• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERJANJIAN ( BAI‟AT ) YANG PERTAMA Perjanjian pertama itu adalah pernyataan janji

Dalam dokumen 3 al furqon (Halaman 162-168)

PUASA ADALAH SETENGAH SABAR

PERJANJIAN ( BAI‟AT ) YANG PERTAMA Perjanjian pertama itu adalah pernyataan janji

(bai‟at) yang disampaikan anak manusia kepada Penciptanya. Saat itu manusia masih berada di alam ruh, sebelum ditiupkan ruhnya dalam janin di rahim seorang ibu. Di saat kondisi anak Adam masih dalam keadaan bersih (fitrah) sesuai takdir yang telah ditetapkan oleh Sang Pencipta baginya. Saat lembaran hidupnya masih putih bersih dan sedikitpun belum tergores apapun, sekalipun hanya oleh sehelai benang, kemudian Allah  memasukkan ilmu (pengenalan) yang datangnya langsung dari urusan-Nya, bahwa Allah adalah Robb (Tuhan)nya. Selanjutnya manusia menjawab: "Ya Engkau adalah Tuhanku dan aku bersaksi".

Itulah ―ilmu‖ yang pertamakali dimasukkan Allah  ke dalam memori khazanah keilmuan anak manusia. Dengan pengenalan itu, maka setiap anak manusia yang terlahir di dunia pasti dengan membawa pengertian bahwa di alam ini ada Tuhan yang menciptakannya. Oleh sebab itu, meski manusia tinggal di tempat sangat terpencil, mereka pasti

cenderung mencari siapa sebenarnya Tuhan mereka. Kecuali orang yang matahatinya telah buta, disebabkan karena ditutup oleh rasa ingkar dan penyakit hati yang tidak mampu disembuhkan.

Perjanjian pertama itu sesungguhnya adalah ―ilmu hakekat‖ yang pertama kali dimiliki oleh anak manusia. Namun karena masuknya ilmu hakekat itu langsung secara ruhaniah, maka ilmu itu harus dilengkapi lagi dengan ilmu syari‘at secara jasmaniah (rasional ilmiah). Untuk tujuan inilah Allah mengutus para Nabi dan Rasul serta menurunkan kitab-kitab

samawi di muka bumi, sehingga manusia yang secara

naluriah terlahir dengan rasa ingin tahu akan tuhannya itu kemudian di dalam pencariannya benar-benar dapat menemukan siapa Tuhan yang sebenarnya.

Apabila ―ilmu hakekat‖ itu tidak dilandasi dengan ilmu syari‘at yang diajarkan oleh para Nabi dan Rasul yang kemudian dilanjutkan oleh para Ulama‘ pewaris Nabi, maka kecenderungan orang mencari tuhan itu seringkali terjebak dengan daya imajinasinya sendiri. Akibatnya, bintang, bulan matahari, pohon, batu, gunung, api, dan bahkan bagian anggota tubuhnya sendiri dipuja dan disembah, dikira itu adalah tuhan mereka. Keadaan seperti itu telah digambarkan Allah  di dalam

tahapan perjalanan ruhaniah Nabi Ibrahim  melalui firman-Nya:

“Dan demikianlah Kami perlihatkan kepada Ibrahim

tanda-tanda keagungan (Kami yang terdapat) di langit dan bumi, dan (Kami memperlihatkannya) agar Ibrahim itu termasuk

orang-orang yang yakin Ketika malam telah menjadi gelap,

dia melihat sebuah bintang (lalu) dia berkata: "Inilah Tuhanku" Tetapi tatkala bintang itu tenggelam dia berkata:

"Saya tidak suka kepada yang tenggelam" Kemudian tatkala

dia melihat bulan terbit dia berkata: "Inilah Tuhanku". Tetapi setelah bulan itu terbenam dia berkata: "Sesungguhnya jika Tuhanku tidak memberi petunjuk kepadaku, pastilah aku

termasuk orang-orang yang sesat" Kemudian tatkala dia

melihat matahari terbit, dia berkata: "Inilah Tuhanku, ini yang lebih besar", maka tatkala matahari itu telah terbenam, dia berkata: "Hai kaumku, sesungguhnya aku berlepas diri

dari apa yang kamu persekutukan Sesungguhnya aku

menghadapkan diriku kepada Tuhan yang menciptakan langit dan bumi dengan cenderung kepada agama yang benar, dan aku bukanlah termasuk orang-orang yang mempersekutukan

Tuhan”. (QS. al-An‘am; 75-79)

Ayat di atas merupakan ungkapan luar biasa, yang hanya mampu diungkapkan oleh Firman Allah  dengan ilustrasi pengembaraan ruhaniah manusia melalui kemampuan rasional dengan melihat tanda-tanda yang dapat di baca. Apabila manusia mampu

mencermatinya maka mereka akan mampu

ditemukan oleh seorang manusia utama yang menjadi panutan manusia sepanjang zaman tersebut, yaitu Nabiyullah Ibrahim .

Adapun perjanjian pertama yang dilakukan manusia tersebut telah diabadikan Allah  dalam firman-Nya:

“Dan ingatlah ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan

anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil

kesaksian kepada jiwa mereka (seraya berfirman ):

“Bukankah Aku adalah Tuhan-Mu", dan dia saat itu telah

menjawab: "Ya Engkau adalah Tuhanku dan aku bersaksi". (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat

kamu tidak mengatakan: “sesungguhnya kami adalah

orang-orang yang lupa terhadap (persaksian) ini.”

(QS. al-A‘raaf; 7/172)

Ketika peristiwa yang terjadi di alam ruh itu dibeberkan secara rasional ilmiah dengan Firman-Nya, maka berarti dengan ayat di atas, Allah  tidak sekedar memberi kabar akan siapa sesungguhnya ―Tuhan manusia‖ itu, namun juga menegaskan bahwa sebelum manusia dilahirkan oleh ibunya di dunia, sesungguhnya mereka telah melaksanakan bai‟at yang pertama kepada Tuhannya “Bukankah Aku adalah

Tuhan-Mu", dan dia saat itu telah menjawab: "Ya Engkau

adalah Tuhanku dan aku bersaksi". Dengan perjanjian

tersebut, supaya di hari kiamat nanti manusia tidak ingkar dan mengatakan: ―Sesungguhnya kami orang-orang yang lupa terhadap (persaksian) ini.‖

Sungguh ini merupakan bagian keajaiban al-Qur‘an al-Karim, bahwa rahasia kejadian di alam gaib dari bagian perjalanan hidup anak manusia telah dikuak. Dialog antara seorang hamba dengan Tuhannya di alam ruh itu bukan sekedar perkenalan antara seorang hamba dengan Tuhannya saja, namun juga penegasan, bahwa Sang Pencipta dan Sang Pemelihara itu hanyalah Allah  dan tidak ada yang lain lagi selain-Nya. Dengan ayat itu, seharusnya manusia tidak ragu lagi, bahwa sesungguhnya tiada Tuhan yang patut disembah kecuali hanya Allah .

Namun ternyata dari sebagian orang yang mengaku beriman ada yang mengingkari peristiwa tersebut, mereka berkata: ―Itu hanya pengakuan al-Qur‘an saja. Sesungguhnya persaksian itu tidak pernah terjadi, buktinya tidak ada seorangpun ingat akan peristiwa tersebut‖. Orang yang mengatakan seperti itu, terlebih mereka mengaku beriman, sejatinya itu semata-mata karena kebodohan hatinya belaka, sehingga mereka menjadi kafir kepada Tuhannya. Hal itu, karena mereka tidak bisa

membedakan, mana yang harus diketahui dan mana yang harus diimani.

Ilmu pengetahuan manusia semestinya tidak mengadakan observasi terhadap hal gaib yang hanya bisa dikabarkan oleh wahyu saja, karena arena akal manusia tidak mungkin dapat mencapainya. Terhadap apa-apa yang disampaikan oleh wahyu tersebut, manusia hanya wajib beriman, karena iman itu dirasakan dengan hati bukan dengan akal. Inilah hidayah azaliah yang jika manusia tidak mendapatkannya, ia berada di jurang kekufuran kepada Tuhannya.

Jangankan peristiwa yang terjadi di alam ruh— yang memang akal belum tercipta—manusia mampu mengingatnya. Terhadap peristiwa yang jelas-jelas dialami semua orang saja, yaitu saat mereka masih menjadi seorang bayi dan menyusu kepada ibunya, pengalaman nyata itu tidak ada seorangpun dapat mengingatnya, meski kadang-kadang mereka pernah menyusu kepada ibunya selama dua tahun. Kalau kejadian yang dialami di alam lahir saja, bahkan sepanjang dua tahun tersebut ada yang tidak terekam oleh memori akal, apalagi peristiwa yang terjadi di alam Ruh, yang saat itu akal belum ada.

Dalam dokumen 3 al furqon (Halaman 162-168)