• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan Kebijakan SPPN dengan Kebijakan Keuangan Daerah

PERMASALAHAN DALAM SISTEM PERENCANAAN PEMBANGUNAN DI INDONESIA

2. Hubungan Kebijakan SPPN dengan Kebijakan Keuangan Daerah

Keuangan daerah merupakan masalah yang banyak dibicarakan dalam konteks sektor publik. Definisi umum mengartikan bahwa keuangan daerah sebagai semua hak dan kewajiban yang dapat dinilai dengan uang, demikian pula segala sesuatu baik berupa uang maupun barang yang dapat dijadikan kekayaan daerah sepanjang itu belum dimiliki/dikuasai oleh Negara atau daerah yang lebih tinggi serta pihak-pihak lain sesuai ketentuan/peraturan undangundang yang berlaku.Menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 58 Tahun 2005, tentang Pengelolaan Keuangan Daerah dalam ketentuan umumnya menyatakan bahwa keuangan daerah adalah semua hak dan kewajiban daerah dalam rangka penyelenggaraan pemerintah daerah yang dapat dinilai dengan uang termasuk didalamnya segala bentuk kekayaan daerah tersebut. Kebijakan keuangan daerah senantiasa diarahkan pada tercapainya sasaran pembangunan, terciptanya perekonomian daerah yang mandiri sebagai usaha bersama atas asas kekeluargaan berdasarkan demokrasi ekonomi yang berlandaskan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 dengan peningkatan kemakmuran rakyat yang merata.

Pengertian keuangan daerah menurut Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 29 Tahun 2002 yang sekarang berubah menjadi Permendagri Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengurusan, Pertanggungjawaban dan Pengawasan Keuangan Daerah Serta Tata Cara Penyusunan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) adalah semua hak dan kewjiban daerah dalam rangka penyelenggaraan pemerintah daerah yang dapat dinilai dengan uang termaksud didalamnya segala bentuk kekayaan yang berhubungan dengan hak dan kewajiban daerah, dalam kerangka anggaran pendapatan dan belanja daerah. Yang dimaksud dengan hak adalah hak untuk memungut sumber-sumber penerimaan daerah seperti pajak daerah, retribusi daerah, hasil perusahaan milik daerah, dan lain-lain, dan atau hak untuk menerima sumber-sumber penerimaan lain seperti Dana Alokasi Umum dan Dana Alokasi Khusus sesuai dengan peraturan yang ditetapkan. Hak tersebut akan menaikkan kekayaan daerah, sedangkan yang dimaksud dengan semua kewajiban adalah kewajiban untuk mengeluarkan uang untuk membayar tagihan-tagihan kepada daerah dalam rangka penyelenggaraan fungsi 50

pemerintahan, infrastruktur, pelayanan umum, dan pengembangan ekonomi. Kewajiban tersebut.

Manajemen keuangan daerah, khususnya mengenai pembiayaan penyelenggaraan pemerintah daerah, sudah menampakkan peran serta dan partisipasi masyarakat. Dalam bidang keuangan, lebih dikenal Anggaran Penerimaan dan Belanja Daerah (APBD). Dalam kaitannya dengan dokumen perencanaan, RKPD merupakan materi utama sebagai dasar penyusunan APBD. APBD digunakan sebagai alat untuk menentukan besarnya pendapatan dan pengeluaran, membantu pengambilan keputusan dan perencanaan pembangunan, otorisasi pengeluaran di masa-masa yang akan datang, sumber pengembangan ukuran-ukuran standar untuk evaluasi kinerja, alat untuk memotivasi para pegawai, dan alat koordinasi bagi semua aktivitas dari berbagai unit kerja (Mardiasmo, 2004).

Isu pokok tentang desentralisasi di bidang keuangan tidak secara eksplisit disebutkan dalam dokumen RPJP karena sifatnya yang relatif spesifik dan merupakan bagian dari rencana pembangunan yang berjangka lebih pendek. Namun dapat dilihat keterkaitan antara RPJMN dengan RPJP dalam masalah ini mengenai pentingnya bangsa Indonesia untuk melakukan penataan kembali berbagai langkah-langkah, antara lain di bidang pengelolaan sumber daya alam, sumber daya manusia, lingkungan hidup dan kelembagaannya sehingga bangsa Indonesia dapat mengejar ketertinggalan dan mempunyai posisi yang sejajar serta daya saing yang kuat di dalam pergaulan masyarakat Internasional (Penjelasan Umum). Kesemua tujuan jangka panjang ini tentu memerlukan pendanaan yang demikian besar dengan cara-cara yang cermat dan efisien.

Selanjutnya RPJP juga menyebutkan pentingnya kerangka ekonomi makro yang mencakup gambaran perekonomian secara menyeluruh termasuk arah kebijakan fiskal, serta program kementerian/lembaga, lintas kementerian/lembaga kewilayahan dalam bentuk kerangka regulasi dan pendanaan yang bersifat indikatif. Intinya adalah bahwa untuk menciptakan sistem pendanaan pembangunan yang efisien, semua lembaga pemerintah baik di tingkat pusat maupun daerah hendaknya bersedia mengutamakan tujuan nasional dan melakukan kerjasama lintas-sektoral di bidang pendanaan. Kemandirian dalam pendanaan sangat ditekankan di dalam RPJP yang disusun dalam periode di mana ekonomi secara nasional mengalami kemunduran akibat krisis pada tahun 1997. Dengan demikian, penting untuk diperhatikan bahwa keseluruhan pola manajemen keuangan daerah selanjutnya juga harus mengutamakan kemampuan lokal dengan sistem administrasi keuangan yang lebih profesional dan bertanggungjawab

Mengacu kepada Undang – Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, yang didalamnya mengatur mengenai penerapan kerangka pengeluaran jangka menengah (medium term expenditure framework) yaitu suatu kebijakan keuangan yang dapat menjamin kelangsungan program dalam jangka menengah (antara 3 sampai dengan 5 tahun), maka pemerintah daerah diharapkan mampu menyusun anggaran pendapatan dan belanja untuk tahun n dan indikatif anggaran minimal untuk tahun n+1, oleh karena itu pemerintah daerah harus dapat menyusun rencana kinerja tahun/RKPD/Renja SKPD untuk tahun n dan tahun n+1, misalkan untuk penyusunan APBD Tahun Anggaran 2006, maka pemerintah daerah

harus menyusun RKPD/Renja SKPD untuk tahun 2006 pada tahun 2004 dan penajamannya melalui musrenbang pada tahun 2005, dan menyusun RKPD/Renja SKPD untuk tahun 2007 sebagai dasar penentuan anggaran indikatif tahun 2007.

UU No. 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara mengatur perencanaan pembangunan daerah, namun hanya terbatas pada perencanaan tahunan yang meliputi Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD) dan Rencana Kerja Satuan Kerja Pemerintah Daerah (Renja SKPD), disamping mengatur penyusunan APBD. Permasalahan terkait Renja SKPD, pada UU 17 Tahun 2003 dan UU 33 Tahun 2004 disusun berdasarkan prestasi kerja sementara UU 25 tahun 2004 dan UU 32 tahun 2004 tidak memerintahkan hal ini. UU 32 tahun 2004 yang disusun berdasarkan prestasi kerja adalah RKA SKPD.

Berbagai Permasalahan lainnya terkait kebijakan SPPN dan keuangan daerah adalah:

(a) Inkonsistensi antara RPJMD dan Renja-SKPD, Penerjemahan kebijakan ke dalam penganggaran tidak konsisten karena peran lebih besar diberikan pada tim penyusun anggaran eksekutif dibanding Kepala SKPD yang bertanggung jawab pada pencapaian sasaran.

(b) Penentuan plafon berdasarkan wish list. Program pembangunan yang menjadi proritas di tingkat daerah belum sesuai dengan kebutuhan daerah. Program prioritas daerah masih belum measurable dan workable.

(c) Anggaran SKPD masih terfokus pada rencana tahunan. Anggaran SKPD belum mencerminkan rencana jangka menengah, yang seharusnya sinkron dengan RPJMD. (d) Belum ada sinkronisasi lintas sektoral sebelum rancangan anggaran dibawa ke DPRD.

Penyusunan prioritas RKPD tidak memperhitungkan program dan kegiatan linta SKPD 3. Hubungan Kebijakan SPPN dengan Penataan Ruang

Berdasarkan UU No.24/1992, pengertian penataan ruang tidak terbatas pada proses perencanaan tata ruang saja, namun lebih dari itu termasuk proses pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang. Perencanaan tata ruang dibedakan atas hirarki rencana yang meliputi : Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Nasional, Propinsi, Kabupaten dan Kota, serta rencana-rencana yang sifatnya lebih rinci; pemanfaatan ruang merupakan wujud operasionaliasi rencana tata ruang atau pelaksanaan pembangunan; dan pengendalian pemanfaatan ruang terdiri atas mekanisme perizinan dan penertiban terhadap pelaksanaan pembangunan agar tetap sesuai dengan RTRW-nya. Selain merupakan proses, penataan ruang sekaligus juga merupakan instrumen yang memiliki landasan hukum untuk mewujudkan sasaran pengembangan wilayah

Lahirnya UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang sebagai pengganti UU No. 24 tahun 1992 merupakan upaya penting dalam menertibkan penyelenggaraan penataan ruang di Indonesia yang diwujudkan melalui beberapa aspek penting, diantaranya pengendalian pemanfaatan ruang. Pengendalian pemanfaatan ruang dilaksanakan secara sistematik melalui penetapan peraturan zonasi, perizinan, pemberian insentif dan disinsentif, serta sanksi. Kegiatan penataan ruang terdiri dari 3 (tiga) kegiatan yang saling terkait, yaitu: perencanaan 52

tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang, dengan produk rencana tata ruang berupa Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) yang secara hirarki terdiri dari Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN), Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP), dan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kota (RTRW Kab/kota). Ketiga rencana tata ruang tersebut harus dapat terangkum di dalam suatu rencana pembangunan sebagai acuan di dalam implementasi perencanaan pembangunan berkelanjutan di wilayah Indonesia. Sebagai payung hukum dalam penyelenggaraan penataan ruang, maka Undang- Undang Penataan Ruang ini diharapkan dapat mewujudkan rencana tata ruang yang dapat mengoptimalisasikan dan memadukan berbagai kegiatan sektor pembangunan, baik dalam pemanfaatan sumberdaya alam maupun sumberdaya buatan. Terbitnya UU No. 26 Tahun 2007 ini dilatarbelakangi oleh beberapa perubahan paradigma dan perkembangan kondisi dalam penataan ruang seperti adanya desentralisasi dan otonomi daerah dengan adanya UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang kemudian diganti oleh UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, masih belum diacunya Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) secara sepenuhnya dalam pembangunan, dan masih kurangnya aspek pengendalian pemanfaatan ruang.

Dalam mewujudkan pembangunan berkelanjutan sesuai dengan arah kebijakan penyelenggaraan penataan ruang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2010-2014 yang tertuang dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 5 Tahun 2010 tentang RPJMN 2010-2014 , penataan ruang adalah alat (tools) sekaligus pengendali yang digunakan di dalam implementasi kebijakan pembangunan dalam pemanfaatan sumber daya alam, sumber daya buatan, dan sumber daya manusia di dalamnya.

Dalam UU No. 26 Tahun 2007 diamanatkan adanya integrasi secara dua arah antara RTRW dengan rencana pembangunan, baik Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) maupun RPJM. Di tingkat nasional, sebagai contoh, penyusunan RTRWN harus memperhatikan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) , sementara itu RTRWN menjadi pedoman untuk penyusunan RPJPN dan RPJMN . Hal yang sama juga berlaku pada tingkat provinsi dan kabupaten/kota. Bisa dikatakan, secara garis besar RTRW merupakan mitra spasial dari RPJP .

Dalam prakteknya, Kepala Daerah (Gubernur, Bupati, dan Walikota) dalam menjalankan masa pemerintahannya selama 5 tahun mengacu kepada RPJM yang memuat visi dan misi Kepala Daerah. Hal ini akan menjadi masalah apabila RPJM yang diacu tidak sinkron dengan RTRW yang berlaku, terutama dalam batasan-batasan pembangunan baik dalam kawasan lindung maupun kawasan budidaya di daerah tersebut. Hal ini disebabkan oleh masih kurang sinkronnya peraturan perundangan sektoral terkait dengan bidang penataan ruang, yang menyebabkan rencana tata ruang belum sepenuhnya dijadikan sebagai acuan di dalam pelaksanaan kegiatan pembangunan dari masing-masing sektor.

4. Permasalahan Kebijakan SPPN Terkait Dengan Isu – Isu Responsif dan