• Tidak ada hasil yang ditemukan

BEBERAPA TINGKATAN TAKWA

Dalam dokumen 3 al furqon (Halaman 114-119)

PUASA SEBAGAI IBADAH RAHASIA Ibadah puasa adalah ibadah rahasia, dalam arti

BEBERAPA TINGKATAN TAKWA

1. Takwa umum. Takwa umum adalah takut kepada Allah  dengan menjauhi perbuatan syrik atau menyekutukan Allah  .

2. Takwa khusus. Takwa khusus adalah takut

kepada Allah  dengan menahan dan

mengendalikan nafsu syahwat dalam segala urusan kehidupan.

3. Takwa khususnya khusus. Takwa khususnya khusus adalah takwanya para auliya‟.4 Mereka meninggalkan irodah (kemauan) di dalam menghadapi segala sesuatu dan menyerahkannya serta menunggu apa-apa yang dikehendaki (komando) Allah  untuk dirinya. Di samping yang demikian itu, mereka tidak mengosongkan diri dari wirid-wirid atau ibadah tambahan, mereka tidak bergantung kepada sebab-sebab dan

4

Takwa ini dalam ajaran tasawuf merupakan tingkatan spiritualitas yang bertujuan untuk mencapai tauhid murni (shafa‟ al-tauhid) dalam arti yang komprehensif. Tingkatan ini tidak akan tercapai kecuali seorang salik telah melintasi berbagai tingkatan spiritualitas yang disimbolisasikan dengan istilah Maqamat dan Ahwal yang memuat ajaran dan pengalaman tasawuf, di mana keduanya tidak dapat dipisahkan dengan proses tauhid. Sebab kedua ajaran tersebut merupakan internalisasi dari persaksian la ilaha Illa Allah yang menuntut dua hal bagi para sufi; Nafiatau pentauhidan al-maqshud wa

al-mahbub wa alma‟bud hanya kepada Allah; dan Itsbat dengan

menginternalisasikan Allah sebagai satu-satunya maqshud wa

tidak condong kepada selain Allah , serta tidak tetap kepada satu hal keadaan (ahwal) atau maqam, di samping itu juga mereka tetap melaksanakan segala perintah Allah  dari urusan-urusan yang diwajibkan menurut syari‘at.5

4. Takwanya para Ambiya‟ , di mana mereka tidak melewati hal gaib di dalam hal yang gaib. Semuanya dari Allah  dan untuk Allah , Allah  yang memerintah dan melarang, Allah yang mencocokkan dan mengajar, Allah  yang berkata-kata dan berbisik-bisik, Allah  yang menguatkan dan yang memberi petunjuk, Allah yang menampakkan dan yang memperlihatkan.

5

Secara teoritik Maqamat dan ahwal dapat dibedakan bahwa

Maqamat itu merupakan terminal spiritualitas yang bisa dicapai melalui diusahakan, sedangkan ahwal adalah sinyal-sinyal Ilahiah yang diterima sang sufi dari Allah. Meski ahwal adalah hak istimewa (previllege) Allah yang diterima sang sufi namun itu tidak bisa lepas dari usahanya dalam meniti maqamat ibarat cermin yang memantulkan cahaya.

Maqamat secara general dapat diklasifikasikan menjadi dua; pertama, bersifat negasi (La/Nafi) sebagai internalisasi La Ilaha, seperti taubat,

wara‟ dan zuhud. Dan kedua bersifat afermasi (itsbat) sebagai proses

internalisasi pengakuan adanya satu tuhan, semisal qanaah, ridla, taslim, tafwidl dan sebagainya. Dalam tingkat kesadaran yang demikian seorang sufi telah melintasi tingkatan spiritualitas tertentu menuju tingkatan spiritualitas yang lebih tinggi, hingga dikatakan al-Ghazali, seorang yang demikian ini telah melintas dari wilayah akal menuju wilayah suprarasional (thur wara‟ al-aql). Dari segi fungsinya,

Maqamat yang bersifat negasi bertujuan membina al-nafs al-„ammarah

bi al-su‟ untuk menjadi al-nafs al-muthmainnah. Sedangkan Maqamat

yang bersifat afermasi bertujuan meningkatkan kualitas spiritual (aspek

Masuknya ilmu atau pemahaman di dalam bilik akal ketika terjadi pengosongan, sedikit-pun tidak masuk dari manusia, akan tetapi semuanya masuk dari malaikat, kecuali hal-hal yang lahir dari urusan-urusan yang terang dan umum berkaitan dengan kebanyakan urusan orang-orang beriman. Dalam hal ini mereka sama dengan manusia lain, akan tetapi selain itu mereka tidak sama.

Secara kongkrit gambaran tentang takwanya para Anbiya‟ tersebut tidak mungkin dapat dibicarakan lewat tulisan, namun hanya bersifat membantu, karena bahasa kata tak mampu menampung luasnya pemahaman hati. Allah  berfirman terhadap hal keadaan mereka:

“Dan tidaklah yang diucapkan itu menuruti hawa nafsunya

Ucapan itu tidak lain adalah wahyu yang diwahyukan

kepadanya Yang diajarkan kepadanya oleh (Jibril) yang

sangat kuat Yang mempunyai akal yang cerdas dan

menampakkan diri dengan rupa yang asli Sedang dia berada

dekat lagi Maka jadilah dia dekat sejarak dua ujung busur

panah atau lebih dekat lagi lalu ia menyampaikan kepada

hamba-Nya, apa yang telah Allah wahyukan Hatinya tidak

mendustakan apa yang telah dilihatnya” (QS. an-Najm;

53/3-11)

Apa-apa yang diucapkan dan diperbuat oleh para Nabi  dari bentuk pelaksanaan ketakwaan mereka kepada Tuhannya, sedikitpun itu tidak ada yang terbit dari kemauan hawa nafsu mereka, melainkan wahyu Allah  yang telah diturunkan-Nya melalui malaikat Jibril  langsung di dalam hati mereka. Wahyu tersebut tidak masuk di dalam akal dan fikir, lebih-lebih kepada nafsu syahwat. Oleh karena hati tidak bohong terhadap apa yang dilihat, maka hanya dengan wahyu yang dilihat hati itu, mereka diam dan bergerak. Allah telah menyatakan demikian itu dengan firman-Nya:

Katakanlah: "Sesungguhnya aku hanya mengikut apa yang

diwahyukan dari Tuhanku kepadaku” (QS. al-A‘raaf;

203).

Apa yang disebutkan oleh para Ulama‘ ahlinya tentang hakekat takwa tersebut di atas, sesunggunya itu adalah karakter yang menjiwai segala perilaku hidup manusia. Dengan karakter itu manusia akan mendapatkan derajat yang tinggi di sisi Tuhannya.

pembawaan karakter yang terpuji dan sejiwa dengan batas-batas ketakwaan tersebut. Bahkan banyak manusia yang sangat lekat dengan kehendak hawa nafsunya sehingga yang menjiwai karakternya hanyalah yang sejalan dengan hawa nafsunya sendiri. Oleh karena itu, untuk menghaluskan yang terlanjur kasar karena terkontaminasi intensitas hawa nafsu itu dan bahkan untuk melatih diri dalam menyepuh karakter pembawaan yang sudah baik agar menjadi lebih baik, Allah  telah menyediakan sarananya yaitu dengan melaksanakan puasa sebulan penuh di bulan Ramadhan. Dengan puasa itu orang beriman akan menjadi orang yang bertakwa. Orang yang asalnya bodoh menjadi mengerti, yang berpenyakitan menjadi sembuh, yang sudah baik menjadi semakin baik.

Ketika karakter-karakter tersebut pantas mendapatkan penghormatan maka manusia akan dimuliakan dalam kedudukan yang terhormat di sisi Allah . Itulah sunnatullah yang tidak akan pernah berubah untuk selama-lamanya. Maka dengan berpuasa seorang hamba akan mendapatkan derajat yang tinggi di sisi Allah .

Keenam :

DENGAN BERPUASA SEORANG HAMBA AKAN

Dalam dokumen 3 al furqon (Halaman 114-119)