• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III PENENTUAN KERUGIAN (INJURY) DAN INSTRUMEN

3.2. Instrumen Yang Digunakan Untuk Melindungi Industri Dalam

3.2.1. Anti Dumping

Mengenai Anti-dumping dapat dilihat pengaturannya dalam GATT-WTO dan pengaturan dalam hukum nasional.

a). Pengaturan Anti- Dumping Dalam GATT-WTO.

Negara negara GATT pada saat berlakunya Persetujuan Pembentukan WTO menjadi “Original Members” WTO sepanjang sudah memenuhi persyaratan mengenai komitmen dan konsesi. Negara yang menjdi anggota WTO tentu saja wajib menerima Persetujuan Pembentukan WTO dan persetujuan persetujuan yang menjadi lampirannya, yang dalam hal ini adalah GATT, GATS ( General Agreement on Trade in Servises), dan TRIPs (Agreement on Trade Related of Intellectual Property Rights), atau secara keseluruhan disebutkan persetujuan perdagangan multilateral (Multilateral trade agreements).Indonesia adalah salah satu anggota “Original Members” dari WTO Cerminan dari diterimanya hasil hasil Putara Uruguay oleh Bangsa Indonesia adalah pengesahan keikutsertaan Indonesia dalam WTO dengan dikeluarkannya Undang-undang No. 7 tahun 1994 pada tanggal 2 Nopember 1994..Sudah jelas bahwa keikutsertaan Indonesia dalam WTO dan pelaksanaan berbagai komitmen yang disampaikan tidaklah terlepas dari rangkaian kebijaksanaan disektor perdagangan khususnya perdagangan luar negeri.87

Dalam Perdagangan luar negeri atau perdagangan internasional pengusaha untuk dapat merebut konsumen sebanyak mungkin, sering menempuh strategi persaingan harga (price competition), yaitu dengan menekan harga serendah mungkin untuk barang sejenis dengan perusahaan lainnya. Perbuatan tersebut dipandang

87 .B.M. Kuntjoro Jakti,et.al.,1997/1998,Pengkajian Hukum Tentang Masalah Penyelesaian Sengketa Dagang Dalam WTO,BPHN,Jakarta, h.7-8

sebagai perbuatan curang, karena melakukan suatu perbuatan dalam bentuk persaingan yang tidak jujur (unfair competition). Dalam perdagangan Internasional perbuatan curang tersebut dikenal sebagai praktik dumping , yaitu merupakan praktik dagang yang tidak fair, karena bagi negara pengimpor, praktik dumping akan menimbulkan kerugian bagi dunia usaha atau industri barang sejenis dalam negeri, dengan terjadinya banjir barang barang dari pengekspor yang harganya jauh lebih murah dari pada harga barang dalam negeri. Hal tersebut akan mengakibatkan barang sejenis kalah saing, sehingga akan mematikan pasar barang sejenis dalam negeri, dan pada akhirnya adalah industri barang sejenis dalam negeri menjadi bangkrut.

Untuk melindungi industri dalam negeri dari praktik dumping, maka dikeluarkan peraturan antidumping yang merupakan salah satu perhatian khusus Indonesia terhadap hasil putaran Uruguay. Peraturan antidumping terdapat dalam Persetujuan Anti-Dumping GATT, yaitu pada article VI dari GATT 1994 yang terdiri dari 7 (tujuh) ayat yaitu sebagai berikut.

Article VI “Anti-dumping and Countervailing Duties”.

1. The contracting parties reconize that dumping. By which products of one country are introduced into the commerce of another country at less than the normal value of the products, is to be condemmed if it causes or threatens material injury to an established industry in the territory of a contracting party or materially retards the establishment of a domestic industry. For the purposes of this Article, a product is to be considered as being introduced into the commerce of an importing country at less than its normal value, if the price of the product exported from one country to another

a) is less than the comparable price, in the ordinary course of trade, for the like product when destined for consumption in the exporting country, or

b) in the absence of such domestic price, is less than either

i). he highest comparable price for the like product for export to any third country in the ordinary course of trade, or

ii). the cost of production of the product in the country of origin plus a reasonable addition for selling cost and profit. Due allowance shall be made in each case for differences in conditions and terms of sale, for differences in taxation, and for other difference affecting price comparability.

2. In order to offest or prevent dumping, a contracting party may levy on any dumped product an anti dumping duty not greater in amount than the margin of dumping in respect of such product. For the purposes of this article, the margin of dumping is the price difference determined in accordance with the provisions of paragraph 1.

3. No countervailing duty shall be levied on any product of the territory of any contracting party imported into the territory of another contracting party in excess of an amount equal to the estimated bounty or subsidy determined to have been granted, directly or inderectly, on the manufakture, production or export of such product in the country of origin or exportation, including any special subsidy to the transportation of a particular product. The term “countervailing duty” shall be understood to mean a special duty levied for the purpose of offsetting any bounty or

subsidy bestowed, directly or indirectly, upon the manufacture, production or export of any merchandise.

4. No product of the territory of any contracting party imported int the territory of any other contracting party shall be subject to anti-dumping or countervailing duty be reason of the exemption of such product from duties or taxes borne by the like product when the destined for comsumption in the country of origin or exportation, or by reason of the refund of such duties or taxes.

5. No product of the territory of any contracting party imported into the territory of any other contracting party shall be subject to both anti-dumping and countervailing duties to compensate for the same situation of dumping or export subsidization.

6. a). No contracting party shall levy any anti-dumping or cuntervailing duty on the importation of any product of the territory of another

contracting party unless it determines that the effect of the dumping or subsidization, as the case may be, is such as to cause or threaten material injury to an established domestic industry, or is such as to retard materially the establishment of a domestic industry.

b). The CONTRACTING PARTIES may waive the requirement of subparagraph (a) of this paragraph so as to permit a contracting party to levy an anti-dumping or countervailing duty on the importation of any product for the purpose of offsetting dumping or subsidization which causes or threatens material injury to an industry in the territory of another contracting party exporting the product concerned to the territory of the importing contracting party. The

CONTRACTING PARTIES shall waive the requirements of sub-paragraph, so as to permit the levying of a countervailing duty, in cases in which they find that a subsidy is causing or threatening material injury to an industry in the territory of another contarcting party exporting the product concerned to the territory of the importing contracting party.

c). In exceptional circumstances, however, where delay might cause damage which would be difficult to repair, a contracting party may levy a countervailing duty for the purpose referred to in sub-paragraph (b) of this sub-paragraph without the prior approvalof the CONTRACTING PARTIES; Provided that such action shall be reported immediately to the CONTRACTING PARTIES and that the countervailing duty shall be withdrawn promptly if the CONTRACTING PARTIES disaprove.

7). A system for the stabilization of the domestic price or of the return to domestic producer of a primary commodity, independently of the movements of export prices, which results at times in the sale of commodity for export at a price lower than the comparable price charged for the like commodity to buyers in the domestic market, shall be presumed not to result in material injury within the meaning of paragraph 6 if it is determined by consultation among the contracting parties substantially interested in the commodity concerned that:

a). The system has also resulted in the sale of the commodity for export at a price higher than the comparable price charge for the like commodity to buyers in the domestic market, and

b). The system is so operated, either because of the effective regulation of production, or otherwise, as not to stimulate exports unduly or otherwise seriously prejudice the interests of other contracting parties.

Persetujuan atas implementasi Article VI GATT dikenal sebagai Anti Dumping Agreement (ADA) di mana menyediakan perluasan lebih lanjut atas prinsip prinsip dasar dalam Article VI GATT itu sendiri, memerintahkan investigasi,ketentuan, dan aplikasi bea antidumping. Dalam article VI GATT 1994, para anggota WTO dapat membebankan/mengenakan antidumping measures jika setelah investigasi sesuai dengan persetujuan, suatu ketentuan dibuat, yaitu :

a. bahwa dumping sedang terjadi,

b. bahwa industri domestik memproduksi produk yang sama (like product) di negara pengimpor mendapatkan/memperoleh material injury, dan

c. bahwa ada suatu hubungan sebab akibat (causal link) antara keduanya.

Ketiga unsur di atas ditegaskan dalam Article 5.2 Agreement on Implementation of Article VI of The General Agreement on Tarifs and Trade 1994(Anti-Dumping Agreement/ADA)

“An application under paragraph 1 shall include evidence 0f (a)dumping,(b)injure within the meaning of Article VI of GATT 1994 as interpreted by this agreement, and (c) a causal link between the dumped imports and the alleged injury.Simple assertion...”88

b). Pengaturan Anti-Dumping Dalam Hukum Nasional.

Pengaturan anti dumping dalam hukum nasional Indonesia sebagai tindak lanjut dari ratifikasi Pesetujuan Pembentukan WTO melalui Undang-undang No.7 tahun 1994 ternyata sampai saat ini belum ada pengaturannya secara khusus dalam

88 Christhophorus Barutu 3,op.cit.,h.44-45.

satu peraturan yang berbentuk undang-undang. Pengaturan anti dumping dalam hukum nasional Indonesia tersebar dalam Peraturan Perundang-undangan, Peraturan Pemerintah, dan produk produk hukum lainnya yang terkait seperti Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan, dan Surat Edaran Dirjen Bea dan Cukai sebagai berikut.

1. Undang-undang Nomor 7 tahun 1994 tentang pengesahan (ratifikasi) Agreement Establishing the World Trade Organization. Dengan adanya pengesahan tersebut maka persetujuan itu yang berisi 28 ketentuan telah sah menjadi bagian dari peraturan nasional, dan sekaligus meratifikasi pula Anti dumping Code tahun 1994 yang merupakan salah satu dari Multilateral Trade Agreement.

2. Undang-undang Nomor 10 tahun 1995 tentang Kepabeanan yang telah diubah dengan dikeluarkannya Undang-undang Nomor 17 tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 10 tahun 1995 tentang Kepabeanan.

3. Peraturan Pemerintah Nomor 34 tahun 1996 tentang Bea Masuk Anti dumping dan Bea Masuk Imbalan.

4. Keputusan Menteri Perindustrian dan Prdagangan Nomor 261/MPP/Kep/9/1996 tentang Tata Cara dan Peryaratan Permohonan Penyelidikan Atas Barang Dumping dan atau Barang Mengandung Subsidi, sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 216/MPP/Kep/7/2001 sebagai ketentuan hukum acara(formal), dan ketentuan pembentukan Komite Anti Dumping Indonesia (KADI) berdasarkan Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 427/MPP/Kep/10/2000 tentang Komite Anti Dumping indonesia, dan Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 428

/MPP/Kep/10/2000 tentang Penunjukan dan Pengangkatan Anggota Komite Andi Dumping Indonesia serta Struktur Kepegawaian Komite Anti Dumping Indonesia berdasarkan Keputusan Ketua Komite Anti Dumping Indonesia Nomor 346/KADI/Kep/10/2000 tentang Penunjukan dan Pengangkatan Kepala Bidang dan Anggota di Lingkungan Komite Anti Dumping Indonesia.

5. Surat Edaran Dirjen Bea dan Cukai Nomor SE-19/BC/1997 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pemungutan Bea Masuk Anti Dumping/Sementara.

Peraturan peraturan tersebut dapat digunakan dalam penanganan kasus kasus dumping di Indonesia, terutama untuk pelaksanaan persyaratan dan tata cara pengenaan bea masuk anti-dumping dan bea masuk imbalan bagi produk produk dari luar negeri yang masuk ke dalam negeri sebelum adanya undang undang nasional yang secara khusus mengatur anti-dumping.

Indonesia dengan meratifikasi Agreement Establishing the World Trade Organization dengan dikeluarkannya Undang undang No.7 tahun1994 tanggal 2 Nopember 1994, maka Indonesia harus mengimplementasikan 28 persetujuan yang telah sah menjadi bagian dari peraturan nasional. Hal ini sesuai dengan teori Hukum Alam yang dikemukakan oleh Grotius yang memaparkan ada 4 (empat) norma dasar yang terkandung dalam Hukum Alam, yaitu.

1. Kita harus menjauhkan diri dari harta benda kepunyaan orang lain.

2. Kita harus mengembalikan harta kepunyaan orang lain yang berada di tangan kita beserta hasil dari benda orang lain yang sudah kita nikmati.

3. Kita harus menepati janji janji yang kita buat.

4. Kita harus mengganti kerugian yang disebabkan oleh kesalahan kita, lagi pula kita harus dihukum apabila perbuatan kita pantas disalahkan.89

89 Friedmen.,op.cit., h.49

Berdasarkan teori Hukum Alam dari Grotius itu, maka janji janji yang kita buat kita harus menepatinya dengan mengimplementasikan kebijakan antidumping,yaitu mengacu sepenuhnya kepada aturan WTO. Bila terbukti ada praktik dumping dan kerugian, maka pihak yang menimbulkan kerugian itu harus mengganti kerugian akibat pratik dumping yang dilakukan oleh eksportir , dan Komite Anti Dumping Indonesia (KADI) merekomendasikan pengenaan Bea Masuk Anti Dumping (BMAD) sebesar marjin dumping, yaitu selisih harga ekspor dengan harga di pasar asal eksportir.Tetapi dalam penerapan ketentuan anti dumping berdasarkan GATT-WTO, Peraturan Pemerintah No. 34 tahun 1996 ternyata kurang mengakomodasi semua ketentuan GATT-WTO tentang anti dumping, sehingga perlu penafsiran penafsiran terutama mengenai harga normal, kerugian (injury), dan causal link, sehingga kurang memberikan kepastian hukum dan perlindungan bagi produsen dalam negeri.

Dalam upaya untuk melindungi industri dalam negeri dari praktik dumping, oleh karena Indonesia telah meratifikasi Agreement Establishing the World Trade Organization, maka ada suatu perjanjian atau kontrak di antara negara negara yang meratifikasi untuk menerapkan persetujuan persetujuan yang telah disepakati itu.Hal ini dapat didasarkan pada teori kontrak sebagaimana dikemukakan oleh Rudolf Von Jehring, bahwa kontrak tidak lain dari pada janji (promise). Janji menurut Jehring memiliki kekuatan hukum, yaitu kekuatan hukum yang tidak berasal dari hal hal di luar dari janji para pihak, tetapi dari fungsi praktis(practical function) dari janji itu sendiri90 Tanpa adanya kekuatan mengikat dari janji itu, maka perjanjian itu menjadi

90 Rudolf Von Jehring, 1959, Law as a Mens to an End, dalam Clarence Morris ed, the Great Legal Philosophers Selected Reasing in Jurisprudence, University of Pennsylvania Press, Philadelphia, h.406

tidak ada artinya dalam hubungan bisnis.Konsekuensinya, hubungan bisnis hanya akan berlangsung di antara pihak yang sudah benar-benar dikenal satu sama lainnya.

Daya kekuatan mengikat dari suatu perjanjian atau kontrak dapat dijelaskan melalui beberapa teori, yaitu.91

1. Teori Kehendak (Will Theory).

Menurut teori ini suatu kesepakatan mengikat karena memang merupakan keinginan dari beberapa pihak yang menginginkan kesepakatan itu mengikat. Para pihak sendirilah yang menyatakan sendiri kehendaknya untuk mengikatkan diri.

2. Teori Persetujuan(Bargaian Theory).

Teori ini merupakan pengingkaran dari teori pertama. Menurut teori ini dasar mengikatnya suatu kontrak bukan kehendak dari para pihak, tetapi persetujuan dari para pihak. Persetujuan yang telah dibuat oleh para pihak mengikat sepanjang apa yang telah disepakati oleh para pihak tersebut.

3. Teori kesetaraan(Equivalen Theory).

Menurut teori ini bahwa para pihak dalam kesepakatan tersebut telah memberikan kesetaraan(kesamaan) bagi para pihak.

4. Teori Kerugian(Injurious Reliance Theory).

Teori ini menyatakan bahwa para pihak terikat karena para pihak telah menyatakan dirinya untuk mengandalkan pada pihak yang menerima janji dengan akibat adanya kerugian. Dengan kata lain pelanggaran terhadap kesepakatan akan menimbulkan kerugian.

Dari berbagai teori yang diuraikan di atas, tampaknya teori yang paling tepat dan juga dianut di Indonesia adalah teori yang pertama, yaitu teori kehendak(Will

91 Roscue Pound, 1954, An Introduction to The Philosophy of Law, New Haven, UP, h.136

Theory) seperti yang diungkapkan oleh Subekti, bahwa perikatan yang lahir dari perjanjian memang dikehendaki oleh dua orang atau dua pihak yang membuat suatu perjanjian.92

Di samping teori tersebut di atas dalam ilmu hukum kontrak dikenal juga berbagai teori yang masing masing mencoba untuk menjelaskan berbagai segmen dari kontrak sesuai dengan kelompoknya masing masing dengan memakai kriteria tertentu, yaitu.

1. Teori-teori berdasarkan formasi kontrak.

Dalam hubungannya dengan formasi kontrak, dalam ilmu hukum terdapat 4(empat) teori yang mendasar, yaitu:93

a. Teori kontrak defakto(implied impact), yaitu kontrak yang tidak pernah disebutkan dengan tegas, tetapi ada dalam kenyataan, pada prinsipnya dapat diterima sebagai kontrak yang sempurna.

b. Teori promissory estoppel (detremental riance), yaitu teori yang mengajarkan bahwa dianggap ada kesesuaian kehendak dari antara kedua belah pihak, jika pihak lawan telah melakukan sesuatu sebagai akibat dari tindakan-tindakan pihak lainnya yang dianggap merupakan tawaran untuk suatu ikatan kontrak.

c. Teori kontrak quasi (quasi contract in atau implied in law ) teori ini mengajarkan bahwa dalam hal-hal tertentu, apabila dipenuhi syarat-syarat tertentu maka hukum dapat menganggap adanya kontrak diantara pihak dengan berbagai konsekuensinya, sungguhpun kontrak itu sebenarnya tidak ada.

92 Subekti, Hukum Perjanjian, Intermasa, Jakarta, 1979, h. 3

93 Munir fuadi, 1999, Hukum Kontrak (Dari Sudut pandang Hukum Bisnis), PT. Citra Aditya, Bandung, h.2

d. Teori kontrak ekspresif, teori ini merupakan teori yang sangat kuat daya berlakunya, bahwa setiap kontrak yang dinyatakan secara tegas(ekpresif) oleh para pihak, baik secara tertulis atau lisan sejauh memenuhi syarat-syarat sahnya suatu kontrak. Bagi negara-negara anglo saxon unsur tri tunggal dianggap ikatan yang paling sempurna bagi para pihak yaitu adanya unsur “offer”, “acceptance’’dan

“consideration”.

2. Teori-teori aliran klasik

Ada beberapa teori dasar (underlying presupposittion) yang klasik merupakan tempat berpijak dari suatu kontrak yaitu sebagai berikut94 :

a. Teori hasrat, yaitu teori yang lebih mendasarkan kepada “hasrat “ (intention, will).

b. Teori benda, menurut teori ini, kontrak adalah suatu “benda” (thing) yang telah ada keberadaannya secara obyektif sebelum dilakukan pelaksanaan (perfomance) dari kontrak tersebut.

c. Teori pelaksanaan, menurut teori ini bahwa yang terpenting dari suatu kontrak adalah pelaksanaannya (enforcement) dari kontrak yang bersangkutan, yang dalam hal ini dilaksanakan oleh badan-badan pengadilan atau badan penyelesaian sengketa yang lainnya.

d. Teori prinsip umum, menurut teori ini suatu kontrak tetap mengacu pada efek general dari konsep kontrak itu sendiri. Jadi kontrak disini diartikan tidak akan menyimpang dari prinsip-prinsip umum dan universal yang terdapat dalam konsep kontrak tradisional.

94 P.S. Atiyah, 1986. “ Essays on Contract” dalam munir fuady, hukum kontrak dari sudut pandang hukum bisnis, Citra Aditya Bakti, Bandung, h. 9

3. Teori Holmes

Menyangkut tentang tanggung jawab hukum (legal liability) yang berkenaan dengan kontrak. Teori ini pada prinsipnya mendasarkan kontrak itu pada dua prinsip yaitu95 :

a. Tujuan utama dari teori hukum adalah untuk menyesuaikan hal-hal eksternal ke dalam aturan hukum.

b. Kesalahan-kesalahan moral bukan unsur dari suatu kewajiban, karena itu teori holmes tentang kontrak memiliki intisari sebagai berikut : 1. Peranan moral tidak berlaku untuk kontrak

2. kontrak itu merupakan suatu alokasi risiko, yaitu risiko wanprestasi 3. Yang terpenting bagi suatu kontrak adalah standar tanggung jawab

yang eksternal. Sedangkan maksud aktual yang internal adalah tidak penting.

4. Teori liberal kontrak

Prinsip teori ini mengajarkan, bahwa setiap orang menginginkan keamanan.

Sehingga Seorang harus menghormati kepada orang lain dan hartanya, tetapi orang juga perlu bekerjasama, dan kerjasama ini dapat dilakukan tanpa kehilangan kebebasannya, yang dalam hal ini dilakukan dengan kepercayaan dan perjanjian perlu adanya komitmen sehingga secara moral komitmen dapat dilaksanakan, tanpa komitmen tidak ada kewajiban moral untuk melaksanakan kewajiban yang bersangkutan. Tetapi jika terjadi pelanggaran suatu kontrak oleh salah satu pihak maka tidak akan mendapatkan suatu bentuk ganti kerugian seperti yang ditulis oleh Hellen J. Bond & Peter Kay dalam bukunya yang berjudul Bussines Law “The General Principle is that damages will not be awarded for non-pecuniary losses, such

95 Ibid, h. 10

as injury to the plaintiff’s feelings or for his mental distress, as a result of a breach of contract96” dalam Teori-teori tersebut diatas pada prinsipnya dapat diterapkan dalam upaya melindungi industri dalam negeri dari praktik dumping sebagai akibat dari ratifikasi agreement est.

Dalam persaingan pasar bebas perjanjian yang tertuang dalam sebuah kontrak sangat penting, selain untuk mengikat kedua belah pihak kontrak juga sebagai hukum bagi keduanya. Sebagai contoh Seperti yang ditulis oleh Berhard Bergmans dalam bukunya Inside Information and Securities Trading “The Free Market approach fundamentally rests on the role of property right and contracts in the functioning of the market. These concepts need therefore to be briefly explained before examining their application97

Ada beberapa aliran atau mazhab dalam filsafat hukum yang memberikan jawaban atas kekuatan mengikatnya suatu kontrak :

1. Mazhab Hukum Alam

Merupakan mazhab hukum tertua dalam aliran filsafat, sarjana yang sangat terkenal pengikut aliran hukum alam ini adalah Hugo Grotius, menurut beliau bahwa kekuatan mengikat suatu kontrak berasal dari hukum alam. Menurut hukum alam kontrak tidak lain adalah kesepakatan timbal balik para pihak (mutual compact) yang memiliki kekuatan mengikat dari hukum alam.98 Menurut grotius, individu pada

Merupakan mazhab hukum tertua dalam aliran filsafat, sarjana yang sangat terkenal pengikut aliran hukum alam ini adalah Hugo Grotius, menurut beliau bahwa kekuatan mengikat suatu kontrak berasal dari hukum alam. Menurut hukum alam kontrak tidak lain adalah kesepakatan timbal balik para pihak (mutual compact) yang memiliki kekuatan mengikat dari hukum alam.98 Menurut grotius, individu pada

Dokumen terkait