• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kajian tersebut dapat kita selami melalui kajian yang dikenal

E. Pengiring Bekerja

I. Membaca Turun Motor

Sedekah ini dilakukan untuk mengiringi perahu yang baru diturunkan ke laut. Hidangannya bubur merah-putih (pecak), onde-onde, nasi ketan kuning, dan roti-rotian.

II. Membaca Turun Jaring

Sedekah yang dilaksanakan saat menurunkan jaring pada musim ikan. Hidangannya berupa cendol, yang bermakna agar ikannya banyak seperti cendol, dan bubur pecak.

F. Ritual lain I. Kepala Taon

Diadakan untuk menyambut bulan sapar/ Shafar (suro). Sedekah yang

disajikan adalah bubur pecak (bubur suroh) dan nasi ketan kuning.

II. Membaca Prapatan

Merupakan sedekah yang dilakukan untuk mengusir setan dari setiap perempatan jalan, dengan kata lain tolak bala. Dilakukan pada setiap bulan Shafar dengan sedekah berupa bubur pecak.

103

Or

ang Pulo ar

ang

Silat di Pulo

“...pantang pulang. Jika sudah maju, harus berhasil.” Silat menjadi salah satu aspek budaya Pulo yang penting dan juga memiliki nilai historis. Dalam satu kesempatan, Habib Zen, salah satu guru silat di Pulo Panggang, yang juga berorganisasi dalam Ikatan Pencak Silat Pulau Panggang (IPSPP), mengisahkan panjang lebar tentang sejarah lahirnya pencak silat di Pulo, juga peranannya saat ini dalam pembinaan generasi muda di Pulo Panggang. Untuk tujuan kedua ini, dalam kesempatan yang berbeda, pak Husni (77 tahun) juga mengisahkan peranan silat dalam kehidupan kaum muda pada masa lalu.

Silat berasal dari silaturahmi, yang berarti sebelum berperang harus silaturahmi dulu. Oleh karena itu, pandai silat juga dapat dimaknai panjang silaturahminya. Tiap bertemu orang lain (bersilaturahmi) akan dilanjutkan dengan tanding silat. Dalam hal ini, silat dapat dipahami bukan sekedar ilmu untuk membela diri, yang digunakan untuk menyerang atau mematikan lawan. Namun silat juga mengandung seni gerak, yang digunakan sebagai seni penyambutan, untuk dinikmati banyak orang. Dengan demikian, silat, baik sebagai seni bela diri maupun seni gerak, diawali oleh silaturahmi, yaitu bersambung rasa dengan orang lain.

Silat di Pulo Panggang diciptakan pertama kali oleh ne’ Deli, seorang keturunan Banten. Habib Zen bertutur tentang konteks diperkenalkannya silat

104

Or ang Pulo di Pulau K ar ang

l t c

105

Or

ang Pulo ar

ang

di daerah ini. Ada semangat antikolonialisme yang melatari tumbuhnya silat di Pulo. Latar belakang ne’ Deli, sebagai seorang pejuang anti pemerintah kolonial agaknya menjadi spirit utama untuk mengembangkan pencak silat.

“Pada waktu zaman Belanda keluarga Ki Sadeli itu, seperti Ki Hasan itu akan dimusnahkan Belanda. Pejuang juga, pejuang bangsa, yang memang notabenenya Belanda tidak suka pada pejuang-pejuang itu. Maka Ki Sadeli itu dikucilkan atau disembunyikan di Pulau Panggang. Memang beliau punya semangat juang tinggi, dari kecil sampai remaja beliau punya cita-cita ingin merebut kembali tanah persada Indonesia ini dari cengkeraman penjajah Belanda. Dari situ beliau mulai mempelajari jurus-jurus beladiri sehingga beliau hijrah keluar dan mencari guru-guru pencak silat sampai ke Tapak Arjuna sampai ke Mandar. Tapak-tapak Arjuna Jatim, sehingga dia pulang kembali ke Pulau Panggang bawa bekal dan siap berjuang dan alhamdulillah dengan bekal yang dia dapati dia kembangkan dan berlatih.” Silat yang kemudian tercipta dari kreasi tokoh Pulo ini disebut silat alif, yang merupakan perpaduan dari beberapa aliran, yaitu Cimande, Cikalong, dan Mandar. Sebagaimana namanya yang merujuk pada kata ’satu’ (alif), silat alif terinspirasi oleh keyakinan tauhid, artinya pesilat harus yakin dengan gerakan yang hendak dilakukan dan memohon kepada Allah SWT agar diijinkan untuk menguasai satu gerakan. Jiwa tauhid ini tercermin dalam proses belajar yang dijalani oleh para pemuda yang ingin belajar silat tersebut.

Pak Husni mengisahkan bagaimana ne’ Deli menggunakan perkumpulan pencak silat untuk membina anak-anak muda belajar mengaji, khususnya tentang tauhid. Saat pak Husni berusia belasan tahun, berarti sekitar 1930 – 1940an, ia belajar silat dengan tujuan menjaga diri sekaligus belajar agama, karena tiap kali selesai belajar silat, sang guru akan mulai mengajarkan tauhid dan fiqih. Pola pengajaran semacam ini berlanjut ketika Mursalin bin Nailin (ne’ Aing) meneruskan pembinaan generasi muda di Pulo. Pada masa ne’ Deli, beliau dibantu oleh anak-anak angkat (ne’ Machmud dan ne’ Syu’ait) dan menantunya (ne’ Rais) untuk membimbing generasi muda Pulo.

Seni bela diri yang diperkenalkan oleh ne’ Deli memiliki inti aliran gerak dari Banten, sementara untuk seninya, berasal dari Mandar. Aspek seni dalam silat kerap disebut sebagai ’kembangan’, yaitu gerakan silat untuk dinikmati, misalnya jurus ’gunung sekawan’ yang dipentaskan dalam pertunjukan lenong. Dalam pertunjukan ini, yang biasanya mengangkat kisah para centeng (tukang pukul) orang kaya (tuan tanah) yang bermusuhan dengan para jawara, adegan silat merupakan salah satu yang dinanti-nanti para penonton. Sang jawara akan menggunakan jurus-jurus andalannya untuk menghadapi centeng. Di Pulo, pak Nawawi, salah satu pemain lenong, biasanya memerankan jawara. Pemain lenong Pulo lain yang juga terkenal dengan permainan silatnya adalah wa’ Indera.

Ciri khusus yang membedakan silat alif dari aliran lain terletak pada ’anak pukul’ dan ’langkah’. Seperti di aliran lainnya, silat alif juga memiliki gerak pukulan, kuncian, dan tangkisan. Istilah-istilah khusus dari bahasa setempat kerap dijadikan atribut pembeda satu aliran dengan aliran

106

Or ang Pulo di Pulau K ar ang

lain, namun pada hakikatnya berporos pada tiga gerak tersebut. Dalam silat alif, terdapat 36 jurus pukulan. Salah satunya adalah ’anak pukul’, yang inti geraknya adalah sebisa mungkin menangkap atau memegang tangan musuh saat lawan hendak memukul. Ada istilah pantang pulang, yang berarti jika sudah maju, harus berhasil. ’Anak pukul’ memang digunakan untuk memukul kemudian dilanjutkan jurus ’ringkus’ yang digunakan meringkus lawan. Jurus-jurus ini termasuk dalam kategori mematikan, sehingga tidak dipentaskan, apalagi dilombakan.

Sementara gerak ’langkah’ merupakan gerakan pesilat yang seolah-olah mundur tetapi ada di belakang lawan. Dinamakan langkah tiga pancer. Selain itu, ada langkah empat, langkah lima sampai langkah kedua-belas.

“... seperti langkah, langkah juga sebenarnya ada maksud tertentu seperti langkah empat, langkah lima, langkah lima puter, langkah lima pencak lima, sampe terakhir langkah dua belas sikat dua bêlas. Ada misi-misinya sebenernya tapi kami ga bisa menjelaskan satu persatu, sebenernya itu kalau kita sudah menguasai, sedikit banyak didorong dengan keyakinan yang kuat, itu hal-hal yang tidak diajarkan bisa muncul dengan sendirinya seperti sikat dua belas. Guru manapun belum pernah mengajarkan yang namanya sikat dua belas tapi datang sendiri itu sikat dua belas kalau kita khusuk berlatih. Sikat dua belas itu datang dengan sendirinya.”

Gerakan lain yang menjadi gerakan khas silat Pulo adalah gerakan loncat melayang-layang. Khusus untuk gerakan ini memang tidak semua orang dapat melakukannya. Harus orang yang sangat meyakini ketauhidan, karena untuk gerakan ini kerap

kali pesilat mengaitkan dengan kehadiran, yaitu hal atau kekuatan lain yang menuntun pesilat untuk melakukan gerakan di luar kesadarannya. Beberapa gerakan terkadang dilakukan dalam keadaan tidak sadar, atau trench. Meski demikian, para pesilat alif menolak adanya kehadiran dalam pengertian ini, karena walaupun gerakan yang dilakukan oleh pesilat tidak bisa dinalar namun sebenarnya tetap dilakukan dalam keadaan sadar. Ini terbukti ketika si pesilat dapat menghentikan gerakannya ketika ia kehendaki. Artinya, pikirannya tidak sedang dikuasai oleh setan atau makhluk lainnya.

Dalam suatu pertarungan, saat lawan kalah dan tidak berdaya, berarti lawan dalam keadaan kosong. Dengan kata lain, lawan memberikan peluang agar terus diserang atau ’diberi’. Maka, kosong disebut juga tidak ada penjagaan atau tidak melawan. Jurus yang digunakan untuk menaklukkan lawan disebut jurus siliwa dan siliwaki. Ciri dari siliwa adalah tekuk, kuda-kuda yang dilakukan dengan cara tidak menapak tanah, tetapi berjinjit, sehingga lawan tidak bisa mentekel. Untuk menaklukkan jurus ini adalah dengan cara menginjak kaki si pengguna jurus siliwa.

Lain lagi dengan jurus pak Mat Ali, yang inti jurusnya adalah rasa. Informan mendeskripsikan jurus ini nampaknya dalam posisi menyerang ataupun diserang. Misalnya dalam keadaan imbang, ketika diserang apabila dipegang lawan sekencang apapun harus dilepas dan jangan sampai terpegang. Lalu, ketika lawan “memberi” boleh mendorong lawan namun jangan sampai terpegang sehingga lawan tidak memiliki peluang. Posisi menyerang dalam jurus pak Mat Ali ini yakni ketika ada peluang untuk memegang. Jurus pak Mat Ali sendiri diyakini sebagai jurus

107

Or

ang Pulo ar

ang

yang mematikan.

Orang yang belajar silat biasanya menerima jurus tidak selalu lengkap. Misalnya, orang yang seharusnya mendapatkan 12 jurus silat hanya mendapatkan sebelas jurus, satu jurus sengaja dihilangkan atau tidak diajarkan oleh sang guru serta pemberian jurus kepada murid tidak selalu runut urutannya. Hal ini dimaksudkan agar murid tersebut mempelajari ilmu dan jurus silat kepada guru lain dan akan memulainya kembali dari awal, sehingga silaturahmi sebagai filosofi dasar dari silat terus terjalin dari perguruan yang satu dengan yang lainnya.

Habib Zen juga menuturkan

ada pantangan yang tidak boleh dilakukan yakni belajar silat tidak boleh dilakukan pada hari Jum’at, karena pada hari itu waktunya membaca serta diadakan selametan. Kalaupun ada latihan hanya sekedarnya saja. Selametan yang dilakukan mensyaratkan adanya kue tujuh rupa, kue utama adalah onde-onde selain itu ada pisang, tarasajen, kokolidong, dan kembang tujuh rupa. Air rendaman kembang tujuh rupa ini digunakan untuk mengobati pesilat yang terluka atau keseleo. Kembang yang tidak boleh untuk membuat air rendaman ini adalah kembang kamboja, mungkin karena kembang ini identik dengan kembang yang tumbuh di area

pemakaman.

Pencak silat berkembang sebagai gerakan anti pemerintah kolonial. Inilah spirit utama para pejuang, yaitu melawan penjajahan pada masa itu. Ne’ Deli muda mengalami sendiri bagaimana berjuang melawan penjajah, yang bukan hanya secara fisik tetapi juga penjajahan terhadap nilai, kepercayaan, dan identitas mereka sebagai Orang Pulo atau sebagai muslim. Maka, dalam mempelajari pencak silat mensyaratkan seorang murid mempelajari tauhid dan fiqih. Hal ini dimaksudkan agar sang murid selalu ingat siapa mereka dan dari mana mereka berasal. Berkembangnya pencak silat pada masa awal tersebut sejalan dengan apa yang sedang mereka hadapi, yaitu pemerintah kolonial, sehingga mempelajari jurus silat harus dibarengi dengan ilmu agama.

“misinya pertama datangnya penyiaran agama, lalu belajar latihan silat. Kalau dulu kan dakwah, dan didampingi oleh mereka. Setelah mengaji lalu latihan silat, maka larinya memang ke agama juga pada akhirnya. Dulu kan seni untuk dakwah, jadi larinya memang ke agama. Kalau dilihat jaman Rasulullah itu mengambil sunnahnya, para Walisongo juga menyiarkan dakwah melalui Seni Wayang. Sebenarnya itu sama saja, hanya bahasanya saja yang berbeda. Jadi, seni untuk

108

Or ang Pulo di Pulau K ar ang

dakwah, bukan seni untuk seni. Kalau seni untuk seni, orang yang tidak mengerti tentang seni tidak bisa ikut menikmatinya, bagaimana ceritanya? Makanya seni untuk berdakwah.”

Sesudah masa Hindia Belanda, ketika pencak silat tidak lagi digunakan sebagai antisipasi kontak fisik melawan penjajah, fungsinya pun berubah. Ketika para murid telah mendapatkan pengajaran agama dari institusi formal seperti sekolah atau institusi informal lainnya seperti pengajian, silat digunakan untuk mempertahankan diri, terlebih saat ini yang diwarnai banyak kasus perampokan, perogolan, dan penculikan. Belajar ilmu silat paling tidak dapat digunakan untuk menanggulangi tindak kejahatan yang dialami. Intinya belajar silat adalah yakin, pecaya diri, dan perasaan minat atau tertarik agar berani menghadapi lawan yang hendak melakukan kejahatan. Makna dan fungsi silat saat ini disesuaikan dengan kebutuhan generasi muda Pulo tanpa menghilangkan akar budayanya, yaitu inti dari silat itu sendiri, ilmu hikmah.

109

Or

ang Pulo ar

ang

110

Or ang Pulo di Pulau K ar ang Lenong di Pulo

“Golok gue golok ciomas, potong seperak potong mas. Lo ngomong jangan terlalu panas, gue cacah seperti nanas.”

Bebodoran dalam bahasa Sunda merupakan salah satu bentuk lelucon atau lawakan. Selain dikenal sebagai bagian dari kesenian lenong, bebodoran di Pulo juga menjadi nama makanan yang terbuat dari beras ketan dan dibalur kelapa parut, berasa sedikit manis. Penganan ini sebenarnya seperti kue lupis tanpa kuah gula merah cair, dapat dimakan begitu saja dengan baluran kelapa parut. Kue ini yang menemani kami beromantisme dengan pak Nawawi tentang kesenian Lenong yang pernah dipimpinnya. Kini, pak Awi (panggilan akrabnya) tidak lagi bermain lenong, namun mengetuai kelompok nelayan seafarming. Ingatan pak Awi tentang lenong yang pernah dipimpinnya masih sangat lekat, sehingga fasih menceritakan masa-masa jaya ketika menjadi seorang jagoan di pentas lenong.

Dalam pentas lenong, pak Awi tidak pernah menjadi bebodor atau tukang lawak. Beliau lebih sering menjadi jagoan, centeng dari saudagar yang memiliki banyak harta. Bebodor sendiri dalam lenong adalah pembuka atau pengawal cerita. Pentas lenong selalu diawali dengan lawakan selama beberapa menit sebelum masuk ke inti cerita sesungguhnya. Dalam adegan ini, pemain lenong biasanya mengeluarkan banyolan-banyolan yang terkait dengan masalah aktual di lingkungannya. Di dalam adegan ini dapat terlihat ekspresi-ekspresi spontan bermuatan lawak yang dirasakan baik oleh pemain maupun penonton. Ekspresi spontan ini yang sama-sama dimiliki dan sedang dirasakan oleh mereka yang terlibat dalam pertunjukan tersebut. Bebodor berfungsi sebagai pencair suasana dan mengundang

111

Or

ang Pulo ar

ang

daya tarik penonton agar lebih banyak penonton berdatangan. ”Bebodor itu adalah lawak, bebodor itu adalah lenong. Bukan makanan, kalau di lenong itu kan yang paling ditunggu lawakannya. Bebodor itu yang bawa cerita yang meramaikan penonton. Bebodor di kue itu belum lama, dulu ada lepet dan selingkuh. Kenapa dinamakan selingkuh, karena di Pulo banyak yang berselingkuh. Seperti halnya kue kolong, di Pulo banyak terjadi orang yang jahati bini orang, ketika lakinya dateng, ngumpetnya di kolong. Alia begente lebih lama diketahui orang Pulo.”

Peran jagoan yang selalu dimainkan pak Awi mensyaratkan mampu berpantun dan bermain silat. Unsur pantun dan silat selalu menjadi bagian tersendiri dalam pentas lenong. Sebelum kedua jago melakukan adu silat biasanya diawali dengan beradu pantun. Misalnya, ketika dia berperan sebagai jago atau centeng seorang saudagar kaya raya, lantas hendak merampas harta saudagar lainnya, terlebih dahulu beradu pantun. Adu pantun dan silat dilakukan oleh kedua centeng saudagar. Pantun pembuka ini biasanya adalah ”Sebelum lu ambil harta gua, lu langkahin dulu mayat gua.” Setelah, pantun pembuka ini, kedua centeng memperlihatkan kembangan-kembangan silat, mengambil ancang-ancang hendak menyerang satu sama lain dengan jurus masing-masing. Saat saling berhadapan dan mengambil ancang-ancang kembali pantun dilontarkan yakni, ”kesana tukang kemari tukang, tukang belarakan. Lo nantang gua nantang, gua pukul mukanya terberak-berak”. Lalu, dilontarkan lagi

pantun lainnya yakni, ”golok gue golok ciomas, potong seperak potong mas, lo ngomong jangan terlalu panas, gua cacah seperti nanas.”

Unsur pantun dan silat dalam lenong memiliki fungsi sendiri. Lenong sebagai bentuk ekspresi kesenian rakyat menempatkan pantun dan silat sebagai refleksi situasi yang sedang dihadapi oleh masyarakatnya pada masa tertentu, dalam hal ini Orang Pulo. Pantun yang digunakan sebelum dilakukan adu silat baik dalam lenong maupun silat di dunia nyata merupakan bentuk kalimat penyemangat agar si pengguna silat lebih percaya diri. Hal ini terkait dengan fungsi silat, yaitu digunakan untuk mempertahankan diri maka kalimat penyemangat menjadi pemotivasi pelaku silat agar lebih percaya diri menghadapi orang yang berniat jahat. Sama halnya dengan yang dihadapi oleh kedua centeng, demi melindungi harta saudagarnya, mereka mempergunakan silat untuk mempertahankan diri. Maka pantun digunakan sebagai motivasi agar lebih percaya diri menghadapi lawan.

Pantun dilontarkan kemudian para centeng beradu silat di atas panggung hingga salah satu pihak ada yang menang. Pemenang adu silat berhak ”menggarong” harta saudagar yang kalah. Cerita lenong selalu memiliki nilai moral, seperti yang dikatakan oleh Kleden (1994), bahwa dalam cerita lenong selalu memenangkan pihak yang baik dan pihak yang jahat akan kalah.

Cerita dalam lenong, baik bebodoran maupun keunggulan pihak baik terhadap pihak yang jahat merupakan refleksi situasi yang sedang dialami oleh Orang Pulo pada saat lenong secara utuh dipentaskan. Lenong merupakan kegiatan kesenian yang merefleksikan dan mempermasalhakan tata kehidupan dan nila-nilai serta norma-norma yang ada pada masyarakat

112

Or ang Pulo di Pulau K ar ang

pendukung (Danandaja, 1983: h. 18). Pentas lenong secara utuh saat ini hanya bisa diceritakan pak Awi karena tidak dapat lagi dilakukan pada saat ini, dilatari oleh berbagai sebab. Salah satu yang paling utama adalah tidak adanya regenerasi pemain karena minat anak muda di Pulo untuk mempelajari lenong minim.

Pak Awi saat ini hanya dapat beromantisme mengenang kejayaan lenongnya dulu. Pemain lenong Cinta Damai miliknya dahulu berjumlah 25 orang termasuk pemain alat musik gong, gambang, kromong, gihan, genjring, dan ada juga yang berperan sebagai pelantun lagu-lagu tidak lagi mementaskan lenong secara utuh. Bentuk kesenian lenong ini mengalami perubahan seiring aktivitas para anggotanya yang juga berubah. Bentuk yang tidak utuh ini dapat ditemui saat arak-arakan untuk hajat baik pernikahan maupun sunatan. Para anggota lenong saat ini berperan sebagai pengarak penganten keliling pulau dengan membunyikan beberapa alat musik yang masih tersisa dari grup Cinta Damai. Sambil bernyanyi dan membunyikan alat musik, beberapa mantan anggota grup ini mengarak penggelar hajat, seperti pengantin sunat, berkeliling Pulo.

Perubahan yang dialami oleh grup Lenong Cinta Damai dapat dilihat sebagai metafor perubahan yang sedang dialami oleh Orang Pulo. Dahulu Lenong yang pernah ada sejak tahun 1960-an sampai 1990-an selalu sejalan dengan perubahan yang terjadi pada masyarakat. Ada masa-masa indah ketika Lenong Pulo pernah diundang di berbagai acara hingga ke Tangerang dan beberapa pulau lain dengan menampilkan cerita-cerita yang membuat penonton merasa larut di dalamnya. Sejalan dengan apa yang dikatakan Esten, perkembangan lenong sebagai teater rakyat selalu mengikuti perubahan yang terjadi dalam masyarakat pendukungnya. Lenong merupakan

ceriminan dari kehidupan Orang Pulo. Perubahan struktur sosial dan tata nilai yang ditandai dengan semakin tua usia pelakon sehingga terjadi peralihan orientasi yang berfokus pada penguatan ekonomi rumah tangga, memengaruhi perkembangan di dalam kehidupan lenong tersebut. Pengaruh tersebut bukan saja mengakibatkan terjadinya perubahan dalam bentuk kesenian tersebut, tetapi pada tingkat tertentu dapat mengikis habis unsur esensinya, sehingga pada akhirnya kesenian tersebut dirasakan asing dan tidak dikenal lagi (Esten, 1983: h. 111-112).

Merujuk pada ingatan pak Awi, lenong yang pernah dipimpinnya mengalami masa kejayaan justru pada era 1980an sampai awal 1990. Memasuki tahun 1990-an, lenong mulai ditinggalkan. Banyak faktor yang menyebabkan lenong menguap. Di antaranya, pertama, para pemain lenong yang sudah menginjak usia tua memilih beristirahat dan fokus pada penguatan ekonomi rumah tangga. Sayangnya, parkirnya generasi tua pemain lenong tidak melahirkan generasi penerus yang mumpuni. Kedua, masuknya jenis seni modern yang lebih digemari generasi muda. Sebagai seni tradisi, lenong Pulo yang hidup di tengah kehidupan masyarakat muslim tradisional tidak berlangsung tenang. Periode tersebut ditengarai sebagai masa dimana orang-orang yang semula belajar ilmu agama di Darat mulai pulang dengan membawa pengetahuan baru ke Pulo. Pengetahuan ini menempatkan Islam beroposisi terhadap seni tradisi sehingga lenong harus minggir dan parkir seterusnya sebagai ruang ekspresi berkesenian masyarakat.

Menyebut jenis lenong ini, maka ia menjadi sangat akrab dengan Betawi. Tampaknya lenong yang pernah hidup di Pulo tidak lepas dari Darat. Diketahui bahwa lenong yang pernah ada di Pulo hingga 1990-an memang diawali oleh

pembelajaran dari Darat (Jakarta). Tetapi ketika tiba di Pulo, ia mengalami improvisasi dari para pemainnya. Lagu-lagu dan pantun yang dilantunkan sangat identik dengan lagu-lagu atau pantun bercorak Betawi.

Lenyapnya tradisi lenong juga memerlihatkan perubahan bahwa Orang Pulo merasa lenong bukan lagi milik mereka. Kesenian tradisional, khususnya teater tradisional, akan berkembang atau bahkan lenyap sesuai perkembangan masyarakat pendukungnya. Dengan kata lain, teater tradisional tidak bisa melepaskan diri dari tuntutan masyarakat pendukungnya. Dengan demikian teater tradisional akan terus berubah sampai titik tertentu sesuai kondisi sosial budaya pendukungnya. Perkembangan teater tradisional ini telah membawa teater tersebut sampai