kuat dan kohesi rapat
Pulo berdiri di atas perairan yang kaya sumber daya tumbuhan dan binatang. Platform Seribu tidak hanya menyediakan cadangan pasir dan karang, juga gas dan minyak. Lanskap pulau-pulau kecil yang mempesona dan indahnya pemandangan bawah air merupakan karunia alam yang diwarisi dan dimiliki Orang Pulo, yang dapat ditandai pada keberadaan perahu, karang, ikan hias, keramba, pariwisata, dan masyarakat dan budaya.
1. Perahu
Alat transportasi air ini merupakan bukti sejarah penghunian Pulo, juga menandai tren eksploitasi sumber daya perairan dan pulau-pulau karang. Orang Pulo memodifikasi perahu-perahu pesisir untuk disesuaikan dengan keadaan perairan karang. Pak Rachmat, dari Pulo Panggang, dapat menjelaskan bagaimana sopek dan kolek dari Pesisir Utara Laut Jawa dibentuk untuk mampu melintasi perairan berpasir dan berkarang pada masa perahu
119
Or
ang Pulo ar
ang
layar. Ahli konstruksi kapal ini memprihatinkan konstruksi dan modifikasi kapal motor mesin untuk kebutuhan taksi dan ojek. Meningkatnya permintaan pengangkutan penumpang dalam jumlah besar mengakibatkan pembuatan kapal lebih mementingkan kapasitas angkut dibandingkan keamanan pelayaran dan estetika kapal. Suatu ketika kami melihat pembuatan sebuah kapal di Pulo Karya, bagaimana tukang kapal dengan kreatif menggabungkan kayu dan fiber sebagai material untuk membuat badan kapal. Fiber, material yang merusak kesehatan karena debu dan seratnya, dimanfaatkan untuk menyiasati kelangkaan dan mahalnya bahan kayu.
2. Karang
Potensi batu karang di Pulo Seribu sejak dulu telah menjadi idola sehingga terjadi eksploitasi yang telah dimulai sejak jaman Kesultanan Banten. Pemanfaatan batu karang dan kerang laut untuk konstruksi bangunan dan gedung serta kapur tulis. Sumber daya laut ini dinilai sama dengan pasir atau hasil tambang lain, dan dalam beberapa catatan lama yang berhasil dikumpulkan, batu karang Pulo Seribu menjadi campuran material dari bangunan-bangunan di Kesultanan Banten dan Batavia. Penambangan batu karang yang terjadi di Pulo Seribu selama tahun 1928-1931 digambarkan oleh Verwey mencapai 20.000-40.000 meter kubik, yang dimanfaatkan untuk pembangunan kota Batavia di masa itu (Sukarno, 1981 dalam Untoro, 2007). Perhitungan itu diperoleh berdasarkan pengamatan Verwey terhadap kurang lebih 40 perahu pengambil batu karang, dengan jumlah nelayan lebih dari 200 orang. Setiap perahu memuat tiga meter kubik batu karang, dan memuat dalam tempo dua atau tiga hari. Dalam waktu lima hari perahu yang sama akan kembali. Akibat pengambilan batu karang secara terus menerus, akhirnya menyebabkan tenggelamnya pulau Ubi, salah satu pulau di gugusan Pulo Seribu.
Penggunaan batu karang untuk bahan bangunan terutama dilakukan oleh para penguasa dan bangsawan, karena mahalnya pengambilan material yang harus dibayar. Di situs Banten Lama, arkeolog Heryanti Ongkodharma Untoro (2007) mengidentifikasi material ini sebagai bahan balok-balok dinding bangunan, fondasi bangunan, umpak penyangga tiang, panel penghias bangunan, peluru, nisan serta lepa. Pemasok utama batu karang untuk kebutuhan pembangunan ini diduga dari wilayah Pulo Seribu, yang lebih dekat dengan kawasan Banten, karena karang tidak dapat tumbuh dengan baik di Teluk Banten yang perairannya kotor dan berlumpur.
Batu karang dan mutiara dikategorikan sebagai produk ekspor Pulo Panggang oleh kontrolir Belanda, H. Selleger (1906). Ia mengamati adanya buruh penambang di Pulo. Namun pada tahun 1960, Muchtar dalam laporan penelitiannya tidak menuliskan adanya pengambilan karang dari Pulo Panggang, meski masih ditemukan mutiara tapi dianggap tidak begitu berharga. Sampai tahun 1960, sebagian besar rumah bilik di Pulo masih menggunakan bahan baku kayu dengan atap nipah, yang masih banyak ditemukan di sekitar Pulo.
Tahun 1980an, batu karang mulai digunakan untuk fondasi bangunan di Pulo seiring instruksi dari pemerintah untuk mengganti rumah dari kayu dengan rumah tembok, karena permukiman di Pulo saat itu dianggap kumuh. Selanjutnya, batu
120
Or ang Pulo di Pulau K ar angkarang juga digunakan untuk menguruk laut (reklamasi), setelah terjadinya ledakan penduduk dan menyempitnya lahan permukiman. Reklamasi dilakukan dengan cara menumpuk karang masif yang telah mati di lahan yang akan dibangun. Batu karang masih menjadi bahan konstruksi bangunan karena bahan lain seperti batu kali sulit didapatkan. Selain harus diambil dari daratan, biaya pengangkutannya pun cukup mahal.
Kesadaran Orang Pulo akan pentingnya terumbu karang sebagai habitat beragam hewan dan tumbuhan laut terlihat pada berbagai upaya yang dilakukan baik secara perorangan maupun lembaga. Orang Pulo hingga kini masih sangat bergantung pada keadaan alam laut mereka. Kebergantungan ini yang mendorong upaya konservasi terumbu karang untuk menjaga kelangsungan hidup biota dan masyarakat. Terumbu karang ini berfungsi sebagai pelindung pantai dari pengikisan ombak dan arus laut.
Pada daerah soft coral, yang termasuk zona konservasi dalam penataan ruang TNLKS, terdapat petakan-petakan beton sebagai tempat transplantasi terumbu karang. Di bagian selatan Pulo Panggang, tepatnya dekat dermaga kapal nelayan, juga terdapat tempat budidaya karang laut. Areanya tidak terlalu besar dan tampaknya dimiliki salah satu nelayan ikan hias yang bertempat tinggal tidak jauh dari tempat ini. Di tempat ini tidak hanya ditumbuhi karang, juga Anemon (Heteractis magnifica) yang menjadi tempat hidup ikan merah putih. Area yang tidak jauh dari permukiman penduduk ini menjadi habitat hidup berbagai biota laut. Apa yang dilakukan oleh nelayan ikan hias ini merupakan bentuk pelestarian sederhana yang bernilai ekonomis. Pertumbuhan karang akan membantu anemon hidup, sehingga ikan merah putih, yang juga menjadi idola nelayan ikan hias, berdatangan dengan sendirinya. Area pembudidayaan karang dibatasi dengan tumpukan karang berlumut, membentuk persegi panjang besar dan memagari area ini dari lintasan kapal. Karang yang dibudidayakan adalah karang keras dari berbagai jenis yang dibuatkan dudukan dari semen sebagai media tumbuh karang dan ditaruh dengan kedalaman kira-kira satu meter dari permukaan laut sehingga masih mendapatkan cukup sinar matahari. Menurut salah satu informan kami, bibit karang hasil budidaya ini saat mencukupi usia akan ditransplantasi pada karang yang dianggap rusak.
Nelayan pembudidaya karang tersebut bagian dari kelompok yang memperhatikan kondisi karang di Pulo Seribu. Di Pulo Pramuka juga dikembangkan ekowisata yang membuat para wisatawan dapat berperan dalam pelestarian lingkungan. Selain menikmati keindahan alam, mereka terlibat dalam kegiatan adopsi karang yang dilakukan dengan cara membeli bibit karang hasil budidaya nelayan kemudian menanamnya di media tertentu. Bibit karang adopsi ini dapat dinamai sesuai keinginan wisatawan tersebut. Setelah itu kegiatan konservasi berlanjut dengan penanaman, yaitu menenggelamkan karang ke daerah yang kondisi karangnya rusak.
Ilustrasi di atas memperlihatkan sinergi dari potensi-potensi yang dikembangkan oleh masyarakat dan swasta. Pengembangan wisata berbasis konservasi lingkungan memiliki daya tarik tersendiri bagi wisatawan dan dapat memberikan nilai ekonomis bagi masyarakat Pulo. Masa penambangan batu karang telah lewat, kini Pulo memasuki masa konservasi karang, namun keuntungan dari karang belum lagi maksimal untuk Orang Pulo.
Peranan pemerintah, khususnya suku dinas Kelautan dan Perikanan serta TNLKS, dalam mengawasi usaha bibit karang
121
Or
ang Pulo ar
ang
untuk ekspor perlu ditingkatkan. Seorang informan memberikan gambaran bahwa nelayan yang menjual bibit karang untuk kebutuhan ekspor diwajibkan memberi kompensasi 10% untuk transplantasi karang dan setelah enam kali panen, nelayan harus mengembalikan semua bibit karang untuk ditransplantasi. Namun peraturan ini tidak dipatuhi oleh banyak investor maupun nelayan. Jika aturan ini dipatuhi, percepatan pertumbuhan dan perbaikan kondisi karang dapat dirasakan oleh Orang Pulo dan pemangku yang berkepentingan dengan konservasi karang. Nilai ekonomis wilayah permukiman dan konservasi dapat meningkat, kesejahteraan penduduk Pulo juga membaik.
3. Ikan Hias
Ikan, selain untuk konsumsi rumah tangga dan dilelang atau dikumpul pada tengkulak, juga diekspor berupa komoditi ikan hias yang dikembangkan di Pulo Panggang, khususnya di wilayah barat. Ikan hias yang ditangkap atau ditangkar memberikan keuntungan yang cukup lumayan secara ekonomis bagi nelayan. Penangkaran ikan hias dilakukan secara alami dan belum bersifat budidaya, dengan cara mengumpulkan anemone di suatu tempat hingga suatu saat akan datang clown fish (Amphirion ocellaris), jenis ikan yang paling sering dilihat dalam aquarium milik nelayan
setempat (disebut juga ikan nemo atau ikan merah putih, dalam sebutan setempat). Cara lainnya dengan sengaja membiarkan clown fish tinggal, sebab ikan ini tidak mudah pergi kecuali habitatnya terlalu padat. Selain itu, ada juga clown fish yang langsung diambil dari laut kemudian ditampung sementara sebelum dijual. Pengangkutan ikan hias ini biasanya menggunakan taksi air yang berangkat dari Pulo Panggang jam tujuh pagi. Berbagai jenis ikan hias dimasukkan masing-masing dalam plastik tahan air dan diberi cukup udara sehingga ikan-ikan ini dapat bernapas.
4. Keramba
Orang Pulo kini memiliki keramba sebagai simbol baru dari corak kehidupan nelayan. Banyaknya nelayan tangkap yang beralih profesi menjadi nelayan budidaya menandakan tingkat kesadaran yang semakin tinggi terhadap keterbatasan sumber daya alam. Nelayan harus membudidayakan ikan sampai siap panen kemudian memasarkan. Sepuluh tahun belakangan, budidaya ikan dalam keramba semakin diminati nelayan. Sebagai alternatif mata
122
Or ang Pulo di Pulau K ar angpencaharian, budidaya ikan cukup menarik, selain karena sesuai peraturan dan ramah lingkungan, pemerintah juga banyak memberikan dukungan berupa pasokan bibit.
Masalah yang dihadapi saat ini adalah menurunnya bibit ikan kerapu yang ada di alam, sehingga pasokan bibit yang diberikan kepada seafarmer harus diatur. Bapak Nawawi misalnya, sebagai ketua seafarming, hanya mendapatkan jatah 5000 ekor bibit ikan. Sementara, pasokan bibit tersebut harus dibagi lagi ke seluruh anggotanya. Penurunan pasokan bibit ini terkait dengan penggunaan jaring muroami oleh para nelayan tangkap, sehingga ikan-ikan kecil yang sedianya sebagai bibit ikan budidaya ikut tertangkap. Meski jumlah pasokannya saat ini masih kurang memadai dibanding tingkat pertumbuhan nelayan budidaya, pemerintah tetap berupaya memberikan solusi yang semakin berpihak kepada nelayan budidaya ini.
Masalah lain yang dihadapi adalah penataan lanskap perairan untuk keramba. Keramba di permukaan goba Pulo Panggang centang perenang tanpa mengindahkan kenyamanan dan keindahan lanskap perairan, dan mungkin juga cukup merepotkan lalu lintas perahu. Penataan keramba diperlukan agar selain memberikan nilai ekonomis, juga menjadi obyek wisata tersendiri, karena nilai estetiknya. Untuk menata lanskap ini, para pelaku budidaya keramba perlu berkoordinasi. Selain itu, terjadinya pencurian ikan dari keramba, perlu diatasi oleh komunitas nelayan budidaya keramba. Keramba berpotensi dapat dipergunakan sebagai penanda khas Pulo, jika Orang Pulo mampu menciptakan keramba-keramba yang menjadi ciri dari Pulo. Warung Apung yang kini dirintis tidak jauh dari soft coral dan rumah panggung di bagian barat dan timur Pulo Panggang dapat menjadi alternatif, yang juga menandakan usaha dan bangunan yang lebih menyesuaikan dengan kondisi alam akan menjadi ciri kehidupan Pulo di masa mendatang.
Kami belum mengetahui dampak dari penggunaan pelet atau bahan konsentrat lain buatan pabrik terhadap lingkungan mikro di sekeliling keramba atau pengaruhnya pada kualitas air tanah di sekelilingnya. Nelayan budidaya dan ahli perikanan tentu telah memiliki cara untuk mengatasi dampak tersebut bagi kualitas air laut maupun ekosistem di dalamnya. Di Darat, kami sudah biasa makan ayam kampung dan ayam pedaging, nampaknya kami juga siap untuk mencicipi ikan alam dan ikan broiler dari Pulo.
5. Pariwisata
Tumbuhnya pariwisata menumbuhkan peluang penghasilan tambahan bagi nelayan tangkap dan nelayan budidaya. Pekerjaan sampingan ini terkait dengan pariwisata yang berkembang di Pulo Panggang – Pramuka. Para nelayan yang tadinya bekerja sepanjang minggu, kini memotong waktu bekerja mereka sebagai nelayan di akhir minggu. Mereka kemudian beralih menjadi pemandu wisata, karena pada saat itu jumlah wisatawan meningkat.
Pertumbuhan pariwisata di Pulo Seribu yang menjadi amanat dari Perda No. 6 Tahun 1999 tentang RTRW DKI Jakarta, mendorong Orang Pulo untuk menyamakan visi dan melihat peluang yang tersedia. Dalam berbagai aspek, Orang Pulo sangat tergantung pada kondisi alam mereka, sehingga mereka tetap berupaya menjaga hubungan harmonis mereka dengan alam.
123
Or
ang Pulo ar
ang
Beberapa tahun belakangan, Pulo Seribu semakin dilirik sebagai tujuan wisata oleh kalangan menengah di wilayah Jakarta dan sekitarnya. Warung Apung memanfaatkan peningkatan jumlah wisatawan yang datang untuk menikmati alam Pulo Seribu dengan menyediakan makanan dan minuman untuk wisatawan yang sedang snorkling di tepian daerah soft coral.
Di Pulo, saat ini terlihat kemajuan signifikan dalam pengembangan wisata dan fasilitas penunjang pariwisata. Semakin banyak fasilitas penginapan yang disediakan di Pulo Pramuka, sehingga Orang Pulo memiliki penghasilan tambahan dengan melayani keperluan para wisatawan. Akses ke Pulo Panggang dan Pramuka juga kian lancar, terlihat dari beroperasinya taksi dengan jadwal tetap yang dapat
mengangkut penumpang dalam jumlah besar. Hingga tahun 2005, akses menuju daratan dan sebaliknya hanya menggunakan kapal nelayan dengan kapasitas penumpang sangat terbatas dan pengoperasiannya harus membuat janji terlebih dahulu dengan nelayan yang bersangkutan.
124
Or ang Pulo di Pulau K ar angl t c
125
Or
ang Pulo ar
ang
6. Masyarakat dan Budaya
Wajah Pulo adalah kekerabatan yang erat, identitas Pulo yang kukuh, bertahannya nilai kolektivitas, dan terpeliharanya sistem keyakinan
Orang Pulo kini masih dikenal sebagai komunitas yang intensif dalam hubungan kekerabatan. Model pernikahan endogami dan eksogami berhasil menguatkan sekaligus melebarkan ikatan Orang Pulo di dalam maupun keluar komunitasnya. Setiap lebaran, Pulo Panggang dipenuhi oleh kerabat dari pulau-pulau lain, maupun daratan, yang datang berkunjung untuk menghormati nenek atau buyut mereka di Pulo. Perpindahan lokal antarpulau kerap terjadi, dan ini justru meluaskan jaringan kekerabatan antarpulau.Terikatnya hubungan keluarga secara internal memudahkan Orang Pulo membangun identitas mereka saat menghadapi entitas di luar mereka. Identitas sebagai Orang Pulo bukan hanya bermakna memiliki hubungan kekerabatan, juga bermakna memiliki pengalaman yang sama dalam menghadapi lanskap alam, yaitu pulau-pulau kecil di tengah laut lepas. Kekhasan lanskap alam membentuk mentalitas Orang Pulo dan menyatukan mereka secara emosi. Apa yang sama-sama mereka hadapi saat berada di daratan pulau, terisolir dengan akses terbatas baik fisik maupun virtual, tantangan alam berupa musim Barat dan Timur, dan ancaman badai, membentuk kesamaan perilaku dan keyakinan terhadap alam.
Salah satu bentuk hubungan dengan alam terlihat dalam perilaku keseharian para perempuan yang berprofesi sebagai pembuat kue dan penjaja makanan keliling. Jika pasokan ikan jenis tertentu (binsawan dan tongkol) tidak mudah didapat akibat cuaca yang kurang menguntungkan, ibu-ibu pembuat dan penjaja makanan keliling akan berhenti berjualan. Mereka masih beranggapan bahwa ikan yang ditangkap hari ini, harus langsung diolah, dan hasil olahan langsung dijual. Makanan harus menggunakan bahan segar dan tidak diawetkan. Keinginan untuk mendapatkan sesuatu yang segar, langsung dari alam, merupakan salah satu ciri identitas Orang Pulo, karena mereka berada sangat dekat dengan alam.
Identitas yang menguat sebagai Orang Pulo menciptakan kolektivitas yang berharga. Ikatan emosi sebagai Orang Pulo membuat masyarakat yang hidup di pulau mau saling membantu, dan menyingkirkan kepentingan individu untuk kepentingan kolektif, atas nama keluarga maupun masyarakat Pulo. Dulu pernah ada tradisi nyambang sebagai bentuk solidaritas antarnelayan. Ilustrasi yang terlihat dalam perilaku keseharian adalah ketika menggelar hajatan. Para tamu yang akan hadir pasti membutuhkan transportasi laut untuk tiba di tempat hajatan, baik di Pulo Panggang atau Pramuka. Jarak antarpulau yang ditempuh sekitar 20 menit harus menggunakan ojek kapal, dan biaya transportasi ini ditanggung oleh penggelar hajatan. Hal ini menunjukkan ikatan komunal yang masih erat hingga si empunya hajat bersedia menyewa ojek kapal bagi para tamunya.
Hal lain yang patut dicatat adalah keyakinan dan kedamaian jiwa yang tercermin dalam hubungan Orang Pulo dengan alamnya. Alam Pulo sewaktu-waktu dapat berubah, karena banjir laut, penyakit cacar, wabah yang menyerang perkebunan maupun rumput laut, badai, dan penyebab alam lain yang langsung dapat dirasakan oleh manusianya. Berubahnya fenomena
126
Or ang Pulo di Pulau K ar angalam yang tak terduga ternyata tidak membuat kehidupan sehari-hari di Pulo menjadi cepat berubah. Keterikatan Orang Pulo pada tanah yang mereka diami membangun keyakinan yang khas terhadap kehidupan mereka sendiri. Mereka percaya bahwa apa yang didapat hari ini, untuk hari ini, dan esok alam akan memberikan lagi. Mereka tidak merasa khawatir dengan apa yang akan mereka dapat esok hari, karena Orang Pulo memiliki kreativitas untuk mengolah hasil yang didapat pada hari ini. Misalnya, ketika hasil tangkapan teri yang mereka dapatkan tidak menghasilkan nilai ekonomi yang tinggi, mereka akan menciptakan pilihan untuk mengolah teri tersebut menjadi panganan. Olahan panganan seperti pepes teri dan bakwan teri akan menghasilkan nilai ekonomis lebih tinggi ketimbang dijual mentah tanpa diolah.
Adakah Warisan Pulo untuk Orang Pulo?