• Tidak ada hasil yang ditemukan

TANDA-TANDA PERAIH LAILATUL QADR

Dalam dokumen 3 al furqon (Halaman 37-50)

Orang yang beriman (mukminin) memang harus senantiasa berusaha bersungguh-sungguh mendapat-kan Lailatul Qadr itu. Kalau tidak, berarti mereka tidak akan mendapatkan apa-apa lagi dalam hidupnya kecuali hanya dosa yang akan mengakibatkan siksa pedih yang abadi di neraka. Hal itu disebabkan, karena satu hari dalam dua puluh empat jam saja, kalau kita mau menghitung akibat perbuatan yang kita lakukan di dalamnya, kira-kira banyak mana dosa atau pahala yang kita dapatnya, hasilnya, semua sepakat pasti banyak dosanya daripada pahalanya. Apabila dosa-dosa tersebut tidak mendapatkan pengampunan, maka dapat dipastikan siksa neraka akan kita temui nantinya. Kita berlindung kepada Allah  dari siksa dan murkaNya.

Untuk itulah Ramadhan dan Lailatul Qadr disediakan, di samping keduanya menjadi sarana latihan (riyadlah) yang sangat efektif untuk meningkatkan iman bagi kaum mukminin, juga dimaksudkan agar terjadi keseimbangan dalam kehidupan mereka. Artinya, dosa-dosa dan kesalahan selama satu tahun penuh yang tidak terhindarkan tersebut atau bahkan yang sengaja diperbuat, pada

bulan Ramadhan itu harus mampu dibersihkan kembali. Kesalahan dan dosa tersebut mampu dicuci bersih dengan puasa, tadarus dan qiyamul-lail

(menegakkan ibadah pada malam hari). Hasil dari itu, diharapkan selepas Ramadhan mereka akan bertemu dengan Idul Fitri yang betul-betul berati kembali kepada fitrahnya. Bahkan tidak hanya itu saja, mereka juga mendapatkan peningkatan derajat hidup dari sebab amal ibadah yang diterima oleh Allah .

Oleh karena itu, apabila di dalam bulan suci Ramadhan tersebut manusia berhasil mendapatkan keutamaan Lailatul Qadr, terlebih tidak hanya sekali dalam kesempatan hidupnya, dengan itu tentunya mereka tidak sekedar mendapatkan pahala yang melebihi ibadah seribu bulan saja, namun juga bahkan jauh lebih baik dari itu, yaitu mendapatkan perbaikan hidup dan pendewasaan jiwa. Hal itu disebabkan, karena karakter-karakter pembawaan jelek, baik secara fitrah manusiawi maupun sebagai bentukan dan tapak tilas perbuatan maksiat dan dosa,—dengan berkah Lailatul Qadr itu—akan diganti Allah  menjadi kebaikan yang hakiki.

Apabila bekas-bekas dosa dan kesalahan yang selama ini menempel bagai karat di dinding hati— yang terkadang bahkan mampu teraktualisasikan dalam bentuk perbuatan dan sifat yang tidak terpuji, seperti iri, dengki maupun hasut—telah terhapuskan

hingga menjadi bersih, maka matahati manusia akan menjadi lebih cemerlang dan tembus pandang. Iman dan takwa mereka menjadi kian menguat hingga menumbuhkan keyakinan hati yang kokoh yang dapat mengusir keraguan. Dengan begitu, berarti manusia tidak hanya mandapatkan kebaikan yang melebihi ibadah seribu bulan saja namun juga akan mendapatkan kebahagiaan yang hakiki, baik di dunia terlebih lagi di surga untuk selama-lamanya. Allah  telah menyatakan hal tersebut dengan firman-Nya:

“Kecuali orang-orang yang bertaubat, beriman dan

mengerjakan amal saleh; maka kejahatan mereka diganti Allah dengan kebajikan. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi

Maha Penyayang”.

(QS. al-Furqon; 25/70)

Untuk itu, selepas bulan suci Ramadhan berlalu, selanjutnya harus ada perubahan dalam diri para mukminin. Perubahan itu baik berupa perbuatan, sifat maupun karakter. Itu merupakan satu-satunya tanda adanya tapak tilas perjalanan di bulan Ramadhan, apakah dalam perjalanan tersebut seorang salik berhasil mendapatkan malam Qadr atau tidak. Perubahan tersebut disebabkan karena adanya buah yang ditinggalkan Lailatul Qadr (Nur Ramadhan) yang bersemayam di dalam hatinya, sehingga dari yang

asalnya jelek menjadi baik dan yang sudah baik menjadi lebih baik lagi.

Hakekat buah tinggalan Ramadhan itu berupa pemahaman hati akan urusan Rabbul „Alamiin (ma‘rifatullah) dan akhlakul karimah, yang bentuk wujudnya berupa Nur yang selalu menerangi hati orang beriman. Nur tersebut kemudian memancar kembali kepada alam sekitarnya melalui perilaku keseharian dan sorot wajah yang membawa kesejukan. Manakala yang demikian itu telah terwujud, maka itulah tanda-tanda Idul Fitri yang hakiki, seorang hamba telah berhasil kembali kepada fitrahnya, kembali kepada kedamaian yang hakiki, karena saat itu orang beriman telah mendapatkan anugerah azaliah.

Jadi, yang dimaksud dengan Lailatul Qadr adalah suatu ―saat‖ di suatu malam pada bulan suci Ramadhan, di mana apabila pada saat itu orang-orang beriman kedapatan sedang beribadah kepada Allah , berarti dengan itu mereka akan menjadi manusia yang lebih baik dari sebelumnya dan sekaligus mampu berbuat kebaikan, baik secara vertikal maupun secara horizontal.1 Kalau yang demikian itu tidak demikian tidak terjadi, bila selewat Ramadhan belum ada

1 Baik dalam konteks „al-Khair‟ sebagai bagian dari kebaikan normatif maupun „al-Ma`ruf‟ sebagai sub dari kebaikan dalam konteks

tanda perbaikan pada perilaku kehidupan manusia, siapapun mereka, seharusnya mereka jangan merasa telah mendapatkan malam yang penuh keberkahan yang dirahasiakan itu.

Dengan asumsi, bahwa dengan amal ibadah yang dilakukan akan menjadikan manusia mampu mendapatkan peningkatan kualitas hidup, maka bagi orang-orang yang berharap mendapatkan Lailatul Qadr, hendaknya malam Qadr itu tidak hanya dicari di bulan Ramadhan saja, tetapi juga kapan saja namun secara filosofisnya, baik di dalam maupun di luar Ramadhan. Malam Qadr itu bisa dicari dengan melaksanakan mujahadah dan riyadlah di jalan Allah . Asumsi tersebut berdasarkan bukti bahwa setiap perintah Allah  kepada hambaNya, pasti ada aspek pembelajaran (tarbiyah) di dalamnya. Perintah Agama tersebut sejatinya merupakan tarbiyah yang sangat

berguna bagi pembentukan karakter dan

pendewasaan jiwa manusia, yaitu pada aspek filosofisnya yang selalu dirahasiakan kecuali bagi seorang hamba yang matahatinya telah cemerlang dengan Nur Ma‟rifat. Aspek pembelajaran itu bukan untuk memberatkan hidup manusia, namun untuk menciptakan peluang amal, agar manusia mampu mencukupi kebutuhan hidupnya, baik kebutuhan yang lahir maupun yang batin.

Adapun kebutuhan hidup yang paling utama adalah bagaimana seorang hamba dapat mengenal (ma‘rifat) TuhanNya sehingga dengan itu ia dapat

wushul kepadaNya, karena hanya itulah tujuan utama

di dalam setiap pengabdian manusia, sebagaimana ditegaskan Allah  dalam firman-Nya: “Dan

bahwasanya kepada Tuhanmu, kesudahan (segala sesuatu)”.

(QS an-Najm; 42)

Manakala Lailatul Qadr adalah anugerah yang utama, maka hikmah yang terkandung di dalamnya tentunya sama seperti anugerah-anugerah yang lain, yakni bagaimana pemahaman seorang hamba akan Tuhannya menjadi semakin bertambah luas sehingga dapat menjadikan mereka wushul kepadaNya. Kalau demikian keadaannya, haruskah Lailatul Qadr itu hanya dapat dicari di bulan Ramadhan saja? Di bulan-bulan yang lain kesempatan seperti itu tidak bisa didapatkan lagi? Maka pemahaman yang luas akan hikmah di balik segala kehendak Allah  dan kemampuan diri dalam membaca tanda-tanda yang ditebarkan —baik di dalam ayat yang tersurat maupun ayat yang tersirat—serta inayah azaliah yang menyinari perilaku dan perbuatan, akan membuka penutup matahati manusia dan membawa mereka kepada jalan lurus menuju keridlaan Tuhannya.

Itulah buah Ramadhan yang kedua. ketika panggilan suci telah diindahkan

dan hidangan yang tersaji dalam hamparan permadani di kebun surga itu telah dihabiskan, maka kegersangan dan

kehausan hati menjelma menjadi kesejukan dan kedamaian. Kesejukan hati itu bisa didapatkan manakala pada saat Ramadhan tahap pertama, bibit yang baik telah mampu

disemaikan. Lalu bibit tersebut cepat tumbuh menjadi pohon rindang, karena

tanah-tanah garapan telah siap untuk ditanam.

ulan Ramadhan adalah bulan yang sangat dimuliakan, bulan di mana nilai kebaikan dan pahala dari amal ibadah orang-orang beriman (mukminin) dilipatgandakan. Ibadah sunah menjadi sama nilai pahalanya dengan ibadah wajib, dan ibadah wajib dilipatgandakan sampai tujuh puluh kali lipat, bahkan tanpa hitungan. Bulan di mana pada siang harinya kaum mukminin diwajibkan menjalankan puasa dan malamnya dianjurkan untuk memperbanyak ibadah sunah dan ibadah tambahan, seperti shalat tarawih, tadarus dan lain-lainnya.

Bulan di mana awalnya adalah rahmat, pertengahannya adalah pengampunan dan akhirnya adalah kebebasan dari neraka. Bulan di mana salah satu malamnya adalah malam Lailatul Qadr. Bulan di mana apabila ada seseorang menyambut kedatangan-nya dengan hati senang, orang tersebut akan diharam-kan masuk neraka.

Bulan di mana iman di hati seorang hamba dapat ditumbuhkan bagai rumput dan tumbuhan di musim penghujan. Supaya akar tumbuhan itu mengakar di

dasar bumi dan pucuk daun dan rantingnya menjulang langit menggapai bintang. Bulan di mana cinta kasih bersemi di dalam hati bagaikan tumbuhnya jamur timur di awal musim semi, sehingga dengan iman yang ada dalam dada, hati seorang hamba menjadi lapang bagai padang rumput menghijau di musim penghujan, maka shadaqah mudah dilaksanakan dan pertolongan gampang dilakukan.

Di bulan suci itu al-Qur‘an al-Karim diturunkan di muka bumi, di samping sebagai rahmat bagi semesta juga sebagai petunjuk bagi umat manusia, sekaligus sebagai al-Furqon (pembeda). Allah  telah menyatakan dengan firman-Nya:

“Bulan Ramadan yang di dalamnya diturunkan al

-Qur‟an sebagai petunjuk bagi manusia dan

penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan

pembeda (antara yang haq dan yang bathil)”. (QS al-Baqoroh; 2/185) Dalam menafsirkan ayat di atas, Ibnu Abbas  berkata: ―al-Qur‘an diturunkan secara keseluruhan dari Lauh Mahfudz di malam Lailatul Qadr pada bulan Ramadan dan diletakkan di Baitul Izzah di langit bumi.

Selanjutnya malaikat Jibril  menurunkannya kepada Rasulullah 

secara bertahap selama 23 tahun.

Firman Allah : ―Hudaan Lin Naasi‖ maksudnya, al-Qur‘an itu memberikan petunjuk kepada manusia dari kesesatan. Dan Firman Allah : “Wa Bayyinaati”, artinya memberikan penjelasan dari hal yang halal dan yang haram serta batas-batas dan hukum-hukum bagi manusia. Firman-Nya: ―Wal Furqoon‖ berarti membedakan antara haq dan bathil.

Bulan Ramadhan adalah bulan penuh berkah, awalnya rahmat, pertengahannya pengampunan dan akhirnya adalah kebebasan dari neraka. Demikianlah sabda Rasulullah . Dikaitkan dengan sabda tersebut, maka bulan Ramadhan di bagi menjadi tiga tahap:

Tahap pertama, sepuluh hari pertama pada bulan Ramadhan itu adalah hari yang penuh rahmat bagi kaum mukminin, dengan itu mereka lebih terfasilitasi untuk melaksanakan segala bentuk kebajikan dan pengabdian, hal itu bisa terjadi? Karena Allah saat itu sedang mengucurkan Inayah Azaliah dan menggelontorkan Hidayah Robbaniyyah kepada hambaNya yang beriman.

Hati manusia yang selama bulan-bulan sebelum bulan Ramadan terkadang selalu tenggelam dalam

kelalaian dan sibuk dengan kemungkaran, bahkan larut dalam kebencian dan kemunafikan kepada sesama teman, sejak tanggal 1 Ramadhan, hati itu bagai dibangunkan dari tidur panjang. Di bulan suci itu manusia serentak menyongsong kebajikan, mereka seperti laron-laron menyerbu pelita di malam kelam. Masjid-masjid dan surau-surau serta majlis dzikir dan pengajian menjadi hidup bagaikan cendawan di awal musim penghujan, ayat-ayat suci dilantunkan di mana-mana bahkan hingga tengah malam, karena saat itu pelita di dalam misykat-misykat yang tersimpan, apinya telah dinyalakan. Itulah pelita Ramadhan yang ada di relung dada hamba-hamba yang beriman, ketika sumbunya sudah dinyalakan maka bumi persada menjadi terang benderang.

Tahap kedua, sepuluh hari berikutnya, hasil jerih payah yang sudah dijalani selama tahap pertama itu, buahnya menerbitkan ampunan bagi dosa-dosa sang musafir selama setahun penuh. Itulah buah Ramadhan yang kedua, ketika panggilan telah diindahkan dan hidangan yang tersaji dalam hamparan permadani di kebun surga itu telah dihabiskan, maka hasilnya kegersangan dan kehausan hati menjelma menjadi kesejukan.

Kesejukan hati itu bisa didapatkan manakala pada saat Ramadhan tahap pertama, bibit yang baik telah mampu disemaikan. Lalu bibit tersebut cepat

tumbuh menjadi pohon rindang, karena tanah-tanah garapan telah siap untuk ditanam. Hasilnya, pada tahap kedua ini buah yang ranum sudah siap dipetik dan dimakan. Seperti itu gambarannya, ketika panasnya api penyesalan akan dosa dan kesalahan telah dikobarkan, dan taubatan nasuha dari hati yang kesakitan karena tusukan dosa yang disesalkan telah dipanjatkan, maka kerak dosa yang mengkristal dan menghijab matahati segera dirontokkan hingga hamparan di dalam dada yang asalnya suram menjadi terang benderang karena tabir-tabir yang menyelimuti pandangan matahati telah disingkapkan.

Tahap ketiga. Ketika kerak dosa telah dirontokkan dan tabir penutup telah dibukakan, maka yang asalnya buram menjadi cemerlang dan kebiasaan jelek berganti menjadi kebajikan. Terlebih ketika buah Lailatul Qadr telah didapatkan, maka hati yang kotor dan najis telah dibersihkan dan disucikan sehingga karakter hina manusiawi diangkat dan dimuliakan. ketika budak-budak nafsu telah dimerdekakan dari belenggu zaman, setelah digodok mendalam di dalam latihan panjang di bulan yang penuh keberkahan, hingga penyakit pembawaan manusia yang melekat di dalam rongga dada telah dilarutkan, maka dari penyebab terbitnya kemungkaran, hati itu telah dijauhkan, sehingga dari kobaran api neraka yang membakar mereka diselamatkan. Itulah buah tahap ketiga yang di janjikan di bulan Ramadhan.

Selanjutnya si pungguk yang merana telah mendapatkan bulan.

Walhasil, dengan latihan panjang di bulan Ramadhan itu, yang asalnya jelek menjadi kebaikan, yang asalnya hina menjadi kemuliaan. Apabila latihan seperti itu dapat pula diusahakan di luar bulan Ramadhan, yaitu dengan mujahadah dan riyadlah

panjang dalam tempaan, maka itulah pelajaran yang diharapkan, agar selepas bulan Ramadhan, iman jangan putus di tengah jalan. Manakala puasa dan tadarus serta shalat malam dilakukan di luar Ramadhan, dan ketika tujuan dan hasil yang diharapkan darinya ternyata juga sama, yaitu sama-sama untuk meningkatkan iman dan ketakwaan dalam dada, maka hakekatnya yang seperti Ramadhan itu berarti juga ada di luar Ramadhan. Itulah yang dimaksud dengan al-Furqon, atau Lailatul Qadr di luar bulan suci Ramadhan. Namun, barangkali yang berbeda adalah fasilitas yang dibentangkan di dalamnya, karena di bulan Ramadhan itu Allah  sedang membagi kemudahan dan bagi hamba-hamba pilihan, keberkahan sedang dicurahkan.

KEUTAMAAN KHUSUS

Dalam dokumen 3 al furqon (Halaman 37-50)