• Tidak ada hasil yang ditemukan

MODEL DESAIN KURIKULUM

MODEL-MODEL DESAIN KURIKULUM

3. The Problems Centered Design

3.2. The core design

Model desain kurikulum ini muncul sebagai reaksi atas model pragmentasi dan pembelajaran yang terpisah satu demi satu (piecemeal learning)yang diberikan dalam desain kurikulum “separated subject” (desain kurikulum terpisah-pisah) (Smith, Stanley, and Shores, 1957:311-312). Sebagai upaya untuk menghubungkan dan menyatukan dari

sejumlah kurikulum/bahan ajar, mata pelajaran atau materi pelajaran tertentu dijadikan sebagai inti (core), sementara mata atau materi pelajaran lainnya sebagai yang dikaitkan atau subordinat. Ada yang memandang pen-didikan yang didasarkan pada core design ini sebagai model pendidikan yang mengarah pada pendidikan umum. Pengaruh yang terjadi di Indonesia misalnya dengan munculnya kelompok matakuliah/pengajaran dasar umum diarahkan kepada kemampuan pribadi dan sosial. Sedangkan kelompok matakuliah spesialisasi masuk pada kelompok keahlian, kejuruan tertentu.

Sebelum tahun 1920-an aliran pendidikan progresif (progressivism) menggerakkan secara radikal teori “core de-sign”. Menurut paham aliran ini kurikulum harus men-dorong pengembangan individu dan kompetensi social demokrasi. Tokoh-tokoh progressive mengusulkan ke-butuhan individu dan sosial yang menjadi pusat studi (a core of studies). Dari sinilah muncul istilah “areas of living (social function) core” dan “the social problems core”. Selain itu, “the activity/experience” sebagai bagian dari progressive bergerak mengembngkan “core design” yang menggunakan prinsip-prinsip yang diambil dari “learned centered ( activ-ity/experience) design.”

Berdasarkan sejarah latar belakang seperti di atas, maka tidaklah mengejutkan apabila istilah “core” telah muncul digunakan secara luas dan dengan berbagai cara/ bentuk. Dari situ ada banyak istilah lain yang muncul, yang sering dinyatakan sebagai sinonim dari “core design”, seperti: “common learning”, “univied studies”, “basic educa-tion”, dan “block time classes”. Dengan adanya hal ini, maka telah terjadi kerancuan pemahaman terhadap konsep “core” yang sesungguhnya. Upaya awal yang dilakukan

mengatasi hal tersebut dimulai dengan “the core” atau “kebutuhan yang universal”, dengan demikian komponen yang disebut core kurikulum adalah suatu model pendidikan atau program pendidikan yang memberikan pendidikan umum (common learnings or general education) kepada semua siswa. Oleh karena itu, bagian dari kuri-kulum yang diajarkan adalah konsep-konsep keterampilan dan sikap yang umum dan dibutuhkan oleh seluruh individu yang fungsional di masyarakat. Karakteristik umum lainnya dari core kurikulum ialah apa yang Vars (1968:515) sebutkan, yakni “body”, yaitu secara adminis-tratif cara kerjanya dalam bentuk “the block-time class”. Kelas “block time” adalah suatu bentuk desain kurikulum yang terdiri atas dua atau lebih periode normal untuk mengajarkan komponen inti (core component). Sementara itu tim spesialis materi kadangkala diberikan tanggung-jawab untuk kelas block time, dan sering kali block tuime class

ini ditangani (dihandel) oleh seorang guru yang juga berfungsi sebagai guru kelas tetap (class’s homeroom teacher). Berdasarkan karakteristik “core design” di atas, ada banyak bentuk desain kurikulum “core design”. Menurut Zais (1976:423) empat sampai duabelas atau lebih macam “core design”. Menurutnya, Alberty and Alberty (1962–204-255) ada lima type core; Taba (1962:408) mengemukakan enam type core; dan Smith, Stanly dan Shores (1957– 337-381) mengemukakan ada enam macam. Berdasarkan berbagai type core yang oleh para pakartersebut, menurut Zais, 1976:423) jika dilihat perbedaan corenya, setidaknya ada enam bentuk core curriculum, yaitu: (1) the separated sub-ject core, (2) the correlated core, (3) thefused core, (4) the activ-ity/experience core, (5) the areas-of-living core, dan (6) the so-cial problems core.

(1)The separated subject core

Model ini adalah sebuah model core yang ditujukan untuk mengatasi keterpisahan antara mata pelajaran, yang mana beberapa mata pelajaran yang dipandang mendasari dari mata pelajaran lain dijadikan core. Misalnya; bahasa dan studi sosial diajarkan oleh satu orang guru dalam satu blok waktu. Dengan demikian,

sparated subjectcore semata-mata sebagai sebuah sigmen (bagian) dari materi kurikulum yang dibutuhkan oleh seluruh siswa. Dalam hal ini mata pelajaran bahasa Ingris dijadikan sebagai core.

(2)The correlated core.

Model ini juga berakar dari tradisi subject centered

pada umumnya, akan tetapi dalam model ini berupaya menyediakan pembelajarran yang bersifat umum dalam satu bentuk yang perhubungan (coherent) dengan mnunjukkan keterhubungan diantara dua atau lebih materi pelajaran yang digabungkan disatukan dalam pembelajaran ini (core). Dalam prakteknya ada dua hal yang bentuk correlated core. Pertama, mengintegrasikan beberapa mata pelajaran yang terpisah namun memiliki hubungan didesain bahan pelajaran yang berhubungan diberikan pada waktu yang sama atau berurutan; kedua; dengan cara mengumpulkan bahan-bahan yang sama untuk disusun kembali dalam satu tema umum yang nantinya membentuk unit-unit masalah pola kedua biasanya diberikan oleh guru spesialis.

(3)The fused core

Sebagaimana the correlated core, model ini juga berakar dari tradisi subject centered pada umumnya,

akan tetapi dalam model ini bahan pelajaran diintegrasikan secara total (total integration) atau “fu-sion” dua atau lebih materi pelajaran dari mata pelajaran yang berbeda. Misalnya, sejarah, geografi, antropologi, sosiologi, ekonomi disatukan dan diajarkan sebagai mata atau materi pembalajarn “ so-cial studies”. Fisika, kimia, ilmu tumbuhan, dan ilmu hewan sebagai “general science”. Dalam studi ini dikembangkan tema-tema masalah umum yang dapat ditinjau dari berbagai sudut pandang (disiplin ilmu). Jadi model ini bermaksud mengadakan integrasi penuh, sekalipun dalam kenyataannya tidak bisa dilakukan secara penuh. Dalam hal tertentu tetap menggunakan bentuk correlated core.

Disebabkan tidak mungkin mengingerasikan materi yang lemah relasi hubungannya, maka the fuse core jarang dilakukan pada pelajaran umum, seperti matematika dan sain jarang ditemui dialkukan dalam bentuk “cire”, bahkan lebih sering dalam bentuk sparated subject dan di luar block-times yang ada. Dengan demikian jelaslah, bahwa karakteristik utama dari the fused core adalah unifikasi dan integrasi secara maksimal dari materi pelajaran terpisah. Hal ini berbeda dengan

correlated core yang lebih dalam tingkatan daripada dalam bentuk. Namun perlu dicatat, bahwa dalam banyak hal sebagai unifikasi (penyatuan) dari materi pelajaran yang berhubungan, adalah juga merupakan sifat utama dari broad fields design. Dalam kaitan ini the fused core sesungguhnya merefresentasikan tidak lebih dari sebuah segmen dari broad fields yang telah di-buatkan syarat pembelajaran yang umum (universal) dalam sebuah blok waktu (block-times class). Dengan

demikian dapat dikatakan bahwa kurikulum “core”

yang telah digambarkan pada dasarnya adalah merupakan varian dari subject atau broad fields design,

sebab core design ini jarang dianggap sebagai core desain yang autentikoleh para spesialis kurikulum.

(4)The Activity/Experience Core

Sebagai produk dari tradisi “progressive learner cen-tered”, model ini mengaskan pendidikan umum ( gen-eral education) dalam hubungan dengan kebutuhan yang dirasakan dan minat para siswa. Seperti bentuk learned centered design lainnya, model ini menapikan perencanaan sebelumnya (preplanning) dan struktur yang formal. Materi dan organisasi kurikulum didasarkan pada perencanaan dan kepurusan guru dan siswa ketika berada di kelas. Filosofi yang mendassari model ini ialah minat individu siswa yang biasanya direkomendasikan dalam kelas “core”. Materi khusus yang telah dipikirkan biasanya dilempar sebagai dasar pilihan yang biasanya pada wilayah yang tidak dapat dihandel oleh guru “core”, misalnya, proyek desain untuk mengeleminasi polusi di sungai, guru dan mu-rid memutusukan sebuah proyek, merencanakan aktivitas, dan menetapkan kriteria evaluasinya.

Sementara para pendukung desain yang tidak terstruktur ini mengelu-elukan bahwa hanya inilah core yang sesungguhnya, sebagian besar para spesialis kurikulum menganggapnya sebagai the activity/experi-ence curriculum yang disusun kedalam sebuah pem-belajaran blok-waktu (block-time class). Alasan mereka bahwa, meskipun desaain tersebut sering dikaitkan dengan konten (materi) dalam term problem-problem

lingkungan (problems area), tetapi yang lebih utama adalah learned centered ketimbang probles centered.

Dengan demikian, karakteristik utama, kelemahan dan kekuatan ini pada hakekatnya sama dengan the activ-ity/experience design.

(5)The Areas-of-Living Core

Model ini juga berakar dari tradisi progressive, tetapi

preplanned (dipersiapkan sebelumnya). Model ini di samping disebut the areas-of-living juga disebut social fungtion, karena program umum pendidikanya didasarkan pada problema-problema yang muncul dari aktivitas-aktivitas umum orang-orang yang ada di masyarakat. Lebih jauh model ini didiskripsikan sebagai berikut: (1) model ini lebih problems centered ketimbang

subject atau learned centered, (2) preplanned (tidak dipersiapkan/direncanakan sebelumnya), (3) terdiri dari penggabungan (integrasi), mewajibkan pem-belajaran umum (general education), dan (4) umumnya dalam bentuk pengajaran blok waktu (block-time class) oleh guru yang juga melakukan fungsi bimbingan. Sementara model ini menggambarkan lebih berat pada subjek area untuk kontennya, yang basic rientasinya pada kebutuhan umum, problema-problema, dan kecenderungan para siswa sebagai partisipan dalam pengembangan dirinya dan masyarakatnya. Tipe “core” ini kadangkala membolehkan kepada guru dan siswa untuk membuat perencanaan, khsusnya ketika perencanaan dilaksnakan, ia harus dalam kerangka framework basic struktur kurikulum ini.

Keunggulan model ini yakni sebagai program pendidikan umum banyak kesamaannya dengan the

areas of living design, yaitu: mengintegrasikan dan menyatukan isi, mendorong pemecahan masalah, bahan ajar sesuatu yang relevan dan fungsional, dan motivasi dating dari dalam (intrinsik). Selain itu Alberty and Alberty (1962:220-221) mencatat bahwa model ini dapat memberikan jawaban langsung terhadap segala kebutuhan anak muda dan problema yang menerpa mereka pada kebingungan budaya saat ini. Model ini juga dapat membantu untuk memecahkan segala rintangan kelas social yang ditata dalam kurikulum

subject matter, membantu perkembangan praktik demokrasi di kelas, dan mendorong penggunaan masyarakat sebagai laboratorium pembelajaran.

Meskipun model ini memiliki banyak kelebihan dan tipe “core” ini dipromosikan sebagai desain untuk pendidikan umum dalam masyarakat yang kon-temporer, tetapi moel ini sangat sedikit digunakan di sekolah Amerika Serikat saat itu. Ada beberapa hal yang menyebabkannya. Pertama, model ini dipandang masih mempresentasikan desain subject centered curriculum,

tetapi mengingkari fundamennya sendiri dan meng-gunakan pendekatan yang terlalu lemah (soft pedagogy). Kedua, dalam penggunaan model ini sangat sulit menemukan sumber materi pada buku-buku kon-vensional dan guru yang terlatih. Ketiga, core curricu-lum yang bersifat pendidikan umum kurang disenangi (utamanya oleh masyarakat Amaerika), karena memereka lebih menghargai pendidikan vokasional dan spesialis. Mereka lebih m,enyenangi pendidikan yang “learning a living” daripada “learning how to live”.

(6)The social problems core

Model ini juga merupakan produk dari pendidikan progresif. Dalam beberapa hal model ini sama dengan

area of living core. Perbedaannya antara lain: Pertama, pada areas of living core lebih didasarkan pada kegiatan-kegiatan manusia yang universal dan tidak bersifat kontroversial, sedangkan pada social problems core

didasarkan pada problema-problema mendasar dan bersifat kontroversial. Seperi masalah, kemiskinan, kelaparan yang harus segera dipecahkan, perang senjata nuklir, dan sebagainya. Kedua, areas of living core

cenderung memelihara dan mempertahankan kondisi yang ada, sedangkan pada social problems core mencoba memberikan penilaian yang bersifat kritis dari sudut sistem nilai sosial dan pribadi yang berbeda.

Disamping memberikan tekanan pada nilai-nilai yang komflik, model desaain the social problems core

hampir sama dengan the areas of living design, yakni: 1. model ini berfokus pada pemecahan masalah (problem centered), 2. disipakan sebelumnya (preplanned), 3. terdiri atas tuntutan pembelajaran yang bersifat umum, dan 4. diajarkan dalam sebuah pembelajaran dengan blok waktu (block-time class).

Skop (scope)materi pembelajaran dalam the social problems core dikaitkan dengan identifikasi berbagai nproblem social yang kontemporer. Hal ini melahirkan beberapa pertanyaan berikut: 1. Kriteria apa yang akan digunakan untuk mengidentifikasi problem-problem krusial? 2. Apa yang telah teridentifikasi, selanjutnya bagaimana pengorganisirannya? Dan 3. Apakah hal itu merupakan pola kerja terintegrasi yang dapat mengakomodasi seluruh sifat problem-problem sosial?.

Adapun sekuens (sequence) dari core desain diatur berdasarkan faktor psikologi seperti kemaatangan, latar belakang pengalaman, prioritas pembelajaran, minat dan tingkat kesulitan. Bagaimanapun, sekuens problem yang diterapkan adalah “nilai-nilai sosial dan tujuan-tujuan apa yang menuntun pikiran dan tindakan publik (masyarakat) terkait dengan isu-isu sosial yang tidak terpecahkan”

Konstruksi unit kurikulum yang didasarkan pada problem sosial dapat diilustrasikan dalam empat pertanyaan berikut:

1. Bagaimana gambaran masyarakat yang ada saat ini? 2. Apa konsekuensinya bila mempertahankan kondisi

yang ada tersebut?

3. Bagaimana gambaran situasi yang ideal, yang betul-betul bernilai?

4. Jika gambaran pertanyaan ketiga berbeda dengan pertanyaan kedua, usaha apa yang diperlukan untuk mengatasinya, baik secara individu maupun kelompok.

Menyadari bahwa problema sosial tidaklah sederhana dan makin kompleks dari waktu ke waktu, Metcalf dan Hunt (1970: 360) mengajukan struktur so-cial problems core dengan empat pertanyaan berikut: 1. Bagaimana keadaan masyarakat yang ada sekarang,

dan apa saja yang menjadi trend dominan di dalam-nya?

2. Bagaimana keadaan masyarakat yang mungkin untuk untuk dimunculkan dalam waktu dekat.. yang menunjukkan keberlanjutannya?

3. Bagaimana keadaan masyarakat yang lebih baik dan bernilai?

4. Jika masyarakat yang diinginkan dan telah terjadi perbedaan dari masyarakat yang disiapkan, apa yang dapat dilakukan individu, baik secara peroarangan maupun kelompok, dan apa yang dilakukan kedepan untuk mengeleminasi kesenjang-an kesenjang-antara ykesenjang-ang terjadi dengkesenjang-an ykesenjang-ang disiapkkesenjang-an, kesenjang-antara ekspektasi dengan kerusakan?

Apa yang diajukan Metcalf dan Hunt di atas memberikan pengaruh bagi sebuah perencanaan yang terintegrasi secara menyeluruh problem-problem sosial inti (social problems core). Komponen utamanya adalah problem-problem spesifik masyarakat yang berkonstri-busi untuk menyatukan berbagai bentuk problem masyarkat yang terjadi, yang bertentangan dengan apa yang diharapkan. Pola kerja ini memerlukan medium yang ekselent untuk mengembangkan tantangan utama dari problem-problem sosial inti (social problems core), misalnya: mempelajari standar-standar nilai dan bagaimana menggunakannya dalam proses-proses berpikir kritis.

Meskipun model desain kurikulum dengan model desain the social problems core ini memiliki keunggulan dalam memberikan pembelajaran dan pengalaman bagi siswa dalam memecahkan berbagai problem sosial aktual yang dihadapi dalam kehidupan masyarakat, namun dalam penerapannya bukanlah tanpa hambatan atau kesulitan. Sebagaimana dinyatakan oleh Zais (1976:428) bahwa dalam catatan sejarah tidak ada sistem pendidikan yang terbebas dari control negara. Sejak

kurikulum social problems core menganjurkan adanya upaya kajian yang sungguh-sungguh terhadap kebijakan tetang sosial yang mutakhir dan membawa kedalam kritik pengujian orientasi nilai dasar budaya, kita tidak akan dikejutkan lagi bahwa ia telah menerima pertimbangan yang kritis. Tuduhan bahwa tujuan so-cial problems core untuk membentuk kembali masyarakat berdasarkan pada formula yang dibuat oleh perencana kurikulum dan para pendidik dadasarkan pada seuatu desain yang miskonsepsi adalah tidak benar. Sebagaimana Stanle dan Shores (1957:380) nyatakan, bahwa para guru dan siswa memiliki kapasitas yang terbatas untuk “memecahkan” problem-problem sosial, dan sekolah-sekolah jarang mencocokkan untuk memecahkan isu-isu tersebut.

Karena model desain the social problems core design

dipandang hampir sama dengan the areas of living de-sign, maka berbagai kelebihan dan kelemahan dari model desain kurikulum ini juga tidak jauh berbeda. Perlu dicatat, bahwa kategore problem-problem sosial (social problems) pada hakekatnya jauh kurang stabil daripada kategori area-area-kehidupan (areas of living), yang tidak terlihat dengan jelas perubahannya sepanjang waktu. Oleh karena itu, the social problems core dsign memerlukan upaya yang lebih besar dalam melakukan revisi secara terus menerus untuk menjaga relevansi dan keuptodetannya daripada the areas of liv-ing design atau model desain kurikulum lainnya.