• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bisri Effendy, Antropolog |

137

Or

ang Pulo ar

ang

masuk wilayah bisnis; dan usaha bisnis yang dimasukinya pun tergolong sektor pinggir dari keseluruhan investasi dan bentuk-bentuk bisnis yang dimiliki kelas menengah Jakarta. Lebih mengerikan lagi, seperti disinyalir oleh penelitian Rosida dan kawan-kawan ini, investasi orang luar di Kepulauan Seribu telah mengakibatkan 75 % aset di wilayah itu kini beralih dikuasai oleh “orang asing”.

Oleh sebab itu, tidaklah berlebihan kalau dikatakan bahwa perkembangan mutakhir Kepulauan Seribu justru mempertegas terjadinya enclave-enclave di pinggiran gemerlap resort, motel, hotel, dan lapangan golf. Jika sebelum perkembangan itu terjadi Kepulauan Seribu merupakan enclave dari daratan Jakarta, maka kini sebagian besar pulau benar-benar menjadi enclave dari sejumlah pulau yang telah tersulap menjadi gemerlap, disamping masih tetap menjadi “kantung pinggir” dari Jakarta. Kehidupan keseharian “orang pulo” pun memperlihatkan pemandangan yang kontras dengan para wisatawan yang hadir di Kepulauan Seribu untuk istirahat, menikmati alam bahari, maupun untuk melihat-lihat pulau dan kesederhanaan penduduknya yang terlanjur dikonstruksi eksotis.

Terjadinya enclave-enclave itu, seperti dikatakan sejumlah kritikus pembangunan, merupakan dampak dari pembangunan di negeri ini yang secara umum cenderung tidak memihak pada massa rakyat dan salah konstruksi terhadapwarga yang seharusnya sebagai subjek selalu diposisikan sebagai objek, sehingga kepentingan-kepentingan makro yang hanya bisa diakses oleh elite jauh lebih dikedepankan ketimbang kepentingan-kepentingan warga kebanyakan. Dalam kenyataannya, potret seperti di Kepulauan Seribu diatas juga terlihat sangat nyata di sejumlah tempat di Indonesia. Pembangunan Batam-Bintan sebagai kawasan industri “berteknologi tinggi”, bagian dari kerjasama SIJORI (Singapura, Johor, Riau) di tengah hamparan pulau-pulau kecil yang “tertinggal”, barangkali merupakan salah satu contoh yang menarik. Sejak sekitar 20 tahun terakhir, pulau-pulau kecil di sekitar SIJORI telah menjadi enclave-enclave dan penduduknya pun menjadi marjinal dan terengah-engah menghadapi modernitas (sosial, ekonomi, politik, dan kebudayaan) Batam-Bintan yang berkembang melejit di luar “koridor” masyarakat sekitar.

Penelitian Rosida dan kawan-kawan ini, bisa dipahami karena ini, lagi-lagi, adalah penelitian awal, memang tidak mengungkap secara detail bagaimana “orang Pulo” meresistensi proses marjinalisasi tersebut. Tetapi dari paparannya tentang kesenian, bahasa, dan gaya hidup (lifestyle) terlihat bahwa kecenderungan untuk mimikri menjadi dominan. “Orang Pulo” khususnya dari Pulau Panggang, Pramuka, dan Karya yang berasal-usul dari berbagai daerah seperti Mandar, Bugis, dan Banten tidak memiliki jenis kesenian yang mungkin merupakan perkawinan dari etnik asal sehingga khas Pulo, sebaliknya mereka mengadopsi atau meniru (mimikri) sepenuhnya lenong, kesenian Betawi dengan lakon-lakon yang sesungguhnya umum dilakonkan di daratan Jakarta. Dalam hal bahasa, “orang Pulo” menggunakan bahasa Melayu dengan sejumlah leksikon tertentu yang hanya dapat dipahami dalam konteks setempat. Dengan mengutip penelitian Ridwan Maulana (2009) tentang bahasa Kepulauan Seribu, penelitian ini percaya bahwa bahasa Melayu dan Bugis dengan leksikon-leksikon tertentunya merupakan bahasa “orang Pulo” yang dengan itu mereka membangun identitas kulturalnya. Pencaksilat yang cukup berkembang di Pulau Panggang, terlalu sulit dikategori sebagai asli Pulau, dan hanya mungkin terbawa-serta oleh migran dari Banten.

Penjelasan tentang respons-respons “orang Pulo” menjadi sangat penting, bukan hanya karena sekedar untuk memerlihatkan “teater” pertarungan kebudayaan di tengah-tengah masyarakat yang kini terkepung modernitas, tetapi juga

138

Or ang Pulo di Pulau K ar ang

menunjukkan kearifan – dan keadilan – kita dalam memandang bahwa bagaimanapun dan betapapun marjinalnya sebuah komunitas – dan entitas kebudayaan – selalu memiliki potensi dan kemampuan untuk melakukan negosiasi kebudayaan atau, meminjam istilah Anna L. Tsing, politik marjinalitas, sebuah kemampuan membangun siasat dan negosiasi terhadap kehadiran kekuatan-kekuatan luar yang asing dengan tetap berada pada posisi marjinalitasnya. Dengan mengakui potensi dan kemampuan komunitas marjinal, kita bukan saja telah arif dan adil memandang warga komunitas sebagai subjek-subjek yang independen merumuskan dirinya, tetapi juga telah menempatkan ilmu pengetahuan dengan penelitian sebagai basis utamanya untuk menuju perananya yang terpenting: membebaskan dan emansipasi. Tsing, dengan meneliti Dayak Maratus di Kalimantan Selatan yang terkepung pembangunan tambang, menunjukkan dengan baik bagaimana kemampuan Dayak Maratus melakukan negosiasi secara aktif terhadap pembangunan dengan berbagai siasat termasuk penafsiran ulang (dekonstruksi) terhadap makna pembangunan, penciptaan budaya tanding, dan permainan politik linguistik dengan tetap pada posisi ke-Meratus-an yang marjinal. Teori-teori sosial kritis menegaskan bahwa setiap kekuatan besar beroperasi di tingkat mikro, selalu disambut dengan kekuatan-kekuatan antitesis, seperti hegemoni – kontrahegemoni. Menangisi kebudayaan lokal yang tercabik-cabik dan hilang, hanyalah sebuah tindakan simplistis terhadap potensi dan kemampuan para pemilik kebudayaan lokal. Dengan konsep friction yang mengandaikan sirkulasi global mengalir deras tetapi sekaligus potensial menciptakan perlawanan, Anna Tsing menekankan bahwa di dalam analisis global-lokal, yang terpenting adalah perhatiannya pada praktik-praktik mikro dimana kemampuan kebudayaan lokal mengartikulasikan dirinya.

Kemampuan melakukan dan mengembangkan politik marjinalitas tersebut dapat diketahui dalam pentas peratungan “orang Pulo” sebagai kekuatan kebudayaan yang secara intensif berhadapan dengan kekuatan-kekuatan ekonomi, politik, dan kebudayaan yang hadir simultan di sana. Keberadaan “orang Pulo” yang cukup lama dalam posisi marjinal dari daratan Jakarta memastikan kita bahwa pertarungan-pertarungan kebudayaan telah lama terjadi dan semakin intensif ketika belakangan investasi modal membanjir di Kepulauan Seribu. Adalah suatu yang sulit dipercaya bahwa dalam konteks seperti itu, “orang Pulo” menjadi pasif, hanya mampu melakukan mimikri, dan tidak menggunakan kemampuannya sebagai subjek kehidupan.

Perspektif yang terakhir itu penting ditegaskan disini, karena pengalaman perjumpaan “orang Pulo” dengan modernitas tersebut belum berakhir, bahkan mereka akan menghadapi kekuatan dahsyat berikutnya, Revolusi Biru yang kini sedang dirancang oleh elite politik kita. Dalam wujudnya yang paling nyata, Revolusi Biru akan berupa regulasi-regulasi yang mengatur tatanan laut dengan seluruh pernik-pernik dan konsekuensinya seperti halnya agraria yang mengatur pertanahan. Para pengamat pertanahan dan ekonomi pedesaan percaya bahwa Revolusi Biru akan mengikuti kegagalan pendahulunya, Revolusi Hijau di zaman Orde Baru yang justru melahirkan diferensiasi sosial, monopoli kepemilikan tanah dan akses pembangunan, dan kemiskinan petani. Jika Revolusi Biru beroperasi, dapat dipastikan bahwa problem-problem yang dihadapi “orang Pulo” semakin kompleks, dan pertarungan pun akan semakin liat.

Wassalam

139

Or

ang Pulo ar

ang

pada keyakinan dan