• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan Kebijakan SPPN dengan Kebijakan Otonomi Daerah

PERMASALAHAN DALAM SISTEM PERENCANAAN PEMBANGUNAN DI INDONESIA

1. Hubungan Kebijakan SPPN dengan Kebijakan Otonomi Daerah

Kebijakan otonomi daerah di Indonesia mulai diimplementasikan sejak dikeluarkannya Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan ditindaklanjuti dengan UU No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pusat dengan Daerah. Namun dalam perjalanannya banyak sekali permasalahan yang muncul dalam implementasi undang- undang ini sehingga pemerintah pusat kemudian merevisinya dalam UU No.32 tahun 2004 tentang pemerintah daerah dan UU No 33 tahun 2004 tentang perimbangan keuangan pusat dan daerah. Seiring dengan perubahan – perubahan tersebut, menyebabkan paradigma birokrasi di Indonesia mengalami perubahan dari paradigm pemerintahan yang sentralistik kearah desentralistik. Perubahan ini membawa konsekuensi terhadap mekanisme pelaksanaan partisipasi publik dalam penyelengaaraan pemerintahan dan pembangunan.

Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 dan Nomor 33 Tahun 2004 pada hakekatnya merupakan perwujudan harapan yang diinginkan oleh setiap daerah yang didasarkan potensi dan kondisi daerah. Dengan otonomi daerah maka kewenangan, hak dan kewajiban dalam mengatur dan mengurus sendiri urusan yang dilimpahkan oleh Pemerintah dalam Kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia dapat dioptimalkan untuk kepentingan peningkatan kesejahteraan masyarakat yang didasarkan atas aspirasi yang tumbuh dan sesuai dengan situasi, potensi dan kreatifitas daerah serta prioritas pembangunan daerah.

Era desentralisasi dan demokrasi memberi kesempatan untuk mengedepankan proses penyelenggaraan pemerintahan yang demokratis. Usaha penyelenggaraan pemerintahan yang demokratis tersebut dilaksanakan pada tingkatan pusat hingga daerah. Hal ini sesuai dengan kewajiban Pemerintah Pusat dan Daerah dalam mensinkronkan dokumen perencanaan dalam bentuk Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJP/D) kedalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) sebagai dokumen perencanaan lima tahunan, dan Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD) sebagai rencana tahunan.

Perencanaan pembangunan daerah sendiri secara khusus diatur dalam UU No. 25 tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, yang mengatur tahapan perencanaan mulai dari Rencana Pemerintah Jangka Panjang, Rencana Pemerintah Jangka Menengah (RPJM daerah), Renstra Satuan Kerja Pemerintah Daerah (Renstra SKPD), Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD) dan Rencana Kerja Satuan Kerja Pemerintah Daerah (Renja SKPD). Seperti halnya, UU No 25 Tahun 2004 tersebut, UU 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah juga mengatur tentang sistem perencanaan pembangunan daerah

walaupun tidak sedetail UU Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional khususnya perencanaan dan proses penganggarannya.

Dokumen perencanaan dan penganggaran tersebut bersifat hirarkis artinya dokumen yang jangka waktunya yang lebih panjang menjadi rujukan bagi dokumen yang jangka waktunya lebih pendek, dan dokumen yang dikeluarkan oleh pemerintah yang lebih tinggi menjadi rujukan bagi dokumen yang dikeluarkan oleh pemerintah di bawahnya.

UU No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah serta UU No. 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional mengatur bahwa pemerintah daerah yang sudah menyelenggarakan pemilihan kepala daerah secara langsung harus memiliki rencana pembangunan mulai dari pembangunan jangka panjang hingga rencana pembangunan tahunan, dengan prioritas utama adalah menyiapkan rencana pembangunan jangka menengah yang menguraikan visi, misi kepala daerah terpilih selama 5 (lima) tahun masa periodenya. Diketahui bahwa produk dokumen perencanaan yang harus ada di daerah menurut Undang– undang Nomor 32 Tahun 2004 ini tidak jauh berbeda produk dokumen perencanaan berdasarkan Undang-undang Nomor 25 Tahun 2004. Namun demikian terdapat perbedaaan yang sangat menyolok dari kedua peraturan tersebut diantaranya adalah kekuatan hukum dokumen RPJM daerah. Pada pasal 19 ayat (3) Undang–Undang Nomor 25 Tahun 2004 disebutkan bahwa ”RPJM Daerah ditetapkan dengan Peraturan Kepala Daerah paling lambat 3 (tiga) bulan setelah Kepala Daerah dilantik”. Sedangkan pasal 150 ayat (3) huruf e. Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 menyebutkan bahwa ”RPJP Daerah dan RPJM Daerah ditetapkan dengan Perda berpedoman pada Peraturan Pemerintah”. Kondisi ini menimbulkan konsekuensi yang berbeda. Jika, RPJMD hanya ditetapkan oleh Peraturan Kepala Daerah, maka Kepala Daerah mempunyai kewenangan untuk menetapkan sendiri berdasarkan wewenang yang dimilikinya sebagai kepala daerah. Sedangkan jika RPJMD ditetapkan dengan Peraturan Daerah, sudah pasti Kepala Daerah harus duduk bersama terlebih dahulu dengan DPRD untuk membahas serta menetapkan RPJMD tersebut. Terlepas dari permasalahan penggunaan dasar hukum yang lebih tepat bagi penyusunan dokumen perencanaan di daerah, yang pasti daerah akan disibukkan dengan penyusunan berbagai dokumen perencanaan pembangunan dari RPJP daerah, RPJM Daerah, Renstra SKPD, RKPD dan Renja SKPD.

RPJP Daerah seperti yang telah diuraikan di atas, haruslah memperhitungkan potensi ekonomi dah kekhususan sosial budaya daerah secara cermat sehingga dapat dipahami bahwa RPJP daerah akan sangat bervariasi satu sama lainnya. Tetapi tetap harus sejalan dan tidak bertentangan dengan RPJP Nasional sebagai keterpaduan dan sinergi dalam proses pembangunan. Dengan mempedomani rancangan RPJP Daerah tersebut, pemerintah daerah selanjutnya menyusun RPJM daerah yang berisi arah dan strategi kebijakan pembangunan daerah program kerja satuan perangkat daerah, baik yang bersifat lintas sektoral maupun lintas wilayah.

Tidak serentaknya penetapan RPJMN dengan RPJMD juga menimbulkan dampak bagi ketidaksinkronan peraturan perundang-undangan nasional. Perbedaan jadwal pemilukada 48

yang berbeda tiap daerah menjadikan penetapan RPJMD tiap daerah berbeda pula. Hal ini kemudian mengharuskan tiap daerah yang telah menetapkan RPJMD perlu merevisi jika RPJMN yang baru pada waktu berjalan ditetapkan. Perubahan ini diperlukan karena dalam ketentuan peraturan peraturan perundang undangan mengharuskan RPJMD memperhatikan RPJMN.

Permasalahan lainnya terkait sistem perencanaan pembangunan nasional dapat dilihat pada RPJP maupun RPJM yang dalam penyusunannya melalui Musrenbang artinya dengan mengikutsertakan masyarakat, sementara dalam penyusunan Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD) tidak diatur perlunya keterlibatan masyarakat padahal RKPD sebagai rencana tahunan merupakan perencanaan berdasarkan kebutuhan masyarakat yang paling langsung dirasakan masyarakat. Demikian pula dengan kekuatan hukum bagi RKPD itu yang dapat ditetapkan hanya dengan Peraturan Kepala Daerah, padahal dokumen RKPD itu menjadi acuan bagi penyusunan RAPBD dan RAPBD memiliki kekuatan hukum ditetapkan dengan Peraturan Daerah.

Breakdown RPJPD ke RPJMD dan RPJMD ke RKPD seringkali tidak nyambung. Ada kecenderungan dokumen RPJP ataupun RPJM/Renstra SKPD seringkali tidak dijadikan acuan secara serius dalam menyusun RKPD/Renja SKPD. Kondisi ini muncul salah satunya disebabkan oleh kualitas tenaga perencana di SKPD yang terbatas kuantitas dan kualitasnya. Dalam beberapa kasus ditemui perencanaan hanya dibuat oleh Pengguna Anggaran dan Bendahara, dan kurang melibatkan staf program sehingga banyak usulan kegiatan yang sifatnya copy paste dari kegiatan yang lalu dan tidak visioner.

Kualitas RPJPD, RPJM Daerah dan Renstra SKPD seringkali belum optimal. Beberapa kelemahan yang sering ditemui dalam penyusunan Rencana tersebut adalah; indicator capaian yang seringkali tidak jelas dan tidak terukur, data dasar dan asumsi yang seringkali kurang valid, serta analisis yang kurang mendalam dimana jarang ada analisis mendalam yang mengarah pada “how to achieve” suatu target.

Terkait lagi dengan konsistensi antara RPJM Daerah dengan Renstra SKPD, Undang – Undang No 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional pasal 5 ayat (2) sendiri menyatakan bahwa RPJM Daerah berpedoman kepada RPJP Daerah dan memperhatikan RPJM Nasional, tetapi RPJM Daerah tidak disusun berdasarkan kepada Renstra SKPD sehingga menyebabkan kebijakan dan program yang tertuang dalam Renstra SKPD tidak terkait dengan RPJM Daerah.

Pada pasal lainnya, yaitu pada Pasal 7 ayat (1) mengatur tentang Renstra SKPD yang berisi mengenai visi, misi, tujuan, strategi, kebijakan, program, dan kegiatan pembangunan yang disusun sesuai dengan tugas dan fungsi Satuan Kerja Perangkat Daerah berpedoman kepada RPJM Daerah dalam pelaksanaannya berdasarkan format daripada RPJM Daerah sendiri ternyata arah kebijakan, program dan indikator kinerja tidak secara tegas menugaskan kepada SKPD tertentu sehingga terjadi diskontinuitas arah kebijakan RPJMD dan arah kebijakan SKPD. Selanjutnya, juga masih ditemukan dalam pelaksanaan beberapa SKPD masih menggunakan Renstra lama dikarenakan adanya perbedaan persepsi dalam

menentukan prioritas kebijakan dan program yang dialami oleh penyelenggara pemerintahan daerah yang menyebabkan Inkonsistensi Renja-SKPD harus mengacu rancangan awal RKPD atau tidak terakomodasikannya perubahan dalam RKPD.

Ayat selanjutnya menyebutkan bahwa setiap SKPD diwajibkan untuk menyusun dan memiliki Rencana Kerja (Renja) SKPD, dengan berpedoman kepada Renstra SKPD dan mengacu kepada RKPD. Sangat berbeda, jika dilihat pada peraturan perundang – undangan lainnya yaitu pada UU No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, Renja SKPD dirumuskan dari Renstra SKPD, tanpa memerintahkan mengacu kepada RKPD. Sedangkan pada UU 33/2004, menyatakan Renja SKPD merupakan penjabaran dari RKPD tanpa berpedoman pada Renstra SKPD.

Pelaksanaan penyelenggaraan ternyata Renja – SKPD kurang fokus pada tugas dan fungsi utama SKPD terutama pada isu-isu prioritas dan lintas sektor sehingga menyebabkan terjadinya duplikasi kegiatan dan anggaran antara satu SKPD dengan SKPD lainnya