• Tidak ada hasil yang ditemukan

“apabila Ki Darah Putih mandi laut, seketika akan timbul gelombang dan

angin kencang.”

K

utipan tersebut diingat oleh sebagian besar Orang Pulo, juga diucapkan oleh Muhammad Nur atau wak Nok dan Ahmad, saat menghadiri acara Focus Group Discussion yang digelar di Pendopo Kelurahan Pulau Panggang pada hari Sabtu, 28 Januari 2012. Penggalan cerita tersebut menampilkan Keyakinan Pulo tentang kemampuan supranatural Darah Putih yang melebihi kekuatan fisik dan kemampuan beladiri yang dimilikinya. Legenda Darah Putih yang berkembang di Pulo mengisahkan kesaktian tokoh tersebut dan asal mula penamaan Pulo Panggang. Legenda ini dikenal oleh masyarakat Pulo dalam berbagai versi. Keragaman semacam ini seringkali dipandang sebagai “sejarah” kolektif (folk history), walaupun karena sifatnya yang tidak tertulis, “sejarah” berdasarkan folk/ tuturan orang-orang akan mengalami distorsi, sehingga bisa jadi jauh berbeda dengan kisah aslinya.

35

Or

ang Pulo ar

ang

Tuturan Pulo memiliki kisah asal usul penamaan pulau karang ini sebagai Pulo Panggang. Sebagai buktinya, Orang Pulo dapat menunjukkan letak dari Karang Pemanggang. Cerita Pulo ini, kisah Karang Pemanggang, yang menyatu atau yang terpisah dari kisah Darah Putih, menandai kehausan berpengetahuan Orang Pulo atas asal usul kehadiran mereka menghuni pulau karang tersebut. Kisah ini bisa jadi akan berbeda dengan kejadian sejatinya, karena ketiadaan tulisan bersama yang dapat menjadi acuan Cerita Pulo. Namun, beragam versi dari legenda perlawanan Pulo terhadap ancaman Bajak Laut dapat menjadi penanda kuatnya rasa kepemilikan Orang Pulo terhadap legenda itu sendiri.

Kisah dari Penutur

Tokoh Darah Putih dan kronik dalam Cerita Pulo ini dikenal baik oleh Orang Pulo, dari generasi tertua hingga yang masih sekolah dasar, yang pergi melaut maupun merantau ke Darat. Setidaknya, ini telah mendekatkan kami pada uraian antropolog James Danandjaja (1984) tentang batas-batas pengertian dari sebuah legenda berikut isi ceritanya. Kisah kepahlawanan Darah Putih yang menghadapi serangan perompak, bersama Orang Pulo terdahulu dan lahirnya nama Karang Pemanggang, dapat ditempatkan sebagai prosa rakyat yang tidak tertulis namun diyakini oleh Orang Pulo dari generasi ke generasi.

Tuturan Pulo menyebutkan tempat-tempat konkret yang dikaitkan dengan kisah dalam Cerita Pulo ini. Tempat Darah Putih dikuburkan masih dapat ditemukan di sebelah timur kantor Kelurahan P. Panggang, terawat dengan baik sebagai salah satu Makam Kramat Pulo dan diakui oleh

Pemerintah sebagai salah satu cagar budaya DKI Jakarta. Kapiten Saudin, salah satu tokoh pembantu dalam beberapa versi dari Cerita Pulo, memiliki kuburan yang terletak di sebelah timur bangunan SD. Tempat-tempat yang disebutkan oleh Tuturan Pulo, seperti Karang Pemanggang, Gusung Jari, Pulo (karang) Balik Layar, dan Pulo Semak Daun terletak di perairan sekitar Pulo, dan, saat cuaca cerah, dapat ditunjukkan arah lokasinya dari Pulo Panggang oleh Orang Pulo.

Figur dan atribut tokoh dalam Cerita Pulo ini disampaikan secara samar-samar, dalam tatap muka perseorangan, sehingga kami menangkap kesan para Penutur Pulo memerlukan waktu untuk bersepakat. Pada beberapa kesempatan, Orang Pulo tampak berhati-hati atau malah ragu saat memberikan gambaran tentang Darah Putih. Bahkan, mengangkat keberadaan dan kisahnya pada acara-acara formal dan publik terkesan sangat tidak dianjurkan. Kesan ini tampak jelas ketika pak Buang dan pak Magat tampil dalam acara Tuturan Pulo di sela-sela penyelenggaraan Festival Teater Jakarta bulan Oktober – November 2011. Pak Husein, dikuatkan juga oleh bang Rusli, pak Amrullah, dan Orang Pulo generasi 60-an lainnya masih teringat pada kejadian angin kencang yang tiba-tiba hadir saat pementasan drama Darah Putih yang disutradarai oleh pak Darwis, sekitar tahun 80-an. Orang Pulo hingga kini menerima kehadiran tokoh Darah Putih secara lisan, turun-temurun, dan terkadang melengkapi kisahnya dari sumber-sumber mimpi perorangan. Dalam beragam versi, Cerita Pulo ini menuturkan kisah yang sama, yaitu perlawanan Orang Pulo terhadap kedatangan perompak yang mengancam keberlangsungan Pulo, nun di masa lampau.

Tempat kejadian atau latar peristiwa disebutkan berlangsung di Pulo Panggang dan di tempat-tempat sekitar

36

Or ang Pulo di Pulau K ar ang

perairan pulau karang tersebut. Karang Pemanggang, karang yang kini mengalami abrasi di bagian timur perairan selat antara Pulo Panggang dan Pulo Karya, untuk sementara menjadi penanda penting dan sentral dalam Cerita Pulo ini. Di karang ini, dikatakan sebagai tempat para perompak dipanggang atau tempat para perompak memanggang bagian tubuh sesamanya dalam rangka bertahan hidup. Di dekat Karang ini pula, terdapat Gusung Jari yang dikaitkan dengan tempat membuang jari-jemari Bajak Laut. Kemudian Pulo Balik Layar, yang sekarang tersisa sebagai gosong di perairan utara Pulo, disebutkan sebagai titik balik pada saat Bajak Laut memutar haluan untuk kembali setelah tidak berhasil menemukan letak Pulo Panggang. Selanjutnya Pulo Semak Daun, lebih ke utara dari posisi Pulo Balik Layar, menjadi ‘Markas’, tempat berkumpul dan bermukim para perompak sebelum menyerang Pulo Panggang.

Intisari kisah perlawanan penghuni pulau karang ini terhadap perompak yang disebut Bajak Laut diawali sejak Orang Pulo mengetahui ancaman kehadiran mereka di wilayah perairan Pulo, kemudian mempersiapkan perlawanan dengan cara mengumpulkan orang sakti dan

Tokoh Pulo pada masa itu. Perlawanan tidak dilakukan secara massal dan berakhir ketika Darah Putih mengerahkan kemampuan supranaturalnya menutupi pandangan Bajak Laut sehingga tidak mampu mengenali kembali letak Pulo Panggang, yang tadinya mereka tuju. Dalam versi ini, wajar jika kejadian berlangsung di luar Pulo Panggang, tanpa ada pertempuran fisik, sehingga lahir penamaan Karang Pemanggang yang terletak di luar garis pantai Pulo. Penamaan ini masih mengundang tanya bagi kami. Kenapa ada tempat yang bukan Pulo Panggang yang memiliki arti tempat pemanggangan? Kenapa Orang Pulo memilih nama pulau tempat mereka bermukim dengan sebutan Panggang?

Makna Kisah Pulo di atas dapat ditarik pada suatu masa ketika perairan Pulo Seribu dilalui untuk kegiatan perdagangan atau ketika dinamika geopolitik Laut Jawa dan sekitarnya, Selat Sunda dan perairan di pesisir timur Sumatera tengah berpusar menguasai gugusan Pulo Seribu. Dengan kata lain, terdapat kelompok-kelompok bersenjata di Pulo Seribu, baik yang berafiliasi

37

Or

ang Pulo ar

ang

ataupun mandiri terhadap pusat-pusat politik dan ekonomi setempat atau asing, yang berkeliaran di wilayah ini dengan beragam motif dan kondisi. Kita akan memiliki rentang diakronik yang sangat panjang; Laut Jawa telah menjadi lintasan purba sejak peristiwa diaspora penutur Austronesia—moyang dari rumpun bahasa Melayu—pada 5.000 tahun yang lalu, dan tetap ramai dilintasi pada masa berkembangnya kerajaan-kerajaan bercorak Hindu-Buddha sampai dengan hadirnya pusat-pusat ekonomi dan politik bercorak Islam, hingga memasuki jaman kolonisasi Nusantara oleh orang Eropa.

Tawan karang adalah hukum laut yang tua di Nusantara, jika ada kapal karam maka pelaut berikut muatan kapal menjadi milik yang menemukan. Istilah Bajak Laut Melayu diciptakan oleh orang Eropa ketika di perairan Nusantara bermunculan perlawanan secara sporadis terhadap hegemoni orang Eropa. Karaeng Galesong, pemimpin laskar laut Kerajaan Gowa masa Sultan Hasanudin, dikenal sebagai Bajak Laut Bugis yang ditakuti oleh orang Belanda karena merajalela di perairan Laut Jawa sesudah Perjanjian Bongaya (1667). Artinya, Bajak Laut dalam Cerita Pulo dapat dikatakan tidak begitu jelas. Jika Darah Putih

keturunan Mandar, sementara Bajak Laut yang dimaksud bisa jadi dari Bugis, maka secara simbolik Cerita Pulo ini adalah perang saudara di laut. Persekutuan-persekutuan tua antarpengarung laut perlu juga ditelusuri, agaknya. Dari Cerita Pulo yang sederhana ini, kita hanya dapat menarik makna simbolik bahwa pada suatu waktu, Orang Pulo harus bersatu menghadapi ancaman dari luar.

Orang Pulo mengenal kedua legenda di atas—Darah Putih dan Karang Pemanggang—dalam berbagai versi cerita. Selain yang diceritakan para Penutur, berbagai versi tersebut dapat ditelusuri melalui laporan-laporan penelitian terdahulu tentang Pulo Panggang—baik di bidang sosial maupun eksakta—yang pasti akan menyajikan kedua legenda tersebut sebagai satu bagian dari deskripsi lokasi penelitian. Akibat ketiadaan rujukan tertulis tentang kedua legenda ini, kerap ditemukan narasi yang bersumber dari cerita lisan masing-masing narasumber penelitian. Cerita asal usul Pulo dalam berbagai versi ini dinilai sah karena ketiadaan sumber rujukan tertulis sehingga seorang peneliti berhak menggunakan salah satu versi. Kami melihat keragaman versi ini sebagai kenyataan yang mencerminkan kuatnya kepemilikan Orang Pulo terhadap legendanya dan kukuhnya keyakinan mereka untuk memegang tradisi Cerita Pulo. Munculnya versi dari suatu legenda jamak terjadi di banyak tempat dan ini selaras dengan sinyalir Danandjaja tentang distorsi terhadap sejarah bersama.

38

Or ang Pulo di Pulau K ar ang

Ragam Cerita Legenda

Kisah Pulo yang sampai ke Muchtar (1960) memperkenalkan tokoh Panglima Djagung dan tokoh Kapiten Dulwahab yang memerangi perompak dan baru kemudian muncul penamaan Karang Pemanggang. Dalam kisah yang sampai ke Muchtar dibedakan antara kisah penamaan Pulo Panggang dengan kisah Darah Putih. Kisah Darah Putih dikaitkan dengan keberadaan seorang tokoh sakti dan sangat dihormati Orang Pulo; dibuktikan dengan adanya makam di sebelah bangunan SDN 01/03 P. Panggang. Selanjutnya, disebutkan beberapa nama pulau walaupun tidak dijelaskan keterkaitan dengan Kisah Pulo, yaitu Pulo Putri (tempat seorang putri penguasa), Pulo Belokan (tempat tawanan), Pulo Beras (tempat menimbun beras), Pulo Gusung Sekati (tempat pembuangan daging hasil pemanggangan). Kedua kisah terpisah yang dinarasikan sederhana ini menampilkan kesamaan asal tokoh, yaitu dari suku Bugis.

Peran Darah Putih yang tidak diperinci oleh Muchtar, selanjutnya ditemukan pada laporan Dinas Museum dan Sejarah Provinsi DKI Jakarta tentang survei kesejarahan dan sosial budaya di Kel. P. Panggang pada tahun 1984 (Mutholib et al., 1984 h. 12-13). Gusung (Pulo) Balik Layar diceritakan sebagai lokus kejadian ketika para perompak tidak dapat menemukan lokasi Pulo Panggang disebabkan kemampuan Darah Putih menyembunyikan Pulo dari pandangan perompak. Kisah Karang Pemanggang tetap diceritakan terpisah, dan berkesan dianggap sebagai kisah sesudah masa Darah Putih, tanpa ada nama tokoh, melainkan upaya kolektif Orang Pulo melawan serangan perompak. Pada saat melaksanakan inventarisasi situs-situs arkeologi di Kepulauan Seribu, Dinas Museum dan Sejarah Provinsi DKI

Menurut cerita rakyat Darah Putih datang dari Sulawesi dan menetap