• Tidak ada hasil yang ditemukan

DALUWARSA PENUNTUTAN

Oleh: Devi Darmawan, S.H.

C. DALUWARSA PENUNTUTAN

dalam khazanah hukum pidana, ketentuan batas waktu pelaporan dalam Peraturan Pemilu merupakan ketentuan mengenai daluwarsa penuntutan. daluwarsa penuntutan (verjaring) sering pula diterjemahkan

5 Topo Santoso Dkk. Penegakan Hukum Pemilu; Praktik Pemilu 2004, Kajian Pemilu 2009-2014, (Jakarta; Perludem, 2006), hal. 3.

sebagai keadaan atau kondisi yang membatasi kinerja jaksa/penuntut umum untuk melakukan penuntutan.7 dalam literatur asing, daluwarsa

penuntutan disebut dengan istilah statute of limitation atau prescription period sedangkan batas waktu yang ditentukan dalam jangka waktu penuntutan disebut dengan time bar.

Menurut John P. dawson, Statutes of limitation are framed in terms

of the interval between the accrual of a “cause of action” and the filing

of suit8. Pendapat lain yang serupa dikemukakan pula oleh d.L. yang

menyatakan bahwa Statutes of limitations are those legislative enactments which prescribe the period of time after which certain actions cannot be brought or certain rights enforced.9 dengan demikian, Jangka waktu

penuntutan adalah peraturan yang dibuat oleh lembaga legislatif yang mengatur mengenai jangka waktu dimana setelah jangka waktu tersebut habis setiap tindakan penuntutan tidak bisa lagi dilakukan dan dapat dijadikan pembelaan yang efektif bagi terdakwa di pengadilan mengenai tuntutan yang dikenakan terhadapnya.

Gagasan jangka waktu penuntutan merujuk pada teori liberal yang menjadi dasar penuntutan yang menyatakan bahwa penuntutan tidak bisa dilakukan terhadap suatu perbuatan dimana saksi dan bukti yang penting telah hilang seiring berjalannya waktu. dampak negatif dari daluwarsa penuntutan:10

merupakan penghalang formal bagi penuntut umum dalam 1.

menegakan hukum

mendorong tingkat aktivitas kejahatan. 2.

mencegah negara untuk meminta ganti rugi dari pelaku 3.

kejahatan.

7 Eva Achjani Zulfa, Gugurnya Hak Menuntut, Dasar Penghapus, Peringan, Dan Pemberat Pidana, Bogor; Ghalia Indonesia, 2010, hal. 25.

8 John P. Dawson, Undiscovered Fraud and Statutes of Limitation, Michigan Law Review, Vol. 31, No. 5 (Mar., 1933), hal. 591.

9 D. L., Displacement of the Doctrine of Laches by Statutes of Limitations. Crystallization of the Equitable Rule, University of Pennsylvania Law Review and American Law Register, Vol. 79, No. 3 (Jan., 1931), hal. 342.

dimaksudkan untuk menyeimbangkan kebutuhan masyarakat untuk menghukum pelaku tindak pidana yang dipengaruhi oleh beberapa faktor yang saling berkaitan. Faktor utama adalah hak tersangka untuk tenang (right to repose).11 Faktor lainnya adalah kualitas barang bukti

yang semakin menurun sering bertambahnya waktu dan penilaian bahwa keadilan penuntutan yang adil ialah penuntutan yang dilakukan secara tepat waktu.12 rasio yang menjadi dasar dari penetapan jangka waktu

penuntutan di civil law pun masih menjadi hal yang kontroversi.13 rasio

dari daluwarsa tersebut adalah:14

dengan lampau waktu yang agak lama maka ingatan masyarakat 1.

terhadap perbuatan pidana yang dilakukan seesorang pada beberapa waktu yang lampau semakin kabur (tidak sempurna) dengan lampaunya waktu yang agak lama, maka kemungkinan 2.

untuk memperoleh bahan-bahan bukti semakin berkurang oleh karena hilang, rusak dan sebagainya, sehingga sukar untuk dikumpulkan dan kemungkinan sudah tidak dapat dipercaya lagi. dengan adanya atau lampaunya waktu yang agak lama maka 3.

seseorang tertuduh yang takut dituntut dan yang belum tertangkap biasanya akan melarikan diri keluar daerah atau keluar negeri dimana ia telah terpisah dari keluarganya. Keadaan ini bisa dianggap sebagai pengganti pidananya yang cukup berat.

Pada dasarnya, tujuan dasar dari pengaturan mengenai daluwarsa penuntutan adalah untuk mewujudkan keadilan untuk terdakwa.15 Ketentuan

mengenai jangka waktu penuntutan mencegah adanya keberatan yang

11 J. Anthony Chavez, Statutes of Limitations and the Right to a Fair Trial; When Is a Crime Complete? 10 Crim. Just. 2, 2 (1995) (the right of repose suggests that an individual should not have to live with the uncertainty of prosecution, and thus at the mercy of prosecutors, ad infinitum); See also United States v. Toussie, 397 U.S. 112, 115 (1970).

12 See United States v. Marion, 404 U.S. 307, 322 (1971); and Chavez, supra note 3. 13 See Richard A. Posner, Economic Analysis of Law 587 (4th ed. 1992).

14 Ibid. hal. 326-327.

15 Michigan Law Review, Statutes of Limitations and Opting out of Class Actions, Vol. 81, No. 2 (Dec., 1982), hal. 412

bersifat mengganggu. tanpa adanya ketentuan jangka waktu penuntutan ini, dikhawatirkan penuntut umum akan terus memperingatkan terdakwa untuk menjaga dan merawat bukti sehingga terdakwa akan mengeluarkan biaya yang sangat besar untuk memelihara bukti yang dimilikinya atau harus membela diri setelah bukti yang ada hilang, memori yang diingat sudah luntur dari ingatan, dan saksi yang ada tidak lagi tinggal ditempat yang sama atau berpindah domisili. Keadilan yang dimaksud dalam hal ini membebaskan pengadilan dari beban atau kewajiban mengadili keberatan yang sudah ‘basi’(stale) dengan memperhatikan kepentingan terdakwa untuk bebas dari proses pengadilan (repose interest). 16

Banyak sarjana pada tahun 1970-1980-an melihat pembatasan jangka waktu penuntutan sebagai penghalang untuk memperoleh keadilan. ada juga segolongan orang berpendapat bahwa dengan adanya ketentuan tentang daluwarsa itu, menyebabkan penguasa mengabaikan salah satu kewajibannya, yaitu menegakan keadilan dengan mengadakan koreksi terhadap yang berbuat salah.17 Pendapat para sarjana tersebut pada intinya

tidak sepakat dengan adanya pengaturan mengenai daluwarsa penuntutan ini, yang dinyatakan sebagai berikut:

Hazewinkel Suringa menganggap bahwa tentunya

1. ius puniendi

(hak menghukum) sebagai hak negara untuk menghukum pelaku tindak pidana, tidak dapat hilang setelah lampau tenggang waktu tertentu.

Van Feurbach menganggap tidak ada alasan sama sekali untuk 2.

mengadakan daluwarsa dalam hukum pidana.

Van Hamel mengatakan daluwarsa tidak pada tempatnya bagi 3.

kejahatan-kejahatan yang bersifat sangat berat dan bagi perbuatan- perbuatan penjahat professional (Pernyataan Van Hamel pada dasarnya menyetujui diaturnya daluwarsa penuntutan bagi perbuatan atau kejahatan ringan)

Pendapat lain yang tidak menyetujui diaturnya jangka waktu penuntutan dikemukakan oleh r. S. nock yang menyatakan bahwa jangka

16 Ibid. hal. 413.

17 Walter Olson, Stale Claims; How Long Should the Law Nurse Old Grievances? Reason Mag., November 2000, at 40.

memberikan ruang kepada tersangka untuk memperoleh keuntungan. Prinsip ini juga menyebabkan seseorang yang telah melakukan suatu perbuatan dimana waktu penuntutannya telah daluwarsa dapat bebas dari hukuman. Sebagaimana dikutip dibawah ini:18

The Statute of Limitations is not concerned with merits. Once the axe falls it falls, and a defendant who is fortunate enough to have acquired

the benefit of the Statute of Limitations is entitled, of course, to insist on

his strict rights.”

daluwarsa Penuntutan yang sangat singkat dalam Peraturan Pemilu menyebabkan banyak tindak pidana yang baru diketahui setelah melampaui batas waktu yang ditentukan tidak dapat diadili dan diperiksa di persidangan. Hal tersebut mengakibatkan tidak tercapainya tujuan pemidanaan yang dimaksud oleh hukum pidana dimana tujuan pemidanaan dimaksudkan untuk membalas pelaku tindak pidana atas perbuatan yang telah dilakukannya.

Ketentuan daluwarsa penuntutan dalam peraturan pemilu pada praktiknya masih bersifat multitafsir. Bahkan dalam tubuh POLrI selaku pejabat penyidik terdapat dua pendapat yang saling kontradiktif. Pendapat pertama menyatakan bahwa ketentuan yang diatur oleh Peraturan Pemilu adalah ketentuan yang mengatur mengenai daluwarsa penuntutan karena membatasi proses penuntutan terhadap pelaku tindak Pidana Pemilu sedangkan pendapat kedua mengemukakan bahwa ketentuan tersebut bukan merupakan ketentuan mengenai daluwarsa penuntutan, karena secara gramatikal hanya mencantumkan kata pelaporan sehingga harus dimaknai sebagai batas waktu pelaporan saja.19 Hal ini jelas

mengindikasikan bahwa ketentuan batas waktu pelaporan dalam Peraturan Pemilu merupakan ketentuan yang multi tafsir sehingga mereduksi pada ketidakpastian hukum.

dalam putusan yang berkaitan dengan pemilihan umum pun ditemukan dua buah putusan yang putusannya bertentangan satu sama lain seperti

18 R. S. Nock, Extending the Limitation Period, Source; The Modern Law Review, Vol. 33, No. 3 (May, 1970), hal. 321.

19 Hasil wawancara dengan Titi Anggraini pada pukul 14.00, Tanggal 3 November 2011 di Kantor Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem).

halnya perbedaan pendapat yang hidup dalam tubuh POLrI. Putusan tersebut adalah Putusan nomor 62 PK/PId/2005 atas nama terpidana H.M. Faqih Chaeroni Bin Chaeroni (anggota dPr rI) dan Putusan nomor 19 PK/PId/2008 atas nama drs. H.a Hudarni rani, S.H. yang selanjutnya akan diuraikan sebagai berikut:

1 Putusan Nomor 62 PK/PID/2005 atas nama

Terpidana H.M. Faqih Chaeroni Bin Chaeroni

(Anggota DPR RI)