• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perencanaan dan Penganggaran Pembangunan

2. Perencanaan Pembangunan ditinjau dari hukum administrasi publik

2.5. Perencanaan dan Penganggaran Pembangunan

Berdasarkan sejarah perkembangannya, reformasi sistem penganggaran sudah terjadi pada dekade 40-an di Amerika Serikat, dimana pemerintah federal saat itu menghendaki adanya pengukuran kinerja bagi institusi pemerintah. Pada awal tahun 1960-an, Departemen Pertahanan AS merancang suatu sistem perencanaan-pemrograman penganggaran (planning- programming budgeting), yang kemudian penerapannya diperluas ke organisasi sipil milik pemerintah.

Di Indonesia sndiri perubahan penganggaran terjadi sejak tahun 2002 setelah dikenalkannya sistem anggaran kinerja (performance budgeting). Pendekatan kinerja tersebut mengutamakan partisipasi masyarakat, yang juga melibatkan stakeholder lain termasuk Pemerintah dan DPRD. Pentingnya keterikatan antar elemen pembangunan dalam membangun sistem yang sinergis dijelaskan berturut – turut dengan dikeluarkannya UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, UU No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintah Daerah dan UU no 25 tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN). Khusus pada UU no. 25 Tahun 2004 dijelaskan bahwa proses perencanaan dan penganggaran diselenggarakan secara sinergis.

Anggaran dengan pendekatan kinerja adalah suatu sistem anggaran yang mengutamakan upaya pencapaian hasil kerja atau output dari perencanaanalokasi biaya atau input yang ditetapkan. Anggaran kinerja yang efektif lebih dari sebuah objek anggaran program atau organisasi dengan outcome yang telah diantisipasi. Hal ini akan menjelaskan hubungan biaya (Rp) dengan hasil. Penjelasan ini merupakan kunci dalam penanganan program secara efektif. Sebagai fariasi antara perencanaan dan kejadian sebenarnya, manajer dapat menentukan input-input reource dan bagaimana input-input tersebut berhubungan dengan outcome untuk menentukan efektivitas dan efisiensi program.

Sebuah program anggaran kinerja mendefinisikan semua aktivitas, langsung dan tidak langsung yang diperlukan untuk mendukung program itu sendiri sebagai tambahan untuk memperkirakan biaya aktivitas. Jika aktivitas di dalam dinas pemerintah adalah jumlah dari pekerjaan yang diselesaikan, maka langkah selanjutnya menghubungkan resource ke outcome. Dengan menelusuri biaya dan jumlah unit untuk setiap aktivitas, informasi outputI dan outcome unit biaya telah dapat dibangun.

Selanjutnya, Peraturan perundang-undangan mengenai perencanaan dan penganggaran tersebut telah dilengkapi dengan PP Nomor 20/200 tentang Rencana Kerja Pemerintah (RKP), PP Nomor 21/200 tentang Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian/Lembaga (RKA-K/L), PP Nomor 39/2006 tentang Tata Cara Pengendalian dan Evaluasi Pelaksanaan Rencana Pembangunan dan PP Nomor 40/2006 tentang Tata Cara Penyusunan Rencana Pembangunan Nasional yang menekankan pada perencanaan dan penganggaran yang berbasis kinerja (Performance Based Budgeting), berjangka menengah (Medium Term Expenditure Framework) dan sistem penganggaran terpadu (Unified Budgeting).

Perencanaan dan Penganggaran Berjangka Menengah dan Berbasis Kinerja merupakan mekanisme dalam meningkatkan manfaat dana yang dianggarkan ke sektor publik terhadap outcomes dan output, melalui formal performance information yang terkait dengan tiga hal 34

yaitu pengukuran kinerja, pengukuran biaya untuk menghasilkan output dan outcomes serta penilaian keefektifan dan efisiensi pengeluaran/belanja dengan berbagai alat analisis.

Modul 1 Reformasi Perencanaan dan Penganggaran mengutip Adrienne Shall, memberikan tujuan daripada perencanaan dan penganggaran berjangka menengah berbasis kinerja berdasarkan lesson learned di negara Afrika Selatan yaitu:

1) Menentukan alokasi yang mencerminkan prioritas,

2) Merencanakan service delivery dari pelaksanaan suatu kegiatan,

3) Memantau efektivitas dan efisiensi penggunaan sumber daya pada setiap program,

4) Mengidentifikasi pada hal apa dimana penghematan perlu dilakukan serta dimana pendanaan lebih dibutuhkan.

Sedangkan Sasaran perencanaan dan penganggaran berjangka menengah dan berbasis kinerja didefinisikan oleh Robinson, M., dan Brumby. J. (2005) dapat dijabarkan sebagai berikut : 1) Meningkatnya efisiensi alokasi dan efisiensi operasional dalampembelanjaan publik. 2) Meningkatnya keterkaitan yang kuat antara tujuan tingkat makro (prioritas) dengan

pembelanjaan agregat dan kestabilan fiskal.

3) Meningkatnya upaya penghematan terhadap agregat belanja, dengan cara: a) Efisiensi alokasi

b) Konsolidasi fiscal

c) Penyempurnaan prioritas pembelanjaan (memastikan lebih banyak sumberdaya yang diberikan langsung pada front line services)

Konsep Penganggaran berjangka menengah berbasis kinerja telah diterapkan di banyak negara sejak awal 1990-an. Australia dan negara berpenghasilan menengah maupun tinggi lainnya bahkan telah menerapkan lebih awal, walaupun dalam bentuk yang berbeda. Penerapan konsep ini bertujuan untuk meningkatkan manajemen keuangan public di negara – negara berkembang dan trasisi terkait dengan pengentasan kemiskinan dan reformasi ekonomi. Dasar hukum bagi pelaksanaan Penganggaran berjangka menengah berbasis kinerja di Indonesia tertera dalam Undang-Undang No. 17/2003 tentang Keuangan Negara, dan Peraturan Pemerintah No. 21/2004 tentang Pedoman Penyusunan Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian / Lembaga (RKA-KL).

Seperti yang telah dijelaskan pada latar belakang, Keselarasan dan sinergitas antara perencanaan dan penganggaran merupakan sebuah “loopholes” yang paling kentara mengalami masalah dalam implementasinya bila dikaitkan dengan amanat UU SPPN dan UUKN. Secara eksplisit dapat terlihat bahwa hasil perencanaan yang disusun akan mengalami kendala yang tidak mudah diatasi karena praktek yang terjadi adalah bukan

‘money follow function’, tapi ‘resource empelove’. Gambar berikut menunjukkan bagaimana pada akhirnya penganggaran dari segala rencana program dan kegiatan pembangunan yang telah disusun harus tergantung pada ketersediaan dana APBN/APBD belaka.

Gambar 2.1. Implementasi Perencanaan dan Penganggaran Pembangunan Nasional

Penganggaran melalui APBN dan APBD pada intinya adalah instrumen teknis dari idealisme pembangunan yang ingin diwujudkan oleh suatu negara dan daerah. Idealisme tersebut tertuang dalam RPJP (Rencana Pembangunan Jangka Panjang) yang merupakan perencanaan untuk 10 tahun, RPJMD (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah) yang merupakan perencanaan selama 5 tahun, dan RKPD (Rencana Kerja Pembangunan Daerah) yang bersifat tahunan. Karenanya kebijakan perencanaan dan penganggaran punya kaitan yang sangat erat satu sama lain.

Perencanaan dan penganggaran ini punya kompleksitas problem baik dari sisi normatif (undang-undang sampai peraturan teknisnya) maupun di sisi politis seperti mekanisme, pelembagaan prosesnya, maupun intervensi kepentingan politik. Khusus untuk masalah perundang-undangan kita dapat memulai dari level undang-undang yang mengatur secara dominan masalah keuangan.

Terdapat tiga paket undang-undang tentang keuangan Negara yaitu UU No. 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara, UU No.1 tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, dan UU No.15 tahun 2004 tentang Pemeriksaan Dan Pertanggungjawaban Keuangan Negara. Salah satu dari paket Undang-undang tersebut yakni UU No.17 tahun 2003 tentang keuangan negara yang di dalamnya juga mengatur proses penganggaran. Sedangkan sistem perencanaan pembangunan nasional yang terintegrasi dari daerah sampai pusat memiliki landasan yaitu Undang-Undang No.25 tahun 2004 tentang sistem perencanaan pembangunan nasional (SPPN).

Disamping itu dengan kompleksitas sistem pemerintahan dengan perluasan otonomi daerah sejak era reformasi terdapat dua paket undang-undang yaitu UU No.32 tahun 2004 tentang pemerintah daerah dan UU No 33 tahun 2004 tentang perimbangan keuangan pusat dan daerah. Dengan jelas kedua UU ini juga mengatur hal-hal yang berkaitan dengan perencanaan dan penganggaran, khususnya APBD.

Dengan demikian terlihat jelas ada 4 undang-undang yang mengatur perencanaan dan penganggaran secara kaitan proses dan aturan yaitu: UU No.25 tahun 2004 mengatur khusus mengenai perencanaan, sementara UU No. 17 tahun 2004 mengatur pengelolaan keuangan negara dan daerah. Dipihak lain UU No.32 tahun 2004 dan UU No.33 tahun 2004 juga mengatur perencanaan dan penganggaran, khususnya di daerah. Dengan kata lain, perencanaan dan penganggaran di daerah harus mengacu pada keempat Undang-undang ini. Mengingat bahwa keempatnya mengatur substansi yang saling terkait, tidak menutup kemungkinan akan adanya multi interpretasi

Dalam UU SPPN No. 25 tahun 2004, diatur pula tahapan-tahapan perencanaan mulai dari Rencana Pemerintah Jangka Panjang (RPJP), Rencana Pemerintah Jangka Menengah Daerah (RPJMD), Rencana Strategis Satuan Kerja Pemerintah Daerah (Renstra SKPD), Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD), dan Rencana Kerja Satuan Kerja Pemerintah Daerah (Renja SKPD). Sebagaimana tertulis di atas bahwa ada UU yang lain yang juga mengatur hal yang sama yakni UU No.32 tahun 2004, namun tidak terlalu detail dalam hal perencanaan seperti SPPN. Hanya ada 5 (lima) pasal yakni pasal 150-154. Akan tetapi UU No.32 tahun 2004 ini mengatur penganggaran dengan `lumayan` detail yakni pada bab VIII pasal 155-194, meskipun pada sisi yang bersamaan ada UU No.17 tahun 2003 yang juga mengatur tentang pernak-pernik di dalam APBD dan UU No.33 tahun 2004 yang juga demikian. Dalam hal perencanaan, kedua Undang-undang yang terakhir ini hanya mengatur tentang Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD) dan Rencana Kerja Satuan Kerja Pemerintah Daerah (Renja SKPD).

Sementara, wacana dalam melibatkan masyarakat bukan hanya pada tataran perencanaan tetapi juga pada penganggaran merupakan suatu hal yang positif dalam proses transparansi yang coba dibangun oleh Pemerintah. Proses partisipasi masyarakat dalam perencanaan telah dicoba direspon oleh berbagai daerah. Dalam proses perencanaan sesuai UU no. 25 Tahun 2004 proses pelibatan masyarakat tersebut dikenal dengan nama Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang). Proses perencanaan yang ada dimulai dari penggalian gagasan masyarakat untuk mengetahui permasalahan yang terjadi di daerahnya masing-masing. Pergeseran paradigm ini terjadi masyarakat di tiap daerah dituntut dan merasa perlu berperan dalam perkembangan daerahnya. Hal ini sesuai dengan Penjelasan Pasal 23 UUD 1945 menyebutkan bahwa masyarakat berhak dan ikut serta dalam penyusunan dan pengambilan keputusan dalam anggaran dan amanat otonomi daerah yang menginginkan masyarakat untuk terlibat aktif memberikan masukan penyusunan anggaran (Cahyono, 2003).