimana dikutip sebagai berikut:

jika dibandingkan dengan KUHP akan memperlihatkan ketidaklogisan dan ketidakadilan yang sangat kontras. Ketidakadilan itu terlihat dengan membandingkan antara perbuatan yang serius (mengubah hasil Pemilu) dalam Pasal 298 Undang-Undang nomor 10 tahun 2008 yang bisa hukum hingga 60 bulan tetapi hak menuntutnya akan hapus hanya dalam waktu tiga hari, sementara perbuatan yang sangat ringan (mengemis) dalam Pasal 504 yang diancam kurungan enam minggu ternyata daluwarsanya 1 tahun (sesuai Pasal 78 ayat 1 KUHP). dikaitkan dengan maksud dan asas Pemilu, maka ketentuan ”daluwarsa” yang sangat singkat menyebabkan kemungkinan lolosnya banyak pelaku tindak Pidana Pemilu dan kemungkinan terpilihnya anggota dPr, dPd, dan dPrd melalui proses yang curang dan melanggar hukum.”3

Pengaturan jangka waktu daluwarsa penuntutan justru menimbulkan ketidakadilan dalam masyarakat karena begitu banyak pelaku tindak pidana pemilu yang tidak dimintai pertanggungjawaban atas dasar alasan daluwarsa. Pendapat ini didukung pula oleh topo Santoso yang menyatakan pendapatnya sebagai berikut:

“dalam Undang-Undang nomor 10 tahun 2008 ancaman pidana maksimalnya ada yang enam bulan, satu tahun, dua tahun, tiga tahun, empat tahun, lima tahun dan enam tahun. Jadi, jika mengacu pada Pasal 78 KUHP maka semestinya masa daluwarsa dalam Undang-Undang nomor 10 tahun 2008 adalah berkisar antara enam tahun (untuk tindak Pidana Pemilu yang diancam penjara enam bulan, satu tahun, atau dua tahun) dan dua belas tahun (untuk tindak Pidana Pemilu yang diancam penjara tiga, empat, lima atau enam tahun). Jadi, sekali lagi batasan waktu tiga hari adalah sangat kontras, tidak adil, dan tidak logis karena semestinya masa daluwarsanya enam tahun atau dua belas tahun. tindak pidana Pemilu ini termasuk berat karena ancaman pidananya tetapi juga serius dampaknya karena seseorang pelaku tindak Pidana Pemilu yang tidak dipidana (akibat lewatnya batas waktu) bisa menjadi wakil rakyat baik di dPr, dPd maupun dPrd. tentu saja ini tidak sesuai dengan maksud diadakannya aturan mengenai tindak Pidana Pemilu dalam Peraturan Pemilu.”4 t i d a k

3 Topo Santoso, Problem Desain dan Penanganan Pelanggaran Pidana Pemilu dalam Menuju Keadilan Pemilu; Refleksi dan Evaluasi Pemilu 2009, Jakarta; Perludem, 2011, hal. 16. 4 Ibid.

penyelenggaraan masyarakat menurun, sebagaimana dikemukakan pula oleh topo Santoso yang dikutip sebagai berikut:

“Secara filosofis, pembatasan waktu pelaporan dalam Peraturan Pemilu

dimaksudkan agar tahapan penyelenggaraan Pemilu dapat terlaksana sesuai dengan jadwal yang sudah diagendakan. Batasan waktu dalam pelaporan, penyidikan, penuntutan, pemeriksaan di pengadilan, serta proses banding ternyata di satu sisi bermaksud baik agar proses dan hasil Pemilu tidak banyak diungkit-ungkit, tetapi juga punya dampak buruk yakni musnahnya banyak perkara yang mungkin secara materiil memang memenuhi unsur tindak Pidana Pemilu. apabila tidak segera diatasi, di satu sisi, hal itu akan terus menimbulkan protes dari pihak-pihak yang merasa dirugikan kepentingannya, dicurangi, atau diperlakukan tidak adil; di sisi lain, protes-protes yang muncul pada akhirnya bisa mendelegitimasi hasil Pemilu.”5

dengan demikian, jangka waktu penuntutan dalam Penegakan Hukum tindak Pidana Pemilu perlu dikaji dan dipertimbangkan lebih lanjut. terkait dengan hal ini, jika dibandingkan dengan negara Filipina, yang juga menyelenggarakan pemilu secara berkala dan memiliki kesamaan

secara geografis dengan Negara Indonesia, ketentuan mengenai jangka

waktu penuntutan yang dibuat oleh Pembuat Undang-Undang di Filipina lebih panjang daripada jangka waktu yang berlaku di Indonesia yakni lima tahun sejak perbuatan dilakukan atau lima tahun sejak ditemukannya temuan mengenai adanya pelanggaran Pemilu.6