• Tidak ada hasil yang ditemukan

ASAS-ASAS PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA

Dalam dokumen HUKUM ACARA PIDANA JINAYAT MAHKAMAH SYAR (Halaman 76-81)

ASAS-ASAS HUKUM ACARA PIDANA MAHKAMAH SYAR’IYAH 14 A PENDAHULUAN

F. ASAS-ASAS PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA

Dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia dianut beberapa asas, yaitu:

1. Hanya Mengadili Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat

Pengadilan Hak Asasi Manusia didirikan hanya untuk mengadili pelanggaran hak asasi manusia yang berat saja, yakni Genosida dan kejahatan kemanusiaan. Sementara kejahatan terhadap Hak Asasi Manusia yang dikualifikasikan sebagai kejahatan ringan diadili di sidang pengadilan pidana biasa, di pengadilan negeri atau pengadilan militer sesuai dengan status hukum terdakwanya (Pasal 4 UU No. 26 Tahun 2000).

2. Kejahatan Universal

Pengadilan Hak Asasi Manusia berwenang memeriksa dan mumutus perkara pelanggaran HAM yang berat, yang dilakukan di luar batas teritorial negara Republik Indonesia oleh warga negara Indonesia (Pasal 5 UU No. 26 Tahun 2000). 3. Genosida dan Kejahatan Kemanusiaan

Pelanggarah HAM yang berat Menurut UU No. 26 Tahun 2000 hanya menyangkut genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan saja (Pasal 7 UU No. 26 Tahun 2000).

4. Jaksa Agung sebagai Penyidik dan Penuntut Umum

Dalam perkara pelanggaran HAM, Penyidik dan Penuntut Umumnya adalah Jaksa Penuntut Umum/Penyidik (Pasal 23 UU No. 26 Tahun 2000).

5. Pejabat Ad Hoc

Dalam Pengadilan HAM dikenal Penyidik Had Hoc (Pasal 18 (2) UU No. 26 Tahun 2000), Penuntut Umum Ad Hoc (Pasal 21 ayat (8) UU No. 26 Tahun 2000), dan Hakim Ad Hoc (Pasal 2 ayat (2) UU No. 26 Tahun 2000).

Majelis hakim Pengadilan HAM berjumlah 5 (lima) orang, yakni 2 (dua) orang hakim pada pengadilan HAM, dan 3 (tiga) orang Hakim ad hoc yang diangkat oleh Presiden.

6. Pemeriksaan Banding dan Kasasi Limiatif

Tenggang waktu pemeriksaan banding dan kasasi dibatasi paling lama hanya dalam waktu 90 (sembilan puluh) hari (Pasal 32 dan 33 UU No. 26 Tahun 2000). 7. Perlindungan Korban dan Saksi

Dalam perkara pelanggaran HAM, korban dan saksi dilindungi oleh Kepolisian (Pasal 34 UU No. 26 Tahun 2000).

8. Kompensasi, Restitusi dan Rehabilitasi Korban

Kepada korban pelanggaran HAM yang berat dapat diberikan kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi (Pasal 35 UU No. 26 Tahun 2000).

9. Ancaman Hukum Diperberat

Dalam pelanggaran HAM ancaman hukumannya berupa hukuman mati, seumur hidup, penjara 25 tahun maksimum, dan minimum 10 tahun. ini berarti lebih berat dari ketentuan dalam KUHP yang menentukan hukuman penjara paling lama 20 tahun (Pasal 37 UU No. 26 Tahun 2000).

10.Tanggung Jawab Komandan dan Atasan

Dalam perkara pelanggaran HAM yang berat dikenal tanggung jawab komandan atau atasan atas pelanggaran HAM yang dilakukan oleh bawahan (Pasal 42 UU No. 26 Tahun 2000).

11.Retro Aktif

Pelanggaran HAM yang berat dilakukan sebelum berlakunya UU No. 26 Tahun 2000 diadili oleh Pengadilan HAM Ad Hoc yang dibentuk atas usulan DPR- RI dan ditetapkan dengan Kepres secara kasus per-kasus (Pasal 43 dan 47 UU No. 26 Tahun 2000).

12.Tidak ada Daluwarsa

Perkara pelanggaran HAM tidak mengenal tenggang waktu daluwarsa. Oleh karena itu, sewaktu-waktu dapat saja disidik, didakwa atau diadili (Pasal 46 UU No. 26 Tahun 2000).

13.Komnas HAM Sebagai Penyelidik

Untuk pelanggaran HAM yang berat penyelidikannya dilakukan oleh Komnas HAM. Ini berbeda dengan tindak pidana umum, penyelidiknya adalah Polisi (Pasal 18 UU No. 26 Tahun 2006).

14.Kewenangan Ankum dan Perwira Penyerah Perkara Tidak Ada

Menurut UU No. 31 Tahun 1997, Penyidik Militer terdiri dari Atasan yang berhak mengkum (Ankum) Polisi Militer dan Oditur Militer (Pasal 10). Ankum berwenang untuk memerintahkan melakukan pemeriksaan, menjatuhkan hukuman disiplin dan menunda pelaksanaan hukuman disiplin terhadap prajurit yang berada di bawah wewenangnya (pasal 12). Dalam perkara pelanggaran HAM berat kewenangan Ankum tersebut tidak ada (Pasal 49 UU No. 26 Tahun 2000). G. ASAS HUKUM SPISIFIK

Selain asas-asas hukum universal yang telah diuraikan di atas, terdapat juga berbagai asas hukum spisifik yang berlaku pada suatu masyarakat tertentu. Asas-asas hukum spisifik itu antara lain adalah:

1. Asas The Binding Force of Presedent

Asas hukum the binding of presedent disebut juga dengan asas “staro decisis et quieta nonmovere” (tetap pada apa yang telah diputuskan dan yang dalam

keadaan istirahat tidak digerakkan). Dalam implementasinya, hakim terikat pada putusan terhadap perkara yang serupa dengan yang akan diputus, artinya hakim berpedoman pada putusan-putusan pengadilan terdahulu jika hakim tersebut dihadapkan pada suatu perkara (sengketa).

Asas hukum the binding force of presedent ini hanya dianut oleh sistem

hukum Anglo Saks. Asas ini berbeda dengan masyarakat yang menganut sistem Eropa Kontinental, yakni putusan pengadilan bersifat “persuasive presedent

terhadap putusan hakim berikutnya dalam kasus sejenis, tetapi hanya memiliki kekuatan yang meyakinkan.41

2. Asas Cogatitionis Poenam Nemo Patitur

Asas cogatitionis poenam nemo petitur ini menganggap bahwa tidak

seorangpun dapat dihukum karena apa yang dipikirkan atau dibatinnya. Asas ini jelas hanya berlaku bagi masyarakat yang menerapkan sistem hukum skuler dan tidak berlaku bagi masyarakat yang menerapkan hukum agama.

3. Asas Restitutio in Integrum

Asas restitutio in integrum ini maksudnya adalah bahwa di dalam

masyarakat haruslah dipulihkan pada keadaan semula. Asas restitutio in integrum

ini hanya berlaku bagi masyarakat sederhana yang cenderung menghindari konflik di dalam masyarakatnya, di mana budaya kompromistis selalu mewarnai berlakunya asas ini.

4. Asas Nullum Delictum Nulla Poena Sine Praevia Lege Poenali

Asas “Nullum Delictum Nulla Poena Sine Praevia Lege Poenali” disebut juga

dengan asas legalitas maksudnya adalah bahwa tidak ada perbuatan yang dapat dihukum, kecuali jika sudah ada undang-undang yang sebelumnya telah mengancam sanksi atas perbuatan itu. Asas legalitas ini termasuk asas yang tidak bersifat universal, melainkan spesifik sifatnya, karena hanya mungkin dianut oleh masyarakat yang telah memiliki hukum tertulis saja, terhadap masyarakat yang berpegang pada hukum adat atau kebiasaan misalnya tidak mengenal asas legalitas ini secara konsisten.

41 Knottenbelt, Inleiding in het Nederlandsrecht, Gouda Quint BV Arnhem, B and R.A.Torringa, 1979, halaman 96.

Asas nullum delictum nulla poena sine praevia lege poenali ini dianut dan

diterapkan dalam perkara hukum pidana, tidak terkecualikan di dalam hukum positif pidana Indonesia, sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

Dalam dokumen HUKUM ACARA PIDANA JINAYAT MAHKAMAH SYAR (Halaman 76-81)