• Tidak ada hasil yang ditemukan

SPIRITUALITAS ISLAM A Elemen Tasawuf dan Sejarahnya

D. Thar ī qah Dalam Tasawuf

3. Arti Zikir dan Hakikatnya dalam Esensi Sufistik

Zikir bukanlah doa aneh yang disusun sedemikian rupa dan dijalankan berdasarkan gerakan-gerakan tertentu lalu diberi alunan nada sehingga terdengar suara gemuruh layaknya lebah melindungi madunya. Zikir adalah doa bebas dan merupakan kebutuhan rohani manusia, tujuannya dirancang hanya untuk mengingat Allah SWT, baik disusun seunik mungkin maupun disela dengan gerakan tertentu, pengaturan nafas, dan diberi sentuhan estetik dengan alunan nada.

Pesan melaksanakan zikir paling fenomenal sepanjang sejarah adalah khutbah Ulama besar Syeīkh ‘Abd al-Qādir al-Jilānī (w.1165M.), tepat pada

Jum’at pagi 12 Dzulhijjah 545H. di madrasah An-Namurah Syeīkh berkata:

Rasulallah SAW bersabda, “Sesungguhnya hati ini berat dan sesungguhnya

penjernihannya adalah membaca al-Qur'ān, ingat mati, dan menghadiri

majelis untuk berzikir.”143 Komentar ini tidak jauh beda dengan uacapan Hasan al-Basri, “Carilah kegembiraan dalam tiga hal, Sholat, mengingat

Allah SWT, dan membaca al-Qur'ān. Jika engkau tidak menjalankannya,

budak dunia akan membelenggu kita, dan jika saja kita faham, bahwa tiga itu sebenarnya adalah satu, yaitu zikir. Karena sholat dan membaca al- Qur'ān adalah zikir.144

Zikir adalah siklus dari setiap pencapain maqāmāt. Sebagaimana tembok besar dibangun di atas pondasi kokoh, dan atap dibangun di atas

143 ‘Abd al-Qādir al-Jilani, Ajaran Tasawuf Syeīkh ‘Abd al-Qādir al-Jilani: Petunjuk Jalan Menuju Ma’rifah. Penerjemah ‘Abdullah Zaki al-Kaff (Bandung: Pustaka Setia, 2003), h. 149.

tembok besar.145 Untuk itu zikir adalah santapan awal membiasakan diri melafalkan kata Allāh disetiap gerak, baik secara emosional atau pengaruh psikologis. Zikir atau dalam istilah Persia yād kard merupakan satu dari sebelas perinsip guru-guru Naqsabandiyyah pada abad ke-13M. dan ke-14M. dengan esensi zikir adalah aturan awal perjalanan nurani menuju kepasrahan makhluk pada Tuhan.146 Karena perbedaan sepiritual individu satu dengan individu lain terlihat dari kualitas dan kuantitas zikir.

Zikir diibaratkan sebagai tiyang kokoh untuk berdiri fokus pada Allah SWT, karena orang tidak akan mampu mencapai kepasrahan pada Allah SWT tanpa mengingat-Nya terus menerus. Karena hidup tanpa sebuah ingatan kepada-Nya adalah angin lalu.147

Ingat pada Allah SWT merupakan sebuah praktik sekaligus keadaan esoteris yang mengandung paradoks-paradok kedahagaan dari sebuah pencarian. Asal katanya adalah ingat, justru pada muaranya “lupa” melupakan segala-galanya kecuali Allah SWT. Semua syaraf tubuh dikonsep untuk konsentrasi mengingat Allah SWT sampai-sampai orbit fikiran kosong dan hanya terisi lafal Allāh, Allāh, Allāh.148 Karena sebagai salah satu jalan cinta, zikir telah memberi manusia hasrat tidak terhingga, karena hanya dengan rindu dan cinta kristalisasi spiritual manusia terbentuk dari ingatan yang berulang-ulang.149

145 ‘Abdul Qādir ‘Isā, Hakeket Tasawuf, h. 86.

146 Sara Sviri, Cita Rasa Mistis: Demikianlah Sufi Berbicara. Penerjemah Ilyas Hasan (Bandung: Pustka Hidayah, 2006), h. 173.

147 Annemarie Schimmel, Dimensi Mistik Dalam Islam, h. 212. 148 Sara Sviri, Cita Rasa Mistis: Demikianlah Sufi Berbicara, h. 159.

149 Annemarie Schimmel, Dimensi Mistik Dalam Islam, h. 213. Lihat pula pada Mir Valliuddīn, Zikir Dan Kontemplasi Dalam Tasawuf, h. 85.

Pada masa awal, zikir tidak terlalu terikat oleh ruang dan waktu, sebab Allah SWT bisa dikenang di mana saja, kapan saja dan dalam keadaan apapun tanpa batasan keadaan.150 Baik secara formal dalam upacara

syarīah, seperti bacaan sholat dan membaca al-Qur'ān, atau secara santai

seperti pergi ke pasar dan mencangkul. Karena segala isi dunia menjadikan segalanya mampu mengingatkan manusia pada Tuhan.151 Pada masa selanjutnya, terlebih mulai berkembangnya tharīqah, aturan zikir dirintis dengan memberlakukan batasan-batasan thaharah/kesucian dari ikatan ketat ilmu syarīah. Sebab taraf awal seorang murid untuk bermeditasi adalah kesucian badani – wudhu/ terhindar dari hadas – menuju pada kesucian hati, karena kesucian hati adalah inti konsentrasi mecapai klimaks dalam zikir.152

Wudhu misalnya, ketika esensi syarīah disandingkan dengan tasawauf, maka akan terjadi dua penafsiran, pertama secara syarīah wudhu ditafsirkan sebagai syarat suci dari keabsahan sholat, sebab tanpa wudhu sholat seseorang dianggap tidak sah. Kedua penafsiran tasawuf, wudhu lebih bersifat eksternal dan netral tidak sekedar ikatan mutlak keabsahan suatu ibadah tertentu, sebab kesucian secara pisikologis dan mental adalah aturan untuk menjaga pandangan terhadap hal-hal munkar. Dari membasuh muka fungsinya menjaga pandangan dari maksiat, membasuh kedua tangan bertujuan agar tangan terjaga dari hal-hal haram “kosrupsi/mencuri,” begitu seterusnya hingga membasuh kedua kaki, secara syarīah memang

150 ‘Abdul Qādir ‘Isā, Hakeket Tasawuf, h. 105.

151 Annemarie Schimmel, Dimensi Mistik Dalam Islam, h. 212.

152 Tentang adab zikir selengkapnya bisa dibaca pada ‘Abdul Qādir ‘Isā, Hakeket Tasawuf, h. 111.

membersihkan anggota tubuh, tetapi esensial tasawuf menyucikan sifat dan sikap.153

Perpaduan mencolok antar zikir dan badan adalah gerakan, disadari ataupun tidak, ketika mulut sedang basah dalam zikir, tiba-tiba anggota badan ikut bergerak sesuai irama lafal zikir.154 Pelaku zikir mampu menikmati zikir dengan gelengan kepala, tepuk tangan, dan terjadinya tarian fantastis pada tharīqah Mawlawiyyah Jalāl al-Dīn Rūmī, pada saat mabuk

zikir tenggelam dalam putaran tubuh dengan gaya estetis seperti gangsing. Kisah-kisah hilangnya kesadaran dalam zikir Sufi memang sering terjadi, apalagi jika dikaitkan dengan Wali-wali agung, simak saja kisah antara Ibn ‘Abdullāh at-Tustari dan muridnya. Diriwayatkan Abdullāh at-

Tustari berkata pada muridnya, “Teruslah mengingat kata Allāh, Allāh,

Allāh setiap hari, lakukan itu esok dan seterusnya, sampai ucapan kata

Allāh benar-benar basah dalam ingatan.” Kemudian ‘Abdullāh at-Tustari

berkata, “Stop, jangan kau ucapkan lagi kata Allāh, tetapi resapi dalam

setiap fisik, indara, dan mentalmu, sampai-sampai titik pisikologismu membaur dengan kalimah Allāh.” Diceritakan selanjutnya pada suatu hari kepala murid tertimpa balok besar dan membuat kepalanya pecah, dari kepalanya meneteskan darah di lantai dengan tulisan Allāh, Allāh, Allāh.155 Dalam cerita lain yang nampaknya berlebihan dari puncak kenikmatan zikir adalah kisah pertapa Hindia, diceritakan sejumlah Sufi mengalami ekstase

153 Mehdy Zidane, ed., Mengenal Tharekat Ala Habib Lutfi Bin Yahya, h. 40. 154 Sara Sviri, Cita Rasa Mistis: Demikianlah Sufi Berbicara, h. 181.

155 Sara Sviri, Cita Rasa Mistis: Demikianlah Sufi Berbicara, h. 161. Lihat pula Annemarie Schimmel, Dimensi Mistik Dalam Islam, h. 214.

dalam zikir sampai anggota badannya lepas-lepas dan masing-masing menyebut asma Allah SWT.156

Pemilihan murid dalam dunia sufistik dilakukan dengan seleksi ketat, seleksi model ini bukan berarti mempersulit individu atau golongan belajar kesufian. Semua bisa masuk dan mendalami ilmu tharīqah, tetapi aturan

final dari masing-masing mursyid terhadap psikologis atau seberapa parah kerusakan pada jiwa Salīk berdampak pada racikan zikir sebagai obat pendidikan Salīk. Mula-mula seorang guru melihat secara psikologis siapa muridnya, kemudian memilihkan zikir yang sesuai dengan kebutuhan rohaniahnya. Menurut Ibn Khafif, pelaku mistik dalam taraf harapan memiliki racikan zikir yang berada dengan pelaku mistik tahap kepasrahan.157 Nampak dari sini bahwa guru tharīqah tidak bisa dibedakan layaknya seorang dokter perujuk obat pada pasien, sehingga dokter tharīqah/mursyid memiliki hak prerogative atas masing-masing murid dari pembagian racikan zikir.158 Peran pemandu tharīqah/mursyid sangat penting, karena barang siapa berjalan tanpa pemandu, maka dia memerlukan waktu dua ratus tahun untuk perjalanan dua hari. Diceritakan ketika seorang murid melakukan pengabdian pada Syeīkh, murid diberi tugas sebagai pembersih kakus.

Ibunya seorang dokter yang berlimpah materi tahu keberadaan putranya menyedihkan, kemudian berinisiatif agar putra kesayangannya tidak diberikan tugas demikian dengan mengirimkan dua belas budak bangsa Turki untuk menggantikan pekerjaan putranya, tetapi Syeīkh menjawab, “Anda seorang

156 Annemarie Schimmel, Dimensi Mistik Dalam Islam, h. 219. 157 Annemarie Schimmel, Dimensi Mistik Dalam Islam, h. 216. 158 ‘Abdul Qādir ‘Isā, Hakeket Tasawuf, h. 120.

dokter?. Andaikata putra anda menderita radang kantung empedu, apakah obatnya harus saya berikan pada dua belas budak Turki?. Kisah adaptif

abad ke-12M. tersebut merupakan gambaran menarik dari kepasrahan seorang murid pada ketetapan guru.159

Zikir bagi murid pemula adalah berpura-pura – sekedar lidah, belum tumbuh pada sikap dan hati. – Artinya, murid dalam masa awal sangat berat memberikan porsi lebih pada Tuhan, dengan sistem berpura-pura cinta pada Tuhan merupakan pelatihan dasar spiritual murid. Karena dengan pengawasan ketat ilmu syarī’ah dan dilaksanakan secara konsisten, rasa awal tentang pura-pura cinta pada Tuhan berubah total pada kepasrahan, klimaksnya seorang murid akan merasa kehilangan jika tidak memanjakan dirinya “zikir” pada Allah SWT.160 Tidak berlebihan jika Sufi berkata,

“Tidak dikabulkannya doa adalah hal menyebalkan, akan tetapi lebih menyebalkan jika aku tidak berdoa”.161 Saya terinspirasi penafsiran kisah adaptip dari Hasan ibn ‘Ali cucu Rasulallah SAW. Ketika ditanya tentang siapa perempuan paling cantik di dunia?. Jawabnya, “Perempuan paling

cantik di dunia adalah yang berzikir dimalam hari.” Mengapa?, “Karena saat itu dia hanya berteman dengan Tuhan dan melupakan kekasihnya di dunia.”162

Selain pada taraf pemaksaan diri menerima lafal Allāh, biasanya seorang Guru memberikan nama khusus pada muid-muridnya, hal ini disesuaikan pada karakteristik murid dan perkembangan spiritualnya, nama-

159 Annemarie Schimmel, Dimensi Mistik Dalam Islam, h. 127. 160 Muhammad Shādiq ‘Arjūn, Sufisme: Sebuah Refleksi Kritis. h. 99. 161 Annemarie Schimmel, Dimensi Mistik Dalam Islam, h. 197. 162 Annemarie Schimmel, Dimensi Mistik Dalam Islam, h. 197

nama diadopsi dari asma mulia sembilan puluh sembilan pada al-Qur'ān,

maksudnya agar amarah pada diri murid berubah pada sifat-sifat yang lekat dengan asma mulia sembilan puluh sembilan.163 Syeīkh ‘Abdul Qādir ‘Isa

menyimpulkan ada tiga bentuk bacan zikir dari pengajaran mursyid tharīqah pada murid, pertama istighfar, “Astaghfirullāh,” kedua sholawat pada Nabi Muhammad SAW, “Allāhumma shalli ‘alā syyidina Muhammad ‘abdika wa

rasūlikanan-nabiyī al-ummī wa ‘alā ālihi wa sahbihi wa sallim,” dan ketiga kalimat tauhid, “Lā ilāha illallāh wahdahu lā syarīkalah, lahu al-mulk

walahul hamd, wa hua ‘alā kulli syai’ qadīr.”164

Perkambangan meditasi sufistik tidak hanya inklusif pada rumusan zikir, masa berikutnya deferensial dengan mengasimilasi unsur eksternal, seperti sejak abad ke-9M. penggunaan tasbih/subha untuk menghitung dan mengingat-ingat jumlah bacaan zikir. Sebagian Sufi kontradiksi dengan pendapat itu, karena penggunaan tasbih melalikan hakikat awal pada Tuhan, karena dalam penggunaan tasbih terdapat unsur permainan, sehingga tidak mampu menenggelamkan Sufi pada doa.165 Penambahan unsur luar tidak hanya berhenti pada obyek tasbih, pengatuaran nafas semacam sistem Yoga mulai diadopsi, hal ini dilakukan kembali pada alasan dasar, agar murid bisa lebih masuk pada kesadaran tuggal, sehingga menghantarkan murid pada keadaan klimaks akan zikir.

163 Sudirman Tebba, Meditasi Sufistik (Bandung: Pustaka Hidayah, 2004), h. 89.

164 Lebih cenderung menyebut “wirid” pada ritual zikir Sufi, lengkapnya bisa dibaca di ‘Abdul Qādir ‘Isā, Hakeket Tasawuf, h. 154.