• Tidak ada hasil yang ditemukan

“Pulo Panggang masih muda usianya....”

(Bang Mamok, pakar karang asli Pulo)

S

aat Lebaran Haji bulan November 2011, anak dan cucu pasangan Husni dan Rumenah berkumpul di rumah tabon di Pulo Panggang. Saat anggota keluarga ini bercengkerama, bang Mamok, salah satu menantu mereka, dengan antusias menanyakan asal bongkah karang yang tergeletak di samping rumah tetangga mereka, pak Jarwanto. Rupanya, sang tetangga tengah membuat sumur air dengan cara mengangkat bongkah-bongkah karang itu sampai penggalian berhenti pada kedalaman sebelum dua meter dan air tanah tetap tidak ditemukan. Bang Mamok, sambil mengamati bongkahan tersebut, berujar karang tersebut mati pada saat masih berada di dalam air laut. Dia menyimpulkan karang-karang ini merupakan bagian dari dasar Pulo Panggang. Untuk itu, bang Mamok bisa menjelaskan dengan baik, Pulo dimulai dengan kehidupan (binatang) karang yang menyediakan wadah bagi pembentukan gosong yang selanjutnya memungkinkan munculnya daratan pulau. Saat cerita ini bergulir, pulau karang ini berada pada masa pemerintahan berdaulat di negara kepulauan terbesar, Republik Indonesia. Salah satu ancaman pemanasan global bagi Pulo adalah karamnya pulau karang ini. Di usianya yang masih muda, ia terancam karam.

Saat itu, kami menyaksikan berkumpulnya sebuah keluarga dengan anak dan cucu yang tiba dari Pulo Pramuka dan tempat-tempat di luar Pulo, baik dari Darat atau dari pulau-pulau bagian Pulo Seribu. Tiga generasi berkumpul, dengan rentang 81 tahun antara sang kakek dan cucu termudanya. Keluarga ini berakar pada generasi kedua yang

tiba di Pulo dari Darat, Cilegon. Perhitungan kasar sekitar seratus tahun untuk empat generasi keluarga ini. Ihwal tentang Pulo adalah percobaan historiografis untuk merangkum kisah dari masa ke masa ketika kelompok manusia melintasi perairan Pulo Seribu untuk sekadar singgah, saat penghunian telah membentuk permukiman, masa pembentukan masyarakat di Pulo, hingga penguatan identitas Orang Pulo.

Kami menggunakan Jakarta sebagai konteks kawasan untuk merangkai ihwal pulau karang ini. Tidak semata karena Jakarta menjadi pengatur terkini administrasi pemerintahan untuk Pulo Seribu. Tapi, Jakarta yang purba sampai yang megapolitan adalah Darat yang kami percaya setidaknya memberi wajah masa kini dari dimensi alam dan sosial budaya Pulo. Bang Yos, Gubernur DKI Jakarta periode 1997 – 2007, saat Indonesia berusaha keluar dari krisis multidimensi milenium, dalam sambutannya meminta agar Sejarah Perkembangan Kota Jakarta dari Uka Tjandrasasmita dkk. (2000) dimanfaatkan oleh masyarakat Jakarta. Buku ini membantu kami melihat Jakarta dari yang purba sampai megapolitan. Namun, kami juga mencoba memperhatikan dimensi sosial-kemasyarakatan yang disusun oleh Kees Grijns dan Peter J.M. Nas dalam Jakarta Batavia, Esai Sosio-Kultural (2000). Pengetahuan dari hasil penelitian dan kajian sebelum ini masih terbatas namun kami rangkai sebagai lintasan peristiwa.

Pulo Sebelum Kalapa

(ca. 4.500 tahun yang lalu s.d. abad ke-11 M) “Ada Padasan Masjid, itu kolam dari cekungan karang.” (Bu Mahar, aktivis lingkungan di Pulo)

Kami menggunakan tanggapan ini sebagai data awal untuk mencari kedangkalan permukaan Pulo. Jika Pulo masih muda usianya, kapankah pulau karang ini layak huni dan apa yang tersedia bagi orang jika perlu singgah, apalagi menetap? Inilah yang membawa kami pada zaman purba dari Jakarta. Sepertinya, Pulo sebelum Kalapa sudah memungkinkan untuk disinggahi tetapi belum memiliki daya dukung untuk penghunian. Melintasi Pulo Seribu pada masa itu bisa jadi sekadar melewati perairan dangkal dengan karang dan gosong, bahkan kapal terancam karam karena tidak mampu

45

Or

ang Pulo ar

ang

46

Or ang Pulo di Pulau K ar ang

menandai kedalaman perairan. Informasi cekungan karang di sebelah selatan Masjid menandai tipisnya ketebalan lapisan tanah pengisi daratan pulau karang ini. Sebagaimana foto koleksi pak Jailin yang merekam kegiatan “ABRI Masuk Desa” tahun 1980-an: jalan di depan Kelurahan masih ditandai dengan tonjolan dari bongkah-bongkah karang.

Meninjau karya Th. Verstappen (1953), daratan pulau di Pulo Seribu mulai muncul setelah terbentuknya Teluk Jakarta, atau paling tidak setelah 5.000 tahun yang lalu (Surjomihardjo, 1977: h. 13). Wajah masa kini Teluk Jakarta merupakan “endapan puing berkipas” yang dibuat oleh erosi air, terutama oleh sungai-sungai yang bermuara di perairan utara Darat, mengisi Basin Ciputat dan selanjutnya membentuk Dataran Rendah Jakarta dan Teluk Jakarta. Antara 10.000 sampai 7.000 tahun yang lalu (Tomascik, 1997), terumbu karang mulai membungkus bukit-bukit dari dataran tinggi berumur Plestosen yang berdiri di atas Platform Seribu. Peristiwa ini berlangsung sesudah Zaman Es Dunia yang terakhir, pada saat permukaan air laut berada di ketinggian dua sampai tiga meter di atas permukaan laut masa kini. Terumbu karang ini tumbuh tinggi

semenjak paling tidak 8.000 sampai 5.000 tahun yang lalu, dan mulai tumbuh melebar semenjak 4.500 tahun yang lalu. Sebuah penanggalan karbon (14C) yang diambil dari karang keras di P. Putri Besar (Kel. P. Kelapa Kec. Kep. Seribu Utara), menunjukkan umur 4.400 ±100 tahun yang lalu (Park, 2010: h. 67). Goba dan Gusung Panggang di P. Panggang mungkin menjadi salah satu contoh dari uraian Thomas Tomascik tentang pembentukan endapan pasir di atas karang dan gosong yang terjadi di bagian selatan Pulo Seribu.

Selanjutnya, kapankah ekosistem hutan pantai terjadi, yang mungkin didahului oleh ekosistem hutan bakau? Batu karang menjadi lapuk dan kegiatan abrasi air mengawali terbentuknya daratan. Humus dan tanah akan tercipta ketika tumbuhan dan pohon-pohonan menjadi lanskap pulau karang, dan memungkinkan adanya air tanah yang tawar. Satrio (2009) menemukan air tawar di Pulo berada pada kisaran kedalaman 150 meter, namun telah mengalami intrusi air laut. Air tawar ini paling tidak berumur kurang lebih 20.000 tahun yang lalu. Air tawar dan kayu keras adalah salah satu kebutuhan mutlak untuk mengarungi lautan pada saat teknologi pelayaran masih mengandalkan perahu

dari kayu dengan kayuh dan layar.

Mungkinkah Pulo ada ketika para pengarung tua lautan melintasi perairan Pulo Seribu seiring dengan menyebarnya para penutur Austronesia? Tidak terdapat penanda material di Pulo sendiri yang dapat membantu kami mengetahui kapan Pulo layak dihuni. “Biung musti ada kalau mau buat kapal.” (Pak Rachmat, ahli kapal dari Pulo)

Di ujung Barat dan Timur dari

Pulo, juga di Jembatan, masih dapat ditemui Orang Pulo membuat perahu kayu. Biung, perkakas bertepi lebar dan tajam berbahan logam, lazim dan wajib dipergunakan Orang Pulo ketika membuat perahu dari kayu. Beliung,

47

Or

ang Pulo ar

ang

bentuk yang mirip dengan biung, dari pecahan batu yang diupam lazim ditemukan di daerah perbukitan di wilayah Tangerang dan Bogor dan di sekitar aliran sungai yang bermuara di sekitar Teluk Jakarta dan di bagian barat dari Pesisir Utara Laut Jawa, bersama perkakas batu jenis lainnya, wadah tanah liat, benda-benda logam dan perhiasan (Tjandrasasmita, 2000: hal. 7-8 atau Djafar, 2010: h. 123-6). Perkakas batu dan wadah tanah liat tersebut sering dihubungkan dengan budaya prasejarah bercorak neolitik yang membawa dan mengembangkan tradisi bercocok-tanam di Asia Tenggara pada paling tidak 5.000 tahun yang lalu. Setidaknya sesudah 3000 tahun yang lalu (Bellwood, 2000: h. 298-341), telah berlangsung pembukaan hutan di Jawa dan Sumatera. Beliung, artefak prasejarah ini, yang dibuat dari cangkang Kima - Tridacna gigas atau Hippopus hippopus - (Bellwood, 2000. h. 279), sering dikaitkan secara arkeologis sebagai perkakas yang cocok untuk mengolah batang kayu keras. Pada 1000 SM, hutan-hutan di Jawa dan Sumatra telah dirambah secara massal oleh manusia dan tepian-tepian sungai yang bermuara di sekitar Teluk Jakarta sepertinya telah dipenuhi kegiatan-kegiatan dari pengolahan kayu hasil hutan.

Sesudah masa di mana kehidupan pesisir bercorak neolitik dan perundagian logam menyebar dari muara Sungai Cisadane sampai dengan muara Sungai Citarum (Djafar, 2010: h. 123-6), nampaknya kehidupan di pesisir pantai berlanjut dengan ciri India. Di Kampung Tugu daerah Koja di Jakarta Utara, ditemukan batu bertulis Prasasti Tugu yang menandai peristiwa peresmian saluran sungai Gomati dan Candrabhaga pada tahun ke-22 pemerintahan Pûrnawarman dari Kerajaan Tãrumãnagara. Pada abad ke-5 sampai abad ke-7, Tãrumãnagara merupakan pusat politik dan perdagangan bercorak India di bagian barat Pulau Jawa, meliputi tiga provinsi Indonesia masa kini. Hasan Djafar (2010:

h. 26), meyakini bahwa kompleks percandian Batu Jaya di Karawang menandai adanya pusat kegiatan perdagangan internasional di bagian barat Pesisir Utara Jawa, berpusat di sekitar muara sungai Citarum. Setelah abad ke-7, Tãrumãnagara kemungkinan berada di bawah pengaruh pusat lain dari seberang, Sriwijaya, yang berpusat di sekitar Palembang masa kini.

Pulo Masa Kalapa (<1527 M)

“Kenapa Orang Pulo kadang teriak “Pajajaran lu!”, padahal itu kan nama kerajaan?” (Bang Boma, penampung ikan tangkapan nelayan)

Ini ternyata umpatan Orang Pulo bagi orang yang tidak punya etika; selain bangkawara untuk seseorang yang dituding biang kerok kejadian tertentu. Orang Pulo bertanya-tanya, seperti kami

48

Or ang Pulo di Pulau K ar ang

juga. Seorang teman dari Bogor yang turut ke Pulo sempat tersinggung karena Pajajaran menjadi kata pusaka bagi orang Sunda. Apakah keterkaitan Pajajaran yang umpatan dan Pajajaran yang kerajaan?

Dulu di bangku sekolah, kita belajar tentang Kerajaan Sunda Pajajaran yang mulai tercatat dalam sejarah semenjak abad ke-11 M dan menggunakan sebuah tempat bernama Kalapa (Kelapa) di Teluk Jakarta sebagai kota pelabuhan dan hingga sekarang masih ada nama tempat Sunda Kelapa (Tjandrasasmita, 2000: h. 10-12). Pulo terkadang dikaitkan secara tidak langsung dengan Pajajaran, misalnya Muchtar (1960: h. 11) meneruskan informasi bahwa Pulo berperan sebagai tempat perlindungan pelaut-pelaut Bugis pada saat Pulo Kelapa (di Kel. P. Kelapa, Kec. Kep. Seribu Utara) berperan sebagai tempat anjangsana raja Sunda. Muchtar juga memiliki kesan khusus tentang lapangan olahraga Pulo Kelapa, yang dianggap sebagai bekas taman Kerajaan Sunda Pajajaran, demikian halnya dengan jalan utama Pulo Kelapa dan adanya beringin tua (kemungkinan pohon yang tumbang pada kejadian léso angin yang melanda Pulo Kelapa pada tanggal 25 Januari 2012). Jika Pulo Masa Kalapa sudah memiliki perairan selat antara Pulo Panggang dan Pulo Karya, bersama goba Pulo Panggang, artinya hanya ada dua penanda strategis kedudukan Pulo yang dapat diperoleh pada saat kami belum memperoleh sumber-sumber tertulis dari berita asing dan catatan setempat masa Sunda Pajajaran. Pada 29 Juli 1527 Orang Portugis memasang padrão, yang baru ditemukan pada 1918 di Jalan Cengkeh di Dekat Pasar Ikan Jakarta Utara, untuk menandai persekutuan Kerajaan Sunda Pajajaran dan orang Portugis yang terjadi lima tahun sebelumnya, 21 Agustus 1522 (Leirissa, 1977:

h. 22-23). Penandatanganan perjanjian antara Kuasa dari Banten Girang dan Kuasa Portugis untuk kota Melaka (Malaka, Malaysia) berlangsung di Pelabuhan Sunda yang berlokasi di Teluk Banten. Pada saat itu, Banten Girang merupakan salah satu negeri yang tunduk pada Kerajaan Sunda Pajajaran yang berpusat di Pakuan (sekitar Bogor pada masa kini). Banten Girang, mungkin bertindak selaku wakil Pakuan atau sedang memperkuat posisi sendiri, menyerahkan sebidang tanah di sebelah timur muara Sungai Cisadane sebagai tempat pembangunan benteng pertahanan Portugis yang bersedia melindungi Banten Girang dari ancaman pusat politik bercorak Islam di sebelah timur, Demak dan vasalnya, Cirebon (Guillot, 2008: h. 31-64).

Orang Portugis mencatat adanya sejumlah tempat di sepanjang Pesisir Utara dari Laut Jawa antara Banten Girang dan Kalapa, yang berperan sebagai pelabuhan-pelabuhan yang lebih kecil dibanding yang dua tersebut. Peta bertahun sekitar 1540 yang dipergunakan Claude Guillot (2008: h. 42) tidak menampilkan Pulo Seribu atau malah Pulo. Sebuah peta periode 1500 – 1699, Iava Maior e Nuca Antara, yang digubah Manuel Godinho de Eredia pada ca. 1630 menampilkan bagian kosong pada Laut Jawa yang menjadi kedudukan masa kini dari Pulo Seribu. Kami juga belum dapat meninjau isi Buku Pedoman Pelayaran Portugis tahun 1528. Pada bulan Desember 1526, dari enam kapal Portugis yang berangkat dari Melaka menuju Banten Girang, hanya tiga kapal yang mampu langsung mencapai Banten dan tiga kapal lain terbawa arus ke perairan timur dari Laut Jawa. Orang Portugis melalui perairan Palembang dan dihantam badai setelah melintasi Selat Bangka, tiga kapal pertama yang tiba di Teluk Banten mungkin melintasi perairan di sebelah barat Pulo Seribu.

49

Or

ang Pulo ar

ang

Keterangan lain dari masa sesudahnya, Pulo Masa Jakerta, bisa dipergunakan untuk memperkirakan penguasa perairan dan pulau-pulau di sebelah utara Kalapa. Tahun 1620, dokumen VOC—Kongsi Dagang Belanda untuk Hindia Timur atau populer Kompeni— menjelaskan ketentuan dasar pemerintahan Batavia bahwa Koning van Jacatra, Penguasa Jakerta sebelum berdirinya Batavia, memiliki yurisdiksi dan daerah “....disebelah utara sampai kelautan pula beserta kepulauan di sana...”. (Leirissa, 1977: h. 27-29). Penguasa Jakerta itu tampaknya mewarisi wilayah kekuasaan yang pernah dimiliki oleh Wakil Pakuan untuk bandar pelabuhan Kalapa. Artinya, Pulo Seribu pada masa itu telah ditandai sebagai bagian dari yurisdiksi Jakerta, namun tidak ada penyebutan nama kepulauan bagi orang Belanda.

Pulo Masa Jakerta (1527 M-1619 M)

“Masjid dibangun Zaman Para Wali.” (Orang Pulo)

Masjid Pulo, sekarang diberi nama Masjid An-Ni’mah, dalam Tuturan Pulo dibangun oleh salah satu wali (mungkin yang dimaksud adalah seorang ulama terpandang). Zaman Para Wali ini dikaitkan dengan masa pemerintahan Maulana Hasanudin di Banten. Menurut Tuturan Pulo, nama ini berada pada tulisan-tulisan (mungkin maksudnya prasasti batu –peny.) yang tercantum di Karang Cilaka di Pulo Kelapa. Karang ini dihancurkan oleh Angkatan Laut RI atas perintah Gubernur DKI Ali Sadikin (1965-1977), untuk memudahkan akses masuk perairan ke Pulo Kelapa. Orang Pulo meneruskan kisah bahwa para wali membangun masjid di Pulo Kelapa dan Masjid Pulo, namun yang kedua selesai lebih dahulu meski masjid di Pulo Kelapa lebih awal dimulai pembangunannya. Pada kesempatan lain, bu Mahar juga menceritakan kemiripan Masjid Pulo yang lama dengan Masjid Agung

50

Or ang Pulo di Pulau K ar ang

Banten. Maulana Hasanudin berkuasa tahun 1552 - 1570 (Lombard, 1990: h. 55), namun Masjid Agung Banten dibangun oleh Maulana Yusuf pada tahun 1559 walaupun bangunan ini tidak mungkin dibangun sebelum 1615 (Guillot, 2008: h. 79-80). Artinya, jika merujuk dibangunnya Masjid Agung Banten sebagai model bangunan, kemungkinan pembangunan Masjid Pulo baru setelah 1615.

Semenjak akhir abad ke-16, Banten telah menerima kedatangan kapal-kapal, besar atau kecil, dari berbagai tempat di Nusantara maupun seberang (Guillot, 2008: h. 241-290). Pada abad itu, Tubagus Angke, menantu Maulana Hasanudin meneruskan kuasa Jakerta dari tangan Fatahillah kemudian digantikan Pangeran Jayakarta atau Koning van Jacatra, yang disebutkan dalam dokumen Kompeni tersebut di atas (Tjandrasasmita, 2000: h. 12-14). Pada 27 Juni 1596, Cornelis de Houtman memimpin orang Belanda pertama yang tiba di Banten kemudian menyusur perairan di sepanjang Pesisir Utara Laut Jawa sesudah singgah di Jakerta antara 13 – 16 November 1596. Orang Belanda mungkin menggunakan Peta tahun 1597 dari Willem Lodewijcksz sebagai panduan pelayaran; ada kemungkinan peta ini telah digubah oleh G.P. Rouffer dan J.W. Ijzerman sesudah 1597. Dengan peta ini, kita dapat memperkirakan tempat-tempat yang dianggap penting di sekitar Pesisir Utara Jawa antara Teluk Banten sampai Teluk Jakarta. Pada periode ini, terdapat pencantuman P. Pari (kemungkinan Pulau-pulau Pari) di sebelah timur kedudukan P. Tonda (kemungkinan Pulau Tunda?) dan di sebelah utara kota pantai Tanahara (Tenara?).

Tanggal 22 Juni 1527 yang menjadi Hari Jadi Jakarta (Surjomihardjo, 1977. h. 17), Kalapa diganti nama Jayakarta oleh Fatahillah, pemimpin gabungan pasukan Banten, Cirebon, dan Demak setelah mengambil alih kota ini dari tangan penguasa lama Sunda Pajajaran. Tampaknya, Jakerta yang mewarisi kuasa Sunda Pajajaran atas Kalapa, tidak sepenuhnya memiliki kedaulatan atas pulau-pulau di perairan utara Teluk Jakarta. Misalnya P. Onrust yang berada di dalam Teluk Jakarta dianggap masuk ke dalam kekuasaan Banten (Tjandrasasmita, 2000. h. 14; Attahiyyat, 1991. h. 11-12). Namun, Pangeran Jayakarta justru memberi izin kepada Kompeni melalui kesepakatan antara tanggal 10-13 November 1610 untuk mengambil kayu-kayu dari pulau-pulau di Teluk Jakarta bagi keperluan konstruksi kapal. Kesultanan Banten baru melepaskan klaim atas Pulo Seribu sebagai wilayah kekuasaan pada tahun 1776 (Blink, 1905. h. 79), nyaris 100 tahun sesudah takluk kepada Kompeni (Guillot, 2000. h. 2009). Pulo, pada masa itu tampaknya masih terra incognito.

50

Or ang Pulo di Pulau K ar ang

l t c

51

Or

ang Pulo ar

ang

Pulo Masa Kota Batavia (1619 M-1799 M)

“Mati Blanda!”

(Bang Pele, komedian Pulo dan kuncen TPU Pulau Karya) Bewoond (Bld.), yang berarti telah dihuni, adalah keterangan yang tertulis di bawah nama P° Pangang (P. Panggang) untuk kelompok pulau pada peta tahun 1761 dari Gerrit de Haan. Kami memperhatikan kedudukan Pulo terhadap pulau lain di sekitarnya, yaitu De zuid Wachter (P. Peniki), P° Cattok pulau Kotok), dan P° Ajer (Pulau-pulau Air). Di sebelah utara P° Pangang terdapat gosong dengan tiga pulau tanpa nama. Di sebelah barat P° Pangang, memiliki bentuk nyaris segi empat, terdapat dua pulau kecil tanpa nama dalam satu gosong. Sementara di bagian selatan P° Pangang, terdapat satu pulau dengan bentuk mirip Pulo Pramuka masa kini, namun berhubungan dalam satu gosong dengan P° Ajer.

Bukti-bukti sejarah masa VOC yang terekam di Pulo, adalah bangunan kantor kelurahan masa kini. Tahun 1960, di halaman Kantor Kelurahan, M. Muchtar (1960: h. 12) masih melihat dua buah meriam kuno yang dianggap peninggalan

masa VOC, berukuran panjang 1,5 meter dan garis tengah 20 cm untuk yang paling besar. Kedua meriam telah dipindahkan ke Darat menurut Orang Pulo, ada kemungkinan oleh Dinas Museum dan Sejarah DKI Jakarta (kami belum berhasil menelusuri keberadaan kedua peninggalan ini, walaupun Museum Bahari di Jakarta Utara lazim dipergunakan untuk menyimpan dan memajang peninggalan-peninggalan masa VOC dari wilayah sekitar Jakarta). Dari cerita yang diperoleh dari Orang Pulo, meriam tersebut mirip yang dipajang di situs perkotaan Kesultanan Banten. Kita mengetahui, ditandai dengan penyerbuan ke Palembang yang gagal pada tahun 1596, dua puluh tahun kemudian Kesultanan Banten akhirnya mampu mampu perairan Bangka-Belitung (Guillot, 2008. h. 205-206). Kekuasaan atas Selat Bangka merupakan hal penting untuk menjamin pelayaran niaga Banten menuju India sampai Semenanjung Arab. Bangka - Belitung juga menduduki posisi strategis secara militer, untuk menjamin kendali Banten atas wilayah pertambangan batu mulia di bagian barat Kalimantan. Politik perdagangan Kesultanan Banten ini tentunya memberi pengaruh, sedikit banyak, bagi Pulo Seribu yang berada di antara Teluk Banten dan Selat Bangka.

Di sekitar Pasar Ikan Jakarta Utara, terdapat tempat Galangan Kapal yang mulai digunakan oleh Kompeni semenjak tahun 1619 (A. Heuken dan G. Pamungkas, 2000: h. 65). Salah satu bangunan di Galangan Kapal adalah Gedung Utara, mulai berfungsi pada paling tidak tahun 1632, rusak terbakar tahun 1721, dan diperbaiki oleh tukang-tukang Tionghoa pada tahun 1812. Saat bangunan ini dipugar tahun 1998, terdapat genting bercap “Tan Liok Tiauw Batavia” dan “Steen-Bakkerij Tangerang” yang masih dalam keadaan sangat baik. Cap pada genting dan kualitas genting tersebut menjadi fakta

52

Or ang Pulo di Pulau K ar ang

bahwa kedua pabrik genting merupakan rekanan baik Kompeni dan ini mendukung keberadaan orang Tionghoa pada awal terbentuknya Kota Batavia serta hubungan antara Batavia dan Ommelanden. Genting dengan kedua cap yang sama, dipergunakan sebagai atap bangunan pendopo Kantor Kelurahan Pulau Panggang.

Pulo Masa Kota Batavia identik dengan periode pemerintahan Batavia oleh Kompeni (1620-1799). Pada tanggal 30 Mei 1619, Kompeni meruntuhkan kekuasaan Jayakarta dan mendirikan tempat baru di atas reruntuhan kota Jakerta yang kemudian disebut Batavia (Tjandrasasmita, 2000: h. 14-31). Pada 4 Maret 1621, VOC membentuk pemerintahan Stad Batavia (Kota Batavia), mencakup Kastil Batavia dan pemukiman baru di atas reruntuhan kota Jakerta, serta mengendalikan daerah di luar benteng Kota Batavia, Ommelanden (Wilayah Sekitar Kota). Stad Batavia en Ommelanden, Kota Batavia dan Wilayah Sekitar Kota mulai terbentuk, namun dengan batas-batas yang terus berubah meluas di bawah kendali Kompeni (sampai tahun 1790), kemudian Parlemen Belanda (1790-1795),

dilanjutkan oleh Bataafsche Republiek (1795-1806), berikutnya Het Koninkrijk Holland (1806-1811), dan terakhir oleh Inggris (1811-1816). Selama paling tidak dua abad, kita menyaksikan pertumbuhan pusat permukiman kota yang dikendalikan dengan cara orang Eropa, pengisian daerah luar tembok kota dengan koloni-koloni penduduk yang bukan dari Banten, Sunda, dan Jawa, serta pembentukan alamiah wilayah penunjang di sekitar kota yang bercirikan militer, dan pergerakan roda ekonomi kota yang berbasiskan Tionghoa.

Pada periode ini, Abdullah Saban, Inlandsche Kommandant (Komandan Pribumi) orang Sumbawa, diangkat tahun 1794 selaku Hoofd over Duizend Eilanden (Kepala Pulo Seribu) dan pada 1808 diangkat sebagai Letnan (F.d. Haan, 1910; dalam R. Ruchiat, 2011: h. 133-134). Rachmat Ruchiat menghubungkan tokoh ini dengan keberadaan Kampung Tambora di wilayah Jakarta Barat. Kronik keberaniannya menembus blokade Batavia oleh Armada Inggris pada 1800 dan keberhasilannya menghancurkan berik Inggris tahun 1807, diceritakan dalam Varia dari BKI Vol 27, No 1 (1879) dengan tajuk Dapper Gedrag Van Den Commandant Der Sumbawarezen, Abdoellah, Te Batavia. 1800. Kronik ini secara samar membuat kami tidak berhenti berimajinasi tentang keterkaitan peristiwa sejarah Abdullah Saban dan legenda Darah Putih.

Komandan Pribumi (Lohanda, 2000: h. 125-128), awalnya menjadi pemimpin milisi Kompeni dari orang Ambon, orang Bali, orang Banda, orang Bugis, dan orang Melayu, kemudian mereka memimpin kampung-kampung militer berbasiskan etnik di luar tembok kota Batavia. Pemerintahan Kota Batavia mengatur penduduk dalam pemukiman berdasarkan etnis asal (Siswantari,

53

Or

ang Pulo ar

ang

2000. h. 42-43). Saat itu dikenal istilah Commandant van Inlandsche Bevolking atau Inlandsche Commandant (Komandan) untuk suku-suku bangsa Nusantara dan Kapitein (Kapten) untuk golongan non pribumi (Tionghoa, Arab, Moor, Bengal, Tamil, Jepang, Papanger (Filippina), dan orang Mardijkers). Setiap pemimpin etnis ini memiliki duabelas aide (ajudan atau ajidan) yang membawahi bek atau wijkmeester sebagai pemimpin kampung-kampung. Konfigurasi ini berkembang, hingga tahun