• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengenaan Bea Masuk Anti Dumping

BAB IV KEBIJAKAN PEMERINTAH BERKAITAN DENGAN TUDUHAN

4.2. Pengenaan Bea Masuk Anti Dumping, Bea Masuk Imbalan, Bea

4.2.1. Pengenaan Bea Masuk Anti Dumping

Seperti yang diketahui perdagangan impor mencakup dua faktor pokok yaitu perdagangan barang dan jasa. Dalam perdagangan barang dikenal dua jenis, yaitu tariff dan non tariff. Hal ini sesuai dengan perundingan Tokyo Round bulan November 1979 yang mengahasikan perjanjian yang menyangkut hal-hal yang berkaitan dengan tariff maupun masalah non tariff sebagai berikut115.

Ø dalam bidang tariff.

dalam bidang tariff atau bea masuk hasil tokyo round yang telah disetujui mencakup beberapa ribu hasil industri dan pertanian penurunan ini secara bertahap diterapkan dalam batas waktu 8 Tahun dan selesai pada 1 januari 1987. nilai perdagangan dari produk ekspor yang memperoleh kesepakatan penurunan bea masuk, yang diperlakukan secara nondiskriminatif atau berdasarkan prinsip Most-favored nation (MFN), dan dengan komitmen

115. H.S. Kartadjoemena, 1996, GATT dan WTO, Sistem, forum, dan lembaga internasional di bidang perdagangan, UI Press, Jakarta, h. 124

Penyelidikan Yang Sedang Dalam Proses

No. Produk Negara Yang

Dituduh keterangan

1 Sodium

tripolyphosphate

RRC Inisiasi tgl. 29 Juni 2007

Sumber : Komite Anti Dumping Indonesia (KADI)

secara mengikat atau dengan komitmen mengenakan binding, mencapai jumlah US$ 300 miliar pada tahun 1981.

Ø dalam bidang non tariff.

di bidang non-tariff, hasil yang dicapai dalam Tokyo Round sebagai berikut :

a). pengaturan yang lebih terinci mengenai tindakan non-tariff (non-tariff measures) seperti subsidi countervailing duty atau bea masuk yang dikenakan untuk mengimbangi langkah subsidi yang diambil oleh suatu negara pengespor.

b). ketentuan yang lebih terinci mengenai hambatan rintangan teknis yang diperlakukan terhadap perdagangan internasional (technical barriers to trade).

c). ketentuan yang dirinci mengenai pembelian dalam bentuk impor sektor pemerintah, atau goverment procurement.

d). ketentuan yang dirinci mengenai prosedur dalam pemberian lisensi impor.

e). penyesuaian dan perubahan dalam kode GATT mengenai anti-dumping yang dirumuskan dan disetujui pada tahun 1967.

f). ketentuan mengenai hasil tropis.

g). ketentuan mengenai hasil daging sapi atau Arrangement Regarding Bovine Meat.

h). ketentuan yang terinci mengenai hasil ternak atau International Dairy Arrangement.

i). perjanjian mengenai perdagangan bebas dalam pesawat terbang sipil.

Di bidang non tariff, perjanjian hasil Tokyo Round yang berlaku hanya bagi negara yang turut dalam perjanjian-perjanjian khusus tersebut adalah sebagai berikut :

1. Subsidies and Countervailing Measures. Negara-negara yang menandatangani code ini memberi komitmen bahwa subsidi yang diberikan kepada industri domestik tidak mengganggu kepentingan perdagangan negara lain. Sebaliknya, countervailing measures atau langkah “balasan” yang diambil oleh negara lain tidak mengganggu arus perdagangan secara berlebihan. Lagi pula langkah “balasan”

tersebut hanya dapat diterapkan bila dapat dibuktikan bahwa barang impor yang telah memperoleh subsidi di negara asalnya telah mengganggu dan merusak kepentingan industri dalam negeri negara tujuan, atau diduga akan merusak kepentingan industri dalam negeri tersebut.

2. Technical Barries to Trade. Perjanjian ini juga dikenal sebagai Standars Code. perjanjian ini mengikat negara yang menandatanganinya untuk menjamin agar bila suatu pemerintah atau instansi lain menentukan peraturan teknis atau standar teknis untuk keperluan keselamatan umum, kesehatan, perlindungan terhadap konsumen dan lingkungan hidup, atau untuk keperluan lain, maka peraturan, standar dan testing serta sertifikasi yang dikeluarkan tidak menimbulkan rintangan yang tidak diperlukan terhadap perdagangan internasional.

3. Import Licensing Procedures. Perjanjian ini mengakui bahwa lisensi impor dapat merupakan hal yang diperlukan dan penerapan sistem lisensi diakui kegunaannya, namun demikian, diakui pula

bahwa sistem lisensi dapat menghambat perdagangan internasional.

Code ini bermaksud untuk mengatur agar sitem lisensi impor tidak dibuat sebagai sistem untuk membatasi impor. Negara yang menandatangani code ini mengambil komitmen agar pemerintahnya menerapkan sistem lisensi impor yang sederhana dan mengadministrasikannya secara netral dan adil.

4. Government Procurement. tujuan code ini untuk menerapkan persaingan dalam kompetisi internasional untuk memperoleh kontrak pembelian negara. Perjanjian ini antara lain menentukan peraturan dalam cara, mengundang, mengajukan, dan memberikan tender. Perjanjian ini dibuat agar Undang-undang, peraturan, prosedur, dan praktek mengenai pembelian Negara menjadi lebih transparan. Dan lebih menjamin agar sistem pembelian tersebut tidak memproteksi produsen domestik dan mendiskriminasi produk dan suplier luar negeri. Bagi negara-negara yang menandatangani code ini, peraturan nya berlaku untuk kontrak minimal SDR 130.000 bagi pembelian instansi pemerintah yang terdaftar.

5. Custom Valuation. Perjanjian ini menentukan sistem yang adil, uniform dan netral dalam menentukan valuasi barang-barang untuk keperluan pabean yang sesuai dengan kenyataan praktek dunia perdagangan dan melarang cara penentuan valuasi yang arbitrer dan fiktif. Perjanjian ini mengandung serangkaian peraturan mengenai valuasi dan meluaskan serta lebih merinci peraturan mengenai valuasi yang telah diterapkan di GATT. Negara berkembang diberi kesempatan untuk menangguhkan penerapkan

perjanjian ini selama 5 tahun, dan diberi lebih banyak wewenang untuk mengatasi praktek-praktek valuasi yang mengandung potensi untuk menjadi tidak adil atau unfair.

6. Revised GATT Anti-Dumping Code. perjanjian ini mencakup barang-barang yang dianggap dipasarkan secara dumping yang menurut ketentuan adalah barang yang dijual di luar negeri di bawah harga yang berlaku di negara asal. Perjanjian ini merupakan penyesuaian dari perjanjian sebelumya, yakni GATT Anti-Dumping Code, yang dirundingkan pada waktu Kennedy Round (1964-1967). Perjanjian baru ini memberi interpretasi mengenai pasal VI dari tesk General Agreement yang menentukan syarat mengenai bagaimana suatu anti-dumping-duty dapat dikenakan terhadap barang impor yang masuk dengan harga dumping.

7. Hasil Pertanian. Negara yang turut serta dalam perundingan Tokyo Round juga menandatangani dua perjanjian khusus di bidang pertanian yang mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 1980 bagi negara yang menandatanganinya. Perjanjian tersebut adalah : a). Arrangement Regarding Bovine Meat. Perjanjian ini bertujuan untuk mengembangkan ekspansi, liberalisasi dan stabilitas dalam perdagangan internasional di bidang daging sapi dan ternak hidup, serta menerapkan perbaikan dalam kerja sama internasional di bidang ini. Perjanjian ini mencakup daging sapi, daging sapi muda (veal) dan ternak hidup. Berdasarkan perjanjian ini telah dibentuk International Meat Counsil dalam GATT yang mengadakan pengawasan mengenai pelaksanaan perjanjian serta melakukan

evaluasi mengenai permintaan dan penawaran dalam pasaran di bidang ini. Dewan ini juga mengadakan konsultasi secara terjadwal mengenai semua masalah yang menyangkut perdagangan di bidang ini termasuk komitmen bilateral dan multilateral.

b). International Dairy Arrangement. Perjanjian ini bertujuan untuk mengadakan liberalisasi dan mengembangkan perdagangan di bidang hasil ternak di luar daging, yaitu dairy products, termasuk susu, susu bubuk, keju dan lemak susu seperti mentega. Perjanjian ini menentukan lebih lanjut bahwa di samping bertujuan untuk mengadakan liberalisasi dan mengembangkan perdagangan internasional di bidang ini, juga bertujuan mencapai stabilitas yang lebih terjamin dalam perdagangan di sektor ini untuk kepentingan negara importir dan eksportir, mencegah surplus dan kekurangan, serta fluktuasi harga yang berlebihan, membantu pembangunan ekonomi dan sosial negara berkembang, dan memperbaiki kerja sama internasional di bidang ini. Perjanjian ini juga mengandung tiga protokol yang menentukan perlakuan kebijaksanaan di bidang ini, termasuk harga minimum ekspor, pengaturan dalam perdagangan di bidang susu bubuk, lemak susu termasuk mentega dam berbagai keju. Perjanjian ini diawasi penerapannya oleh international Dairy products Counsil.

8. Perdagangan di Bidang Pesawat Terbang Sipil. Beberapa negara peserta perundingan Tokyo Round dari kalangan negara maju pada tanggal 1 januari 1980 telah menyetujui perjanjian untuk menghapuskan semua bea masuk dan berbagai pungutan serupa

untuk pesawat terbang sipil, suku cadang dan reparasi. Bagi mereka penghapusan ini berlaku binding, atau mengikat dalam GATT.

Lagi pula perlakuan ini berupa most-favored nation (MFN) jadi berlaku juga untuk negara lain anggota GATT. Perjanjian ini mengandung annex yang mendaftar produk yang tercakup dalam pembebasan bea masuk ini, termasuk pesawat penumpang, helikopter, glider, alat pemanas makanan dalam pesawat dan topeng zat asam. Pada tahun 1983 dan 1984 daftar dalam annex tersebut diperluas dan berlaku mulai 1 Januari 1985.

Dalam perdagangan yang berkaitan dengan non-tariff diantaranya meliputi kebijakan tata niaga impor. Kebijakan tata niaga impor merupakan bagian dari kebijakan perdagangan yang memagari kepentingan nasional dari berbagai pengaruh masuknya barang-barang impor dari negara lain, dalam pelaksanaannya akan mengacu kepada Undang-undang No. 7 tahun 1994 tentang pengesahan persetujuan pembentukan organisasi perdagangan dunia yang memuat rambu-rambu yang wajib dipatuhi oleh setiap negara anggota WTO dalam merumuskan dan medelegasikan kebijakan perdagangan internasional termasuk kebijakan impor. Selain rambu-rambu tersebut WTO juga memberikan peluang-peluang yang sifatnya terbatas yang dapat dimanfaatkan oleh setiap negara anggota untuk kepentingan nasional.116

Berkaitan dengan itu pemerintah mengeluarkan Undang-undang No. 10 tahun 1995 tentang kepabeanan disamping beberapa peraturan lainnya, tetapi Undang-undang itu sudah tidak berlaku lagi dengan dikeluarkannya Undang-Undang-undang No.17 tahun 2006 tentang perubahan atas Undang-undang No. 10 tahun 1995 tentang kepabeanan ( Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 2006 No.93) tanggal 15

116 . Direktorat jendral perdagangan luar negeri, Departemen perindustrian dan perdagangan, 2003, kebijakan umum dibidang impor, Jakarta, h. 1.

november 2006. dalam Undang-undang No. 17 tahun 2006 diatur secara lebih luas yaitu tidak hanya diatur mengenai bea masuk anti dumping dan bea masuk imbalan sebagaimana diatur dalam Bab IV Undang-undang no. 10 tahun 1995, tapi diperluas yaitu Bab IV ditambahkan dengan bea masuk tindakan pengamanan, bea masuk pembalasan, serta pengaturan dan penetapan.

Bea masuk anti dumping nerupakan salah satu bentuk hambatan tariff yang ditepkan pemerintah untuk melindungi industri dalam negeri, jika harga produk dari luar negeri lebih murah dari produk dalam negeri yang sejenis, tetapi jika ternyata tidak ditemui adanya unsur dumping, maka pemerintah menggunakan instrumen lain seperti meningkatkan bea masuk atau menggunakan habatan non tariff, seperti membatasi importir dengan syarat-syarat tertentu yang dapat menghambat masuknya barang impor tersebut.117

Pengaturan mengenai persyaratan dan tata cara pengenaan bea masuk anti dumping, bea masuk imbalan digabungkan dengan pengaturan mengenai peryaratan dan tata cara bea masuk tindakan pengamanan dan bea masuk pembalasan yang diatur lebih lanjut dalam peraturan pemerintah.

Dalam Pasal 18 Undang-undang No. 10 tahun 1995 tentang kepabeanan yang dikecualikan pencabutannya dengan dikeluarkannya Undang-undang No. 17 Tahun 2006 ditentukan bahwa bea masuk anti dumping dikenakan terhadap barang impor dalam hal :

a). harga ekspor dari barang tersebut lebih rendah dari nilai normalnya., dan b). impor barang tersebut :

Ø menyebabkan kerugian terhadap industri dalam negeri yang memproduksi barang sejenis dengan barang tersebut.

117 Yulianto syahyu, Op.cit h. 125.

Ø Mengancam terjadinya kerugian terhadap industri dalam negeri yang memproduksi barang sejenis dengan barang tersebut., atau Ø Menghalangi pengembangan industri barang sejenis dalam negeri.

Dari ketentuan Pasal 18 tersebut terdapat beberap unsur yang harus dipenuhi untuk dapat dikenakan bea masuk anti dumping terhadap barang impor, yaitu :

Ø harga lebih rendah dari nilai normal (less dhan fair value)

Ø kerugian terhadap industri dalam negeri (injury to the domestic industry)

Ø mengancam terjadinya kerugian terhadap industri dalam negeri ( threaten injury)

Ø menghalangi pengembangan industri barang sejenis (the establishment of a domestic industry)118

Dalam pasal 19 Undang-undang No. 10 tahun 1995 tentang kepabeanan ditentukan :

• ayat (1). Bea masuk anti dumping dikenakan terhadap barang impor sebagaimana dimaksud dalam pasal 18 setinggi-tingginya sebesar selisih antara nilai normal dengan harga ekspor dari barang tersebut.

• ayat (2). Bea masuk anti dumping sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan tambahan dari bea masuk yang dipungut berdasarkan Pasal 12 ayat (1).

Dari ketentuan Pasal 19 tersebut diatas dapat disebutkan bahwa besarnya bea masuk anti dumping diperoleh dari perhitungan paling tinggi dari selisih antara harga normal dan harga ekspor barang.

118 Christhophorus Barutu.3, Op.cit, h. 133.

Bagi industri dalam negeri pengaturan ketentuan anti dumping sangat diperlukan sehingga produsen dalam negeri dapat menempuh prosedur-prosedur yang telah ditentukan dalam Peraturan Pemerintah No. 34 Tahun 1996 apabila mereka terancam kerugian akibat dari impor barang dengan harga dumping. Menurut Taufik Abbas Strategi yang perlu dilakukan untuk melakukan tuduhan dumping adalah mempersiapkan diri untuk menghadapi pressure yang terdiri atas:

Ø pressure dalam negeri, yang meliputi :

1. pressure dari industri hilir (konsumen dalam negeri) 2. pressure dari industri hulu (produsen dalam negeri) Ø pressure dari luar negeri, yang meliputi :

1. pressure dari produsen luar negeri

2. pressure dari negara yang industrinya dituduh dumping Ø pressure dari WTO.119

Adapun cara-cara untuk menghindari pressure adalah sebagai berikut : 1. pelaksanaan harus dilakukan secara profesional dan hati-hati.

2. semua ketentuan-ketentuan WTO harus diperhatikan dan jangan dilanggar, mulai dari inition of proceeding sampai final determination 3. menjamin hak-hak pihak yang berkepentingan (intrested parties) Berdasarkan kebijaksanaan dan strategi diatas maka untuk melakukan tuduhan dumping harus betul-betul mempunyai bukti yang kuat dan telah memenuhi syarat-syarat yang ditentukan oleh WTO. Menurut sukarmi untuk dapat dikenakan bea masuk anti dumping harus memenuhi syarat, yaitu :

1. adanya harga pokok yang sama dijual lebih murah dibawah harga domestik negara asal barang.

119. Sukarmi, op.cit h, 158.

2. harga itu menyebakan kerugian, dan

3. adanya Causal Link antara harga dumpig dengan kerugian yang timbul.120

Pemerintah pada tahun 1996 juga pernah mengeluarkan peraturan mengenai penetapan penurunan tariff bea masuk dalam rangka memberikan kepastian usaha dalam menentukan rencana investasi dan rencana produksi, yaitu berdasarkan keputusan menteri keuangan No. 378/KMK. 01/1996 dan diatur pula pengecualiannya, yaitu :

1. jadwal penurunan tariff atas beberapa produk pertanian tertentu yang diatur tersendiri.

2. penurunan tariff atas beberapa produk otomotif

3. penuruna tariff atas beberapa produk kimia, barang olastis dan logam sekitar 10%

4. tariff produk alkohol sulingan dan minuman yang mengandung alkohol

dibidang non-tariff, sebagai hasil dari langkah penyesuaian di bidang tata niaga impor telah dibebaskan tata niaga impor untuk sejumlah 77 pos tariff yang meliputi susu dan produk susu, gandum, beras, cengkeh, tepung kedelai, gula dan, kendaraan bermotor.

Bagi perusahaan yang melakukan perdagangan impor harus memiliki Angka Pengenal Importir (API), yang gunanya untuk memudahan pengawasan, tetapi yang terjadi masih adanya pelanggaran oleh importir/ perusahaan, dengan maksud dan tujuan yang negatif, maka dengan adanya pelanggaran ini Departemen perindustrian dan

120. Sukarmi, Loc.cit

perdagangan akan melaksnakan kebijasanaan angka pengenal importir (API) yang sesuai dengan tujuannya121

Dokumen terkait