• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengertian Kerugian (Injury)

BAB III PENENTUAN KERUGIAN (INJURY) DAN INSTRUMEN

3.1. Kerugian (Injury)

3.1.1. Pengertian Kerugian (Injury)

Pada dasarnya dumping dilarang karena dianggap selalu dapat merugikan perekonomian negara lain, Kerugian yang dimaksudkan dalam praktik dumping adalah kerugian yang diderita industri dalam negeri sebagai akibat adanya barang impor yang dijual dengan harga dumping.

Dalam PP. No. 34 tahun 1996 pasal 1 butir 11 ditentukan kerugian adalah : a). Kerugian industri dalam negeri yang memproduksi barang sejenis.

b). Ancaman terjadinya kerugian industri dalam negeri yang memproduksi barang sejenis, atau.

c). Terhalangnya pengembangan industri barang sejenis di dalam negeri.

Dari pengertian tersebut terdapat 3 (tiga) tolok ukur yang dapat dijadikan ukuran dalam menentukan adanya kerugian bagi industri dalam negeri yang memproduksi barang sejenis, yaitu :

1). Material Injury ( Kerugian Material)

Yang dimaksud dengan material injury yaitu kerugian material yang diderita oleh industri dalam negeri yang memproduksi barang sejenis. Dalam pengertian ini kerugian sudah terjadi dan dapat dilihat pada periode yang diseidiki (investigation periode) yaitu dengan adanya indikasi antara lain penjualan menurun, profit menurun, kehilangan konsumen, market share menurun, utilisasi kapasitas

produksi menurun, pengaruh terhadap cash flow, terhadap return on investment, terhadap pertumbuhan perusahaan, PHK meningkat, stock meningkat, dsb.

2). Threat of Material Injury (Ancaman Kerugian Material )

Pengertian threat of material injury disini adalah ancaman terjadinya kerugian bagi industri dalam negeri yang memproduksi barang sejenis. Dalam pengertian ini kerugian material belum terjadi dan belum dapat dilihat pada periode yang diselidiki (Investigation Periode) tetapi gejala yang ada menunjukan bahwa akan terjadi kerugian di masa depan ( misalnya : karena kapasitas yang besar dari eksportir).

3). Material Retardation of the Establishment to a Domestic industri (terhalangnya pengembangan industri dalam negeri ).

Dalam pengertian ini kerugian yang dimaksud adalah kerugian yang akan timbul disebabkan karena terhalangnya pengembangan industri dalam negeri barang sejenis yang diakibatkan oleh adanya barang dumping. Selain adanya hambatan pengembangan industri dalam negeri juga hambatan lahirnya industri baru.

Batasan kerugian yang diatur oleh ketentuan tersebut diatas sangat luas, mengakibatkan pengertian tersebut menjadi bias. Luasnya pengertian kerugian tersebut dapat mengakibatkan perangkat hukum anti dumping dijadikan instrument oleh pengusaha (produsen) untuk melindungi kepentingan kelangsungan usahanya.80 GATT menetapkan suatu kriteria umum mengenai kerugian akibat prkatik dumping, yaitu dumpig yang dapat menimbulkan kerugian material, baik terhadap industri yang sudah berdiri maupun telah menimbulkan hambatan pada pendirian industri domestik, sebagaimana terihat dibawah ini.

80Yulianto syahyu, 2004, Hukum Anti Dumping di Indonesia, Ghali, Indonesia, Jakarta, h 106-107.

“The contracting parties recognize that dumping, by which product of one country are introduced into the commerce of another country at less than normal value (sering digunakan istilah “Less than fair value” atau LTFV) of the product, is to be condemned if it causes or treathmens material injury to an established industry in the territory of a contracting party or materially retard the establishment of a domestic industry”.81

Disebut terjadi kerugian (injury) apabila faktor-faktor ekonomi dari perusahaan negara pengimport mengalami kerugian secara material, misalnya penurunan penjualan, keuntungan, pangsa pasar, produktifitas, return on investment, atau utilisasi kapasitas. Faktor-faktor yang mempengaruhi dalam negeri misanya margin dumping, pengaruh negative pada cash flow (arus kas), persediaan, tenaga kerja, upah, pertumbuhan, kemampuan meningkatkan modal, investasi.82

Untuk mengetahui apakah suatu negara telah melakukan praktik dumping yang menimbulkan kerugian material atau tidak, Article3.1. dari Antidumping Code 1994 menyatakan sebagai berikut.

“ A determination on injury for purpose of article VI of GATT 1994 shall be based on positive evidence and involve and obyektive examination of both (a) the volume of the dumped import and the effect f the dumped imports on price in the domestic market for like products, and (b) the consequent impact of these import on domestic producers of such product”

Dari ketentuan tersebut dapat dirtikan kerugian ditentukan berdasarkan adanya bukti-bukti positive dan hasil penyelidikan yang obyekstif tehadap :

a). Peningkatan volume import dari produk yang telah dijual dengan harga dumping, dan.

b). Pengaruh pratik dumping terhadap harga pasar dari produk barang sejenis yang diproduksi produsen domestik83

Menurut Yulianto Syahyu batasan kerugian yang timbul akibat praktik dumping cukup dibatasi sampai kerugian nyata (material Injury), dimana industri dalam negeri

81 Sukarmi, Op.cit h. 44

82 Christhophorus Barutu 3, Op.cit. h. 45.

83 Yulianto syahyu, Loc.cit

yang memproduksi barang sejenis telah benar-benar mengalami kerugian sebagai akibat adanya barang dumping.84

Dalam penyelidikan anti-dumping, penentuan ada tidaknya kerugian dalam hal adanya dumping sangat penting, karena jika ternyata dumping dapat dibuktikan tetapi tidak ada kerugian, maka bea masuk anti-dumping tidak dapat diterapkan. 85

Ada variabel sebab akibat yang diajukan oleh GATT untuk melarang tindakan dumping, yaitu dumping yang dilakukan oleh suatu negara yang Less than fair value atau (LTFV) dianggap dapat menyebabkan kerugian material (Material injury) terhadap industri dalam negara importir. Jadi tindakan itu :

1). Harus ada tindakan dumping yang Less than fair value atau (LTFV).

2). Harus ada kerugian material di negara importir.

3). Adanya causal Link antara harga dumping dengan kerugian yang terjadi.86 3.1.2. Hubungan Kausalitas (Causality) Antara Kerugian (Injury) dan Barang

Dumping.

Suatu penyelidikan anti dumping belum memenuhi syarat apabila hanya terdapat atau terbukti adanya barang dumping serta kerugian (injury) saja yang dialami oleh produsen dalam negeri. Suatu hubungan sebab akibat (a causal link) antara barang dumping dengan kerugian (injury) harus ditunjukan dengan suatu bukti-bukti yang relevan, kuat dan valid. Pembukti-buktian yang sederhana dan instant dapat dianggap suatu bukti yang belum mencukupi, hubungan sebab-akibat ( a causal link ) merupakan kata kunci dalam penyelidikan anti dumping.

Otoritas anti dumping negara penuduh harus dapat membuktikan bahwa ada hubungan sebab akibat antara barang import dumping dengan kerugian yang diderita industri daam negeri. Hal tersebut harus didasarkan pada penilaian semua faktor

84Yulianto syahyu, op.cit, h.107

85 Yulianto syahyu, op.cit, h. 77

86 Sukarmi, Loc.cit.

penyebab kerugian, tidak hanya faktor dumping tetapi juga faktor ekonomi lain yang relevan, dan didukung oleh bukti-bukti yang kuat. Adapun analisis hubungan kausalitas meliputi :

1). Dampak Volume ( Volume Effect)

Mengenai volume barang dumping yang masuk ke negara pengimpor, harus dapat dibuktikan bahwa telah terjadi suatu peningkatan yang signifikan dari volume barang import yang diduga dumpig, baik secara absolut maupun relatif terhadap produksi dalam negeri dan konsumsi nasional negara pengimpor. Penilaian terhadap volume import didasarkan pada perkembangan import tiga tahun terakhir. Perkembangan import tiga tahun terakhir ini meliputi satu tahun yang disebut sebagai periode investigasi dan dua tahun sebelumya

2). Dampak Harga (Price Effect)

Apabila industri dalam negeri berhadapan dengan barang import yang didumping dengan sendirinya harga barang sejenis industri dalam negeri akan mengalami depresi atau tertekan, yaitu harga barang sejenis industri dalam negeri terpaksa diturunkan untuk menghindari kehilangan market share di pasar dalam negeri, sehingga indusri dalam negeri terpaksa melakukan price undercutting, yaitu harga barang sejenis industri dalam negeri terpaksa diturunkan untuk mengimbangi harga barang dumping Dalam rangka mempertahankan market share. Dalam menghadapi hal tersebut industri dalam negeri juga bisa megalami price suppresion, yaitu harga barang sejenis industri dalam negeri seharusnya dinaikan (misalnya ada kenaikan harga raw material atau biaya-biaya lain yang meningkat) tetapi tidak mencapai tingkat biaya produksi karena adanya persaingan

barang import yang dijual dengan harga dumping. Hubungan kausalitas antara kerugian (injury) dan barang dumping dapat dilihat pada grafik di bawah ini :

Grafik 1

Hubungan Kausalitas Antara Kerugian (Injury) dan Barang Dumping

>Sumber : Direktorat Pengamanan Perdagangan, Ditjen KIPI, depperindag, Nurlaila NM Harris, Kasubdit pembuktian kerugian Dumping. 7. Gangguan terhadap Return On Investment 8 Gangguan terhadap harga dalam negeri 9. Magnitude of Margin dumping.

10. Perkembangan Cash Flow yang negative 11. Inventori meningkat

12.Pengurangan tenaga kerja/ penurunan gaji bukan PHK 13. gangguan terhadap pertumbuhan perusahaan

3.2. Instrumen Yang digunakan Untuk Melindungi Industri Dalam Negeri Dari Praktik Dumping.

3.2.1. Anti Dumping

Mengenai Anti-dumping dapat dilihat pengaturannya dalam GATT-WTO dan pengaturan dalam hukum nasional.

a). Pengaturan Anti- Dumping Dalam GATT-WTO.

Negara negara GATT pada saat berlakunya Persetujuan Pembentukan WTO menjadi “Original Members” WTO sepanjang sudah memenuhi persyaratan mengenai komitmen dan konsesi. Negara yang menjdi anggota WTO tentu saja wajib menerima Persetujuan Pembentukan WTO dan persetujuan persetujuan yang menjadi lampirannya, yang dalam hal ini adalah GATT, GATS ( General Agreement on Trade in Servises), dan TRIPs (Agreement on Trade Related of Intellectual Property Rights), atau secara keseluruhan disebutkan persetujuan perdagangan multilateral (Multilateral trade agreements).Indonesia adalah salah satu anggota “Original Members” dari WTO Cerminan dari diterimanya hasil hasil Putara Uruguay oleh Bangsa Indonesia adalah pengesahan keikutsertaan Indonesia dalam WTO dengan dikeluarkannya Undang-undang No. 7 tahun 1994 pada tanggal 2 Nopember 1994..Sudah jelas bahwa keikutsertaan Indonesia dalam WTO dan pelaksanaan berbagai komitmen yang disampaikan tidaklah terlepas dari rangkaian kebijaksanaan disektor perdagangan khususnya perdagangan luar negeri.87

Dalam Perdagangan luar negeri atau perdagangan internasional pengusaha untuk dapat merebut konsumen sebanyak mungkin, sering menempuh strategi persaingan harga (price competition), yaitu dengan menekan harga serendah mungkin untuk barang sejenis dengan perusahaan lainnya. Perbuatan tersebut dipandang

87 .B.M. Kuntjoro Jakti,et.al.,1997/1998,Pengkajian Hukum Tentang Masalah Penyelesaian Sengketa Dagang Dalam WTO,BPHN,Jakarta, h.7-8

sebagai perbuatan curang, karena melakukan suatu perbuatan dalam bentuk persaingan yang tidak jujur (unfair competition). Dalam perdagangan Internasional perbuatan curang tersebut dikenal sebagai praktik dumping , yaitu merupakan praktik dagang yang tidak fair, karena bagi negara pengimpor, praktik dumping akan menimbulkan kerugian bagi dunia usaha atau industri barang sejenis dalam negeri, dengan terjadinya banjir barang barang dari pengekspor yang harganya jauh lebih murah dari pada harga barang dalam negeri. Hal tersebut akan mengakibatkan barang sejenis kalah saing, sehingga akan mematikan pasar barang sejenis dalam negeri, dan pada akhirnya adalah industri barang sejenis dalam negeri menjadi bangkrut.

Untuk melindungi industri dalam negeri dari praktik dumping, maka dikeluarkan peraturan antidumping yang merupakan salah satu perhatian khusus Indonesia terhadap hasil putaran Uruguay. Peraturan antidumping terdapat dalam Persetujuan Anti-Dumping GATT, yaitu pada article VI dari GATT 1994 yang terdiri dari 7 (tujuh) ayat yaitu sebagai berikut.

Article VI “Anti-dumping and Countervailing Duties”.

1. The contracting parties reconize that dumping. By which products of one country are introduced into the commerce of another country at less than the normal value of the products, is to be condemmed if it causes or threatens material injury to an established industry in the territory of a contracting party or materially retards the establishment of a domestic industry. For the purposes of this Article, a product is to be considered as being introduced into the commerce of an importing country at less than its normal value, if the price of the product exported from one country to another

a) is less than the comparable price, in the ordinary course of trade, for the like product when destined for consumption in the exporting country, or

b) in the absence of such domestic price, is less than either

i). he highest comparable price for the like product for export to any third country in the ordinary course of trade, or

ii). the cost of production of the product in the country of origin plus a reasonable addition for selling cost and profit. Due allowance shall be made in each case for differences in conditions and terms of sale, for differences in taxation, and for other difference affecting price comparability.

2. In order to offest or prevent dumping, a contracting party may levy on any dumped product an anti dumping duty not greater in amount than the margin of dumping in respect of such product. For the purposes of this article, the margin of dumping is the price difference determined in accordance with the provisions of paragraph 1.

3. No countervailing duty shall be levied on any product of the territory of any contracting party imported into the territory of another contracting party in excess of an amount equal to the estimated bounty or subsidy determined to have been granted, directly or inderectly, on the manufakture, production or export of such product in the country of origin or exportation, including any special subsidy to the transportation of a particular product. The term “countervailing duty” shall be understood to mean a special duty levied for the purpose of offsetting any bounty or

subsidy bestowed, directly or indirectly, upon the manufacture, production or export of any merchandise.

4. No product of the territory of any contracting party imported int the territory of any other contracting party shall be subject to anti-dumping or countervailing duty be reason of the exemption of such product from duties or taxes borne by the like product when the destined for comsumption in the country of origin or exportation, or by reason of the refund of such duties or taxes.

5. No product of the territory of any contracting party imported into the territory of any other contracting party shall be subject to both anti-dumping and countervailing duties to compensate for the same situation of dumping or export subsidization.

6. a). No contracting party shall levy any anti-dumping or cuntervailing duty on the importation of any product of the territory of another

contracting party unless it determines that the effect of the dumping or subsidization, as the case may be, is such as to cause or threaten material injury to an established domestic industry, or is such as to retard materially the establishment of a domestic industry.

b). The CONTRACTING PARTIES may waive the requirement of subparagraph (a) of this paragraph so as to permit a contracting party to levy an anti-dumping or countervailing duty on the importation of any product for the purpose of offsetting dumping or subsidization which causes or threatens material injury to an industry in the territory of another contracting party exporting the product concerned to the territory of the importing contracting party. The

CONTRACTING PARTIES shall waive the requirements of sub-paragraph, so as to permit the levying of a countervailing duty, in cases in which they find that a subsidy is causing or threatening material injury to an industry in the territory of another contarcting party exporting the product concerned to the territory of the importing contracting party.

c). In exceptional circumstances, however, where delay might cause damage which would be difficult to repair, a contracting party may levy a countervailing duty for the purpose referred to in sub-paragraph (b) of this sub-paragraph without the prior approvalof the CONTRACTING PARTIES; Provided that such action shall be reported immediately to the CONTRACTING PARTIES and that the countervailing duty shall be withdrawn promptly if the CONTRACTING PARTIES disaprove.

7). A system for the stabilization of the domestic price or of the return to domestic producer of a primary commodity, independently of the movements of export prices, which results at times in the sale of commodity for export at a price lower than the comparable price charged for the like commodity to buyers in the domestic market, shall be presumed not to result in material injury within the meaning of paragraph 6 if it is determined by consultation among the contracting parties substantially interested in the commodity concerned that:

a). The system has also resulted in the sale of the commodity for export at a price higher than the comparable price charge for the like commodity to buyers in the domestic market, and

b). The system is so operated, either because of the effective regulation of production, or otherwise, as not to stimulate exports unduly or otherwise seriously prejudice the interests of other contracting parties.

Persetujuan atas implementasi Article VI GATT dikenal sebagai Anti Dumping Agreement (ADA) di mana menyediakan perluasan lebih lanjut atas prinsip prinsip dasar dalam Article VI GATT itu sendiri, memerintahkan investigasi,ketentuan, dan aplikasi bea antidumping. Dalam article VI GATT 1994, para anggota WTO dapat membebankan/mengenakan antidumping measures jika setelah investigasi sesuai dengan persetujuan, suatu ketentuan dibuat, yaitu :

a. bahwa dumping sedang terjadi,

b. bahwa industri domestik memproduksi produk yang sama (like product) di negara pengimpor mendapatkan/memperoleh material injury, dan

c. bahwa ada suatu hubungan sebab akibat (causal link) antara keduanya.

Ketiga unsur di atas ditegaskan dalam Article 5.2 Agreement on Implementation of Article VI of The General Agreement on Tarifs and Trade 1994(Anti-Dumping Agreement/ADA)

“An application under paragraph 1 shall include evidence 0f (a)dumping,(b)injure within the meaning of Article VI of GATT 1994 as interpreted by this agreement, and (c) a causal link between the dumped imports and the alleged injury.Simple assertion...”88

b). Pengaturan Anti-Dumping Dalam Hukum Nasional.

Pengaturan anti dumping dalam hukum nasional Indonesia sebagai tindak lanjut dari ratifikasi Pesetujuan Pembentukan WTO melalui Undang-undang No.7 tahun 1994 ternyata sampai saat ini belum ada pengaturannya secara khusus dalam

88 Christhophorus Barutu 3,op.cit.,h.44-45.

satu peraturan yang berbentuk undang-undang. Pengaturan anti dumping dalam hukum nasional Indonesia tersebar dalam Peraturan Perundang-undangan, Peraturan Pemerintah, dan produk produk hukum lainnya yang terkait seperti Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan, dan Surat Edaran Dirjen Bea dan Cukai sebagai berikut.

1. Undang-undang Nomor 7 tahun 1994 tentang pengesahan (ratifikasi) Agreement Establishing the World Trade Organization. Dengan adanya pengesahan tersebut maka persetujuan itu yang berisi 28 ketentuan telah sah menjadi bagian dari peraturan nasional, dan sekaligus meratifikasi pula Anti dumping Code tahun 1994 yang merupakan salah satu dari Multilateral Trade Agreement.

2. Undang-undang Nomor 10 tahun 1995 tentang Kepabeanan yang telah diubah dengan dikeluarkannya Undang-undang Nomor 17 tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 10 tahun 1995 tentang Kepabeanan.

3. Peraturan Pemerintah Nomor 34 tahun 1996 tentang Bea Masuk Anti dumping dan Bea Masuk Imbalan.

4. Keputusan Menteri Perindustrian dan Prdagangan Nomor 261/MPP/Kep/9/1996 tentang Tata Cara dan Peryaratan Permohonan Penyelidikan Atas Barang Dumping dan atau Barang Mengandung Subsidi, sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 216/MPP/Kep/7/2001 sebagai ketentuan hukum acara(formal), dan ketentuan pembentukan Komite Anti Dumping Indonesia (KADI) berdasarkan Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 427/MPP/Kep/10/2000 tentang Komite Anti Dumping indonesia, dan Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 428

/MPP/Kep/10/2000 tentang Penunjukan dan Pengangkatan Anggota Komite Andi Dumping Indonesia serta Struktur Kepegawaian Komite Anti Dumping Indonesia berdasarkan Keputusan Ketua Komite Anti Dumping Indonesia Nomor 346/KADI/Kep/10/2000 tentang Penunjukan dan Pengangkatan Kepala Bidang dan Anggota di Lingkungan Komite Anti Dumping Indonesia.

5. Surat Edaran Dirjen Bea dan Cukai Nomor SE-19/BC/1997 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pemungutan Bea Masuk Anti Dumping/Sementara.

Peraturan peraturan tersebut dapat digunakan dalam penanganan kasus kasus dumping di Indonesia, terutama untuk pelaksanaan persyaratan dan tata cara pengenaan bea masuk anti-dumping dan bea masuk imbalan bagi produk produk dari luar negeri yang masuk ke dalam negeri sebelum adanya undang undang nasional yang secara khusus mengatur anti-dumping.

Indonesia dengan meratifikasi Agreement Establishing the World Trade Organization dengan dikeluarkannya Undang undang No.7 tahun1994 tanggal 2 Nopember 1994, maka Indonesia harus mengimplementasikan 28 persetujuan yang telah sah menjadi bagian dari peraturan nasional. Hal ini sesuai dengan teori Hukum Alam yang dikemukakan oleh Grotius yang memaparkan ada 4 (empat) norma dasar yang terkandung dalam Hukum Alam, yaitu.

1. Kita harus menjauhkan diri dari harta benda kepunyaan orang lain.

2. Kita harus mengembalikan harta kepunyaan orang lain yang berada di tangan kita beserta hasil dari benda orang lain yang sudah kita nikmati.

3. Kita harus menepati janji janji yang kita buat.

4. Kita harus mengganti kerugian yang disebabkan oleh kesalahan kita, lagi pula kita harus dihukum apabila perbuatan kita pantas disalahkan.89

89 Friedmen.,op.cit., h.49

Berdasarkan teori Hukum Alam dari Grotius itu, maka janji janji yang kita buat kita harus menepatinya dengan mengimplementasikan kebijakan antidumping,yaitu mengacu sepenuhnya kepada aturan WTO. Bila terbukti ada praktik dumping dan kerugian, maka pihak yang menimbulkan kerugian itu harus mengganti kerugian akibat pratik dumping yang dilakukan oleh eksportir , dan Komite Anti Dumping Indonesia (KADI) merekomendasikan pengenaan Bea Masuk Anti Dumping (BMAD) sebesar marjin dumping, yaitu selisih harga ekspor dengan harga di pasar asal eksportir.Tetapi dalam penerapan ketentuan anti dumping

Berdasarkan teori Hukum Alam dari Grotius itu, maka janji janji yang kita buat kita harus menepatinya dengan mengimplementasikan kebijakan antidumping,yaitu mengacu sepenuhnya kepada aturan WTO. Bila terbukti ada praktik dumping dan kerugian, maka pihak yang menimbulkan kerugian itu harus mengganti kerugian akibat pratik dumping yang dilakukan oleh eksportir , dan Komite Anti Dumping Indonesia (KADI) merekomendasikan pengenaan Bea Masuk Anti Dumping (BMAD) sebesar marjin dumping, yaitu selisih harga ekspor dengan harga di pasar asal eksportir.Tetapi dalam penerapan ketentuan anti dumping

Dokumen terkait