• Tidak ada hasil yang ditemukan

ARAH REVITALISASI SISTEM PERENCANAAN PEMBANGUNAN

4.1. Menuju Sistem Perencanaan yang Ideal

Dalam implementasinya, UU SPPN dan UU KN harus pula mewadahi dan mengakomodasi peraturan dan perundang-undangan lain yang terkait. Yang paling signifikan adalah bagaimana UU SPPN dan UUKN dapat mengakomodasi paket perundang-undangan terkait lainnya seperti UU No. 26/2007 tentang Penataan Ruang dan UU No. 28/2009 tentang Pajak dan Retribusi Daerah. Gambaran dari perlunya mengakomodasi UU dan peraturan lain dalam sistem perencanaan pembangunan nasional dapat dijelaskan oleh gambar berikut:

Sumber: Dirjen OTDA Bappenas, dimodifikasi

Gambar 4.1. Perencanaan dan Penganggaran Pemerintah Pusat/Daerah Integrasi dengan UU terkait lainnya

4.2. Penguatan Peran Gubernur sebagai Wakil Pemerintah Pusat di Daerah

Selain dari masalah integrasi UU SPPN dengan UU terkait lainnya disadari pula adanya dorongan yang lebih kuat terhadap penguatan peranan Gubernur sebagai wakil pemerintah pusat di daerah melalui arahan dalam upaya memastikan bahwa program dan kegiatan yang dijabarkan dalam RPJPD, RPJMD, dan RKP serta dipedomani oleh Renstra SKPD dan Renja SKPD baik di tingkat Provinsi maupun Kabupaten/Kota mengacu pada RPJPN dan RPJMN. Gambar berikut menunjukkan pola perencanaan yang harus diperkuat oleh peran Gubernur kepada SKPD dan Kabupaten/Kota yang berada dalam wilayah kewenangannya.

Gambar 4.2. Peran Gubernur yang Semakin Kuat sebagai Wakil Pemerintah Pusat

Penguatan peran gubernur tersebut tidak saja ditetapkan dalam peraturan pemerintah sebagaimana saat ini diatur dalam pp no 23 tahun 2011 perubahan atas peraturan p emerintah nomor 19 tahun 2010 tentang Tata Cara Pelaksanaan Tugas Dan Wewenang Serta Kedudukan Keuangan Gubernur Sebagai Wakil Pemerintah Di Wilayah Provinsi namun sebaiknya diatur pada tingkat Undang Undang. Dalam hal ini perlu penguatan Gubernur tidak saja dalam perencanaan pembangunan tetapi juga terintegrasi dengan peran Gubernur dalam perencanaan spasial sebagai basis untuk menciptakan pembangunan Provinsi yang terintegrasi

Selain penguatan peran Gubernur, dibutuhkan pula sinergitas Pusat dan daerah terutama dalam seluruh proses mulai dari perencanaan, pelaksanaan, pengendalian, dan evaluasi mencakup sinergi dalam seluruh Dokumen Perencanaan (RPJP N/D, RPJM N/D, RKP /D, RENSTRA K/L DAN SKPD). Secara detail aspek yang perlu disinergikan adalah:

1. Sinergi Dalam Perencanaan Kebijakan 2. Sinergi Dalam Kerangka regulasi 3. Sinergi Dalam Kerangka anggaran

4. Sinergi Dalam Kerangka kelembagaan dan aparatur 5. Sinergi Dalam Kerangka pengembangan wilayah

Dalam hal penganggaran sebagai contoh, dapat dilakukan suatu sinergitas terhadap bidang- bidang yang diprioritaskan dengan tetap mengakomodasi prioritas pemenrintah daerah seperti digambarkan dalam gambar 4.3. berikut.

Gambar 4.3 Sinergitas Penganggaran APBN dan APBD

4.4. Sinergitas Antar Lembaga Kementrian di Tingkat Pusat dan Daerah

Sinergitas diperlukan pula dalam berbagai kegiatan pengambilan Kebiajakan di tingkat pusat oleh kementrian-kementrian terkait Perencanaan dengan tingkat daerah baik propinsi maupun Kabupaten Kota. Secara Ideal, hubungan tersebut dapat dilihat pada gamabr berikut.

Gambar 4.4. Hubungan Kerja IDEAL antara Bappenas, Depkeu dan Kementerian/Lembaga

4.5. Basis Evaluasi dalam Siklus Proses Perencanaan

Dengan mengacu pada Konsep dan Paradigma Perencanaan, dapat disimpulkan sementara bahwa penekanan sistem perencanaan pembangunan nasional yang berlaku saat ini sangat menekankan akan pentingnya pendekatan desentralisasi dan partisipasi. Hal ini terlihat secara nomenclature maupun interpretasi UU No. 25 Tahun 2007. Padahal masih terdapat satu pendekatan lain yang dapat dijadikan basis utama dari sistem perencanaan pembangunan tersebut yaitu unsur evaluasi. Gambar berikut menjelaskan bahwa perencanaan dan implementasi akan selalu idealnya dijembatani oleh hasil check and recheck sebagai satu kesatuan sirkulasi perencanaan.

Gambar 4.5. Perencanaan Berbasis Partisipasi dan dan Evaluasi Diri

Depkeu

UU No. 17/2004

Depdagri

UU No. 32/2004

Bappenas

UU No. 25/2004

PP No. 20/2004 PP No. 21/2004

DAERAH

4.6. Manajemen Evaluasi Kinerja

Terkait dengan pendekatan sistem perencanaan berbasis evaluasi, ditengarai pula bahwa UU No. 25/2004 tentang SPPN memiliki kelemahan dalam hal aturan dan pasal terkait prosedur evaluasi kinerja yang dapat dilakukan terhadap beberapa produk-produk dokumen perencanaan. Arah kedepan tentunya melengkapi UU SPPN tersebut dengan perangkat aturan tambahan mengenai manajemen evaluasi kinerja secara lengkap untuk beberapa produk dokumen perencanaan yang penting dalam menjaga sinergitas perencanaan pusat-daerah. Tabel berikut menggambarkan kelemahan UU SPPN dibandingkan dengan UU terkait perencanaan lainnya.

Tabel 4.1. Manajemen Kinerja Menurut UU

Masalah UU 17/2003 UU 33/2004 UU 32/2004 UU 25/2004

Penyusunan Renja SKPD Berdasar Prestasi Kerja

Yang disusun berdasar prestasi kerja adalah RKA SKPD

Tidak berdasar

prestasi kerja Tidak berdasar prestasi kerja Pedoman Penyusunan Renja SKPD Renstra SKPD Renstra SKPD danRKPD

Pihak yang menetapkan prioritas

dan plafon DPRD dan Pemda DPRD dan Pemda Kepala Daerah Prioritas dan Plafon Acuan Penyusunan RKA SKPD Acuan Penyusunan RKA SKPD

Dasar

Penyusunan RKA SKPD RKA SKPD

Dibahas dahulu oleh DPRD lalu

disampaikan ke PPKD

Dibahas dahulu oleh DPRD lalu

disampaikan ke PPKD

Diserahkan ke PPKD

Perubahan RAPBD Usul DPRD Tidak ditegaskan Tidak ditegaskan

Sumber: DITJEN OTDA, Bappenas, dimodifikasi

4.7. Arah Penataan tingkat kebijakan sistem perencanaan pembangunan

Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP), yang sedang disusun, diperbaiki lagi melalui suatu proses konsultasi yang lebih intensif untuk menghasilkan suatu kesepakatan bersama, sedangkan format dan isinya diperbaiki sehingga menjadi suatu rencana indikatif yang efektif.

Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) yang telah disusun perlu disesuaikan sehingga menjadi satu paket policy papers atau white papers yang lebih bersifat issue- oriented, strategis, dan lintas-sektoral. Kalau tidak dapat diubah lagi,maka dokumen RPJM paling tidak harus dilengkapi dengan white papers yang issue-oriented.

4.8. Arah Penataan Tingkat Kelembagaan dalam Mendukung Perencanaan Pembangunan yang Efektif Dan Efisien

Bappenas dan Departemen Keuangan yang komunikasi diantara pimpinannya dewasa ini sudah lebih baik, segera mengambil langkah-langkah untuk mengadakan revisi guna menyinkronkan UU No 25/2004 dengan UU No 17/2003 dengan memperhatikan kecenderungan global dan dinamika pembangunan di Indonesia.

Dalam penyusunan RKP 2006 sudah terlihat lebih nyata upaya menghindari duplikasi rencana kerja dengan melakukan kodifikasi anggaran menurut fungsi, sub fungsi, program, dan kegiatan pokok. Namun demikian kodifikasi tersebut masih belum menutup kemungkinan duplikasi kegiatan karena rincian kegiatan ada pada masing-masing Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian/ Lembaga. Untuk memperkecil kemungkinan tersebut maka komunikasi antar-lembaga perlu diadakan seperti Musrenbang. Menimbang terbatasnya waktu dan kesempatan komunikasi dalam forum musyawarah tersebut, maka penayangan rencana kerja melalui situs kementerian/ lembaga kiranya sudah perlu dimulai agar lebih banyak pihak ikut memberikan masukan.

Peraturan menteri dalam negeri nomor 30 tahun 2007 tentang pedoman penyusunan anggaran pendapatan dan belanja daerah tahun anggaran 2008, Dalam rangka menghindari duplikasi penganggaran, baik dalam APBD provinsi maupun APBD kabupaten/kota, maka urusan pemerintahan daerah yang bukan merupakan kewenangan provinsi atau kabupaten/kota tidak dapat dianggarkan dalam bentuk program dan kegiatan pada SKPD provinsi atau kabupaten/kota, namun dapat dianggarkan pada Belanja Bantuan Keuangan, baik yang bersifat umum maupun bersifat khusus. Bantuan keuangan tersebut disalurkan ke kas daerah/desa yang bersangkutan.

Terhadap program dan kegiatan…dalam penerapannya setiap SKPD harus menjewatani Penyusunan Anggaran antara APBD I dan II sehingga duplikasi tidak terjadi dan dana tersebut dapat diarahkan kepada pekerjaan yang lain di beberapa sektor

Koordinasi adalah kegiatan yang meliputi pengaturan hubungan kerjasama dari beberapa instansi/pejabat yang mempunyai tugas dan wewenang yang saling berhubungan dengan tujuan untuk menghindarkan kesimpangsiuran dan duplikasi

4.9. Penguatan aspek spasial dalam Sistem Perencanaan Pembangunan

Sistem perencanaan pembangunan saat ini belum terintegrasi dengan sistem spasial. Padahal proses pembangunan tidak selalu berbasis pada karateristik wilayah. Untuk itu diperlukan suatu perubahan dalam kebijakan yang menjadi dasar SPPN dimana perencanaan pembangunan akan selalu berbasis pada wilayah. Dengan cara ini masalah disharmonisasi kebijakan antar daerah dan antara pusat dan daerah dapat teratasi secara siginifikan karena terdapat parameter yang jelas mengenai permasalahan pembangunan dan prioritas pemecahannya.

UU No. 26 Tahun 2007 yang diterbitkan pada tanggal 26 April 2007 mengamanatkan agar setiap provinsi di Indonesia menyusun atau menyesuaikan Peraturan Daerah (Perda) Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP)-nya selambat-lambatnya dalam kurun waktu 2 (dua) tahun sejak Undang-Undang ini diberlakukan , dan agar setiap kabupaten/kota menyusun atau menyesuaikan Perda Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kota (RTRWK/K)-nya selambat-lambatnya dalam kurun waktu 3 (tiga) tahun . Makna menyesuaikan disini adalah menyesuaikan dengan amanat dan muatan yang terdapat dalam UU No. 26 Tahun 2007 maupun PP No. 26 Tahun 2008, karena adanya beberapa perbedaan antara UU dan PP ini dengan yang sebelumnya, yaitu UU No. 24 Tahun 1992 dan PP No. 47 Tahun 1997. Rencana tata ruang diamanatkan untuk disusun secara hirarkis dari tingkat nasional (RTRWN), provinsi dan kabupaten/kota.

Dalam kenyataanya baru sedikti provinsi yang sudah mengeluarkan perda tentang tata ruang tersebut. Keharusan pemerintah provinsi dan kabupaten untuk menyusun perda tentang rencana tata ruang dan wilayah (RTRW) itu diamanatkan oleh Undang-undang No 26/2007. Hal yang juga ditegaskan dalam Instruksi Presiden No 1/2010 tentang Prioritas Pembangunan Nasional.

Pentingnya koordinasi atau sinkronisasi dengan UU lainnya, karena menyangkut pengaturan aspek lainnya misalnya UU tentang kehutanan dan pertambangan, dapat mempercepat proses pembuatan perda – perda terkait Penataan Ruang dan untuk pengoptimalan integrasi dengan SPPN, tentu saja diperlukan campur tangan Gubernur sebagaimana disebut diatas. Gubernur juga diharapkan dapat memainkan peran penting dalam pemberian dana alokasi khusus dan umum yang akan diberikan kepada Daerah Kabupaten dan Kota.

BAB V