• Tidak ada hasil yang ditemukan

MODEL DESAIN KURIKULUM

MODEL-MODEL DESAIN KURIKULUM

3. The Problems Centered Design

3.1. The Area of Living Design

Menurut Zais (1976:418), selain organisasi isi kurikulum yang bersifat tidak disiapkan sebelumnya (preplanned), model Areas of living design ini memiliki karakteristik lain, yaitu: Pertma, model ini adalah model desain kurikulum yang menekankan pada prosedur belajar melalui pemecahan masalah (problem solving) atas masalah-maslah kehidupan. Dalam proses pembelajaran tujuan yang bersifat proses (processes objectives) dan tujuan yang bersifat isi (content objectives) secara fungsional diintegrasikan. Akan tetapi bukan berarti siswa tidak mempelajari materi

pelajaran. Dalam hal ini materi pelajaran diiluminasikan ke dalam bidang-bidang problematika kehidupan ( problem-atic areas of living). Kedua, pada model ini menggunakan pengalaman dan situasi-situasi nyata dari siswa sebagai pintu gerbang untuk mempelajari bidang-bidang kehidupan yang mendasar. Akan tetapi, menurut Zais (1976:418) model ini berbeda dengan activity/experience de-sign, sebagaimana dikemukakannya sebagai berikut:

That curriculum as a matter of principle, basis its content and learn-ing activity on students felt needs and interests. In contrast the areas of living design, as a matter of strategy, employ student immediate concerns as a starting point. This is simply the recognition and utili-zation of a fundamental low of learning.

Perhatian terhadap bidang-bidang kehidupan (area of living) sebagai dasar penyusunan desain kurikulum telah dimulai sejak abad ke 19, di antaranya Herbert Spencer tahun 1985 telah menerbitkan essay yang berjudul “What Knowledge Is of Most Worth?. Menurut Spencer ada lima bidang-bidang kehidupan yang yang penting bagi semua kehidupan masyarakat, yaitu: (1) pemeliharaan kehidupan langsung, (2) pemeliharaan diri secara tidak langsung (seperti: sandang, pangan, papan), (3) keluarga, (4) kewarga negaraan, dan (5) kegiatan waktu senggang.

Rumusan penting lainnya yang menganjurkan model kurikulum “the Area of Livinf Design) datang dari Commis-sion on the Reorganization of Secondary Educaation pada tahun 1918. Komisi ini mengusulkan klasifikasi bidang-bidang kehidupan (areaa of living) yang diunggulkan, yang dikenal dengan “The SeventCardinal Prinsiples), yaitu: “Health, Com-mand of fundamental process, Worthy home membership, voca-tion, Citizenship, Worthy use of leisure time, and Ethical

the National Education Assosiation, merekomendasikan rumusannya sebagai berikut: “Civic responsibility and com-petence, Economic understanding, Family relationship, Intelli-gent, Consumer action, Appreciation of beauty, and Language orificiency.”

Ada banyak model bidang-bidang kehidupan yang dapat dijadikan sebagai bidang kajian dalam pembelajaran, hal ini tergantung pada apa yang dipandang perlu oleh para pendidik dengan mengikuti kebutuhan yang dituntut dalam kehidupan anak baik saat sekarang maupun untuk kehidupan masa depan. Oleh karena itu rumusan bidang-bidang kehidupan dalam model desain kurikulum ini selalu berkembang mengikuti perkembangan zaman dan kebutuhan manusia.

Taba (1962:396) menyatakan sebagai berikut: Organizing the curriculum around the activities of mankind will not only bring obout a needed unification of knowledge but will also per-mit such a curriculum to be a maximum value to students’ day-by-day life, as well as to prepare them for participation in a culture.

Meskipun strategi yang sama juga digunakan dalam

subject centered design, tetapi dalam pelaksanaanya meng-alami kesulitan, sebab dalam desain tersebut hubungan mata pelajaran dengan bidang dan pengalaman hidup anak sangat terbatas/kecil. Sebaliknya dalam the areas of living design, hubungannya sangat besar. Setiap pengalaman siswa sangat erat hubungannya dengan bidang-bidang kehidupan, sehingga dapat dinyatakan model ini dapat merangkumkan pengalaman-pengalaman sosial siswa.

Dengan demikian desain ini sekaligus dapat membawa siswa berminat dan membawa tujuan-tujuan kurikulum ke dalam hubungan yang fungsional.

Berdasarkan gambaran di atas, dapat disimpulkan bahwa model ini memiliki beberapa keunggulan. Pertama, model didesain secara terintegrasi, yang mana pemisahan bahan pelajaran dipangkas atau dihilangkan dengan fokus pada hubungan dengan persoalan kehidupan social. Kedua, karena kurikulum didesain berdasarkan problema-problema hidup individu anak dalam kehidupan sosial, maka desain kurikulum ini mendorong prosedur belajar pemecahan masalah (problem solving). Dengan demikian proses belajar aktif, seperti keterampilan berfikir kritis ( criti-cal thingking skill), menerima tekanan mereka yang sesungguhnya (receive their proper emphasis), dan sebagai-nya. Ketiga, model ini menyajikan bahan pelajaran dalam bentuk yang relevan. Isi (materi) pelajaran diambil untuk digunakan sebagai solusi atas problem-problem sosial yang nyata, kertimbang hanya sebagai konsumsi bagi kepenting-an sendiri atau kepentingkepenting-an guru. Dengkepenting-an kata lain dalam model ini siswa mentransformasikan isi (materi) pelajaran kedalam pengetahuan (knowledge) dan mereka menjelajah dan menginternaliasikan makna-makna (meanings). Ke-empat, desain ini menghadirkan isi (materi) pelajaran ke dalam bentuk yang fungsional, sebab diarahkan pada pemecahan masalah siswa dan secara langsung dipraktik-kan dalam situasi kehidupan.yang adipraktik-kan datang. Lebih dari itu, model ini membawa siswa dan masyarakat ke dalam hubungan yang erat, sehingga ia membuat konstribusi besar bagi pengembangan individu dan kemajuan masya-rakat. Kelima, terkait dengan keunggulan kedua, maka asiswa tidak membutuhkan motivasi belajar dari luar, karena mereka belajar terkait dengan apa yang menjadi konsern mereka.

Beberapa kritikan atau kekurangan dari model the ar-eas of living design ini adalah: Pertama, penentuan skope dan sekuens dari bidang-bidang kehidupan yang sangat esensial (penting) sangat sukar. Sebagaimana kenyataan bahwa terdapat perbedaan dan bahkan kadangkala konflik atas skema organisasi isi kurikulum yang diusulkan. Kedua, sebagai akibat dari kesulitan pertama, maka lemahnya atau kurangnya integritas daan kontinuitas organisasi isi kurikulum. Ketiga model ini dinilai telah mengabaikan warisan budaya (cultural heritage), padahal apa yang ditemukan pada masa lalu penting untuk memahami dan memecahkan masalah masa kini. Keempat, karena model kurikulum ini hanya memusatkan perhatian pada pemecahan masalah-masalah social pada masa sekarang, maka ada kecenderungan untuk menginduktri-nasi siswa dengan kondisi yang ada, siswa tidak melihat alternatif lain baik mengenai untuk masa lalu maupun untuk masa yang akan datang. Sehingga model ini cenderung kepada mempertahakan status quo kehidupan sosial. Kelima, sama halnya dengan kritik terhadap activ-ity/experience design, baik guru maupun buku teks dan bahan-bahan/alat-alat pembelajaran yang diperlukan lainnya tidak banyak disiapkan untuk penerapan model ini.