dari mata pencaharian
yang dikaitkan dengan
gender.
Sumber: Laporan Bulanan Kel. P. Panggang bulan Oktober 2011
Tabel 3
Perkembangan Penghasilan Ekonomi Nelayan
No.
JumlahNelayan Bubu UsahaJenis PenghasilanPerbulan
Jumlah Tenaga Kerja
Lk. Pr.
Ket.Rp. 2.800.000 Bubu tambun
dan bubu selat 12 orang 1 24 Jumlah 12 Rp. 2.800.000 24
--Tabel 4Perkembangan Penghasilan Pedagang Kelontong
No.
JumlahPedagang Pedagang KuliJumlah PenghasilanPerbulan
Jumlah Tenaga Kerja
Lk. Pr.
Ket. Rp. 10.320.000 30 orang 1 30 orang 4 26 Rp. 10.320.000 30 orang 30 orang 4 26 Jumlah Tabel 5Perkembangan Penghasilan Pedagang Kaki Lima
No.
Jumlah Pedagang Jumlah Pemilik Pedagang Penghasilan Perbulan Jumlah Tenaga KerjaLk. Pr.
Ket. Rp. 26.038.000 53 orang 1 53 orang 45 68Jumlah 53 orang 53 orang Rp. 26.038.000 45 68
30
Or ang Pulo di Pulau K ar angfisik dan ruang sosial Pulo Panggang kian peka dan rawan sehingga mengakibatkan wajah sosial kemasyarakatan dan ekonomi rekat namun liat.
Secara tradisional, sistem ekonomi masyarakat Pulo bercorak kehidupan pesisir dan pulau-pulau kecil yang berbasis ekonomi nelayan tangkap dan budidaya di lingkungan perairan karang. Pulo Panggang dan Pulo Pramuka hanya berjarak belasan menit dengan menggunakan ojek, namun antarpulau berpenduduk yang terpisah berjarak tempuh rata-rata satu sampai dua jam pada saat laut tenang. Dalam keseharian di Pulo saat ini, para perempuan lebih banyak melakukan aktivitasnya di rumah, mendukung kegiatan pihak laki-laki yang 75% bermata pencaharian
sebagai nelayan tangkap atau budidaya, sehingga kaum lelaki dewasa lebih banyak menghabiskan waktu untuk melaut. Anak remaja laki-laki mulai berpartisipasi penuh atau paruh waktu membantu perekonomian keluarga. Perempuan pada umumnya memiliki keahlian mencari binatang laut di pinggir pantai atau di perairan dangkal, sementara para lelaki umumnya terampil memancing dan menangkap ikan menggunakan jaring.
Saat situasi perairan tidak memungkinkan untuk melaut, banyak nelayan yang mengubah kegiatan dari melaut dengan kegiatan apa saja yang dianggap menghasilkan. Perubahan mata pencaharian masyarakat Pulo, tak jarang menjadi pilihan yang tetap, karena dianggap lebih mampu menjamin kebutuhan ekonomi walaupun pergantian kegiatan tersebut tidak selalu mengarah ke darat, tapi tetap ke laut. Kini banyak juga orang Pulo yang memilih sebagai
tenaga teknis, misalnya guru, petugas kesehatan, petugas Satpol PP, dan lainnya, baik pegawai negeri maupun honorer. Profesi pedagang lebih sedikit dan terlihat lebih banyak dilakukan perempuan. Geliat ekonomi pariwisata juga memberi alternatif mata pencaharian, baik yang tetap sebagai usahawan wisata perjalanan atau produsen cenderamata atau yang paruh waktu sebagai pemandu wisata dan jasa transportasi wisata.
Kekerabatan
Secara kesukuan, Orang Pulo masa kini sudah sulit diidentifikasi, namun persentuhan dengan berbagai etnis tetap terlihat. Beberapa keluarga yang ditemui saat ini merupakan bentuk percampuran antaretnis. Jika ditanyakan langsung kepada Orang Pulo, jawaban yang didapat akan mengarah pada asal etnis Bugis, Mandar, Banten, Jawa, Sunda, Cirebon, dan Melayu. Pada tahun 1924, Kontrolir Belanda melaporkan identitas etnis
31
Or
ang Pulo ar
ang
di Pulo Seribu didominasi oleh Bugis dan Banten. Saat ini beragam etnis menyatu dalam satu identitas, Orang Pulo.
Ikatan kekerabatan Orang Pulo masih dianggap kuat karena masih memiliki pertalian darah antara satu keluarga dengan lainnya, baik yang berada dalam satu pulau berpenghuni, maupun dengan pulau lain yang dihuni. Jarak yang masih dapat ditempuh dengan kapal berukuran 5-20 meter, dimanfaatkan penduduk untuk tetap saling berkunjung, menghadiri hajat perkawinan, sunatan, kematian, acara hajatan pemerintah maupun saat lebaran.
Ikatan tersebut terbentuk secara intensif karena pernikahan antarkeluarga di Pulo, sehingga orang Pulo kerap terdengar mengatakan, “Dia masih saudara juga”. Pembentukan ikatan ini juga dimungkinkan oleh isolasi dan keterpencilan geografis di tengah laut, sehingga pertumbuhan masyarakat diawali oleh pernikahan endogami. Kehadiran para pendatang juga menjadi jalan untuk memperluas jaringan kekerabatan. Contoh ini kami temukan pada generasi awal yang dituturkan oleh Orang Pulo, yaitu kehadiran M. Rais (ne’ Rais) yang diundang oleh Sadeli bin Kohar (ne’ Deli) untuk mengajar mengaji, dan tak lama kemudian ne’ Rais dinikahkan dengan putri beliau. Tidak sedikit Orang Pulo yang saling berhubungan saudara angkat atau sepersusuan, karena niat saling membantu atau menafkahi anak terlantar atau yatim lazim ditemui di sini.
Selain itu, ikatan kekerabatan ini juga memungkinkan masyarakat nelayan Pulo pernah memiliki tradisi nyambang, saling memberi dan menerima di saat nelayan banyak memperoleh ikan, sebagai bentuk ikatan silaturahmi yang kuat. Namun seiring keberadaan ikan yang semakin sulit didapat, jangankan dalam jumlah yang banyak, jumlah
untuk mencukupi kebutuhan makan di rumah pun seringkali minim, bahkan sesekali kosong.
Kepercayaan dan Keyakinan
Orang Pulo saat ini mayoritas beragama Islam dan kurang dari 0,1% penduduk beragama Kristen. Islam kultural adalah warna klasik kehidupan beragama di Pulo dan pada beberapa waktu terakhir terlihat arus kuat Islam ideologis. Dalam keseharian, keyakinan keagamaan masyarakat Pulo juga muncul dalam kepercayaan mereka. Misalnya, muncul tabu di kalangan nelayan untuk melaut pada hari Jumat, sehingga mereka memilih berkumpul di masjid atau di tempat lain. Saat sholat Jumat juga merupakan waktu terbaik untuk mengumpulkan para lelaki Pulo dan mengadakan musyawarah.
Pada saat pergi ke laut, baik lelaki, perempuan, maupun anak-anak, memiliki doa-doa yang mereka takzimkan khusus untuk keselamatan mereka dari bahaya di pantai maupun laut.
32
Or ang Pulo di Pulau K ar angDoa-doa ini diturunkan dari generasi ke generasi secara lisan. Saat anak-anak bermain dan mencari remis di pantai atau berenang di laut, biasanya membawa bekal doa yang diajarkan oleh ayah atau ibu mereka. Contohnya, agar tidak menginjak lepoh (ikan batu) yang dapat mengakibatkan bengkak dan nyeri, anak-anak diajarkan berdoa sebelum bermain di pantai. Isi doa ini terutama bacaan ayat-ayat suci Al-Quran disusul oleh pelafalan mantera
Selain itu, kehidupan beragama juga dibina melalui pusat-pusat kajian, yaitu bale-bale (balai-balai) atau rumah para guru ngaji. Berdasarkan Tuturan Pulo, dikisahkan upaya para da’i atau pendakwah seperti Mursalin bin Nailin (ne’ Aing) yang mengumpulkan anak-anak muda untuk belajar silat kemudian diakhiri dengan belajar mengaji (nderes) di bale-bale rumah. Hingga kini, kegiatan nderes masih dapat ditemukan saat sore hari dan setelah shalat magrib. Madrasah diniyah yang dirintis oleh ne’ Aing juga masih ada meski dengan jumlah siswa yang naik turun. Selain majelis-majelis kecil tersebut, terdapat bangunan masjid An Ni’mah yang secara geografis memang terletak di tengah Pulo Panggang dan sejumlah langgar/ musala, yang tersebar di sejumlah titik tempat.
Dalam tatap muka yang lain juga terungkap adanya ajaran hikmah yang tersimpan dalam pengajaran pencak silat yang diciptakan oleh ne’ Deli, pencak silat Alif. Hikmah yang dimaksud adalah pegangan yang kuat pada akidah dan syariat agama Islam. Pada generasi orang tua di Pulo masih ditemukan nasihat agar memegang dan mempelajari ilmu Alif, yaitu percaya pada yang satu. Kegelisahan generasi orang tua dengan terkikisnya ajaran hikmah ini terasa dalam beberapa tatap muka. Anak-anak muda masa kini agaknya lebih banyak bermain dan kurang kemauan untuk belajar ilmu hikmah.
Bahasa
Dalam keseharian, orang Pulo menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa percakapan dalam logat yang identik dengan gaya Melayu, yang memberikan kesan dialek glottal. Orang Pulo memiliki artikulasi suara yang kuat, dengan struktur bahasa dan kosakata yang khas. Dalam beberapa kasus, muncul pertanyaan orang yang baru mengenal Pulo atau orang Pulo, tentang dari mana asal usul bahasanya. Secara etnis, suku Mandar dianggap paling tua, kemudian suku Banten, Bugis, Kalimantan, Sunda, dan Jawa.
Pembawaan bahasa yang nampak sebagai bahasa orang Pulo saat ini, terdiri dari empat gaya, yaitu gaya orang Kelapa yang kental dengan pengucapan vokal panjang dan bergelombang, orang Tidung yang masih dipengaruhi Tangerang pesisir, orang Untung Jawa yang masih kental kebetawian, dan Orang Pulo yang kental dialek Melayu. Dari keempat gaya tersebut, orang tetap menggunakan bahasa Indonesia dengan intonasi bergelombang, terdengar nyaring dan kemelayuan. Pulo sangat dipengaruhi oleh budaya Melayu, dilihat dari bahasa yang digunakan. Saat ini hanya Orang Pulo asal Bugis yang kekhasan penggunaan bahasanya masih bertahan.