• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANUGERAH RAHASIA

Dalam dokumen 3 al furqon (Halaman 32-37)

Kalau ada pertanyaan: ―Mengapa Allah  tidak menampakkan malam Lailatul Qadr kepada hamba-Nya yang beriman dengan jelas dan pasti sebagaimana malam Jum‘at?― Maka jawabannya, hal itu supaya orang beriman tidak merasa telah berbuat ibadah pada malam yang utama tersebut sehingga mendorong mereka terjebak menimbang-nimbang amal dan berkata: ―Sungguh saya telah beribadah pada suatu malam yang lebih baik dari seribu bulan, oleh karena itu maka Allah  pasti telah mengampuni dosaku dan aku akan mendapat derajat yang tinggi di sisi-Nya dan surga-Nya‖.

Apabila mereka telah merasa mendapatkan keutamaan Lailatul Qadr maka itu bisa jadi dapat menjadikan mereka enggan berbuat kebajikan lagi, hal itu disebabkan hati karena mereka telah merasa aman dari segala dosa dan ancaman neraka, yang dapat menyebabkan usaha dan harapan mereka untuk mendapatkan ampunan dariNya menjadi lemah. Mereka menjadi orang yang lalai dan semberono hingga bisa menjadi penyebabkan hidup mereka hancur yang akhirnya berujung di neraka. Dengan

perasaan seperti itu boleh jadi mereka bisa terjebak menjadi orang sombong, merasa lebih baik dibanding orang lain terutama ketika mereka ingat akan pahala amal ibadah tersebut.

Seperti Allah telah merahasiakan saat datangnya Lailatul Qadr, Allah juga merahasiakan datangnya ajal kematian, hal itu bertujuan supaya orang yang mendapatkan jatah umur panjang tidak berbuat semaunya sendiri dan berkata: ―Biarlah sekarang aku mengikuti syahwatku dahulu dan sementara lebih mengutamakan kelezatan duniawi daripada urusan ukhrowi, nanti saja di saat ajalku hampir tiba, aku akan bertaubat kepada Allah  dan saat itu aku akan menghabiskan sisa umurku hanya untuk beribadah kepadaNya, sehingga nantinya aku mati dalam keadaan “Taubatan Nashuha‖.

Dengan kerahasiaan tersebut, supaya orang beriman selalu bersiap-siap dan takut serta kuatir kalau-kalau ajal kematian mereka datang dengan tiba-tiba, itu bisa menjadikan sebab mereka selalu memperbaiki amal ibadah dan selalu dalam keadaan bertaubat kepada Allah . Hasilnya, ketika ajal kematian itu datang, mereka mati dalam keadaan sebaik-baik persiapan. Dengan begitu, diharapkan supaya menjadi sebab bagi mereka mati dalam keadaan husnul khotimah.

Diriwayatkan bahwa Allah  merahasiakan lima perkara di dalam lima hal:

1. Ridla-Nya di dalam perbuatan taat. 2. Marah-Nya di dalam perbuatan maksiat.

3. As-Shalatul Wustho di antara shalat fardhu

lima waktu.

4. Merahasiakan Wali-wali-Nya di antara makhluk yang lain.

5. Lailatul Qadr di dalam bulan Ramadhan

Malam “Lailatul Qadr” adalah malam yang dimuliakan dan diutamakan, nilai keutamaannya lebih baik dari seribu bulan. Barangsiapa beribadah tepat pada malam tersebut, maka orang itu akan mendapatkan kebaikan lebih baik dari nilai ibadah selama seribu bulan tanpa berhenti dan tanpa sempat berbuat maksiat di dalamnya.

Kalau kaitan tersebut kemudian dibuat kalkulasi sederhana, dengan perkiraan rata-rata umur manusia zaman sekarang. Usia umat Muhammad  yang rata-rata hanya berkisar 60-70 tahun, apabila dalam kesempatan hidupnya mereka pernah mendapatkan malam yang mulia itu, yang berarti mereka telah mendapatkan kebaikan yang lebih baik dari 1000 bulan. Oleh karena 1000 bulan itu berarti 80 tahun lebih, maka berarti sama saja mereka telah beribadah melebihi seluruh jatah usia yang telah ditakdirkan Allah  baginya dengan tanpa sedikitpun pernah

berbuat maksiat di dalamnya. Terlebih apabila mereka mendapatkan keutanaan Lailatul Qadr itu sepanjang kesempatan umurnya. Adakah kebaikan yang lebih baik dari anugerah besar tersebut, keutaman yang hanya dikhususkan bagi umat seorang Nabi  yang termulia sepanjang zaman?

Namun sekarang ada pertanyaan; Jika kita pernah mendapatkan malam yang penuh berkah tersebut, apakah kita pernah mensyukuri kenikmatan yang ada di dalamnya? Apakah kita pernah memasuki kebun-kebunnya sehingga kita dapat memetik buah yang bergelantungan di pepohonan yang ada dalam kebun itu? Apakah kita pernah berjalan di dalam lorong-lorongnya sehingga ada tapak tilas perjalanan kita di sana? Kalau belum, berarti kita adalah manusia yang merugi dan itulah kerugian yang nyata, seperti itik berenang mati kehausan. Sebab, ―malam Qadr‖ itu diturunkan untuk kita, tetapi ternyata kita sendiri belum mampu memanfaatkannya. Jika di antara kita ada yang mengaku pernah mendapatkan malam Qadr itu, apakah pengakuan itu ada buktinya? Hal itu karena malam kemenangan itu adalah malam yang dirahasiakan.

Sesuai fitrah manusia, siapapun pasti mempunyai potensi kebaikan dan keburukan. Selama setahun penuh, sejak awal bulan Syawal sampai dengan akhir bulan Sya‘ban, manusia pasti tenggelam

di dalam kedua potensi tersebut. Namun entah bagian potensi yang mana yang intensitasnya lebih tinggi. Kalau saja potensi kejelekannya lebih tinggi, dalam satu tahun penuh mereka hanya memperturutkan potensi jeleknya saja sehingga potensi baiknya tidak mendapatkan bagian kesempatan misalnya, namun apabila Ramadhan datang, di dalamnya mereka berhasil mendapatkan Lailatul Qadr, berarti dosa-dosanya selama setahun penuh tersebut akan mendapat ampunan dari Allah , hal itu karena Lailatul Qadr itu lebih utama dari seribu bulan. Namun masalahnya sekarang, malam Qadr itu adalah malam yang dirahasiakan, tidak ada jaminan bagi seorangpun bisa mendapatkannya. Terlebih bagi manusia yang tidak pernah mengadakan persiapan khusus untuk berusaha mendapatkan anugerah utama itu, dalam keadaan seperti itu, maka yang ada hanya sepercik harapan, semoga bulan Ramadhan mendatang kita mampu mendapatkan malam utama itu, Allah berfirman: “Dan bahwasanya manusia tiada

memperoleh selain apa yang telah diusahakannya”. (QS.

TANDA-TANDA

Dalam dokumen 3 al furqon (Halaman 32-37)