• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kewenangan Absolute

Dalam dokumen HUKUM ACARA PIDANA JINAYAT MAHKAMAH SYAR (Halaman 42-48)

2 MAHKAMAH SYAR’IYAH PADA MASA HINDIA BELANDA

D. KEWENANGAN DAN KEKUASAAN MAHKAMAH SYAR’IYAH DI INDONESIA 1 Kewenangan Relatif

2. Kewenangan Absolute

Kewenangan absolute adalah kewenangan mengadili oleh mahkamah syar’iyah berdasarkan hukum materiil yang menjadi lingkup kewenanganya. Mahkamah Syar’iyah adalah pengalihan wujud dari Pengadilan Agama yang telah ada sebelumnya, maka hingga saat ini ada 23 Mahkamah Syar’iyah Kabupaten/Kota

di seluruh wilayah Aceh dan satu Mahkamah Syar’iyah Provinsi selaku pengadilan tingkat banding yang berkedudukan di ibukota Provinsi Nangroe Aceh Darussalam yakni di Banda Aceh.

Adapun Kekuasaan dan kewenangan Mahkamah Syar`iyah dan Mahkamah Syar`iyah Provinsi (disebut Mahkamah Syar’iyah Aceh) adalah kekuasaan dan kewenangan Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi Agama ditambah dengan kekuasaan dan kewenangan lain yang berkaitan dengan kehidupan masyarakat dalam bidang ibadah dan syi`ar Islam yang ditetapkan dalam Qanun.

Kekuasaan dan Kewenangan Pengadilan Agama, sesuai dengan Pasal 49 ayat (1) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 jo. Pasal 49 Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989, adalah memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara-perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang:

1. perkawinan; 2. waris; 3. wasiat; 4. hibah; 5. wakaf; 6. zakat; 7. infaq; 8. shadaqah; dan 9. ekonomi syari’ah “.

Bidang perkawinan sebagaimana yang dimaksud pada pada point 1 di atas, adalah kekuasaan dan kewenangan menyangkut hal-hal yang diatur dalam atau didasarkan kepada Undang-undang mengenai perkawinan yang berlaku.

Bidang kewarisan sebagaimana yang dimaksud pada point 2 di atas, adalah kekuasaan dan kewenangan penentuan siapa-siapa yang menjadi ahli waris,

penentuan mengenai harta peninggalan, penentuan bagian masing-masing ahli waris, dan melaksanakan pembagian harta peninggalan tersebut.

Adapun yang dimaksud dengan “ekonomi syari’ah” adalah perbuatan atau kegiatan usaha yang dilaksanakan menurut prinsip syari’ah, antara lain meliputi : a) Bank syari’ah; b) Lembaga keuangan mikro syari’ah; c) Asuransi syari’ah; d) Reasuransi syari’ah; e) Reksa dana syari’ah; f) Obligasi syari’ah dan surat berharga berjangka menengah syari’ah; g) Sekuritas syari’ah; h) Pembiayaan syari’ah; i) Pegadaian syari’ah; j) Dana pensiun lembaga keuangan syari’ah; dan k) Bisnis syari’ah9.

Dalam melaksanakan amanat dari Pasal 25 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 dan Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 10 Tahun 2002 telah memberikan kewenangan terhadap Mahkamah Syar`iyah untuk memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara-perkara pada tingkat pertama dalam bidang:

a. Al-Ahwal al-Syakhshiyah; b. Mu'amalah;

c. Jinayah.

Kekuasaan dan kewenangan tersebut akan dilaksanakan secara bertahap sesuai dengan kemampuan kompetensi dan ketersediaan sumber daya manusia dalam kerangka sistem Peradilan Nasional.

Lahirnya Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh tidak merubah status dan kewenangan Mahkamah Syar’iyah di Aceh. Bahkan dengan Undang-undang tersebut, kewenangan Mahkamah Syar’iyah telah disebut langsung di dalamnya yakni sebagaimana diatur dalam pasal 128 ayat (3) yang berbunyi : ”Mahkamah Syar’iyah berwenang memeriksa, mengadili, memutus dan

9 Undang-Undang No.3 Tahun 2006 Tentang Perubahan Undang-Undang Nomor7 Tahun 1989

dan menyelesaikan perkara yang meliputi bidang ahwal al-syakhshiah (hukum keluarga), mu’amalah (hukum perdata) dan jinayah (hukum pidana) yang didasarkan atas syari’at Islam”. Di samping itu Undang-undang tersebut mengamanatkan pula

untuk membentuk Qanun tentang hukum acara bagi Mahkamah Syar’iyah di Aceh, baik hukum acara perdata Islam maupun hukum acara jinayah Islam.

Secara rinci kewengan absolute mahkamah syar’iyah dapat dikelompokan sebagai berikut ini:

a. Bidang Ahwal Al-Syakhshiyah10

Dalam bidang Munakahah mahkamah syar’iayah berwenang mengadili perkara- perkara, yang meliputi kewenangan dalam bidang al-Ahwal al-Syakhshiyah dalam Pasal 49 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama beserta penjelasan dari pasal tersebut, kecuali waqaf, hibah, dan sadaqah.

b. Bidang Muamalah11

Dalam bidang muamalah mahkamah syar’iayah berwenang mengadili perkara- perkara yang meliputi:

1) Jual beli

2) Hutang piutang 3) Qiradh (Permodalan)

4) Musaqah, muzara`ah, mukharabah (bagi hasil pertanian) 5) Wakilah (Perwakilan)

6) Syirkah (Perkongsian) 7) `Ariyah (Pinjam-meminjam) 8) Hajru (Penyitaan harta) 9) Syuf`ah (Hak lang-geh) 10) Rahnun (Gadai)

10 Qanun Provinsi Nangro Aceh Darussalam Nomor 10 Tahun 2002 Tentang Peradilan Syariat Islam

pasal 49 huruf (a) dan penjelasannya.

11) Ihya`ul mawat (Pembukaan la-han) 12) Ma`din (Tambang)

13) Luqathah (Barang temuan) 14) Perbankan

15) Ijarah (Sewa me-nyewa) 16) Takaful 17) Perburuhan 18) Wakaf 19) Hibah 20) Shadaqah 21) Hadiah

Kemudian timbul satu pertanyaan apakah mahkamah syar`iyah dengan kekhususannya hanya berwenang mengadili bidang muamalat versi qanun no. 10 tahun 2002 dan tidak berwenang mengadili ekonomi syariah versi uu no. 3 tahun 2006 ? menurut Dr. H. Syamsuhadi Irsyad, SH, MH, dalam disertasinya yang berjudul Mahkamah Syar`iyah Dalam Sistem Peradilan Nasional (2009 :

369) berpendapat bahwa perkara-perkara ekonomi syariah juga merupakan kewenangan Mahkamah Syar`iyah dalam bidang muamalah , karena dalam konteks ini Pengadilan Agama perlu dibaca sebagai Mahkamah Syar`iyah.

Dengan demikian Mahkamah syar’iyah juga berwenang mengadili “ekonomi syari’ah” yang meliputi :

1) Bank syari’ah;

2) Lembaga keuangan mikro syari’ah; 3) Asuransi syari’ah;

4) Reasuransi syari’ah; 5) Reksa dana syari’ah;

6) Obligasi syari’ah dan surat berharga berjangka menengah syari’ah; 7) Sekuritas syari’ah;

8) Pembiayaan syari’ah; 9) Pegadaian syari’ah;

10) Dana pensiun lembaga keuangan syari’ah; dan 11) Bisnis syari’ah12.

c. Bidang Jinayah

Dalam bidang Jinayah13 mahkamah syar’iyah berwenang mengadili perkara- perkara yang meliputi: hudud, Qishas/diyat dan ta’zir, secara rinci sebagai berikut:

Hudud, yang meliputi : 1) Zina

2) Qadzaf (Menu-duh berzina) 3) Mencuri

4) Merampok

5) Minuman ke-ras dan Nafza 6) Murtad

7) Pemberontakan Qishash/Diyat, meliputi :

1) Pembunuhan 2) Penganiayaan

Ta’zir, hukuman yang dijatuhkan kepada orang yang melakukan pelanggaran syariat selain hudud dan qishash, me-liputi :

1) Judi 2) Penipuan 3) Pemalsuan 4) Khalwat

5) Meninggalkan shalat fardhu 6) Meninggalkan puasa Ramadhan.

12 Undang-Undang No.3 Tahun 2006 Tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989

Tentang Peradilan Agama Pasal 49 Huruf (i) Dan Penjelasannya. 13Ibid.,Pasal 49 huruf (c) dan Penjelasannya

BAB III

ASAS-ASAS HUKUM ACARA PIDANA MAHKAMAH SYAR’IYAH14

Dalam dokumen HUKUM ACARA PIDANA JINAYAT MAHKAMAH SYAR (Halaman 42-48)