• Tidak ada hasil yang ditemukan

Ajaran tasawuf K.H Hamim Djazuli (Gus Meik) dalam dzikrul ghoflin dan Semaan al-qur'an jantiko mantab

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Ajaran tasawuf K.H Hamim Djazuli (Gus Meik) dalam dzikrul ghoflin dan Semaan al-qur'an jantiko mantab"

Copied!
213
0
0

Teks penuh

(1)

K.H. HAMIM DJAZULI (GUS MIEK)

dalam Dzikrul Gh

ō

fil

ī

n dan Semaan Al-Qur’

ā

n Jantiko Mantab

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Filsafat Islam (S.Fil.I.)

Oleh

Oleh:

Muhammad Makinudin Ali

NIM: 1070 3310 1470

PROGRAM STUDI AQIDAH FILSAFAT

FAKULTAS USHULUDDIN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

(2)

LEMBAR PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa :

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan untuk memperoleh gelar strata satu (S1) di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika dikemudian hari karya ini terbukti bukan karya asli penulis atau merupakan jiplakan dari karya orang lain, maka penulis bersedia menerima sangsi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, 25 Agustus, 2011M.

(3)

K.H. HAMIM DJAZULI (GUS MIEK)

dalam Dzikrul Ghōfilīn dan Semaan Al-Qur’ān Jantiko Mantab

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Ushuluddin dan Filsafat Sebagai Syarat Akademisi untuk Memperoleh

Gelar Sarjana Filsafat Islam (S. Fil.I)

Oleh

Muhammad Makinuddin Ali

NIM: 1070 3310 1470

Pembimbing

Dr. Hj. Sri Mulyati, M.A.

NIP. 19560417 198603 2 001

JURUSAN AQIDAH FILSAFAT

FAKULTAS USHULUDDIN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

(4)

Skripsi berjudul AJARAN TASAWUF K.H. HAMIM DJAZULI (GUS MIEK) dalam Dzikrul Ghōfilīn dan Semaan Al-Qur’ān Jantiko Mantab telah diujikan

dalam sidang munaqasyah pada tanggal 29 November 2011. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh Gelar Sarjana Strata Satu (S1) pada Jurusan Aqidah Filsafat.

Jakarta, 29 November 2011

Panitia Sidang Munaqasyah,

Ketua Merangkap Anggota

Drs. Agus Darmaji M.Fils.

NIP. 19610827 199303 1 002

Sekretaris Merangkap Anggota

Dra. Tien Rohmatin M.A.

NIP. 19080803 199430 2 002

Anggota

Dr. Syamsuri M.A.

NIP. 19590405 198903 1 003

Dosen Pembimbing

Dr. Sri Mulyati M.A.

(5)

KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmānirrahīm

Al-hamd lillāh rabbil ‘alamīn, Allāhumma shalli ‘alā syyidina

Muhammad ‘abdika wa rasūlikanan-nabiyyī al-ummī wa ‘alā ālihi wa

sahbihi wa sallim. Dua dzat yang berbeda, namun menjadi tujuan inti poros spiritual, yaitu Allah SWT dan Muhammad SAW. Allah SWT penyedia tujuan dari segala jalan, dan Muhammad adalah pamong penunjuk jalan, eksistensinya adalah fitalitas alam semesta, seperti konsep penunjuk jalannya rahmat bagi seluruh alam. Para Wali-wali agung Syeīkh ‘Abd al-Qādir al-Jilānī, Abū Hamid Muhammad al-Ghazālī, Mawlana Jalāl al-Dīn Rūmī, Uways al-Qarānī, Abū Dzār al-Ghifārī (si miskin yang tidak memiliki apapun, tetapi keberadaannya dimiliki Tuhan) mereka adalah wasilah, mata rantai segala spiritual untuk menghubungkan kita pada Muhammad SAW dan bermuara pada Allah SWT. Segala pujian penulis ucapkan atas keberadaan mereka, karena kisah adaptip, inspirasi, dan motifasinya membuat penulis mampu menyajikan karya ini, dan semoga mereka sudi mengakui kita sebagai santrinya di akhirat nanti. Amin.

Ucapan Al-hamd lillāh dan terimakasih penulis sampaikan pada: 1. Keluarga besar Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah

(6)

sebagai Dekan Fakultas Ushuluddin. Drs. Agus Darmaji M.Fil dan Dra. Tien Rahmatin MA., sebagai Ketua jurusan dan Sekertaris jurusan Aqidah Filsafat. Dr. Sri Mulyati MA., sebagai dosen pembimbing dalam menyelesaiakan karya tulis AJARAN TASAWUF K.H. HAMIM DJAZULI (GUS MIEK) dalam

Dzikrul Ghōfilīn dan Semaan Al-Qur’ān Jantiko Mantab. Dra.

Wiwik Siti Sajarah M.A., sebagai pembimbing selama belajar tasawuf. Drs. Muhammad Ismail M.A., sebagai dosen pembimbing Kuliah Kerja Sosial di desa Girikerto kec. Sine kab. Ngawi periode 2010M. Prof. Dr. Muslim Nasution M.A., sebagai dosen Penasehat Akademik. Drs. Nanang Tahqiq M.A., sebagai dosen motivator sekaligus memperkenalkan penulis pada LABFIT (Laboratorium Filsafat dan Tasauf). Para dosen-dosen pemberi kontribusi mengajarkan ilmu pengetahuan di jurusan Aqidah Filsafat Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dari tahun 2007-2011M.

2. Keluarga besar bani Arba’i Qahhar khususnya dan paling utama

bani Zainuddin, bani Ali Sufa’at Ponorogo, dan semua saudara di

manapun berada (Banyuwangi – Ahl Sarqub – Sarjana Kuburan). Karya ataupun dianggap sebuah mainan, tulisan ini adalah langkah awal kebangkitan.

(7)

dadekno panutan,” dan keluarganya, Gus Sabut (Terimakasih

mengizinkan penulis mendeskripsikan ajaran tasawuf Gus Miek). Para nara sumber K.H. Muhammad Arsyad, K.H. Muhammad Asfhar, Mas Nur Bandar Kediri (Terimakasih atas rekaman pidato Gus Miek), K.H. Sayid Abdillah Jogjakarta, K.H. Abdul Wahid, Muhammad Aziz Akhsani (Terimakasih atas jemputannya di Jogjakarta).

(8)

(Cerita di Anyer), dan anak-anak WDS (Wirling Darvises Sociality). Uchie, Anita, Arma, Nisa, Bily, Aul, Anggi, Harno, Farhan, Rizqi, Kobra (yang tidak disebut telah disebut di awal,

Piss).

5. Sahabat di Bandung, Riky Prabowo (Saya pernah tersesat dan engkau datang menolong, terimakasih kawan). Mikyal Arini, Nonon, Amih, Mamah, Ghina (kita pernah tertawa bersama, terimakasih tulang jambalnya), Ara dan bang Ubay, Ayu, Achie (Jadilah bidan yang baik).

Hidup ini adalah rantai, satu sama lain saling mengikat, semakin kuat ikatan itu semakin kita tidak pernah terpisah. Terimakasih semuanya, karya ilmiah ini untuk anda.

Jakarta, 25 Agustus 2011M.

(9)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR i

DAFTAR ISI v

PEDOMAN TRANSLITERASI viii

BAB I PENDAHULUAN 1

A. Latar Belakang Masalah 1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah 13

C. Tujuan Penelitian 14

D. Metode Penelitian 14

E. Sistematika Penulisan 16

BAB II SPIRITUALITAS ISLAM 17

A. Elemen Tasawuf dan Sejarahnya 17 B. Argumentasi Doktrin Tasawuf 35

1. Internal Islam 35

a. Al-Qur'ān dan Hadīts 35

b. Prototipe Kehidupan Sahabat 38 2. Islamisasi Ajaran Eksternal Islam 39 a. Pengaruh Ajaran dan Agama Eksternal Islam 39 b. Pengaruh Bngsa-bangsa di Dunia 40

C. Karakteristik Tasawuf 42

1. Tasawuf Falsafi 43

2. Tasawuf Sunni 46

D. Tharīqah Dalam Tasawuf 48

3. Sejarah Tharīqah 50

(10)

1. Lafal dalam Zikir 58

2. Macam-macam Zikir 61

3. Arti Zikir dan Hakikatnya dalam Esensi Sufistik 64 F. Al-Qur’ān dalam Dimensi Sufistik 71

BAB III BIOGRAFI K.H. HAMIM DJAZULI (GUS MIEK) 77

A. Seting Sosial Lingkungan Keluarga 77

B. Biografi 80

C. Kontradiktif Metode dan Tempat Dakwah 89 D. Hari-hari Terakhir K.H. Hamim Djazuli 102

E. Makam Walīallāh Tambak 104

BAB IV AJARAN TASAWUF K.H. HAMIM DJAZULI DALAM

DZIKRUL GHŌFILĪN 108

A. Ajaran dan Argumentasi History Dzikrul Ghōfilīn 108 B. Perdebatan Sentralisasi Imam Dzikrul Ghōfilīn 119 C. Rumusan Isi dalam Dzikrul Ghōfilīn 124

BAB V AJARAN TASAWUF K.H. HAMIM DJAZULI DALAM

SEMAAN AL-QUR’ĀN JANTIKO MANTAB 138

A. Argumentasi History Semaan Al-Qur’ān Jantiko Mantab 138 B. Semaan al-Qur’ān Jantiko Mantab 141 C. Semaan al-Qur’ān Jantiko Mantab di Keraton Jogja 150

BAB VI PENUTUP 156

A. Kesimpulan 156

B. Saran-Saran 158

DAFTAR PUSTAKA 159

(11)

Djazuli) ... 166 2. Teks Wawancara dengan K.H. Abdul Wahid (Juru Kunci makam Tambak/

Makam Gus Miek) ... 177 3. Teks Wawancara dengan K.H. Muhammad Arsyad (Pengasuh Pesantren

al-Falah Trenceng Tulungagung/ Murid Gus Miek) ... 179 4. Teks Wawancara dengan K.H. Muhammad Asfhar (Pengasuh Pesantren

al-Falah Sukoanyar Tulungagung/ Santri Gus Miek) ... 184 5. Teks Wawancara dengan Mas Nur (Sopir Pribadi/ Santri Gus Miek) . 187 6. Teks Wawancara dengan K.H. Sayid Abdillah (Imam Dzikrul Ghōfilīn

Daerah Bantul Jogjakarta/ Panitia Jantiko Mantab Keraton Jogja) ... 192 7. Teks Cuplikan Pidato K.H. Hamim Djazuli dalam Majelis Dzikrul Ghōfilīn

(12)

PEDOMAN TRANSLITERASI

Transliterasi kata-kata Arab yang dipakai dalam penyusunan skripsi ini berpedoman pada buku pedoman Akademik Fakultas Ushuluddin dan Filsafat Universitas Islam Negri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2005/2006.

Padanan Aksara

Berikut adalah daftar aksara Arab dan padanannya dalam aksara latin:

Huruf Arab Huruf Latin Keterangan

ا

Tidak dilambangkan

ب

b be

ت

t te

ث

ts te dan es

ج

j je

ح

h h dengan garis bawah

خ

kh ka dan ha

د

d de

ذ

dz de dan zet

ر

r er

ز

z zet

س

s es

ش

sy es dan ye

ص

s es dengan garis bawah

ض

d de dengan garis bawah

ط

t te dengan garis bawah

ظ

z zet dengan garis bawah

ع

‘ koma terbalik di atas hadap kanan
(13)

ق

q ki

ك

k ka

ل

l el

م

m em

ن

n en

و

w we

ھ

h ha

ء

` apostrof

ي

y ye

Vokal

Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan

— َ◌ a Fathah

ِ◌— i Kasrah

— ُ◌ u Dammah

Vokal madd (panjang)

Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan

-&

ā a dengan topi di atas

'ــ

ī i dengan topi di atas

(14)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Agama dalam perkembangannya tidak hanya mengatur kebenaran dan tata cara memahami ketauladanan hidup, lebih dari itu setiap agama memiliki potensi melahirkan bentuk keagamaan bersifat mysticism sesuai corak dan keyakinannya masing-masing. Fakta ini dapat ditelusuri pada agama-agama di dunia dan aliran kebatinan pada masa sekarang.

Ketika berbicara metode mendekatkan diri pada Tuhan dalam konteks Islam, maka akan menggiring pemeluknya pada satu tatanan teori yang dikenal luas dan mulai dikembangkan sekitar tahun 200H./816M. Metode ini memberikan pondasi pada pemeluk Islam akan hakikat manusia dalam menempatkan posisinya di hadapan Allah SWT, selain dari reaksi lahirnya merupakan protes terhadap disiplin syarīah yang dianggap terlalu kering. 1 Metode dengan istilah tasawuf “sufisme” tidak hanya populer bagi kalangan Muslim di Timur, kajian tasawuf juga berkembang pada para ilmuan Muslim di Barat,2 Annemarie Schimmel contohnya, Schimmel adalah

1

Aboebakar Atjeh, Sejarah Sufi dan Tasawuf (Bandung: Tjerdas, 1962), h. 31. Lihat pula Abdul Aziz Dahlan, ed., Ensiklopedi Hukum Islam (Jakarta: PT. Intermasa, 1997), jilid 4, h. 1640.

2 Tasawuf adalah elemen penting dalam Islam, keberadaannya mampu menjadi jembatan bagi dunia Timur dan Barat. Lihat Reynold Alleyne Nicholson, Tasawuf Cinta: Studi Atas Ibn Abī

(15)

sejarawan dan peneliti tasawuf dari Universitas Harvard Amerika Serikat.3 Selain Schimmel, banyak pula ilmuan Barat non Muslim asik menghabiskan waktunya untuk mengkaji tasawuf.

Sufisme dalam Islam sebagaimana mysticism dalam agama Iain, sejarah linguistic-nya diambil dari bahasa Yunani “Myein” (Menutup Mata),4 dengan esensitas memperoleh hubungan langsung dengan Tuhan. Intisari dari

mysticism termasuk di dalam sufisme adalah kesadaran adanya komunikasi

rohaniah antara manusia dengan Tuhan lewat jalan kontemplasi (zikir).5 Menulis atau merumuskan mistik Islam tidak mudah, bahkan hampir tidak mungkin terlaksana secara utuh. Pemahaman atas dasar tasawuf hanyalah pemahaman terhadap diri kita sendiri. Semakin jauh kita menyelidiki tasawuf, maka semakin sulit menemukan ujung dari tasawuf.6 Karena pembicaraan tasawuf tidak seperti pengajaran dosen terhadap mahasiswanya, atau menggunakan berbagai macam metode dan ungkapan layaknya teori-teori ilmiah.

Pendekatan filsafat ataupun penalaran murni tidak mampu mengoreksi tasawuf secara utuh. Sebab hanya metode gnosis dan pemusatan sepenuhnya pada kearifan hati adalah jalan mendalami tasawuf secara proporsional bagi pelakunya.7

3

Yunsaril Ali, “Tasawuf,” dalam Taufik Abdullah, ed., Ensiklopedi Tematis Dunia Islam: Pemikiran Dan Peradaban (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Houve, tt), h. 139.

4 Annemarie Schimmel, Dimensi Mistik Dalam Islam. Penerjemah Sapardi Djoko Damono., dkk. (Jakarta: Pustaka Firdaus 2000), h. 1.

5 Wahidin, “Pasang Surut Thariqah Al-Mu'tabarah,” Suara Merdeka, Kamis, 24 Maret 2005.

(16)

Deskripsi rumit atas tasawuf tidak lepas dari berbagai pengalaman spiritual individu, belum lagi tasawuf selalu berkembang dari zaman ke zaman. Deskripsi tentang tasawuf mendekati sempurna dipaparkan Jalāl al-Dīn Rūmī dalam kitabnya Matsnawī, 8 Rūmī mengibaratkan beberapa orang buta memegang gajah. Masing-masing dari orang buta menyimpulkan bentuk gajah dari bagian tubuh gajah yang disentuh. Ada yang mengatakan gajah seperti kipas lebar, seperti pipa air, dan seperti tiang. Sehingga pengertian tasawuf adalah proses awal untuk mengetahui hakikat tasawuf,9 dan mendeskripsikannya merupakan kegiatan subyektif semata. Subyektivitas dalam tasawuf tidak lepas dari perbedaan pemahaman dasar hakikat tasawuf dan pengaruh tasawuf hingga dewasa ini. Perbedaan spiritualitas seseorang merupakan faktor penyebab ketidak seragaman tasawuf, hasilnya pengalaman individu dalam tasawuf tidak dapat dibagi kepada orang lain, bisa dilihat spiritualitas orang awam akan berbeda dengan ahli ma’rifah, dan ini menjadikan keduanya terpisah. Aboebakar Atjeh dalam bukunya Sejarah Sufi

dan Tasawwuf menuliskan, bahwa hanya orang kuat secara spiritual yang

mampu memahami tasawuf, demikian kuatnya sehingga dirinya mampu meninggalkan materialisme keduniawian dengan orientasi pada indrawi.10

Indrawi tidak dalam posisi pengingkaran mutlak, sehingga Sufi benar-benar mengabaikan duniawi. Indrawi tetap dibutuhkan, namun dengan

8 Rūmī adalah pendiri tharīqah Mawlawīyah, dikenal di Barat dengan “The Wirling Dervishes”/ Tari Berputar. Rūmī lahir di Balkh – Afganistan bagian Utara – pada tanggal 30

September 1207M. bertepatan pada tanggal 6 Rabīul Awwal 604H. Balkh saat itu adalah daerah

tumbuh pesatnya mistik Islam. Rūmī meninggal di Konya – Turki – pada tanggal 17 Desember 1273M.Lihat Jalāl al-Dīn Rūmī, Yang Mengenal Dirinya Yang Mengenal Tuhannya. Penerjemah

Anwar Kholid (Bandung: Pustaka Hidayah, 2004), h. 9. Lihat pula Yunsaril Ali, “Tasawuf,” h. 354.

9 Yunsaril Ali, “Tasawuf,” h. 140.

(17)

proporsi berbeda dari nilai manfaat bagi kebutuhan spiritual dan mental sufi. Kita tidak mampu mengelak, bahwa indrawi berperan besar terhadap kehidupan materialisme manusia. Saya teringat cerita Rūmī terhadap Sufi yang beralih meninggalkan duniawi secara mutlak dengan alasan ingin menjadi kekasih sejati. Dalam bukunya Fīhi mā Fīhi Rūmī bercerita, “Sungguh jika semua pemintal benang dan penenun kain di dunia ini meninggalkan dunia (pekerjaannya) dan beralih semata-mata ingin lebih fokus terhadap kenikmatan lain (Tuhan-Nya), niscaya semua orang di dunia telanjang.”11 Uraian tersebut memiliki kesimpulan adanya keseimbangan antara spiritualitas dan materi , namun dengan satu tujuan, seorang dihimbau untuk tidak terjebak pada obyek materi , sebab itu akan menjadi hijab sufi terhadap Sang Kekasih.

Abū al-Wāfa’ al-Ganāmi at-Taftazāni menggambarkan ciri tasawuf seperti berikut:

ﺘﻟا

فﻮﺼ

ﺔﻔﺴﻠﻓ

ةﺎﻴﺣ

فﺪ

ﱃا

ﻰﻗﺮﺗا

ﺲﻔﻧﺎﺑ

ﺎﻴﻘﻠﺧا

ﻖﻘﲢو

ﺔﻄﺳاﻮﺑ

تﺎﻴﺿﺎﻳر

ﺔﻴﻠﻤﻋ

ىدﺆﺗ

ﱃا

رﻮﻌﺸﻟا

ءﺎﻨﻔﻟا

ﺔﻘﻴﻘﳊﺎﺑ

ﻰﲰﻻا

نﺎﻓﺮﻌﻟاو

ﺎﻗودﺎ

ﻼﻘﻋﻻ

ﺐﻌﺼﻳو

ﲑﻌﺘﻟا

ﺎﻬﻘﺋﺎﻘﺣ

ﺎﻻ

ﺪﺟو

ﺔﻴﻧ

ﻊﺑﺎﻄﻟا

ﺔﻴﺗاذو

.

Artinya: “Tasawuf adalah pandangan hidup yang bertujuan

meningkatkan jiwa dari segi akhlaknya, dengan cara melakukan latihan-latihan tertentu bersifat praktis yang mampu membawa kepada timbulnya kesadaran rohani peleburan diri dalam hakikat tertinggi, dan memperoleh pengetahuan (‘Ilm al-Haqīqah) dengan rasa, bukan dengan akal. Keadaan rohani

yang dialami Sufi sulit diungkapkan keadaan sebenarnya, karena merupak center to feel dan bersifat pribadi.”12

11 Jalāl al-Dīn Rūmī, Yang Mengenal Dirinya Yang Mengenal Tuhannya, h. 148.

(18)

Dari uraian di atas, tasawuf dapat dilihat dalam tiga kategori: Kategori al-Bidāyah, menekankan kecenderungan jiwa dan hanya memfokuskan kerinduannya pada satu Yang Mutlak. Sehingga apapun caranya akan ditempuh agar mampu mencapai sedemikian dekat pada Yang Mutlak.

Kategori al-Mujāhadaāt, suatu pengalaman dan perilaku berkonsentrasi pada akhlak terpuji sesuai aturan ‘Ilm syarīah dalam agama Islam.

Kategori al-Mazāqāt, suatu pengalaman dengan titik tekan pada pencapaian kepuasan rohaniah bermuara pada Allah SWT.13

Secara singkat dari pandangan Taftazāni dapat dipahami, bahwa karakteristik keutamaan tasawuf adalah pendekatan nilai moral, etika, dan belajar tidak terlalu condong pada materialisme . Satu hal penting di sini. Tasawuf dengan berbagai perbedaan persepsinya tidak melahirkan doktrin pembrontak aturan syarī’ah Islam. Harun Nasution memberikan argumentasi bahwa ragam tasawuf tidak berarti keluar dari Islam. Sebab dalam Islam ajaran-ajaran tasawuf dirujuk dalam al-Qur’ān dan Sunnah Rasulallah SAW.14

Al-Qur’ān telah diterima sejak awal oleh kaum setia sebagai keimanan yang tidak diciptakan dan sama-sama qadim dengan Allah SWT. Al-Qur’ān sebagai “leksikon unik” bagi rujukan mutlak segala macam ilmu, khususnya bagi kaum mistik.15 Ajaran tasawuf dalam al-Qur’ān antara lain bisa dilihat pada surāh al-Baqarah ayat 115:

!ρ ä−̍ô±ù#

Ü

>̍øóù#ρ

4

$ϑΖ÷ƒ'ù #θ—9θè?

§ΝVù

ç ô_ρ

!#

4

āχÎ) !#

ì

ìÅ™≡ρ ÒΟŠÎ=æ

∩⊇⊇∈∪

13 Yunsaril Ali, “Tasawuf,” h. 40. 14 Yunsaril Ali, “Tasawuf,” h. 144.

(19)

Artinya: “Dan kepunyaan Allah-lah Timur dan Barat. Maka

kemanapun kamu menghadap di situlah wajah Allah. Sesungguhnya Allah Maha luas (rahmat-Nya) lagi Maha Mengetahui.”

Rasulallah SAW bersabda: “Syarī’ah itu ucapanku, Tharīqah16 itu perbuatanku, Haqīqah itu merupakan tingkah lakuku, dan Ma’rifah itu puncak kekayaan lahir maupun batin.” (H.R. Anas ibn Mālik). Jadi,

Syarī’ah terkait dengan Haqīqah dan Haqīqah terikat kepada Syarī’ah.

Sedangkan dalam Hadīts Qudsī disebutkan:

ﺖﻨﻛ

اﺰﻨﻛ

ﺎﻴﻔﳐ

ﺖﺒﺒﺣﺎﻓ

نا

فﺮﻋا

ﺖﻘﻠﺨﻓ

ﻖﻠﳋا

ﱐﻮﻓﺮﻌﻴﺒﻓ

Artinya: “Aku pada mulanya adalah harta yang tersembunyi,

kemudian Aku ingin dikenal, maka Aku ciptakan makhluk dan merekapun mengenal-Ku melalui diri-Ku.”

Menurut Hadīts di atas, bahwa Tuhan bisa dikenal melalui makhluk-Nya, dan pengetahuan tertinggi ialah mengetahui Tuhan melalui dirinya.17 Sālik sebagai pelaku tasawuf secara awal harus memahami itu.18

Sejarah penyebaran Islam membuktikan, bahwa agama Islam di berbagai belahan dunia berkembang berkat jasa para Ulama tasawuf kemudian dikenal sebagai Wali Allah SWT atau Sufi, diantaranya terjadi di India, Afrika Utara, Afrika Selatan, dan Indonesia. Di Aceh terkenal dengan serambi Makkah, suatu gelar diberikan untuk menggambarkan betapa pesatnya kemajuan ilmu-ilmu Islam di daerah itu dengan tokohnya Hamzah

16

Tharīqah adalah gerakan lengkap untuk memberikan latihan-latihan rohani dan jasmani dalam masyarakat Islam menurut ajaran-ajaran dan keyakinan masing-masing mursyid tharīqah. Annemarie Schimmel, Dimensi Mistik Dalam Islam, h. 123. Lihat pula Aboebakar Atjeh, Sejarah Sufi dan Tasawuf, h. 36.

(20)

Fansuri dan Syeīkh Syamsuddin Sumatrani,19 Syeīkh Nuruddin Arraniri, dan Syeīkh ‘Abdurrauf Singkel.20 Mereka adalah contoh Ulama tasawuf dengan predikat pengembang Islam di Tanah Sumatra khususnya Aceh. Selain di Sumatra, penyebaran tasawuf juga meramaikan daerah Makasar dengan tokohnya Syeīkh Yusuf Makasari (murid Syeīkh Nurruddin Arraniri). Kalimantan juga tidak ketinggalan dengan tokohnya Syeīkh Ahmad Khatib Sambas, seorang tokoh penyebar tharīqah Qadiriyyah Naqshabandiyah. Demikian pula di Tanah Jawa. Kita tidak asing dengan istilah Wali Songo (Wali Sembilan) sebagai penyebar Islam di Jawa. 21

Jauh setelah periode Wali Songo tasawuf semakin berkembang di Jawa. Kita bisa lihat adanya tharīqah Qadiriyyah Naqshabandiyah di Tasikmalaya Jawa Barat dengan mursyid-nya Abah Anom atau K.H. A. Shohibulwafa Tajul Arifin, tharīqah Naqshabandiyyah Haqqāni di kawasan Blok M Bulungan Jakarta Selatan dengan direkturnya Arif Hamdani. Jawa Tengah dengan Syeīkh Muslim ibn ‘Abdurrahman dari Maranggen, K.H.

19 Kedua tokoh tasawuf dengan corak tasawuf falsafi, atau tasawuf dengan pendekatan filsafat yang merujuk pada Ibn ‘Arābi dan al-Hallāj, baik keduanya terinspirasi oleh filsafat Yunani. Lihat Sokhi Huda, Tasawuf Kultural Fenomena Sholawat Wahidiyah (Yogyakarta: LKiS, 2008), h. 4.

20 Setelah munculnya Syeīkh Nuruddin Arraniri, dan Syeīkh Abdurrauf Singkel, corak tasawuf berubah arah, yang semula bercorak Falsafi menjadi tasawuf Sunni, atau melakukan pendekatan berdasarkan teori yang dikembangkan Imam al-Ghazālī, yaitu merujuk kembali secara total pada al-Qur’an dan Sunnah tanpa adanya unsur Yunani. Tipikal tasawuf ini yang seterusnya banyak berkembang di Nusantara. Lihat Sokhi Huda, Tasawuf Kultural Fenomena Sholawat Wahidiyah, h. 4.

21 Serapan kata Wali dalam masyarakat Jawa sama artinya dengan arti Sufi yang diidentikan dengan kesaktian dan kedalaman ilmu agama. Dalam al-Qur’ān pembahasan mengenai

Wali ada pada sūrah Yunūs: 62: “Ingatlah, sesungguhnya Wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.” Sembilan Wali/ Sufi Tanah Jawa adalah: 1. Syeīkh Maulana Malik Ibrahim 2. Raden Rahmat (Sunan Ampel) 3. Makdum

(21)

Romly Tamim dari Jombang Jawa Timur,22 dan masih banyak ajaran tasawuf di Jawa hingga sekarang.

Tasawuf dan praktik tharīqah dari semenanjung Arab sangat banyak dan tersebar di Jawa, namun bukan berarti kawasan Nusantara tidak memiliki praktik ajaran tasawuf. Nusantara memiliki corak-corak tertentu dalam ajaran tasawuf, makanya tidak heran jika muncul jargon Tasawuf

Kultural Nusantara. Aliran tasawuf kultural mulai ramai sejak tahun

1963M. Secara sejarah telah menjelma dan mengalami dialektika monumental dalam mengakses ajaran Islam terhadap masyarakat luas.23

K.H. ‘Abdurrahman Wahid menggambarkan tasawuf di Indonesia dengan membagi dua golongan, yaitu:24

Pertama orang yang bertasawuf akhlaknya, model ini terjadi

pada masyarakat Muhammadiyah. Mereka bisa saja bertasawuf meski tidak masuk golongan tasawuf apapun.

Kedua orang yang menjadi anggota gerakan tasawuf tertentu.

Kelompok kedua ini dibagi kedalam dua bagian, yaitu: a. Anggota tharīqah

b. Bukan anggota tharīqah, namun anggota gerakan tasawuf. Di snilah posisi ajaran Gus Miek dan tasawuf kultural lainnya di Indonesia, seperti ajaran Sholawat Wahidiyah dengan

muallif-nya (pengarang) K.H. ‘Abdul Majid Ma’roef.

22 Sri Mulyati, Tasawuf Nusantara Rangkaian Sufi Terkemuka, h. 4. 23 Sokhi Huda, Tasawuf Kultural Fenomena Sholawat Wahidiyah, h. xv.

(22)

Selain bercorak Islam, tasawuf Nusantara menawarkan konsep Kejawen seperti ajaran Ronggowarsito dan ajaran H. Hasan Mustafa dari Jawa Barat bercorak Pasundan. Kedua ajaran ini memiliki tendensi sama dengan ajaran Dzikrul Ghōfilīn dan Sholawat Wahidiyyah. Sebab ajaran-ajaran dari tasawuf kultural semacamnya mengajak kembali pada Allah SWT.

Di sini menarik, ketika berbicara tasawuf kultural di Jawa khususnya Jawa Timur, Jawa Tengah, dan sebagian Jawa Barat, masyarakat tidak akan asing dengan istilah jama’ah Dzikrul Ghōfilīn, jama’ah semaan al-Qur’ān (Tahfiz al-Qur’ān) dengan sebutan Jantiko Mantab, dan seorang Kyai

nyleneh dari Kediri, tepatnya desa Ploso, Kecamatan Mojo, kota Kediri

Jawa Timur, akrab disapa Gus Miek atau K.H. Hamim Djazuli.25

Dzikrul Ghōfilīn dan Jama’ah semaan al-Qur’ān Jantiko Mantab telah berkembang luas di Indonesia, khususnya Jawa. Banyak teka-teki dan persaingan pendapat dari kedua konsep ajaran tasawuf tersebut, hal ini disebabkan tentang siapa pengkonsep kedua ajaran tersebut hingga begitu populer di Jawa. Atau sebaliknya, masyarakat hanya mengenal sosok Kyai

nyleneh dari Kediri (Gus Miek) tanpa tahu jauh tentang siapa sebenarnya

beliau dan kontribusi apa yang telah dilakukan dalam dunia tasawuf dan pemurnian Islam di Tanah Jawa, fantastisnya, kedua ajaran Gus Miek menjadi salah satu ritual resmi Keraton Jogjakarta.

(23)

Ada fakta menarik ketika berbicara tentang Gus Miek dan ajarannya, artis sekelas Dorce Gamalama memiliki hubungan spiritual dengan Gus Miek, komentarnya ketika mengantar Jenazah K.H. ‘Abdurrahman Wahid di peristirahatan terakhir secara singkat Dorce berkata, “Hanya ada dua guru

yang betul-betul saya kagumi sampai detik ini. Pertama Gus Dur, dan

kedua Gus Miek.” Kepada Gus Dur dan Gus Miek Dorce mengambil

teladan dan pesan spiritual, terlebih sejak bersikukuh memilih jenis kelamin perempuan, Ia mengaku sering mendapat cercaan dan kritik pedas dari kalangan agamawan, namun dari kedua tokoh itu Dorce mendapat perlindungan. Dorce mengaku sangat kehilangan dua sosok kebanggaan. Untuk itu pasca wafat kedua tokoh tersebut sebagai simbol dan sebagai bentuk penghormatannya dibuat beduk Gus Dur dan menara Gus Miek, direncanakan dibangun di samping masjid Al-Hayyu:63 Jl. Rawa Binong, Gang Swadaya, Jakarta Timur.26 Sementara Gus Miek dikenal sebagai Wali berkaromah dan Kyai nyentrik lebih dahulu dikenal Dorce ketimbang Gus Dur.27

Gus Dur juga memiliki hubungan sepiritual dengan Gus Miek, dalam artikelnya tentang Gus Miek di sebuah harian ibu kota pada tahun 1993M. dengan judul Gus Miek Wajah Sebuah Kerinduan, Gus Dur mengutarakan niat Gus Miek mengajak beliau (Gus Dur) dan K.H. Ahmad Shiddiq dari Jember suatu saat ketika meninggal di makamkan di area pemakaman yang telah dibelinya, tepatnya di desa Tambak Ngadi, Kecamatan Mojo, kota

26 Wiwit R. Fatkhurrahman, “Beduk Gus Dur Hiasi Masjid Al Hayyu 63,” artikel diakses pada 27 Oktober 2010 dari http://www.wahidinstitute.org/berita/detail/?id=162/hl=id/beduk_ gusdur_hiassi_masjid_al_hayu_63

(24)

Kediri, tanah itu disediakan Gus Miek untuk pemakaman empat puluh satu Ulama dan orang-orang penghafal al-Qur’ān. Saat itu Gus Dur menjawab ajakan Gus Miek secara diplomatis, “Saya ini bukan Ulama dan bukan

penghafal Al-Qur’ān,” tetapi Gus Miek bersikukuh, “Bagaimanapun Gus

Dur harus dikubur di situ.” Tidak cukup hanya itu, Gus Dur mengapresiasi

keteladanan Gus Miek terhadap pemeluk agama non Muslim. Gus Miek melalui transendensi keimanannya tidak lagi melihat "kekeliruan" dari keyakinan orang beragama atau berkepercayaan lain. Ayu Wedayanti beragama Hindu diperlakukannya sama dengan Neno Warisman yang Muslimah, karena ia yakin kebaikan sama pada dua orang penyanyi tersebut. Banyak orang Katolik menjadi pendengar setia wejangan Gus Miek seusai acara semaan al-Qur’ān Jantiko Mantab.28

Apresiasi lain Gus Dur terhadap Gus Miek adalah metode dakwahnya yang unik, ini nampak jelas dengan dua corak kehidupan Gus Miek. Pertama kehidupan tradisional orang pesantren yang tertuang dalam rutinitas jama’ah Dzikrul Ghōfilīn dan semaan al-Qur’ān. Kedua, glamornya kehidupan hiburan modern yang sering dianggap dunianya orang negatif. Glamor, karena Gus Miek memiliki kegemaran berdakwah di tengah diskotik, night club, coffee shop dan arena persinggahan perkampungan orang-orang tuna susila, dua kehidupan ini tidak ditemui dari Ulama manapun. Tidak tanggung-tanggung, Gus Miek akrab dan sangat mengenal dengan seluruh penghuni tempat tersebut. Semua orang yang mengenal Gus Miek merasa dirinya paling dekat dengan Gus Miek. Minuman yang setiap

(25)

malam ditenggak adalah bir hitam, rokoknya Wismilak bungkus hitam dengan ramuannya yang diakui berat.29

Apakah kehidupan semacam itu kontradiktif? Ternyata tidak, karena di kedua tempat itu ia berperanan sama. Memberikan kesejukan kepada jiwa yang gersang, memberikan harapan kepada mereka yang putus asa, menghibur mereka yang bersedih, menyantuni mereka yang tidak punya, dan mengajak semua kepada kebaikan. Apakah itu petuah di pengajian seusai semaan, sewaktu konsultasi pribadi dengan pejabat dan kaum elit, ataupun ketika meladeni bisikan kepedihan yang disampaikan dengan suara lirih ke telinganya oleh wanita-wanita penghibur, semua itu esensinya tetap sama. Manusia mempunyai potensi memperbaiki keadaannya sendiri.30

Di kalangan Ulama Jawa Timur menceritakan alasan Gus Miek gemar berada di tempat pelacuran. Apa masih kurang santrinya? Jika saja kita bisa lihat beliau adalah putra K.H. Ahmad Djazuli Ploso, Ulama karismatik pendiri pondok pesantren Al-Falah Ploso Kediri, pesantren yang menjadi rujukan bagi pesantren-pesantren lain di Jawa. Dengan penuh tanggung jawab Gus Miek secara santun menjawab, “Sekarang Kyai mana,

Ulama mana yang berani dan ada di tempat seperti ini?, yang

menginginkan surga itu tidak hanya orang-orang yang ada di masjid, di

majelis ta’lim, dan surau-surau pengajian. Tetapi orang-orang yang ada di

sini juga menginginkan surga.”

(26)

Di balik eksistensi perilaku kontradiktif, ternyata sosok Gus Miek mampu menyumbang pemurnian akhlak bagi masyarakat yang merasa dipinggirkan atau sengaja dipinggirkan. Gus Miek hanya ingin memanusiakan manusia. Tidak mudah melawan arus deras, tapi inilah Gus Miek, arus tidak membawanya, tapi arus berbalik mengikutinya, dan hasilnya baik jama’ah Dzikrul Ghōfilīn dan semaan al-Qur’ān Jantiko Mantab tersebar luas di Indonesia.

Dari sedikit dibahas di atas memberikan ide dan gambaran pentingnya membahas siapa Gus Miek?, dan konsep tasawufnya. Memang sebuah ironi banyak masyarakat Jawa mengetahui tentang Dzikrul Ghōfilīn dan Jantiko Mantab namun tidak mengetahui siapa Gus Miek?. Begitupun sebaliknya, orang mengerti tentang Gus Miek sebatas sosok Kyai unik dengan kegemaran nongkrong di night club, diskotik, area wanita tuna susila, dan coffee shop tanpa mengetahui bahwa beliau mengajarkan Islam di Tanah Jawa.

B. Batasan dan Perumusan Masalah

Dalam pembahasan selanjutnya, tulisan ini hanya membahas dua ajaran tasawuf Gus Miek, yaitu konsep ajaran Dzikrul Ghōfilīn dan konsep

semaan al-Qur’ān Jantiko Mantab.

(27)

tempat dakwah?. Kedua bagaimana konsep ajaran tasawuf pada Dzikrul Ghōfilīn dari sejarah perumusannya, praktik dan tujuan ajarannya, sampai isi bacaan pada Dzikrul Ghōfilīn?. Ketiga bagaimana konsep ajaran tasawuf pada semaan al-Qur’ān Jantiko Mantab, dari sejarah kelahirannya, praktik dan tujuan ajarannya, sampai penyebarannya di lembaga pemerintahan?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan penulisan skripsi ini adalah:

Secara Formal sebagai persyaratan untuk memperoleh gelar sarjana Strata 1 (satu)

pada Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Fakultas Ushuluddin, Jurusan Aqidah Filsafat.

Secara Non formal memberikan deskripsi ajaran tasawuf Gus Miek dalam ajaran Dzikrul Ghōfilīn, dan semaan al-Qur’ān Jantiko Mantab.

D. Metode Penelitian

(28)

tujuan uraian skripsi ini merupakan sumber sekunder sebagai penunjang naskah primer.

Selain dari buku, data sekunder dikumpulkan melalui metode penelitian lapangan/ field research, sebab keterbatasan literature pada Dzikrul Ghōfilīn mengharuskan penulis melakukan penelitian lapangan/ field

research. Field research dilaksanakan dengan mewawancarai murid Gus

Miek yang diberi amanah oleh Gus Miek menjaga Dzikrul Ghōfilīn, wawancara pada keluarga dan juru kunci makam Tambak/Gus Miek.

Selanjutnya dari metode perpustakaan (library research) data primer diklasifikasi dan dideskripsikan, kemudian menganalisa dan menjabarkan ajaran tasawuf Gus Miek berkaitan dengan masalah yang dibahas dengan dukungan data sekunder.

(29)

Dari dokumentasi rekaman ceramah Gus Miek dalam majelis semaan al-Qur’ān Jantiko Mantab diklasifikasi dan dideskripsikan, selanjutnya menganalisa dan menjabarkan ajaran tasawuf Gus Miek berkaitan dengan masalah yang dibahas dengan dukungan naskah sekunder dan praktik pelaksanaan semaan al-Qur’ān Jantiko Mantab.

Mengenai teknik penulisan skripsi, penulis berpedoman pada buku

Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis dan Disertasi) yang

diterbitkan oleh CeQDA UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

E. Sistematika Penulisan

Penulisan skripsi ini terdiri dari enam bab, penjabarannya adalah sebagai berikut :

Pada bab satu atau Pendahuluan, dikemukakan latar belakang masalah, batasan dan perumusan masalah, tujuan penelitian, metode penelitian serta sistematika penulisan.

Pada bab dua membahas tentang pengertian dan sejarah tasawuf dalam Islam, kemudian pembagian atau karakteristik tasawuf, sumber-sumber tasawuf, dan yang terakhir penjelasan tentang tharīqah.

(30)

Pada bab empat membahas konsep ajaran tasawuf K.H. Khamim Djazuli (Gus Miek) dalam Dzikrul Ghōfilīn meliputi pengertian zikir, macam-macam zikir, zikir dalam al-Qur’ān, dan zikir bagi esensi sufistik. Selain itu juga mendeskripsikan argumentasi history kelahiran ajaran Dzikrul

Ghōfilīn sampai rumusan isi ajaran tersebut.

Pada bab lima membahas konsep ajaran tasawuf K.H. Khamim Djazuli (Gus Miek) dalam semaan al-Qur’ān Jantiko Mantab meliputi penejelasan hakikat al-Qur’ān bagi sufi, sejarah lahirnya semaan al-Qur’ān

Jantiko Mantab, ajaran dalam semaan al-Qur’ān Jantiko Mantab, dan

terakhir Jantiko Mantab pada Keraton Jogjakarta.

(31)

BAB II

SPIRITUALITAS ISLAM A. Elemen Tasawuf dan Sejarahnya

Spiritualitas Islam memanifestasikan dirinya terhadap masayarakat Muslim dari berbagai golongan, nilai spiritualitas menjadi bagian dari tasawuf, sebab ajaran-ajaran bersifat spiritual baik dari berbagai sekte kebatinan Islam terkristalisasikan dalam tasawuf.1 Tasawuf sebagai ajaran agama tidak begitu fulgar bagi masyarakat awam, terlebih dalam kontekstualnya, seperti wahdat al-wujūd dan pembahasan al-insān al-kāmil, alasannya karena posisi tasawuf dianggap sebagai instrument paling rumit mengenal Tuhan jika dibandingkan Ilmu syarīah yang tekstual. Argumentasi tersebut disepakati dengan sikap mementingkan pengalaman syarīah dalam proses awal mengenal Tuhan daripada pendekatan tasawuf, sehingga masyarakat awam lebih kenal dengan ilmu syarīah dibanding ilmu tasawuf. Antara syarīah dan tasawuf memang berdiri sendiri-sendiri, namun fungsinya tidak, eksistensinya saling membutuhkan dan tidak boleh berjalan sendiri-sendiri, sebab keduanya menjadi salah satu parameter dari kesempurnaan seorang Muslim selain dari aspek aqidah.2

1

Seyyed Hossein Nasr, “Pembukaan: Signifikansi Spiritual Dalam Kebangkitan Dan Perkembangan Tarekat-tarekat Sufi,” dalam Seyyed Hossein Nasr, ed., Ensiklopedi Tematis Spiritualitas Islam: Manifestasi. Penerjemah Tim Penerjemah Mizan (Bandung: Mizan, 2003), h. 3.

(32)

Masyarakat tidak faham terhadap tasawuf berpengaruh pada definisinya, mereka menyimpulkan tasawuf identik pada tharīqah.3 Argumentasinya, banyak pelaku tharīqah bertasawuf, sedangkan yang tidak ber-tharīqah tidak bertasawuf, atau secara sporadis mengatakan tidak berkesempatan menjadi Sufi. Pendefinisian tersebut akibat puas melihat formalitas luar, seperti atribut jubah, sorban, sarung, mencium tangan habib, atau membawa tasbih dengan tidak memperhatikan esensi internal sama sekali. Praktik tasawuf demikian oleh Imam al-Ghazālī dikategorikan

maghfur (tertipu penampilan luar).4

Tasawuf adalah salah satu cabang dari ilmu Islam yang unik dan banyak mengundang perhatian. Bukan saja karena parameter ontology, epistimologi dan aksiologi di dalamnya, tetapi karena ada kemungkinan spiritual dengan ragam terkaya disampaikan oleh nilai spiritual Islam, hal ini mendorong perempuan dan laki-laki dari berbagai simbol baik secara psikologis, etnis, mental, dan budaya bisa beradaptasi dan dipersilahkan berada pada pengajaran tasawuf.5 Spiritualitas dalam ranah tasawuf adalah ontologis yang diyakini oleh para Sufi, mereka memandang dunia spiritual lebih hakiki dan real diabandingkan dengan alam jasmani,6 “Dunia ini tidak

lain kecuali hanya senda gurau dan permainan belaka, sementara akhirat

3

Tharīqah mempunyai arti sebuah gerakan yang lengkap untuk memberikan

latihan-latihan rohani dan jasmani menurut ajaran-ajaran dan keyakinan tertentu. Aboebakar Atjeh, Sejarah Sufi Dan Tasawwuf (Bandung: Tjerdas, 1962), h. 36.

4 Said Aqil Siradj, Tasawuf: Sebagai Kritik Sosial, h. 433. 5

Seyyed Hossein Nasr, “Pembukaan: Signifikansi Spiritual Dalam Kebangkitan Dan Perkembangan Tarekat-tarekat Sufi,” h. 4.

6 Spiritualitas sebagai ontology dilatarbelakangi oleh keidentikan memandang inti awal dengan yang Satu “QulhuAllāhu Ahad,” meyakini yang Satu, menyaksikan yang Satu, mengenal

yang Satu, mencintai yang Satu, yaitu Tuhan dalam kemutlakan realitas-Nya melampaui segala manifestasi dan determinasi, sang Esa dalam al-Qur'ān ditegaskan dengan nama Allāh. Lihat

(33)

adalah kehidupan hakiki (Q.s. Al-Ankabūt: 62).” Dimensi tasawuf dalam

ranah keagamaan lebih mementingkan aspek esoteric dari kesalehan imajinatif dengan motifasi al-Qur’ān dan Hadīts ketimbang aspek eksoterik, jadi lebih mementingkan penafsiran batini ketimbang penafsiran filsafat.7 Tujuannya cinta terhadap ilahi adalah dermaga dengan resiko hamba mampu menikmati segala sakit dan penderitaan anugrah Allah SWT untuk evaluasi derajat.8

Tasawuf sebagai disiplin ilmu dianggap sebagai ilmu plagiat, sebab jauh sebelum Islam berbagai metode Asketisme telah dikembangkan baik oleh agama ataupun aliran kebatinan. Uniknya, legitimasi pakar mistik terhadap tasawuf sebagai disiplin ilmu tidak mampu memberikan kejelasan tentang hakikat dan ruang lingkup tasawuf secara pasti. Mereka memberikan pandangan tentang sulitnya membangun kerangka teori dalam tasawuf, sebagian dari mereka taqlid pada pernyataan Rūmī tentang cerita orang buta memegang gajah pada bab awal.9 Argumentasi lain gejala tasawuf tidak mampu diberikan batasan karena sifatnya berupa misteri pengalaman spiritual masing-masing orang bermuara pada subyektifitas, bahkan realitanya menunjukkan dengan sikap lebih mudah daripada menjelaskannya dengan teori.10

7

Mulyadhi Kartanegara, Menyelami Lubuk Tasawuf (Jakarta: Erlangga, 2006), h. 2-3. Lihat pula Marshal G.S. Hodgson, The Venture Of Islam: Iman Dan Sejarah Dalam Peradaban Dunia Masa Klasik Islam. Penerjemah Mulyadhi Kartanegara (Jakarta: Paramadina, 2002), cetakan I, h. 208.

8 Annemarie Schimmel, Dimensi Mistik Dalam Islam. Penerjemah Sapardi Djoko Damono, dkk., (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2000), h. 2.

(34)

Istilah tasawuf telah dikenal sebelum tahun 200H./816M. Tetapi ajaran pokok dan sistematisasi tasawuf muncul signifikan pada abad ke-3H. Pada abad ke-2H., belum diketahui as-Sufi (ahli tasawuf), adanya adalah aliran Zuhūd.11 Menurut beberapa Ulama, ahli kebatinan pertama dengan gelar Sufi ialah Abū Hasyim dari Kuffah (w.150H.).12 Karena kehidupan normalnya jauh dari hedonisme melambangkan hidup Nabi SAW dan para Sahabat. Abū al-Qāsim al-Junayd al-Baghdādī (w.2979H./909M.) disimbolkan sebagai Sufi pertama peletak dasar metode belajar mengajar bagi guru dan murid pada disiplin tasawuf, sehingga pantas Junayd al-Baghdādī mendapat gelar Abū al-Tasawuf al-Islamī, Imam al-tharīqah al-Qawmiyah atau Syeīkh al-Tayfah.13 Pada masa awal selama empat sampai lima abad pertama Islam, pengajaran tasawuf dilakukan inklusif. Sedangkan kemunculan oragnisasi tasawuf yang lebih solid tersetruktur dengan aturan-aturan khusus dan lebih definitive, baik meliputi pelajaran etika, wirid, teknik meditasi melalui pernapasan dan lain-lain baru muncul belakangan, gerakan dengan sebutan tharīqah mayoritas dinamai sesuai nama pendirinya, seperti tharīqah Qādiriyyah didirikan oleh Syeīkh ‘Abd al-Qādir al-Jilānī dan tharīqah Syādziliyyah didirikan oleh Abū al-Hasan al-Syādzili.14

11 Penganutnya disebut zahīd lihat Abdul Aziz Dahlan, ed. Ensiklopedi Hukum Islam (Jakarta: PT. Intermasa, 1997), jilid 4, h. 1640. Lihat pula Hamka, Tasawuf Moderen (Jakarta: PT. Pustaka Panji Mas, 1990), h. 13.

12 Hamka, Tasawuf Perkembangan Dan Pemurniannya (Jakarta: Pustaka Panji Mas,1986), h. 85. Lihat pula Annemarie Schimmel, Dimensi Mistik Dalam Islam, h. 36. dan Hamid Nasuhi, Serat Dewaruci: Tasawuf Jawa Yasa Dipura I (Jakarta: Ushul Press, 2009), h. 217. 13 Azyumardi Azra, dkk., Ensiklopedi Tasawuf, Heri MS Faridy dkk., ed. (Bandung: Angkasa, 2008), Jilid III, h. 1285.

(35)

Tidak hanya sulit dalam history memetakan awal mula perkembangan tasawuf dan Sufi, pendekatan linguistic muasal kata tasawuf dan Sufi mengalami problematika mendasar, ini tidak lain karena pencarian muasal kata tasawuf dilakukan dengan berbagai metode, baik besifat bahasa secara praktis dengan gramatika lingguistic ilmu Nahwu dan Sharaf, pendekatan sosial – pengaruh eksternal Islam – dan pendekatan pengaruh filsafat Yunani. Sehingga perkembangan teori dewasa ini mengenai tasawuf dan Sufi diantaranya berasal dari kata “safā” berarti bersih (Murni),15 mempunyai makna tulus atau suci pada Allah SWT. Pendapat lain tentang asal kata tasawuf adalah Shuffah, memiliki arti serambi masjid Nabawi di Madinah sebagai domisili Sahabat Nabi berkehidupan miskin dari golongan Muhajirin. Mereka disebut ahl-Suffah, sebab antara si kaya dan si miskin tidak ada bedanya, keduanya tetap tekun beribadah.16

Ulama lain beranggapan kata Sufi adalah bahasa Arab “Sūf,” berarti bulu domba (Wol).17 Menurut Annemarie Schimmel dinukil dari pendapat ‘Alī bin Uthman al-Hujwiri, beberapa beranggapan demikian sebab bagi para pelaku tasawuf “as-Sufi” mengenakan jubah Wol.18

Filsafat Yunani yang lekat dengan peradaban Islam dikaitkan dalam tasawuf, kata tasawuf diadopsi dari theosophy (Theo: Tuhan dan Shopos:

15 Proyek Pembinaan Perguruan Tinggi Agama: Institut Agama Islam Negeri Sumatra Utara, Pengantar Tasawuf (Medan: Naspar Djaja, 1981), h. 9.

16

Abudin Nata, Ilmu kalam, Filsafat Dan Tasawuf (Jakarta: Rajawali Pers, 1993), h. 152. 17 Abdul Aziz Dahlan, ed., Ensiklopedi Hukum Islam, h. 1640.

(36)

Hikmah), berarti hikmah ke-Tuhanan. Namun adopsi filsafat Yunani dalam kata tasawuf dikritik oleh Ibrāhīm Basyuni, sebab huruf sigma dalam bahasa Yunani ditrnaslitrasikan ke bahasa Arab dengan huruf “sīn,” bukan dengan huruf “sād.” Sehingga kalau kata tasawuf berasal dari kata Yuniani “theosophy,” maka pelafalannya adalah tashawuf, sebagaimana terlihat pada kata falsafah yang berasal dari kata philosophia.19

Setelah sumbangan dari bahasa Yunani, kata tasawuf dikembangkan dari kata saff “barisan,” argumentasinya dibangun dari tabiat Sufi yang tidak pernah meninggalkan sholat jama’ah dan memilih barisan sholat terdepan. Sedangkan pendapat lain mengatakan asal kata tasawuf adalah

saufanah, sejenis buah-buahan kecil berbulu tumbuh di padang pasir Jazirah

Arab. Khusus pada pengaruh kata saufanah ternyata tidak memiliki riwayat pasti berkaitan dengan asal kata tasawuf, baik secara perinsip spiritual ataupun secara sosial kehidupan Sufi.20

Dari beberapa pendapat di atas, ada pendapat lain mengatakan bahwa tasawuf baik secara penukilan maupun kiasannya bersifat morfologis tidak ditemukan dalam bahasa Arab. Sebab istilah tasawuf dan as-Sufi adalah gelar “laqab” dinukil dari bahasa asing kedalam bahasa Arab setelah mengalami asimilasi dan Arabisasi. Argumentasi ini dilatarbelakangi pada masa itu Islam mulai tumbuh dan membentuk beberapa kelompok, baik

19 Yunsaril Ali, “Tasawuf,” dalam Taufik Abdullah, ed., Ensiklopedi Tematis Dunia Islam Pemikiran Dan Peradaban (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Houve, tt), h. 142.

(37)

Syiah, Khawarij, Murjiah, dll. Kemudian individu atau kelompok memilih zuhud digelari ahli tasawuf.21

Masyarakat Modern mengidentifikasi tasawuf pada ritual-ritual penderitaan, alasannya tasawuf dianggap sebagai ajaran kemlaratan dan kemiskinan, lihat saja beberapa ucapan Sufi menyatakan banyak meninggalkan dunia dan memilih hidup mlarat. Pertanyaannya, apakah selamanya dimensi Sufistik identik dengan kemlaratan dan kemiskinan? Kita bisa jawab dengan sebuah Hadīts:

ﻻو لﻼﳊا ﱘﺮﺤﺘﻳ ﻦﻳﺪﻟا ﰲ ةدﺎﻫﺰﻟا ﺲﻴﻟ

ةدﺎﻫﺰﻟا ﻦﻜﻟو لﺎﳌا ﺔﻋﺎﺿا

نا ﺎﻴﻧﺪﻟﺎﻓ

ﺎﲟ نﻮﻜﺗﻻ

ﺎﲟ ﻚﻨﻣ ﻖﺛوا ﻚﻳﺪﻳ

نﻮﻜﺗ ناو ﷲا ﺪﻳ ﰲ

ﻚﻟ ﺔﻴﻘﺑا ﺎاﻮﻟ ﺎﻬﻴﻓ ﻚﻨﻣ ﺐﻏرا ﺎ ﺖﺒﺻا اذا ﺔﺒﻴﺼﳌا باﻮﺜ9ﻓ

.

Artinya: “Zuhūd terhadap dunia bukan berarti mengharamkan

harta/ perkara yang halal, juga bukan menyia-nyiakan harta. Tetapi agar jangan sampai apa yang kamu miliki lebih kamu andalkan daripada apa yang ada pada kuasa Allah SWT, dan agar pahala musibah lebih kamu sukai jika kamu tertimpa musibah yang dahsyat.”

Hadīts di atas menerangkan, bahwa hidup secara zuhūd membolehkan kita untuk menjadi orang kaya dan memilih pekerjaan halal. Dari sini letak pentingnya aspek syarīah memberikan batasan antara mana yang halal dan mana yang haram. Duet lain antara syarīah dan tasawuf akan lebih jelas jika kita perhatikan dalam Hadīts di atas terdapat teks yang mengatakan, “Tetapi agar jangan sampai apa yang kamu miliki lebih

21 Dari berbagai sudut pemahaman akar kata tasawuf di atas sebenarnya hanya merujuk pada satu hal, yaitu ketertarikan individu pada pengetahuan esoteris yang menyelami dan masuk jauh pada pengetahuan ilmu agama, agar jiwa masing-masing individu merasakan kenikamatan dan kedamaian. Sejarah luarnya merupakan ritme gerakan-gerakan rohani, teologi, dan sastra dalam Islam. Karena berakar dalam latihan ritual ajaran al-Qur'ān, Hadīts, dan inspirasi

(38)

kamu andalkan daripada apa yang ada pada kuasa Allah SWT.”

Maksudnya, bahwa harta yang kita cari dan peroleh meskipun itu dengan cara halal, jangan sampai keberadaannya melupakan kita pada Allah, kemudian aspek syarīah memberi jalan keluar dengan adanya zakat harta benda, sebab zakat bisa dikatakan sebagai pelajaran humainisme.

Lebih sepesifiknya, disiplin syarīah adalah ritual wajib dari nilai-nilai doktrinal lingkupnya dunia nyata, seperti contoh zakat di atas, sedangkan tasawuf adalah nilai-nilai plus dari klimaksnya doktrin syarīah, selain sebagai obat hati, tugas tasawuf mengartikan amaliyah syarīah dilihat dari manusia sebagai ihsan, biyarpun secara hukum syarīah zakat dikeluarkan dengan takaran tertentu dinyatakan sah, namun secara tasawuf bisa lebih explor dalam kajian maknanya. Dengan tafsiran sederhana, harta kita keluarkan (zakat) dalam tasawuf adalah isyarat (pengingat), bahwa kepemilikan bersifat dunia hanya sebatas titipan dan rintisan awal kehidupan akhirat, suatu saat mengalami rotasi manifesto kebentuk lain. Karena urgen dan kompleks, Imam Ghazālī memberikan fatwa fardu 'ain bagi setiap Muslim mempelajari tasawuf, karena aturan syarīah hanya mengajarkan moral pada kehidupan badani, sedangkan upaya pembersihan penyakit hati secara pasti semua orang memiliki - kecuali para Nabi dan kekasih Allah SWT - bisa didapat melalui tasawuf.22

Syeīkh Muhammad Amīn al-Kurdī mengatakan:

(39)

فﻮﺼﺘﻟا

ﻢﻠﻋ ﻮﻫ

فﺮﻌﻳ

ﺲﻔﻨﻟا لاﻮﺣا ﻪﺑ

ﺎﻬﻣﺬﻣوا ﻩدﻮﻤﳏ

ﺔﻴﻔﻴﻛو

ﻫﲑﻬﻄﺗ

ﻨﻣ مﻮﻣﺬﳌا ﻦﻣ ﺎ

ﺎﺑا ﻪﺘﻴﻠﲢو ﺎﻬ

فﺎﺼﺗﻻ

ﺎﻫدﻮﻤﺤﲟ

.

كﻮﻠﺴﻟا ﺔﻴﻔﻴﻛو

ﱄﺎﻌﺗ ﷲا ﱄا ﲑﺴﻟاو

ﻪﻴﻟا راﺮﻔﻟاو

.

Artinya: “Tasawuf adalah suatu ilmu yang dengannya dapat

diketahui hal-ihwal kebaikan dan keburukan jiwa, cara membersihkannya dari sifat-sifat yang buruk dan mengisinya dengan sifat yang terpuji, cara melakukan suluk, melangkah menuju keridhoan Allah SWT dan meninggalkan larangannya menuju kepada-Nya.”23

Pendapat Syeīkh Muhammad Amīn al-Kurdī bertentangan dengan pendapat Junayd Dannūri menyatakan bahwa tasawuf tidak tersusun dari praktik dan ilmu, tetapi merupakan akhlāq, pendapat ini diperkuat Mawlana ‘Abdurahman Jami’ dalam Nafahat al-Unsh, siapapun yang melebihimu dalam nilai akhlāq, berarti melebihimu dalam Tasawuf.24

Argumentasi tasawuf adalah seputar etika tidak salah, namun cakupannya bisa lebih variatif, sebab tasawuf benar-benar mencakup kaidah aksiologi secara sempurna. Sempurna karena tidak hanya seputar etika dengan baik-tercela, namun juga masuk pada estetika indah-jelek. Karena tasawuf terkait pada jiwa, roh, dan intuisi, eksistensi tasawuf tidak hanya membangun dunia bermoral, tetapi harmoni keindahan pada dunia. Sedangkan esensi pokok tasawuf merupakan jalan keluar agar manusia bisa hidup dengan benar, rajin beribadah, dan bermoral baik, sehingga manusia merasakan indahnya hidup dan nikmatnya ibadah.25

Imam al-Ghazālī dalam kitabnya Ihyā ‘Ulūm al-Dīn menggambarkan kehidupan Sufi, barang siapa memandang dunia karena itu karya Tuhan,

23 Mahyuddin, Kuliah Akhlak Tasawuf (Jakarta: Kalam Mulia, 2003), h. 44. 24 Annemarie Schimmel, Dimensi Mistik Dalam Islam, h. 17.

(40)

dan mengenalnya karena itu karya Tuhan, dan mencintainya karena itu karya Tuhan, tidak memandang kepada apapun selain Tuhan, dan tidak mengetahui apapun selain Tuhan, dan tidak mencintai apapun selain Tuhan, ia adalah penyatu sejati, yang tidak memandang apapun selain Tuhan, bahkan tidak memandang kepada dirinya untuk dirinya sendiri, melainkan karena Ia hamba Tuhan. Orang seperti itu dinamakan sirna dalam penyatuan dan disebut sebagai sirna darinya sendiri.26

Annemarie Schimmel menggambarkan tasawuf dinukil dari Junayd seorang pemimpin mistik di Irak didasarkan pada delapan sifat adaptip delapan Rasul, yaitu: Kedermawanan Ibrāhīm yang mengorbankan putranya. Kepasrahan Ismāīl yang menyerahkan diri pada perintah Tuhan dan menyerahkan hidupnya. Kesabaran Ayyūb, dengan sabar menahan penderitaan penyakit gatal dan kecemburuan Maha Pemurah. Perlambang Zakaria, yang menerima sabda Tuhan, “Kau tidak akan berbicara dengan

manusia selama tiga hari kecuali dengan mempergunakan

lembang-lambang” (sūrah 3: 36), dan juga, “Tatkala ia berdoa kepada Tuhannya

dengan suara yang lembut” (sūrah 19: 2). Keasingan Yūnus, yang merupakan orang asing di negerinya sendiri dan terasing ditengah-tengah kaumnya sendiri. Sifat penziarah ‘Īsā, yang begitu melepaskan keduniawian

sehingga hanya menyimpan sebuah mangkuk dan sebuah sisir, mangkuknyapun dibuang ketika ia melihat orang minum dari telapak tangannya, dan juga sisirnya ketika dilihatnya seorang menyisir rambut dengan jari-jarinya. Pemakaian jubah Wol oleh Mūsā, dan kemelaratan

(41)

Muhammad, yang dianugrahi kunci segala harta di muka bumi oleh Tuhan, sabda-Nya, “Jangan menyusahkan diri sendiri, tapi nikmati setiap

kemewahan dengan harga ini,” namun jawabnya, “Ya Allah, hamba tidak

menghendakinya, biarkan hamba sehari kenyang dan sehari lapar.”27

Sufi sebagai individu berjiwa suci merupakan orang-orang pilihan, ini memungkinkan salah satu dari golongannya menjadi seorang Walīallāh. Sehingga seorang Walīallāh adalah seorang Sufi, dan seorang Sufi belum tentu dia seorang Walīallāh, kecuali dia telah menyelesaikan pendidikan kesufiannya hingga maqāmāt terakhir.28 Kewalian adalah dasar dan landasan tasawuf terhadap pengetahuan tentang Tuhan, tema kewalian telah didiskusikan oleh para Sufi pada abad sembilan akhir.29 Derajat kewalian bisa dimiliki oleh semua orang. Said Agil Siradj memberikan dua metode bagi personal yang menghendaki dirinya pada derajat kewalian, yaitu

Walīallāh secara mutlak dan Walīallāh hukukillāh, dalam fersi Tirmidhi

adalah Walī as-sidq Allāh dan Walī minnat Allāh.30 Pertama Walīallāh secara mutlak, adalah derajat kewalian langsung diberikan oleh Allah SWT tanpa dengan prosedur normatif. Beberapa Wali kategori ini diantaranya adalah Rabī'ah al-‘Adawiyah, dari seorang pernyanyi taubatnya mengantar

kederajat Wali dengan tingkatan sangat tinggi, dan Ibrāhīm bin Adham,

seorang pangeran kerajaan taubatnya mengantar kederajat Wali. Kedua

27

Annemarie Schimmel, Dimensi Mistik Dalam Islam, h. 16.

28 Maqāmāt adalah tahapan jalan bagi seorang Sufi untuk mencapai derajat kewalian. Tahapan-tahapan ini dimulai dari tingkatan paling rendah sesuai ajaran dan praktik yang diajarkan Mursyid, tahapannyapun baik yang awal dan yang paling puncak dari masing-masing Mursyid berbeda-beda. Lihat Mulyadhi Kartanegara, Menyelami Lubuk Tasawuf, h. 17. Lihat pula Yunsaril Ali, “Tasawuf,” h. 144.

(42)

Walīallāh hukukillāh, derajat kewalian dicapai dengan berbagai macam

metode, bisa dimulai dari ‘ilm syarīah, taubat, wara’, menjadi lebih selektif,

zuhud atau menganggap kecil dunia, al-shabr ikhlas menghadapi cobaan,

tawakkal, ridhā, syukur berterimakasih atas sesuatu dari Tuhan apapun bentuknya, tahalli membiasakan diri bersifat dan bersikap baik, tajalli, sampai akhirnya mencapai ma’rifah.31 Metode kewalian dari masing-masing guru berbeda, Imam al-Ghazālī misalnya, membagi tahapan kewalian pada

delapan maqāmāt, yaitu: Taubat, al-shabr, faqr, zuhud, al-tawakkul,

mahabbah, ma’rifah, dan ridhā.32

Sedangkan al-Yusi dalam fatwanya memberikan empat syarat agar manusia secara personal sampai pada derajat kewalian:

ﲔﺑو قﻮﻠﺨﳌاو ﻖﻠﳋا ﲔﺑ قﺮﻔﻳ ﱴﺣ ﻦﻳﺪﻟا لﻮﺻﺎﺑ ﺎﻓرﺎﻋ نﻮﻜﻳ نا

ةﻮﺒﻨﻟا ﻰﻋﺪﻣ ىا ﱮﻨﺘﳌاو ﱮﻨﻟا

.

ﻮﻟ ﺚﻴﲝ ﺎﻤﻬﻓو ﻼﻘﻧ ﺔﻌﻳﺮﺸﻟا ﻢﻜﺣﺎﺑ ﺎﳌﺎﻋ نﻮﻜﻳ نا

ﷲا ﺐﻫذا

ﻢﻠﻋ

ﻩﺪﻨﻋ ﺪﺟﻮﻟ ضرﻻا ﻞﻫا

.

ﺎﻨﻣ ﺪﻤﶈﺎﺑ ﻒﺼﺘﻴﻧا

ﻞﻤﻋ ﻞﻜﻴﻓ صﻼﺧﻻاو عرﻮﻟﺎﻛ ﻒﺻوﻻ

ىرﺪﻳ ﻻذا ،ﲔﻋ ﺔﻓﺮﻃ ﺔﻨﻴﻧﺄﻤﻃ اﺪﳚ ﻻ نﺎﺑ ﺪﺑا فﻮﳋا مزﻼﻳ نا

ةوﺎﻘﺸﻟا ﻖﻳﺮﻓ ﻦﻣوأ ةدﺎﻌﺴﻟا ﻖﻳﺮﻓ ﻦﻣ ﻮﻫأ

.

Artinya:

Mengetahui dasar agama, sehingga bisa membedakan antara pencipta dan makhluk.

Mengetahui hukum-hukum syarīah baik secara Naqli

maupun dalam pemahaman dalil dengan perumpamaan, seandainya Allah mencabut ilmunya penduduk bumi, nisacaya akan bisa ditemukan pada orang tersebut.

31 Said Agil Siradj, “Kiai Said Yakin 100 persen Gus Dur Wali,” artikel diakses pada, 22 Maret 2011 dari http://www.nu.or.id/page?

(43)

Mempunyai sifat-sifat terpuji seperti wira’i dan ikhlas dalam beramal.

Selama-lamanya dalam keadaan takut, tidak pernah dalam keadaan tenang sedikitpun, karena ia merasa orang yang beruntung ataupun bukan.”33

Pernyataan ke empat dengan menekankan kata “takut” dari fatwa di atas bertentangan dengan ayat al-Qur'ān yang justru

Gambar

gambaran  orang  berserah  diri  pada  kehendak  Tuhan.44  Sedangkan  Iman

Referensi

Dokumen terkait

Bahwa planet bumi ini termasuk jenis langit. Jadi, bumi itu seperti langit dalam struktur dan karakter-karakternya.. Namun, apa pun maknanya, tidak dibutuhkan dan

kenabian Muhammad SAW. Ini berdasar pada asba>b nuzu>l ayat bahwa kisah ini turun sebagai jawaban pertanyaan dari kafir Quraisy yang bersekutu dengan orang-orang

Pada indikator B, yaitu kesesuaian proses pembelajaran dengan kurikulum, memang ini seringkali menjadi kendala di LTQA Al-Hikmah, secara materi sudah sesuai dengan kurikulum,

Dari situ kita dapat menarik pelajaran bahwa Adam dan Hawa, yaitu dua manusia yang menjadi ayah dan ibu umat manusia, karena melanggar larangan Tuhan, menerima hukuman diusir

Seiring dengan perkembangan bentuk tafsir dari riwayah ke dirayah, dari dirayah ke isyarah telah mendorong para ulama terutama ulama yang memfokuskan diri

Komunikasi jenis formal ini dilakukan melalui surat, lembar penghubung, raport, dan pertemuan orangtua siswa setiap bulan dan pada akhir tahun. Surat ini digunakan untuk

Menurut Imam Nawawi, jumhur ulama berpendapat ketiga hal yang disebutkan dalam hadits riwayat Abu Hurairah itu (wanita, keledai dan anjing) tidak akan membatalkan

Berdasarkan hasil wawancara dan observasi, peneliti mengetahui jawaban dari fokus penelitian yang telah disusun oleh peneliti sebelumnya, yaitu: tentang Wafa dalam