• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaturan dan Penetapan

BAB IV KEBIJAKAN PEMERINTAH BERKAITAN DENGAN TUDUHAN

4.2. Pengenaan Bea Masuk Anti Dumping, Bea Masuk Imbalan, Bea

4.2.5. Pengaturan dan Penetapan

Bagian kelima ini adalah mengenai pengaturan dan penetapan yang diatur dalam pasal 23 D yang meyatakan bahwa :

Ø ayat (1) : ketentuan mengenai persyaratan dan tata cara pengenaan bea masuk anti dumping, bea masuk imbalan, bea masuk tindakan pengamanan, dan bea masuk pembalasan diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.

Ø ayat (2) : besar tarif masuk anti dumping, bea masuk imbalan, bea masuk tindakan pengamanan, dan bea masuk pembalasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh menteri.

Ketentuan Undang-undang No. 10 Tahun 1995 yang terdapat dalam pasal 25 ayat (2) dihapus, dan ayat (1), ayat (3), dan ayat (4) diubah, sehingga pasal 25 berbunyi sebagai berikut :

Ø ayat (1) : pembebasan bea masuk diberikan atas impor :

a) barang perwakilan negara asing beserta para pejabatnya yang bertugas di Indonesia berdasarkan asal timbal balik,

b) barang untuk keperluan badan internasional beserta pejabat yang bertugas di Indonesia,

c) buku ilmu pengetahuan,

d) Barang kiriman hadiah/ hibah untuk keperuan ibadah untuk umum, amal,sosial, kebudayaan, atau untuk kepentingan penanggulangan bencana alam,

e) Barang untuk keperluan museum, kebun binatang, dan tempat semacam itu yng terbuka untuk umum serta barang untuk konservasi alam,

f) Barang untuk keperluan penelitian, dan pengembangan ilmu pengetahuan,

g) Barang untuk keperluan khusus kaum tunanetra dan penyandang cacat lainnya,

h) Persenjataan, amunisi, perlengkapan militer dan kepolisian, termasuk suku cadang yang diperuntukan bagi keperluan pertahanan dan keamanan negara,

i) Barang dan bahan yang dipergunakan untuk menghasilkan barang bagi keperluan pertahanan dan keamanan negara,

j) Barang contoh yang tidak untuk diperdagangkan

k) Peti atau kemasan lain yang berisi jenasah atau abu jenasah,

l) Barang pindahan,

m) Barag pribadi penupang, awak sarana pengangkut, pelintas batas dan barang kiriman sampai batas nilai pabean dan / atau jumlah tertentu,

n) Obat-obatan yang diimpor dengan menggunakan anggaran pemerintah yang diperuntukan bagi kepentingan masyarakat,

o) Barang yang telah diekspor untuk keperluan perbaikan, pengerjaan, dan pengujian,

p) Barang yang telah dieskpor kemudian diimpor kembali dalam kualitas yang sama dengan kualitas pada saat diekpor,

q) Bahan terapi manusia, pengelompokan darah, dan bahan penjenisan jaringan.

Ø ayat (3) : ketentuan tentang pembebasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dengan peraturan menteri

Ø ayat (4) : orang yang tidak memenuhi ketentuan tentang pembebasan bea masuk yang ditetapkan menuruut Undang-Undang ini wajib membayar bea masuk yang terutang dan dikenai sanksi administrasi berupa denda sebesar paling sedikit 100% (seratus persen) dari bea masuk yang seharusnya dibayar dan paling banyak 500% (lima ratus persen) dari bea masuk yang seharusnya diabayar.

Ketentuan Pasal 26 ayat (2) dihapus dari ayat (1), ayat (3), dan ayat (4) diubah sehingga pasal 26 berbunyi sebagai berikut :

Ø ayat (1) : pembebasan atau keringanan bea masuk dapat diberikan atas impor :

a) barang dan bahan untuk pembangunan dan pengembangan industri dalam rangka penanaman modal,

b) mesin untuk pembangunan dan pengembangan industri, c) barang dan bahan dalam rangka pembangunan dan

pengembangan industri untuk jangka wktu tertentu, d) peralatan dan bahan yang digunakan untuk mencegah

pencemaran lingkungan,

e) bibit dan benih untuk pembangunan dan pengembangan industri pertanian, peternakan, atau perikanan,

f) hasil laut yang ditangkap dengan sarana penangkap yang telah mendapat izin,

g) barang yang mengalami kerusakan, penurunan mutu, kemusnahan, atau penyusutan volume atau berat karena karena alamiah antara saat diangkut ke dalam daerah pabean dan saat diberikan persetujuan impor untuk dipakai,

h) barang oleh pemerintah pusat atau pemerintah daerah yang ditunjukan untuk kepentingan umum,

i) barang untuk keperluan olahraga yang diimpor oleh induk organisasi olahraga nasional,

j) barang untuk keperluan proyek pemerintah yang dibiayai dengan pinjaman dan/atau hibah dari luar negeri,

k) barang dan bahan untuk diolah, dirakit, atau dipasang pada barang lain dengan tujuan untuk diekspor.

Ø ayat (3) : ketentuan mengenai pembebasan atau keringanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dengan peraturan menteri.

Ø ayat (4) : orang yang tidak memenuhi ketentuan pembebasan atau keringanan bea masuk yang ditetapkan menurut Undang-undang ini wajib membayar bea masuk yang terutang dan dikenai sanksi administrasi berupa denda sebesar paling sedikit 100% (seratus persen) dari bea masuk yang seharusnya dibayar dan paling banyak 500% (lima ratus persen) dari bea masuk yang seharusnya dibayar.

Ketentuan Pasal 27 diubah sehingga Pasal 27 berbunyi sebagai berikut :

Ø ayat (1) : pengembalian dapat diberikan terhadap seluruh atau sebagian bea masuk yang telah dibayar atas :

a) kelebihan pembayaran bea masuk sebagaimana dimaksud dalam pasal 16 ayat (5), pasal 17 ayat (3), atau karena kesalahan tata usaha,

b) Impor barang sebagaimana dimaksud dalam pasal 25 dan pasal 26,

c) Impor barang yang oleh sebab tertentu harus diekspor kembali atau dimusnahkan di bawah pengawasan pejabat bea dan cukai,

d) Impor barang yang sebelum diberikan persetujuan impor untuk dipakai kedapatan jumlah yang sebenarnya

lebih kecil daripada yang telah dibayar bea masuknya, cacat, bukan barang yang dipesan, atau berkulitas lebih rendah ; atau

e) Kelebihan pembayaran bea masuk akibat putusan pengadilan pajak.

Ø ayat (2) : ketentuan tentang pengembalian bea masuk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan peraturan menteri.

Ketentuan Pasal 30 diubah dengan menambah 2 (dua) ayat, yaitu ayat (3) dan ayat (4), sehingga Pasal 30 berbunyi sebagai berikut :

Ø ayat (1) : importir bertanggung jawab atas bea masuk yang terutang sejak tanggal pemberitahuan pabean atas impor.

Ø ayat (2) : bea masuk yang harus dibayar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung berdasarkan tarif yang berlaku pada tanggal pemberitahuan pabean atas impor dan nilai pabean sebagaimana dimaksud dalam pasal 15.

Ø ayat (3) : bea masuk harus dibayar dalam mata uang rupiah

Ø ayat (4) : ketentuan mengenai nilai tukar mata uang yang digunakan untuk penghitungan dan pembayaran bea masuk diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri.

Ketentuan pasal 32 ayat (3) diubah dan ditambah 1 (satu) ayat, yaitu ayat (4) sehingga pasal 32 berbunyi sebagai berikut :

Ø ayat (1) : pengusaha tempat penimbunan sementara bertanggung jawab atas bea masuk yang terutang atas barang yang ditimbun di tempat penimbunan sementara.

Ø ayat (2) : pengusaha tempat penimbunan sementara dibebaskan dari tanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dalam hal barang yang ditimbun di tempat penimbunan sementaranya :

a) musnah tanpa sengaja,

b) telah diekspor kembali, diimpor untuk dipakai, atau diimpor sementara ; atau

c) telah dipindahkan ketempat penimbunan sementara lain, tempat penimbunan berikat atau tempat penimbunan pabean.

Ø ayat (3) : perhitungan bea masuk yang terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (1), sepanjang tidak dapat didasarkan pada tarif dan nilai pabean barang yang bersangkutan, didasarkan pada tarif tertinggi untuk golongan barang yang tertera dalam pemberitahuan pabean pada saat barang tersebut ditimbun di tempat penimbunan sementara dan nilai pabean ditetapkan oleh pejabat bea dan cukai.

Ø ayat (4) : ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) termasuk tata cara penagihan diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan peraturan menteri.

BAB V PENUTUP 5.1. Simpulan

Dari pembahasan pada Bab sebelumnya maka dapat ditarik simpulan antara lain sebagai berikut :

5.1.1 Persetujuan-persetujuan World Trade Organization (WTO), yaitu Agreement On Implementasi of Article VI of the general agreement on tariff and trade 1994, anti dumping agreement ( Persetujuan tentang penerapan pasal VI dari persetujuan umum tentang tariff dan perdagangan 1994), agreement on subsidies and countervailing measure (persetujuan tentang subsidi dan tindakan imbalan), dan agreement on safeguard (persetujuan tentang tindakan pengamanan) yang secara kongkret mengatur masalah-masalah anti dumping, subsidi, dan tindakan pengamanan (safeguard). Ketiga instrumen pengamanan perdagangan tersebut dikenal dengan nama “Trade Remidies ”, mempunyai peran yang penting untuk melindungi industri dalam negeri yang memproduksi barang sejenis dari kecurangan-kecurangan di bidang perdagangan yang dikenal sebagai praktik dumping. Selanjutnya dengan meratifikasi Agreement Establishing World Trade Organization (WTO), maka dileburlah beberapa ketentuan yang berhubungan dengan anti dumping ke dalam Undang-undang Nomor 10 tahun 1995 tentang kepabeanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 3612) tanggal 30 Desember 1995 yang diakomodasi di dalam Bab IV mengenai bea masuk Anti – Dumpig dan Bea masuk imbalan. Undang-undang Nomor 10 tahun 1995 tentang kepabeanan diubah dengan dikeluarkannya undang-undang Nomor 17

tahun 2006 tentang perubahan atas Undang-undang Nomor 10 tahun 1995 tentng kepabeanan (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 2006 Nomor 93) tanggal 15 november 2006. Dengan dikeluarkannya undang-undang Nomor 7 tahun 2006 ketentuan Bab IV ditambahkan dengan bea masuk tindakan pengamanan, bea masuk imbalan, dan bea masuk pembalasan. Produk-produk hukum lainnya yang terkait dengan upaya perlindungan industri dalam negeri dari praktek dumping adalah peraturan pemerintah nomor 34 tahun 1996 tentang bea masuk Anti Dumping dan bea masuk imbalan sebagai hukum materialnya, yang kemudian diikuti dengan dikeluarkannya beberapa keputusan Menteri Perindustrian dan perdagangan, yaitu keputusan menteri perindustrian dan perdagangan nomor 261/MPP/Kep/9/1996 sebagai hukum formalnya. Keputusan menteri Perindustrian dan perdagangan nomor 427/MPP/Kep/10/2000 mengenai pembentukan komite anti dumping indonesia (KADI).

Disamping keputusan Menteri Perindutrian dan Perdagangan, juga dikeluarkan keputusan Presiden Nomor 84 tahun 2002 tentang tindakan pengamanan industri dalam negeri akibat lonjakan import. Peraturan-peraturan tersebut walaupun bertujuan untuk melindungi industri dalam negeri yang memproduksi barang-barang sejenis dari praktek dumping, tetapi sampai saat ini belum ada peraturan khusus dalam bentuk peraturan perundang-undangan yang mengatur anti dumping sebagai hukum nasional.

5.1.2 Cara yang digunakan dalam menentukan adanya kerugian (injury)bagi industri dalam negeri yang memproduksi barang sejenis adalah tidak semata-mata atas hal-hal yang berkaitan dengan yang dituduh

dumping saja, tetapi faktor-faktor lain juga selayaknya dipertimbangkan, faktor-faktor ekonomi dari perusahaan negara pengimpor mengalami kerugian secara material, dari satu atau beberapa faktor ekonomi saja seperti yang diatur dalam article 3 ayat (4) agreement on implementation at article VI of GATT 1994 sudah dapat dijadikan petunjuk adanya suatu perusahaan mengalami kerugian secara material dan bergantung pada permasalahan yang ada. Faktor-faktor ekonomi dari perusahaan negara pengimpor tersebut, misalnya penurunan penjualan, keuntungan, pangsa pasar, produktifitas, return of investment, atau utilisasi kapasitas, sedangkan faktor-faktor yang mempengaruhi dalam negeri misalnya margin dumping, pengaruh negatif pada cash flow (arus kas), persediaan, tenaga kerja, upah, pertumbuhan, kemampuan meningkatkan modal, atau investasi. Faktor-faktor tersebut yang digunakan untuk menentukan adanya kerugian (injury) bagi industri dalam negeri yang memproduksi barang sejenis kurang jelas dan terlalu luas, sehingga mengalami kesulitan dalam menentukan adanya kerugian bagi industri dalam negeri. Hasil penyelidikan dari Komite Anti Dumping Indonesia (KADI) ada yang ditutup karena Komite Ani Dumping Indonesia (KADI) mengalami kesulitan untuk membuktikan adanya kerugian (injury) Komite Anti Dumping Indonesia (KADI) belum bisa mendifinisikan pengertian injury, bagaimana suatu kinerja itu bisa menyebabkan kerugian (injury). Keadaan tersebut akan menimbulkan penafsiran yang berbeda-beda bagi Komite Anti Dumping Indonesia (KADI)

5.1.3 upaya yang dapat dilakukan oleh produsen dalam negeri yang memproduksi barang sejenis yang mengalami kerugian atau ancaman

kerugian karena adanya barang impor yang dijual secara dumping atau mengandung subsidi dapat mengajukan permohonan perlindungan kepada Komite Anti Dumping Indonesia (KADI) baik secara perorangan atau kelompok. Atas dasar permohonan tersebut, Komite Anti Dumping Indonesia (KADI) akan melakukan penyelidikan untuk membuktikan kebenaran adanya dumping atau subsidi tersebut, dan terjadinya kerugian atau ancaman kerugian yang disebabkan oleh barang impor tersebut. Jika terbukti akan ditetapkan besarnya perlindungan yang dapat diberikan dengan menaikan bea masuk impor.

5.2. Saran

5.2.1. Untuk dapat memberikan perlindungan yang lebih efektif terhadap industri dalam negeri yang memproduksi barang sejenis terhadap persaingan barang perlu segera dibuat undang-undang yang secara khusus mengatur tentang anti dumping sebagai hukum nasional, karena sampai saat ini belum ada undang-undang yang secara khusus mengatur mengenai perlindungan industri dalam negeri dari praktek dumping.

5.2.2. Oleh karena tidak dijelaskan secara rinci mengenai faktor-faktor lain yang dapat juga berpengaruh menimbulkan kerugian pada industri dalam negeri sebagaimana ketentuan dalam GATT-WTO, dimana keadaan tersebut akan menyulitkan dalam menentukan adanya kerugian dan akan menimbulkan penafsiran yang bebeda-beda bagi Komite Anti Dumping Indonesia (KADI) maka perlu adanya suatu batasan jelas faktor-faktor lain tersebut yang dapat berpengaruh menimbulkan kerugian pada industri dalam negeri. Batasan kerugian yang timbul akibat praktik dumping cukup dibatasi sampai pada kerugian nyata (material injury), dimana industri

dalam negeri yang memproduksi barang sejenis telah benar-benar mengalami kerugian sebagai akibat adanya barang dumping.

5.2.3. Oleh karena masih lemahnya pemakaian istrument WTO oleh produsen dalam negeri yang disebabkan oleh kurangnya pemahaman terutama mengenai tata cara mengajukan bea masuk anti dumping (BMAD), tindakan anti subsdi, dan tindakan safeguard, maka instansi pemerintah terkait perlu meningkatkan sosialiasi sebagai ketentuan perdagangan yang disepakati WTO, sehingga dapat tercipta sistem perdagangan yang sehat.

DAFTAR PUSTAKA Buku.

A. Setiadi, 2001, Antidumping: Dalam Perspektif Hukum Indonesia, S&R Legal Co.

Jakarta.

Astim Riyanto, 2003, World Trade Organization (organisasi Perdagangan Dunia), Yapemdo, Bandung.

B.M. Kuntjoro Jakti,et.al.,1997/1998,Pengkajian Hukum Tentang Masalah Penyelesaian Sengketa Dagang Dalam WTO,BPHN,Jakarta.

Black, Hendry Campbell, 1991, Black Law Dictionary, Sixt Editionst, Paul-Minn, West Publishing, Co.

Bernard L Tanya dkk, 2006, Teori Hukum Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi, CV. Kita, Surabaya.

Bruggink Alih Bahasa Arief Sidharta, 1996, Refleksi Tentang Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung.

Bambang Waluyo, 2002, Penelitian Hukum Dalam Praktek, Sinar Grafika, Jakarta.

Berhard Bergmans,1991, Inside Information and Securities Trading, Graham &

Trootman, London.

Christhophorus Barutu, 2006, praktik subsidi dalam perdagangan internasional serta pemberlakuan ketentuan anti subsidi dan countervailling measure (tindakan-tindakan imbalan terhadap subsidi), jurnal hukum yuridika, Fakultas Hukum Universitas Airlangga, volume 21, No. 4, juli 2006, Surabaya.

Christhophorus Barutu, 2007, Sejarah Sistem Perdagangan Internasional (Dari Upaya Pembentukan Internasional Trade Organization, Eksistensi General Agreement On Tariffs and Trade Sampai Berdirinya World Trade Organization), Jurnal Hukum Gloris Juris, Fakultas Hukum Universitas Katholik Atmajaya, Volume 7, Nomor 1, 1 Januari 2007, April, Jakarta.

Christhophorus Barutu, 2007, Antidumping dalam General Agreement on Tariff and Trade (GATT) dan pengaruhnya terhadap peraturan Antidumping Indonesia, Mimbar Hukum, Jurnal Berkala Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Volume 19, Nomor 1, Februari 2007, Yogyakarta, (Selanjutnya disebut Christhophorus Barutu 2),h.53

Christhophorus Barutu, 2007, Ketentuan Antidumping, Subsidi, dan Tindakan Pengamanan (Safeguard) dalam GATT dan WTO,Citra Aditya Bakti, Bandung.

________________, 2003, Sosialisasi Mal Praktek/ Unfair Trade, Direktorat Impor Ditjen Perdagangan Luar Negeri, Dinas Perindustrian dan Perdagangan, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, 29 Juli 2003.

________________, 2003, Unfair Trade Practices dumping & Subsidy, Direktorat Pengamanan Perdagangan nurlaila, Yogyakarta 28 Juli 2003.

_________________, 2002, Sekilas WTO (World Trade Organization), Direktorat Perdagangan dan Perindustrian Multilateral, Direktorat Jendral multilateral Ekonomi Keuangan dan Pembangunan, Departemen Luar Negeri Republik Indonesia, Jakarta.

Darji Darmodihardjo dan Shidarta, 2006, Pokok-Pokok Filsafat Hukum, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

_________________, 1992, Anti Dumping Code Latar Belakang Penafsiran dan Tinjauan atas Sejumlah Tuduhan Terhadap Indonesia, Proyek Pengembangan Perdagangan Luar Negeri pusat, Departement Perdagangan Republik Indonesia , Jakarta.

_________________,1985,Kamus Besar Bahasa Indonesi (Edisi Kedua), Jakarta, Balai Pustaka.

_________________,2001, Bagaimana Menghadapi Tuduhan Dumping, Direktorat Jenderal Kerjasama Industri dan Perdagangan Internasional Departemen Perindustrian Dan Perdagangan.

_________________, 2003, kebijakan umum dibidang impor, Direktorat jendral perdagangan luar negeri, Departemen perindustrian dan perdagangan,Jakarta.

Elips, 1997, Kamus Hukum Ekonomi, Jakarta.

E. Utrecht, 1961, Pengantar Dalam Hukum Indonesia, Ichtiar, Jakarta.

Felix O Soebagio, 1993, Perkembangan asas-asas hukum kontrak dalam praktek bisnis selama 25 tahun terakhir, Disampaikan dalam pertemuan ilmiah

“perkembangan hukum kontrak dalam praktek bisnis di Indonesia”

diselenggarakan oleh badan pengkajian hukum nasional, Jakarta.

Friedmen, 1990, Teori dan filsafat hukum, Rajawali Press, Jakarta.

Faisal Salam, 2007, Penyelesaian Sengketa Bisnis Secara Nasional dan Internasional, Mandar Maju, Bandung.

H.R Otje Salman dan Anton F. Susanto, 2004, Teori Hukum, Mengingat, Mengumpulkan dan Membuka Kembali, PT. Refika Aditama, Bandung.

H.S. Kartadjoemena, 1996, GATT dan WTO, Sistem, forum, dan lembaga internasional di bidang perdagangan, UI Press, Jakarta.

Hugo Grotius, 1959 “On the rights of war and peace” dalam Clarence Morris, The Great Legal Philosophers, seected reasing in jurisprudence, University of Pennsylvania press, philadelphia.

Huala Adolf, 2005, Hukum Perdagangan Internasional, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, h.2.

Hans Kellsen Alih Bahasa Smardi, 2007, General Theory Of Law and State, Teori Umum Hukum dan Negara, BEE Media Indonesia, Jakarta.

Hellen J. Bond & Peter Kay, 1995, Bussines Law, Blackstone Press Limited, London.

IP Clinic, 2005, Indonesian IPR Law, Publisher PT. Citra Aditya Bakti, Bandung.

Ida Bagus Wyasa Putra, 1997, Aspek-Aspek Hukum Perdata Internasional Dalam Transaksi Bisnis Internasional , Refika Adiatma, Bandung.

Jhoni Ibrahim, 2006, Teori dan Metodelogi Penelitin Hukum Normatif, Bayu Publishing, Malang.

Jan Gijssels dan Mark Van Hoecke, 2000, Apakah Teori Hukum Itu, Laboratorium Hukum Fakultas Hukum Universitas Katolik Parahyangan, Bandung

Larry L. Teply, 1992, Legal Negotiation In A Nutshell, ST. Paul, Mina, West Publishing CO, USA.

Muhammad Yani, 2009, “safeguard” bulletin kerjasama prdagangan internasional, edisi 55/2009, departemen perdagangan Republik Indonesia.

Maria Emelia Retno K, 1994, Dampak Implementasi GATT/WTO terhadap Ekspor-Impor Indonesia, Tesis, Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta.

Pogram Study Magister Ilmu Hukum Universitas Udayana, 2008, Pedoman Penulisan Usulan Penelitian dan Tesis Hukum Normatif.

Peter Mahmud Marzuki,2007, Penelitian Hukum, cet.3, kencana persada media group, Jakarta.

Philipus M.Hadjon. 1994, Pengkajian Ilmu Hukum Dogmatik (Normatif). Dalam majalah yuridika, No. 6 Tahun IX.

Rianto Adi, 2004, Metodologi Penelitian Sosial Dan Hukum, Granit, Jakarta.

Rudolf Von Jehring, 1959, Law as a Mens to an End, dalam Clarence Morris ed, the Great Legal Philosophers Selected Reasing in Jurisprudence, University of Pennsylvania Press, Philadelphia, h.406

Roscue Pound, 1954, An Introduction to The Philosophy of Law, New Haven, UP.

Sumadji. P, Yudha Pratama dan Rosita, 2006, Kamus Ekonomi Edisi Lengkap Inggris-Indonesia, Cet. I, Wacana Intelektual, Jakarta.

Sobri, 1986, ekonomi internasional, teori, masalah dan kebijaksanaanya, bagian penerbitan fakultas ekonomi (BPFE), UII, Yogyakarta.

Sukarmi, 2002, Regulasi anti dumping dibawah baying-bayang pasar bebas, Sinar grafika, Jakarta.

Subekti, Hukum Perjanjian, Intermasa, Jakarta, 1979.

Theo Huijbers, 2006, filsafat hukum dalam lintasan sejarah, kanisius, Yogyakarta.

W.J.S. Poerwadarminta, 1976, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta, PN. Balai Pustaka.

Winardi, 1996, istilah ekonomi, mandar maju, Bandung.

Yulianto syahyu, 2004, Hukum Anti Dumping di Indonesia, Ghali, Indonesia, Jakarta.

Internet.

Antidumping in the America: Analyses on trade and integration in the Americas by Jose Tavares de Araujo Jr. 2001, h.9.

http://www.dttc.oas.org/trade/studies/subsid/Antidumptav.pdf. Artikel diakses pada tanggal 10 Desember 2010 .pukul 21.15.

Departemen Perindustrian dan Perdagangan, WTO dan Sistem Perdagangan Dunia, http://www.dprin.go.id/ind/publikasi/djkipi/wto.html; artikel diakses pada tanggal 10-03-2010 pukul 13.30.

Departemen Perindustrian dan Perdagangan, WTO dan Sistem Perdagangan Dunia, http://www.dprin.go.id/ind/publikasi/djkipi/wto.html; artikel diakses pada tanggal 10-03-2010 pukul 13.30.

Daniel Suryana, Harmonisasi Ketentuan Anti Dumping Ke dalam Hukum Nasional Indonesia, http://dansur.blogster.com/harmonisasi_ketentuan.html. Artikel diakses pada tanggal 29-03-2010. pukul 22.20.

Frequently Asked Questions-Antidumping, Internasional Trade, http://www.indiainbusiness.nic.in/faq/Antidumping.html. artikel diakses pada 29-03-2010. pukul 17.34.

Gusmardi Bustami, WTO dan Perlindungan Industri Dalam Negeri, http://www.geocities.com/herso et2001/wtoperlindunganindustri.pdf ; artikel diakses pada tanggal 31-03-2010. pukul 15.55.

Kamus Hukum, http:/www.kamus hukum com/indentri,php?.indek=D& urut=3, artikel diakses pada tanggal 10-12-2010, pukul 21.15.

Peraturan Perundang-undangan.

Agreement On Implement Of ArticleVI Of The General Agreement on Tariffs and Trade 1994.

Article XIX of GATT 1994, Of The Agreement on Safeguard.

Article VI of GATT 1994, Of The Agreement on Implementation.

Indonesia, Undang-undang Repubik Indonesia Nomor 17 Tahun 2006, tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 10 Tahun 1995, Tentang Kepabeanan.

Indonesia, Undang-undang Nomor 7 Tahun 1994, tentang Pengesahan (ratifikasi) Agreement Establishing The World Trade Organization

Peraturan Pemerintah No. 34 Tahun 1996, tentang Bea Masuk Anti Dumping Dan Bea Masuk Imbalan.

Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 261/MPP/Kep/9/1996, tentang tata cara dan persyatan permohonan Penyelidikan Atas Barang Dumping dan Atau Barang Mengandung Subsidi.

Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 427/MPP/Kep/10/200, tentang Komite Anti Dumping Indonesia.

Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 428/MPP/Kep/10/2000, Tentang Penunjukan, dan pengankatan Anggota Komite Anti Indonesia

Keputusan Ketua Komite Anti Dumping Indonesia Nomor. 346/KADI/kep/10/2010 tentang Penunjukan dan Pengangkatan Kepala bidang dan Anggota di Lingkungan Komite Anti Dumping Indonesia.

Surat Edaran Dirjen Bea dan Cukai Nomor SE-19/BC/1997 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pemungutan Bea Masuk Anti Dumping

Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 84 Tahun 2002, tentang Tindakan Pengamanan Industri Dalam Negeri dari Akibat Lonjakan Impor.

Keputusan Menteri Perindustrian Dan Perdagangan Nomor 85/MPP/Kep/2/2003.

tentang Tata Cara Dan Persyaratan Permohonan Penyelidikan Atas Pengamanan Industri Dalam Negeri Dari Akibat Lonjakan Impor

World Trade Organization, Agreement On Subsidies And Countervailing Measures

Dokumen terkait