• Tidak ada hasil yang ditemukan

HUKUM ACARA PIDANA JINAYAT MAHKAMAH SYAR

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "HUKUM ACARA PIDANA JINAYAT MAHKAMAH SYAR"

Copied!
203
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

PENERAPAN

HUKUM ACARA PIDANA/JINAYAH

MAHKAMAH SYAR’IYAH

DI ACEH

(3)

PENERAPAN HUKUM ACARA PIDANA/JINAYAH MAHKAMAH SYAR’IYAH DI ACEH

Copyright@Nur Moklis & Agus Sanwani Arif

Penyusun:

Nur Moklis,S.H.I.,S.Pd. dan Agus Sanwani Arif,S.H.I

Desain Cover: Ahmad Abdul Halim,S.H.I

Tata Letak: Ahmad Mufid Bisri,S.H.I

Edisi I Nopember 2012

Dipublikasikan secara Online Email:

nurmoklis@yahoo.com agussanwaniarif@yahoo.com

Dipersilahkan mengutip sebagian atau seluruh isi buku ini, guna kepentingan akademik, karya ilmiyah atau sejeninya. Dilarang mengutipnya baik sebagian atau seluruhnya untuk

(4)

KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Warrahmatullahi Wabarrakatuh

Puji syukur kami haturkan kepada Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat, taufiq, hidayah dan inayah-Nya kepada kita dalam menjalankan aktifitas sehari-hari. Showalat dan salam semoga senantiasa tercurah kepada junjungan kita Nabi Agung akhir zaman Muhammad SAW.

Kami berdua sengaja menyusun E-BOOK PENERAPAN HUKUM ACARA PIDANA/JINAYAT MAHKAMAH SYAR’IYAH DI ACEH dalam sebuah buku guna memudahkan

kami dan para pembaca mempelajari hukum acara pidana/jinayah yang menjadi kompetensi Mahkamah Syar’iyah Aceh sebagaimana amanat Undang-Undang Republik Indonesia No. 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh pasal 128 ayat 3 menyebutkan “Mahkamah Syar’iyah berwenang memeriksa, mengadili, memutus, dan menyelesaikan perkara yang meliputi bidang ahwal al-syakhsiyah (hukum keluarga), muamalah (hukum perdata), dan jinayah (hukum pidana) yang didasarkan atas syari’at Islam”.

Terkait hal tersebut kami berdua yang saat diklat II calon hakim angkatan VII di Megamendung Bogor, bertepatan tanggal 24 september s.d. 28 nopember 2012 berinisiatif untuk mengumpulkan berbagai makalah, bahan ajar diklat, catatan-catatan saat mengikuti perkuliahan, juga hunting buku di perpustakaan badan litbang diklat kumdil MA-RI tentang hukum acara pidana/jinayah untuk menjadikannya sebuah e-book.

Lebih tepatnya, E-BOOK PENERAPAN HUKUM ACARA PIDANA/JINAYAT MAHKAMAH SYAR’IYAH DI ACEH ini adalah sebagai salah satu oleh-oleh(cendramata) yang

kami bawa salama mengikuti pelatihan tersebut. Dalam pelatihan tersebut bayak hal yang telah kami pelajari seperti hukum acara perdata di Peradilan Agama, termasuk juga hukun acara ekonomi syariah, hukum materiil peradilan Agama, termasuk didalamnya hukum materiil ekonomi syariah, hukum acara pidana/ jinayah di mahkamah syar’iyah di aceh, hukum pidana/jinayah diaceh dan lainnya. Oleh karena itu kami menyebutnya sebagai salah satu oleh-oleh (cendramata) dari diklat.

(5)

Sumanthana,SH.,MH., Bapak Suwoto, S.H.,M.Pd. Bapak Firman,SH, Bapak Suhenda, Bapak H. Moch. Amirullah Sholeh,SH.,MH. Dan seluruh Panitia yang tidak dapat kami sebutkan satu-persatu.

Terimakasih yang sangat dalam kami sampaikan kepada Bapak-Bapak Dosen yang telah memberikan pencerahan luar biasa, antara lain Bapak Prof. Dr. H. Abdul Manan,SH.,S.IP.,M.Hum, Bapak Dr. H. Habiburrahman.S.H.,MH, Bapak Prof. Dr. H. Abdul Ghani Abdullah,S.H.,MH., Bapak Drs. H. Armia Ibramim,S.H.,MH., Bapak Dr. H. Mukti Arto.S.H. MH., Bapak Drs. Rum Nessa,SH.,MH. Bapak Dr. H. Qomari,MH., Bapak Dr. H. Ahmad Mujahidin MH., Bapak Drs. H. Mawardy Amien,MH., Bapak Prof. Dr.H.Hasbi Hasan,SH.,MH dan lainnya yang tidak dapat kami sebutkan satu persatu. Semoga amal beliau menjadi amal jariyah, amien.

Tidak lupa kami juga mengucapkan terimakasih yang tak terhingga kepada sahabat tercinta kami, Sdr. Prasetyo Wibowo Cakim PTUN Jakarta, selama 2 bulan kami bertiga tinggal bersama di Gedung Sari Lt.3 No.15 dengan sangat harmonis guna mengikuti diklat II cakim PPC Terpadu angkatan VII. Rekan-rekan dari Pengadilan Agama Kelas 1B Kudus; Mas Iyan, mas Burhan, Mas Lesta, Mas Halim, Mas Mamat, Mas Kusnoto, Mb. Rica, Mas Dani, dan Mas Sholichin yang selalu meluangkan waktu untuk belajar bersama-sama . Rekan-rekan Pengadilan Agama kelas 1B Cianjur yang selalu bersemangat, mas Jimmy, Mas Rifqi, Mas Ivan, Cak Massadi, A’a Mumu, Bang Iwin, Teteh Habsah, dan A’a Ghani, tetap kompak selalu. Tidak lupa Semua rekan-rekan Cakim PA,PN dan PTUN yang tidak dapat kami sebut namanya satu persatu.

E-book ini menjelaskan sejarah Mahkamah Syar’iyah di Aceh yang tidak lepas dari Peradilan Agama pada umumnya diwilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang telah mendapatkan penambahan kompetensi sebagaimana amanat Undang-Undang dibidang muamalah dan jinayat/pidana. Selain hal tersebut dalam e-book ini juga telah kami klasifikafikan dalam bab-bab yang akan memudahkan bagi pembaca.

(6)

Kami sangat berharap masukan-masukan dari pembaca, apabila dalam penyusunan dan pengumpulan bahan tentang E-BOOK PENERAPAN HUKUM ACARA PIDANA/JINAYAT MAHKAMAH SYAR’IYAH DI ACEH ada kesalahan atau hal-hal yang perlu

diperbaiki. Demikian, semoga e-book ini menjadi amal sholih bagi kami. Amin.

Wassalamualaikum Warrahmatullahi Wabarrakatuh

Megamendung, 28 Nopember 2012 Penyusun

(7)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR--2 DAFTAR ISI--5

BAB I HUKUM ACARA PIDANA DALAM PERKARA JINAYAT DI PROVINSI ACEH--11 A. Pendahuluan--11

B. Landasan Normatif--12

C. Istilah-Istilah Dalam Qanun Aceh--16 D. Kompetensi Mahkamah Syar’iyah--19

E. Kewenangan Mengadili Perkara Pidana/Jinayat--20

BAB II MAHKAMAH SYAR’IYAH DALAM SISTIM KEKUASAAN KEHAKIMAN DI INDONESIA--23

A. Sejarah Mahkamah Syar’iyah di Aceh--23

1. Mahkamah Syar’iyah Pada Masa Kesultanan Islam--23

2. Mahkamah Syar’iyah Pada Masa Pemerintahan Kolonial Belanda--25 3. Mahkamah Syar’iyah Pada Masa Pendudukan Jepang--25

4. Mahkamah Syar’iyah Pada Masa Revolusi Fisik Hingga Kembali Ke NKRI--26

5. Mahkamah Syar’iyah Pada Masa Otonomi Khusus Aceh--38 B. Mahkamah Syar’iyah dalam Sistem Perundang-Undangan--39 C. Kewenangan dan Kekuasaan Mahkamah Syar’iyah di Indonesa--40

1. Kekuasaan Relative--40 2. Kekuasan Absolute--40

a. Bidang Ahwalus Syakhsiyah--43 b. Bidang Muamalah--43

c. Bidang Jinayah --45

BAB III ASAS-ASAS HUKUM ACARA PIDANA MAHKAMAH SYAR’IYAH--46 A. Pendahuluan--46

(8)

C. Latar Belakang Lahirnya Asas Hukum--50

D. Asas-Asas Hukum Acara Pidana Dalam Al-Qur’an--52 1. Asas Keadilan--52

2. Asas Kepastian Hukum--54 3. Asas Kemanfaatan--55 4. Asas Legalitas--56

5. Asas Larangan Memindahkan Kesalahan Pada Orang Lain--58 6. Asas Praduga tidak Bersalah--59

E. Asas-Asas Hukum Acara Pidana Universal--60

1. Asas Praduga Tidak Bersalah (Presumption of Innocence)--60

2. Asas Oportunitas--60

3. Asas Accusatoir dan Inquisitoir--60 4. Asas Audi Et Alteram Partem--62 5. Asas Independen--63

6. Asas Sidang Terbuka untuk Umum--64 7. Asas Equality Before the Law--56

8. Asas Ratio Decidendi /Basic Reasion (Putusan Harus Disertai

Alasan)--66

9. Asas Peradilan Sederhana, Cepat dan Biaya Ringan--66 10. Asas Nemo Judex Indoneus in Propria Causa--67 11. Asas Unus Testis Nullus Testes--69

12. Asas Lex Superior Derogat Legi Inferiori--69 13. Asas Ius Curia Novit--70

14. Asas Nullum Delictum Nulla Poena Sine Praevia Lege Poenali--70 15. Asas Pemeriksaan Perkara Pidana dengan Kehadiran Terdakwa--71 16. Asas Bantuan Hukum--71

17. Asas Pemeriksaan Hakim Secara Lisan langsung--72 18. Asas Ganti Rugi dan Rehabilitasi--72

19. Asas Pengawasan dan Pengamatan Pelaksanaan Putusan Pengadilan--73

(9)

F. Asas- Asas Pengadilan Hak Asasi Manusia--74

1. Hanya Mengadili Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat--74 2. Kejahatan Universal--74

3. Genosida dan Kejahatan Kemanusiaan--74

4. Jaksa Agung sebagai Penyidik dan Penuntut Umum--74 5. Pejabat Ad Hoc--74

6. Pemeriksaan Banding dan Kasasi Limiatif--74 7. Perlindungan Korban dan Saksi--74

8. Kompensasi, Restitusi dan Rehabilitasi Korban--75 9. Ancaman Hukum Diperberat--75

10. Tanggung Jawab Komandan dan Atasan--76 11. Retro Aktif--76

12. Tidak ada Daluwarsa--76

13. Komnas HAM Sebagai Penyelidik--76

14. Kewenangan Ankum dan Perwira Penyerah Perkara Tidak Ada--77 G. Asas-Asas Hukum Spesifik--77

1. Asas The Binding Force of Presedent--77 2. Asas Cogatitionis Poenam Nemo Patitur--78 3. Asas Restitutio in Integrum--78

4. Asas Nullum Delictum Nulla Poena Sine Praevia Lege Poenali--78 H. Asas-Asas Hukum dalam Sebuah Peradilan--79

1. Sistem Peradilan Juri--80

2. Sistem Peradilan Eropa Kontinental--82 I. Kesimpulan--84

BAB IV LEMBAGA PELAKSANA HUKUM ACARA PIDANA MAHKAMAH SYAR’IYAH DI INDONESIA--86

a. Kepolisian/ Wilayatul Hisbah--87 b. Kejaksaan—91

(10)

c. Mahkamah Syar’yah--95

BAB V PENYELIDIK, PENYIDIK, DAN PENUNTUT UMUM--97 A. Penyidik--97

B. Penyidikan—98

B.1. Laporan atau Pengaduan--99

B.2. Informasi yang diperoleh Aparat Penegak Hukum—100 B.3. Tertangkap Tangan--101

C. Penyelidik--102

D. Penyelidik Pembantu--104 E. Penyidikan—104

E.1. Wewenang Penyidik--105 E.2. Tatacara Penyidikan--106 F. Penuntut Umum--113

BAB VI PENANGKAPAN, PENAHANAN, JAMINAN PENANGGUHAN PENAHANAN, PENGGELEDAHAN, PENYITAAN, DAN PEMERIKSAAN SURAT--114

A. Penangkapan--114 B. Penahanan--115

C. Jaminan Penangguhan Penahanan--121 D. Penggeledahan--122

E. Penyitaan--124

F. Pemeriksaan surat--128

BAB VII TERSANGKA DAN TERDAKWA--130 A. Tersangka--130

B. Terdakwa--130

BAB XIII BANTUAN HUKUM--135

(11)

A. BERITA ACARA--136 B. SUMPAH--137

BAB X WEWENANG PENGADILAN UNTUK MENGADILI--138 A. Praperadilan--138

B. Mahkamah Syar’iyah, Mahkamah Syar’iyah Aceh dan MA- RI--140

BAB XI PERADILAN KONEKSITAS--142 A. Pengertian--142

B. Prinsip-Prinsip Koneksitas--143 C. Penyidikan Perkara Koneksitas--143

D. Tatacara Penentuan Pengadilan Koneksitas--144 E. Susunan Majlis Hakim Pengadilan Koneksitas--146

BAB XII GANTI KERUGIAN, REHABILITASI DAN PENGGABUNGAN PERKARA GANTI KERUGIAN--148

A. Ganti kerugian--149 B. Rehabilitasi--149

C. Penggabungan Perkara Ganti Kerugian--149

BAB XIII TAHAP-TAHAP DAN PROSES SIDANG DALAM PERKARA JINAYAT--151

BAB XIV PENUNTUTAN,DAKWAAN DAN PANGGILAN--153 A. Penuntutan--153

B. Panggilan--155

BAB XV SENGKETA WEWENANG MENGADILI--157

BAB XVI ACARA PEMERIKSAAN BIASA--159

(12)

BAB XVIII ACARA PEMERIKSAAN CEPAT--174 A. Pendahuluan--174

B. Acara Pemeriksaan Tindak Pidana Ringan--174

C. Acara Pemeriksaan Perkara Pelanggaran Lalu Lintas Jalan--174

BAB XIX PEMBUKTIAN--178

BAB XX UPAYA HUKUM--186

A. Pengertian Upaya Hukum--186 B. Pemeriksaan Tingkat Banding--186 C. Pemeriksaan Untuk Kasasi--190

BAB XXI UPAYA HUKUM LUAR BIASA--191 A. Pengertian--191

B. Pemeriksaaan Tingkat Kasasi Demi Kepentingan Hukum--191 C. Peninjauan Kembali Putusan Pengadilan Yang Telah Memperoleh

Kekuatan Hukum Tetap--191

BAB XXII PUTUSAN--195

A. Pelaksanaan Putusan Pengadilan--195

B. Pengawasan Dan Pengamatan Pelaksanaan Putusan Pengadilan--197

DAFTAR PUSTAKA--199

(13)

BAB I

HUKUM ACARA PIDANA DALAM PERKARA JINAYAT DI PROPINSI ACEH1

A. PENDAHULUAN

Aceh sebagai bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diberikan kewenangan untuk melaksanakan Syariat Islam, Keistimewaan dan Otonomi khusus, menjunjung tinggi kepastian hukum, keadilan dan kesamaan di depan hukum.

Dalam melaksanakan Hukum Jinayat, Hukum Acara Jinayat merupakan salah satu aturan tersendiri yang sangat diperlukan sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang Nomor 44 Tahun 1999, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006, dan Qanun Nomor 10 Tahun 2002, karena aturan yang ada dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) belum sepenuhnya dapat memenuhi kebutuhan penegak hukum di Aceh;

Undang No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh dan Undang-Undang Nomor 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, mengakui adanya peradilan Syariat Islam sebagai bagian sistem peradilan nasional yang dilakukan oleh mahkamah syar’iyah yang bebas dari pengaruh pihak manapun. Kewenangan mahkamah Syari’yah didasarkan atas syariat Islam dalam sistem hukum nasional, diatur lebih lanjut dengan Qanun. Untuk melaksanakan ketentuan pasal 25 Undang-Undang Nomor 18 tahun 2001 tersebut, pasal tanggal 4 Oktober 2002 telah disahkan qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 10 Tahun 2002 tentang Peradilan Syariat Islam. Pasal 49 Qanun tersebut mengatur kewenangan mahkamah Syar’iyah yang meliputi bidang al-syaksyiah muamallah

1 Badan Litbang Diklat Kumdil Mahkamah Agung RI, Bahan Ajar Diklat II Calon Hakim Peradilan

(14)

dan jinayat. Untuk dapat menjalankan kewenangan tersebut diperlukan adanya hukum formil (hukum acara). Baik muamalat maupun jinayat, Pasal 54 Qanun Nomor 10 tahun 2002 menentukan bahwa hukum formil yang akan digunakan mahkamah adalah bersumber atau sesuai dengan syariat islam yang sesuai dengan Qanun.

Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana sebagai hukum formil yang berlaku dilingkungan peradilan umum, belum menampung sepenuhnya prinsip-prinsip hukum acara pidana islam sesuai dengan kebutuhan Peradilan Syariat Islam. Karenanya kehadiran hukum acara jinayat merupakan kebutuhan mutlak bagi mahkamah dalam menjalankan kekuasaan kehakiman. Dalam sistem Peradilan Syariat sebagaimana diatur.

B. LANDASAN NORMATIF

Mahkamah Syar’iyah adalah suatu lembaga peradilan yang dilakukan berdasar Syari’at Islam dan menurut cara yang diatur dalam Qanun.2 Qanun Aceh Tentang Hukum Acara Jinayat hanya berlaku di Nagroe Aceh Darussalam (NAD) untuk melaksanakan tata cara peradilan dalam lingkungan peradilan Syari’at Islam pada semua tingkat peradilan.3 Adapun sumber hukum Qanun Aceh adalah bersumber pada dasar-dasar hukum sebagai berikut:

1. AI-Qur’an; 2. Al-Hadits;

3. Pasal 18 B, 28 J dan Pasal 29 Undang-Undang Dasar 1945;

4. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1956 tentang Pembentukan Daerah Otonom Propinsi Atjeh dan Perubahan Peraturan Pembentukan Pemerintah Propinsi Sumatera Utara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1956 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 1103);

2 Rancangan Qanun Aceh Tentang Hukum Acara Jinayat Pasal 3

(15)

5. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209);

6. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita (Convention on The Elimination of all Forms of Discrimination Against Women) (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1984 Nomor 29, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3277);

7. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1985 Nomor 73, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3316) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 3, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4958);

8. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1989 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3400) sebagaimana telah diubah dengan Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 22, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4611);

9. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 3, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3668);

(16)

1998 Nomor 164, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3783);

11. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Azasi Manusia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 165, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3886);

12. Undang-Undang Nomor 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaran Keistimewaan Propinsi Daerah Istimewa Aceh (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 172, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3893);

13. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 2, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4168);

14. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002 tentang Grasi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 108, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4234);

15. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4288);

16. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 6, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4358);

17. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 53, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4389);

18. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 67, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4401);

(17)

20. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437) sebagaimana telah diubah untuk yang kedua kalinya dengan Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4844);

21. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (Lembaran Negara Tahun 2006 Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4633);

22. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4635);

23. Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2007 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2007 tentang Penanganan Permasalahan Hukum Dalam Rangka Pelaksanaan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Daerah dan Kehidupan Masyarakat di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan Kepulauan Nias Sumatera Utara menjadi Undang-undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 168, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4796);

24. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan KUHAP (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 36, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3258);

25. Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 1988 tentang Koordinasi Kegiatan Instansi Vertikal di Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1988 Nomor 10, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3373);

(18)

27. Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 10 Tahun 2002 tentang Peradilan Syariat Islam (Lembaran Daerah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Tahun 2002 Nomor 2 Seri E Nomor 2, Tambahan Lembaran Daerah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 4);

28. Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 11 Tahun 2002 tentang Pelaksanaan Syariat Islam Bidang Aqidah, Ibadah dan Syiar Islam (Lembaran Daerah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Tahun 2002 Nomor 54 Seri E Nomor 15, Tambahan Lembaran Daerah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 5);

29. Qanun Aceh Nomor 3 Tahun 2007 tentang Tata Cara Pembentukan Qanun (Lembaran Daerah Naggroe Aceh Darussalam Tahun 2007 Nomor 03, Tambahan Lembaran Daerah Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 03);

C. ISTILAH-ISTILAH DALAM QANUN ACEH

Berdasar Rancangan Qanun Aceh tentang Hukum Acara Jinayat Bab I Pasal 1 terdapat beberapa istilah, yakni:

1. Aceh adalah daerah provinsi yang merupakan kesatuan masyarakat hukum yang bersifat istimewa dan diberi kewenangan khusus untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan Peraturan Perundang-undangan dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang dipimpin oleh seorang Gubernur.

(19)

3. Pemerintahan Aceh adalah pemerintahan daerah provinsi dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyelenggarakan urusan pemerintahan yang dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah Aceh dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Aceh sesuai dengan fungsi dan kewenangan masing-masing.

4. Pemerintah Daerah Aceh yang selanjutnya disebut Pemerintah Aceh adalah unsur penyelenggara pemerintahan Aceh yang terdiri atas Gubernur dan perangkat daerah Aceh.

5. Gubernur adalah Kepala Pemerintah Aceh yang dipilih melalui suatu proses demokratis yang dilakukan berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil.

6. Pemerintah daerah kabupaten/kota yang selanjutnya disebut pemerintah kabupaten/kota adalah unsur penyelenggara pemerintahan daerah kabupaten/kota yang terdiri atas bupati/walikota dan perangkat daerah kabupaten/kota.

7. Mahkamah Agung adalah Mahkamah Agung Republik Indonesia.

8. Mahkamah Syar’iyah Aceh dan Mahkamah Syar’iyah Kabupaten/Kota adalah pengadilan selaku pelaksana kekuasaan kehakiman dalam lingkungan peradilan agama yang merupakan bagian dari sistem peradilan nasional.

9. Mahkamah adalah Mahkamah Syar’iyah, Mahkamah Syar’iyah Aceh dan Mahkamah Agung.

10. Polri adalah Kepolisian Negara Republik Indonesia yang bertugas di Aceh.

(20)

12. Penyelidik adalah pejabat Polri di Aceh dan Polisi WH yang telah diberi wewenang oleh undang-undang dan/atau qanun untuk melakukan penyelidikan.

13. Penyidik adalah pejabat Polri di Aceh dan Polisi WH yang telah menjadi PPNS yang diberi wewenang oleh undang-undang dan/atau qanun untuk melakukan penyidikan.

14. Penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai jarimah guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam undang-undang dan/atau qanun.

15. Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang dan/atau qanun untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang jarimah yang terjadi guna menemukan tersangka.

16. Penuntut umum adalah jaksa yang diberi wewenang oleh qanun ini dan peraturan perundang-undangan lainnya untuk melakukan penuntutan serta melaksanakan penetapan dan putusan hakim mahkamah.

17. Penuntutan adalah tindakan penuntut umum untuk melimpahkan perkara jinayat ke Mahkamah Syar’iyah yang berwenang dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang dan/atau qanun dengan permintaan supaya diperiksa dan diputuskan oleh hakim di sidang Mahkamah.

18. Penangkapan adalah suatu tindakan penyidik berupa pengekangan sementara waktu kebebasan tersangka atau terdakwa apabila terdapat cukup bukti guna kepentingan penyidikan dan/atau penuntutan dan/atau peradilan dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang dan/atau qanun.

(21)

20. Putusan Mahkamah adalah pernyataan yang diucapkan hakim dalam sidang mahkamah terbuka yang dapat berupa penjatuhan ‘uqubat atau bebas atau lepas dari tuntutan hukum dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang dan/atau qanun.

21. Tersangka adalah orang karena perbuatannya atau keadaannya, berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku jarimah. 22. Mengadili adalah serangkaian tindakan hakim untuk menerima,

memeriksa dan memutuskan perkara jinayat berdasarkan azas bebas, jujur dan adil dalam sidang Mahkamah menurut cara yang diatur dalam undang-undang dan/atau qanun.

23. Permohonan adalah permintaan terdakwa atau pelaku jarimah yang atas kesadaran sendiri mengakui kesalahan atas jarimah yang dilakukan dan meminta ia dijatuhi ‘uqubat sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang dan/atau qanun.

24. Jarimah adalah perbuatan yang dilarang oleh Syariat Islam yang dalam qanun jinayat diancam dengan ‘uqubat hudud dan/atau ta’zir. 25. ‘Uqubat adalah hukuman yang dijatuhkan oleh hakim terhadap

pelanggaran jarimah.

26. Qarinah adalah salah satu dari berbagai cara pembuktian suatu gugatan/dakwaan yang dapat membantu para penegak keadilan untuk menyingkap rahasia suatu peristiwa.

D. KOMPETENSI MAHKAMAH SYAR’IYAH

Menurut ketentuan Pasal 85 Qanun Aceh Tentang Hukum Acara Jinayat, Mahkamah Syar’iyah memiliki kewenangan sebagai berikut:

1. Mahkamah Syar’iyah berwenang mengadili segala perkara mengenai jarimah yang dilakukan dalam daerah hukumnya;

(22)

kediaman sebagian besar saksi yang dipanggil lebih dekat pada tempat Mahkamah Syar’iyah itu dari pada tempat kedudukan Mahkamah Syar’iyah yang di dalam daerahnya jarimah itu dilakukan;

3. Apabila seorang terdakwa melakukan beberapa jarimah dalam daerah hukum pelbagai Mahkamah Syar’iyah, maka tiap Mahkamah Syar’iyah itu masing-masing berwenang mengadili perkara jinayat itu;

4. Terhadap beberapa perkara jinayat yang satu sama lain ada sangkut pautnya dan dilakukan oleh seorang dalam daerah hukum pelbagai Mahkamah Syar’iyah, diadili oleh masing-masing Mahkamah Syar’iyah dengan ketentuan dibuka kemungkinan penggabungan perkara tersebut.

Dalam hal keadaan daerah tidak memungkinkan suatu Mahkamah Syar’iyah untuk mengadili suatu perkara, maka atas usul ketua Mahkamah Syar’iyah atau Kepala Kejaksaan Negeri yang bersangkutan, Mahkamah Agung menetapkan atau menunjuk Mahkamah Syar’iyah lain daripada yang tersebut pada Pasal 85 untuk mengadili perkara yang dimaksud .4

Menurut Rancangan Qonun Aceh Tentang Hukum Acara Jinayat Pasal 87 Mahkamah Syar’iyah Aceh berwenang mengadili perkara yang diputus oleh Mahkamah Syar’iyah dalam daerah hukumnya yang dimintakan banding. Sedangkan menurut Pasal 88 Rancangan Qonun Aceh Tentang Hukum Acara Jinayat Mahkamah Agung berwenang mengadili semua perkara jinayat yang dimintakan kasasi.

E. KEWENANGAN MENGADILI PERKARA PIDANA/JINAYAT

Menurut ketentuan Pasal 78 Qanun Aceh Tentang Hukum Acara Jinayat, bahwa Mahkamah Syar’iyah berwenang untuk memeriksa dan memutus tentang hal-hal sebagai berikut:

(23)

a. Sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan;

b. Ganti kerugian dan/atau rehabilitasi bagi setiap orang yang perkara jinayatnya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan.

c. Praperadilan dipimpin oleh hakim tunggal yang ditunjuk oleh Ketua Mahkamah Syar’iyah dan dibantu oleh seorang panitera. (Pasal 79)

d. Permintaan pemeriksaan tentang sah atau tidaknya suatu penangkapan atau penahanan diajukan oleh tersangka, keluarga atau kuasanya kepada Ketua Mahkamah Syar’iyah dengan menyebutkan alasannya. (Pasal 80)

e. Permintaan untuk memeriksa sah atau tidaknya suatu penghentian penyidikan atau penuntutan dapat diajukan oleh penyidik atau penuntut umum atau pihak ketiga yang berkepentingan kepada Ketua Mahkamah Syar’iyah dengan menyebutkan alasannya. (Pasal 81).

f. Permintaan ganti kerugian dan/atau rehabilitasi akibat tidak sahnya penangkapan atau penahanan atau akibat sahnya penghentian penyidikan atau penuntutan diajukan oleh tersangka atau pihak ketiga yang berkepentingan kepada Ketua Mahkamah Syar’iyah dengan menyebutkan alasannya. (Pasal 82)

g. Acara pemeriksaaan praperadilan menurut Pasal 83 untuk hal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 80, 81 dan Pasal 82 ditentukan sebagai berikut:

1. Dalam waktu tiga hari setelah diterimanya permintaan, hakim yang ditunjuk menetapkan hari sidang;

2. hakim mendengar keterangan baik dari tersangka atau pemohon maupun dari pejabat yang berwenang, dalam memeriksa dan memutus tentang:

(1) sah atau tidaknya penangkapan atau penahanan;

(2) sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penuntutan;

(3) permintaan ganti kerugian dan/atau rehabilitasi akibat tidak sahnya penangkapan atau penahanan;

(24)

3. pemeriksaan sebagaimana pada huruf b dilakukan sacara cepat dan putusan dijatuhkan dalam waktu paling lambat 7 (tujuh) hari sejak disidangkan;

4. dalam hal suatu perkara sudah mulai diperiksa oleh Mahkamah Syar’iyah, sedangkan pemeriksaan mengenai permintaan kepada praperadilan belum selesai, maka permintaan tersebut gugur;

5. putusan praperadilan pada tingkat penyidikan tidak menutup kemungkinan untuk mengadakan pemeriksaan praperadilan lagi pada tingkat pemeriksaan oleh penuntut umum, jika untuk itu diajukan permintaan baru.

6. Putusan hakim dalam acara pemeriksaan praperadilan mengenai hal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 80 sampai dengan Pasal 82, harus memuat dengan jelas dasar dan alasannya.

h. Putusan hakim, selain memuat ketentuan sebagaimana dimaksud pada huruf (g) juga memuat hal sebagai berikut:

1. dalam hal putusan menetapkan bahwa sesuatu penangkapan atau penahanan tidak sah, maka penyidik atau jaksa penuntut umum pada tingkat pemeriksaan masing-masing harus membebaskan tersangka; 2. dalam hal putusan menetapkan bahwa sesuatu penghentian penyidikan

atau penuntutan tidak sah, penyidikan atau penuntutan terhadap tersangka wajib dilanjutkan;

3. dalam hal putusan menetapkan bahwa suatu penangkapan atau penahanan tidak sah, maka dalam putusan dicantumkan jumlah besarnya ganti kerugian dan rehabilitasi yang diberikan, sedangkan dalam hal suatu penghentian penyidikan atau penuntutan adalah sah dan tersangkanya tidak ditahan, maka dalam putusan dicantumkan rehabilitasinya;

(25)

benda tersebut harus segera dikembalikan kepada tersangka atau dari siapa benda itu disita.

i. Ganti kerugian dapat diminta, yang meliputi hal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 78 dan Pasal 91.

j. Ganti kerugian sebagaimana dimaksud pada huruf (i) dibebankan pada APBA yang diatur lebih lanjut dalam Peraturan Gubernur.

k. Terhadap putusan praperadilan dalam hal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 80, sampai dengan Pasal 82 menurut ketentuan Pasal 84 tidak dapat dimintakan banding, dikecualikan apabila putusan praperadilan yang menetapkan tidak sahnya penghentian penyidikan atau penuntutan, yang untuk itu dapat dimintakan putusan akhir ke Mahkamah Syar’iyah Aceh.

(26)

BAB II

MAHKAMAH SYAR’IYAH

DALAM SISTIM KEKUASAAN KEHAKIMAN DI INDONESIA

A. SEJARAH MAHKAMAH SYAR’IYAH DI ACEH5

1. MAHKAMAH SYAR’IYAH PADA MASA KESULTANAN ISLAM

Peradilan Islam telah lahir di Aceh sejak zaman jayanya Kerajaan Aceh. Pada masa itu peradilan dipegang oleh ”Qadli Malikul ’Adil” yang berkedudukan di ibukota kerajaan, Kutaraja. Qadli Malikul ’Adil ini kira-kira dapat disamakan dengan Mahkamah Agung, sebagai Pengadilan Tertinggi. Di masing-masing daerah Uleebalang terdapat Qadli Uleebalang yang memutuskan perkara di daerahnya. Banding terhadap putusan Qadli Uleebalang diajukan ke Qadli Malikul ’Adil.

Qadli Malikul ’Adil dan Qadli Uleebalang diangkat dari ulama-ulama yang cakap dan berwibawa. Karena perkara yang dibanding ke Qadli Malikul’Adil tidak banyak, maka Qadli Malikul ’Adil lebih banyak bertugas memberikan fatwa dan nasehat kepada kerajaan.

Menurut Syamsudi Irsyad sistem peradilan di Kesultanan Aceh terdiri dari beberapa tingkat6, yaitu:

b. Jurudamai, dua tingkat, yaitu: jurudamai tingkat I, diketuai oleh Keuchik dan jurudamai tingkat II diketuai oleh Imun Mesjid.

c. Pengadilan Mukim, diketuai oleh Imun Mukim, anggotanya terdiri dari Keuchik, Imam Mesjid yang bersangkutan dan Cerdik Pandai.

5 H.Armia Ibrahim, Hakim Tinggi Mahkamah Syar’iyah Provinsi Nangro Aceh Darussalam, Makalah:

Sejarah Perkembangan Peradilan Agama Di Aceh Sebelum Dan Setelah Kemerdekaan RI, 2006. Dan Disadur Dengan Beberapa Sumber Lainnya.

6 Syamsul Hadi Irsyad, 130 Tahun Peradilan Agama Berahan dan Mengembangkan Eksistensinya,

(27)

d. Pengadilan Uleebalang, diketuai oleh Uleebalang, anggota-anggota serupapengadilan Mukim, mengadili perkara yang diminta banding atas putusan pengadilan Mukim.

e. Pengadilan Panglima Sagoe, diketuai oleh Panglima Sagoe dan anggotanya sama dengan yang diketuai oleh uleebalang, hanya Aceh Besar.

f. Mahkamah Agung (MA), Ketua adalah Sultan Aceh sendiri, wakil ketuanya Qadli Malikul Adil dan anggota-anggota.

2.... MAHKAMAH SYAR’IYAH PADA MASA HINDIA BELANDA

Zaman Hindia Belanda, peradilan agama merupakan bagian dari pengadilan adat, dimana untuk tingkat Uleebalang ada pengadilan yang diketuai oleh Uleebalang yang bersangkutan. Sedangkan untuk tingkat afdeeling atau onderafdeeling ada pengadilan yang bernama ”Musapat’ yang dikepalai oleh Controleur, dimana Uleebalang serta pejabat-pejabat tertentu menjadi anggotanya.

Dalam prakteknya bila perkaranya melulu bersangkutan dengan hukum agama, seringkali diserahkan saja kepada Qadli Uleebalang untuk memutuskannya, tetapi kalau ada sangkut pautnya dengan hukum yang lain dari hukum agama, diketuai sendiri oleh Uleebalang yang bersangkutan dengan didampingi Qadli Uleebalang dimaksud.

Perlu diketahui pula bahwa dalam sidang peradilan Musapat, agar sah maka harus ada Ketua, sekurang-kurangnya tiga orang anggota dan ada seorang Ulama Islam. Bila menyangkut kasus pidana, maka harus ada seorang opsir justisi bumi putera.

3. MAHKAMAH SYAR’IYAH PADA MASA PENDUDUKAN JEPANG

(28)

Khusus untuk wilayah Aceh, Jepang mengeluarkan suatu Undang-undang yang bernama ”Atjeh Syu Rei” ( Undang-undang Daerah Aceh ) Nomor 12 tanggal Syowa Ni Gatu 15 ( 15 Pebruari 1944 ) mengenai Syukyo Hooin ( Mahkamah Agama).

Sesuai dengan bunyi pasal 1 Atjeh Syu Rei Nomor 12, ada tiga tingkatan peradilan agama saat itu, yakni :

1. Syukyo Hooin berkedudukan di Kutaraja (sekarang Banda Aceh);

2. Seorang Kepala Qadli dengan beberapa anggotanya di tiap-tiap Bunsyu (Kabupaten sekarang );

3. Seorang Qadli Son di tiap-tiap son ( kecamatan sekarang ).

Syukyo Hooin merupakan pengadilan tingkat banding atas putusan Kepala Qadli dan Qadli Son. Tugas Qadli Son pada saat itu mirip dengan tugas Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan saat ini.

Syukyo Hooin terdiri dari anggota-angota harian dan anggota-angota biasa. Salah seorang dari anggota harian diangkat menjadi Ketua ( Iintyo ) oleh Atjeh Syu Tyokan berdasarkan unjukan/ rekomendasi dari Kepala Pengadilan Negeri Kutaraja yang dipilih dari ulama yang cerdik pandai, jujur dan berpengaruh di dalam daerah Aceh.

Pada saat itu sebagai Ketua Atjeh Syukyo Hooin adalah Tgk.H.Ja’far Shiddiq, sedangkan anggota-anggota harian adalah : Tgk.Muhammad Daud Beureu-eh dan Tgk.Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy serta Said Abubakar.

4. MAHKAMAH SYAR’IYAH PADA MASA REVOLUSI FISIK HINGGA KEMBALI KE NEGARA KESATUAN RI.

(29)

beberapa daerah di Sumatera sejak tanggal 1 Agustus 1946, sebagai salah satu hasil revolusi kemerdekaan, telah terbentuk Mahkamah Syar’iyah, antara lain di daerah Aceh, Tapanuli, Sumatera Tengah, Jambi, Palembang dan Lampung. Semua Mahkamah Syar’iyah dimaksud kemudian diakui sah oleh Wakil Pemerintah Pusat Darurat di Pematang Siantar.

Pembentukan Mahkamah Syar’iyah di Keresidenan Aceh pada waktu itu hanya didasarkan kepada Kawat Gubernur Sumatera Nomor 189 tanggal 13 Januari 1947 yang waktu itu dijabat oleh seorang tokoh Aceh yaitu Mr.T.Muhammad Hasan, yang disusul dengan Kawat Wakil Kepala Jawatan Agama Propinsi Sumatera No. 226/3/djaps tanggal 22 Pebruari 1947.

Adapun mengenai kewenangan Mahkamah Syar’iyah di Aceh saat itu awalnya didasarkan kepada Kawat Kepala Jawatan Agama Propinsi Sumatera yang ditujukan kepada Jabatan Agama Daerah Aceh di Kutaraja Nomor 896/3/djaps yang intinya bahwa hak Mahkamah Syar’iyah memutus soal-soal tentang :

21. Nikah, thalaq, rujuk, nafkah dsb. 22. Pembahagian pusaka ( kewarisan)

23. Harta wakaf, hibah, sedeqah dan selainnya 24. Baitul mal.

Untuk mendapat landasan yang kuat atas surat kawat tersebut, Pemerintah Aceh membawa masalah tersebut ke sidang Badan Pekerja Dewan Perwakilan Rakyat Aceh. Badan Pekerja DPR Aceh telah menguatkan kewenangan dimaksud dengan Putusannya tanggal 3 Desember 1947 Nomor 35, yang intinya sebagai berikut :

1. Menguatkan Instruksi Kepala Jawatan Agama Propinsi Sumatera tentang hak Mahkamah Syar’iyah, yaitu memutuskan :

a. perkara nikah, thalaq, rujuk dan nafkah; b. pembahagian pusaka;

(30)

d. memutuskan Baitul Mal.

2. Vonnis-vonnis yang bersangkutan ini dipandang serupa kekuatan vonnis Hakim Negeri.

3. Buat sementara menunggu ketentuan dari Propinsi, maka urusan harta pusaka ditetapkan terus menjadi hak Mahkamah Syar’iyah dan tidak lagi menjadi hak Hakim Rendah atau Hakim Negeri.

4. Untuk menjalankan urusan ini diserahkan kepada Kepala Jawatan Agama Daerah Aceh.

Ada tiga tingkatan Mahkamah Syar’iyah di Aceh pada era awal kemerdekaan hingga lahirnya Peraturan Pemerintah Nomor 29 tahun 1957 tanggal 10 Agustus 1957, yakni :

1. Mahkamah Syar’iyah Daerah Aceh sebagai Pengadilan tertinggi dan tingkat terakhir yang berkedudukan di Kutaraja.

2. Mahkamah Syar’iyah Kewedanaan sebagai Pengadilan tingkat banding sebanyak 20 buah yang berada di seluruh daerah Kewedanaan yang ada di Aceh saat itu. 3. Mahkamah Syar’iyah Kenegerian sebagai Pengadilan tingkat pertama sebanyak

106 buah yang berada di setiap daerah Kecamatan yang ada di Aceh saat itu.

Adapun nama-nama Mahkamah Syar’iyah Kewedanaan dan Kenegerian dimaksud adalah sebagai berikut :

1. Mahkamah Syar’iyah Kewedanaan Kutaraja, membawahi 9 buah Mahkamah Syar’iyah Kenegerian, yaitu :

1). Mahkamah Syar’iyah Kenegerian Mesjid Raya; 2). Mahkamah Syar’iyah Kenegerian Ingin Jaya; 3). Mahkamah Syar’iyah Kenegerian Tungkop; 4). Mahkamah Syar’iyah Kenegerian Krueng Raya; 5). Mahkamah Syar’iyah Kenegerian Kuta Baro; 6). Mahkamah Syar’iyah Kenegerian Darul Imarah; 7). Mahkamah Syar’iyah Lho’nga;

(31)

9). Mahkamah Syar’iyah Kenegerian Lhoung.

2. Mahkamah Syar’iyah Kewedanaan Seulimum, membawahi 4 buah Mahkamah Syar’iyah Kenegerian, yaitu :

1). Mahkamah Syar’iyah Kenegerian Seulimum; 2). Mahkamah Syar’iyah Kenegerian Suka Makmur; 3). Mahkamah Syar’iyah Kenegerian Montasik; 4). Mahkamah Syar’iyah Kenegerian Indrapuri.

3. Mahkamah Syar’iyah Kewedanaan Sigli, membawahi 11 buah Mahkamah Syar’iyah Kenegerian, yaitu :

1). Mahkamah Syar’iyah Kenegerian Peukan Baro; 2). Mahkamah Syar’iyah Kenegerian Pidie;

3). Mahkamah Syar’iyah Kenegerian Muara Tiga;

4). Mahkamah Syar’iyah Kenegerian Kembang Tanjong; 5). Mahkamah Syar’iyah Kenegerian Mutiara;

6). Mahkamah Syar’iyah Kenegerian Simpang Tiga; 7). Mahkamah Syar’iyah Kenegerian Delima; 8). Mahkamah Syar’iyah Kenegerian Bandar Baro; 9). Mahkamah Syar’iyah Kenegerian Geulumpang Tiga; 10). Mahkamah Syar’iyah Kenegerian Indra Jaya; 11). Mahkamah Syar’iyah Kenegerian Padang Tiji.

4. Mahkamah Syar’iyah Kewedanaan Kota Bakti, membawahi 6 Mahkamah Syar’iyah Kenegerian, yaitu :

(32)

5. Mahkamah Syar’iyah Kewedanaan Meureudu, membawahi 4 buah Mahkamah Syar’iyah Kenegerian, yaitu :

1). Mahkamah Syar’iyah Kenegerian Meureudu; 2). Mahkamah Syar’iyah Kenegerian Trienggadeng; 3). Mahkamah Syar’iyah Kenegerian Pantee Raja; 4). Mahkamah Syar’iyah Kenegerian Bandar Dua.

6. Mahkamah Syar’iyah Kewedanaan Bireuen, membawahi 6 buah Mahkamah Syar’iyah Kenegerian, yaitu :

1). Mahkamah Syar’iyah Kenegerian Jeumpa; 2). Mahkamah Syar’iyah Kenegerian Peusangan; 3). Mahkamah Syar’iyah Kenegerian Ganda Pura; 4). Mahkamah Syar’iyah Kenegerian Peudada; 5). Mahkamah Syar’iyah Kenegerian Jeunib; 6). Mahkamah Syar’iyah Kenegerian Samalanga.

7. Mahkamah Syar’iyah Kewedanaan Lhok Seumawe, membawahi 7 buah Mahkamah Syar’iyah Kenegerian, yaitu :

1). Mahkamah Syar’iyah Kenegerian Samudera; 2). Mahkamah Syar’iyah Kenegerian Syamtalira; 3). Mahkamah Syar’iyah Kenegerian Muara Dua; 4). Mahkamah Syar’iyah Kenegerian Dewantara; 5). Mahkamah Syar’iyah Kenegerian Kuta Makmur; 6). Mahkamah Syar’iyah Kenegerian Meurah Mulia; 7). Mahkamah Syar’iyah Kenegerian Muara Batu.

8. Mahkamah Syar’iyah Kewedanaan Lho’ Sukon, membawahi 8 buah Mahkamah Syar’iyah Kenegerian, yaitu :

(33)

3). Mahkamah Syar’iyah Kenegerian Blang Jrun; 4). Mahkamah Syar’iyah Kenegerian Aron;

5). Mahkamah Syar’iyah Kenegerian Jeurat Manyang ( Tanah Pasir );

6). Mahkamah Syar’iyah Kenegerian Alu Ie Puteh ( Baktya ); 7). Mahkamah Syar’iyah Kenegerian Sidondon;

8). Mahkamah Syar’iyah Kenegerian Jambo Air.

9. Mahkamah Syar’iyah Kewedanaan Idi, membawahi 4 buah Mahkamah Syar’iyah Kenegerian, yaitu :

1). Mahkamah Syar’iyah Kenegerian Idi Rayek; 2). Mahkamah Syar’iyah Kenegerian Darul Aman;

3). Mahkamah Syar’iyah Kenegerian Kota Meulati ( Julok ); 4). Mahkamah Syar’iyah Kenegerian Simpang Ulim.

10. Mahkamah Syar’iyah Kewedanaan Langsa, membawahi 4 buah Mahkamah Syar’iyah Kenegerian, yaitu :

1). Mahkamah Syar’iyah Kenegerian Langsa;

2). Mahkamah Syar’iyah Kenegerian Rantau Selamat; 3). Mahkamah Syar’iyah Kenegerian Peureulak; 4). Mahkamah Syar’iyah Kenegerian Lokop.

11. Mahkamah Syar’iyah Kewedanaan Kuala Simpang, membawahi 4 buah Mahkamah Syar’iyah Kenegerian, yaitu :

1). Mahkamah Syar’iyah Kenegerian Kuala Simpang; 2). Mahkamah Syar’iyah Kenegerian Karang Baru; 3). Mahkamah Syar’iyah Kenegerian Tamiang Hulu; 4). Mahkamah Syar’iyah Kenegerian Tamiang Hilir.

(34)

1). Mahkamah Syar’iyah Kenegerian Bukit Linggo; 2). Mahkamah Syar’iyah Kenegerian Bukit Nosar.

13. Mahkamah Syar’iyah Kenegerian Kutacane, membawahi 2 buah Mahkamah Syar’iyah Kenegerian, yaitu :

1). Mahkamah Syar’iyah Kenegerian Tanah Luas; 2). Mahkamah Syar’iyah Kenegerian Pulo Nas.

14. Mahkamah Syar’iyah Kewedanaan Blangkejeren, membawahi 1 buah Mahkamah Syar’iyah Kenegerian, yaitu :Mahkamah Syar’iyah Kenegerian Gayo Luas.

15. Mahkamah Syar’iyah Kewedanaan Calang, membawahi 5 buah Mahkamah Syar’iyah Kenegerian, yaitu :

1). Mahkamah Syar’iyah Kenegerian Teunom; 2). Mahkamah Syar’iyah Kenegerian Krueng Sabee; 3). Mahkamah Syar’iyah Kenegerian Setia Bakti; 4). Mahkamah Syar’iyah Kenegerian Sampoi Niet; 5). Mahkamah Syar’iyah Kenegerian Jaya.

16. Mahkamah Syar’iyah Kewedanaan Meulaboh, membawahi 8 buah Mahkamah Syar’iyah Kenegerian, yaitu :

(35)

17. Mahkamah Syar’iyah Kewedanaan Sinabang, membawahi 3 buah Mahkamah Syar’iyah Kenegerian, yaitu :

1). Mahkamah Syar’iyah Kenegerian Simeulu Timur; 2). Mahkamah Syar’iyah Kenegerian Simeulu Tengah; 3). Mahkamah Syar’iyah Kenegerian Simeulu Barat.

18. Mahkamah Syar’iyah Kewedanaan Tapaktuan, membawahi 10 buah Mahkamah Syar’iyah Kenegerian, yaitu :

1). Mahkamah Syar’iyah Kenegerian Samadua; 2). Mahkamah Syar’iyah Kenegerian Sawang; 3). Mahkamah Syar’iyah Kenegerian Meukek; 4). Mahkamah Syar’iyah Kenegerian Labuhan Haji; 5). Mahkamah Syar’iyah Kenegerian Manggeng; 6). Mahkamah Syar’iyah Kenegerian Blangpidie; 7). Mahkamah Syar’iyah Kenegerian Tangan-Tangan; 8). Mahkamah Syar’iyah Kenegerian Susoh;

9). Mahkamah Syar’iyah Kenegerian Inong; 10. Mahkamah Syar’iyah Kenegerian Tapaktuan.

19. Mahkamah Syar’iyah Kewedanaan Bakongan, membawahi 4 buah Mahkamah Syar’iyah Kenegerian, yaitu :

1). Mahkamah Syar’iyah Kenegerian Bakongan; 2). Mahkamah Syar’iyah Kenegerian Kandang;

3). Mahkamah Syar’iyah Kenegerian Rasian ( Klut Utara ); 4). Mahkamah Syar’iyah Kenegerian Trumon.

20. Mahkamah Syar’iyah Kewedanaan Singkil, membawahi 4 buah Mahkamah Syar’iyah Kenegerian, yaitu :

1). Mahkamah Syar’iyah Kenegerian Singkil;

(36)

4). Mahkamah Syar’iyah Kenegerian Pulau Banyak.

Dalam perjalanannya Mahkamah Syar’iyah baru memperoleh landasan hukum yang kuat setelah ditetapkannya Peraturan Pemerintah Nomor 29 tahun 1957 tentang Pembentukan Pengadilan Agama/Mahkamah Syar’iyah di Aceh. PP tersebut keluar setelah ada desakan dari tokoh-tokoh Ulama Aceh saat itu kepada pemerintah pusat ( Departemen Agama ) di Jakarta yang dituangkan dalam suatu Surat Pernyataan, ditandatangani 17 orang tokoh Ulama Aceh yang kebetulan bekerja pada kantor-kantor dalam lingkungan Departemen Agama. Inti dari pernyataan dimaksud adalah : Mengharap/meminta kepada Kementerian Agama agar memperjuangkan dasar hukum ( Status ) Mahkamah Syar’iyah di Daerah Aceh dengan bersungguh-sungguh hingga tercapai, walaupun dengan jalan menyimpang(afwijken ) dari prosedure biasa.

Setelah lahirnya PP No. 29 Tahun 1957, Mahkamah Syar’iyah Kenegerian dihilangkan, sedangkan Mahkamah Syar’iyah Kewedanaan berubah menjadi Mahkamah Syar’iyah tingkat pertama.

Peraturan Pemerintah tersebut tidak berumur panjang karena ternyata kemudian daerah-daerah lainnya di Indonesia juga menuntut hal yang sama kepada Pemerintah Pusat agar di daerah mereka juga dibentuk Pengadilan Agama/Mahkamah Syar’iyah.

Akhirnya tuntutan daerah lain di luar Jawa dan Madura dipenuhi Pemerintah Pusat dengan dicabut kembali PP Nomor 29 tahun 1957 dan diganti dengan Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1957 tentang Pembentukan Pengadilan Agama/Mahkamah Syar’iyah di Luar Jawa dan Madura. Dengan demikian jelaslah bahwa Daerah Aceh sekali lagi merupakan daerah modal untuk terbentuknya Pengadilan Agama/Mahkamah Syar’iyah di daerah-daerah lainnya di indonesia.

(37)

tahun 1957, yakni pasal 1 dimana Pengadilan Agama ( Mahkamah Syar’iyah ) ada di tempat-tempat yang ada Pengadilan Negeri di Propinsi Aceh yang daerah hukumnya sama dengan daerah hukum Pengadilan Negeri. Sedangkan Pengadilan negeri saat itu hanya ada di kabupaten/kota.

Perlu diketahui pula bahwa sejak lahirnya Peraturan Pemerintah Nomor 45 tahun1957, di Aceh hanya tinggal 16 buah Pengadilan Agama/Mahkamah Syar’iyah yang dikukuhkan dengan Penetapan Menteri Agama RI Nomor 58/1957 sebagai pelaksanaan PP nomor 45 tahun 1957. Ke enam belas Pengadilan Agama/Mahkamah Syar’iyah dimaksud adalah sebagai berikut :

1. PA/Masya Kutaraja ( sekarang Banda Aceh ); 2. PA/Masya Sabang;

3. PA/Masya Sigli; 4. PA/Masya Bireuen; 5. PA/Masya Lhok Sukon; 6. PA/Masya Idi;

7. PA/Masya Langsa;

8. PA/Masya Kuala Simpang; 9. PA/Masya Takengon; 10. PA/Masya Blang Kejeren; 11. PA/Masya Kutacane; 12. PA/Masya Calang; 13. PA/Masya Meulaboh; 14. PA/Masya Sinabang; 15. PA/Masya Tapaktuan; 16. PA/Masya Singkel.

(38)

tepatnya tanggal 16 Maret 1972 dibentuk pula sebuah lagi cabang Pengadilan Agama/Mahkamah Syar’iyah di Meureudu yang wilayah hukumnya diambil dari sebagian wilayah hukum Pengadilan Agama/Mahkamah Syar’iyah Sigli. Kemudian berdasarkan Keputusan Menteri Agama RI Nomor 18/1975, kedua cabang Pengadilan Agama/Mahkamah Syar’iyah tersebut ditingkatkan statusnya menjadi Pengadilan Agama/Mahkamah Syar’iyah penuh terlepas dari instansi induknya.

Terakhir berdasarkan Keputusan Menteri Agama pula, pada tahun 1984 telah dibentuk satu lagi Pengadilan Agama di Jantho ibukota Kabupaten Aceh Besar yang wilayah hukumnya diambil dari sebagian wilayah hukum Pengadilan Agama/Mahkamah Syar’iyah Banda Aceh. Dengan demikian hingga saat ini di seluruh Aceh terdapat 19 buah Mahkamah Syar’iyah tingkat pertama. Sedangkan Pengadilan Negeri hanya ada 18 buah di seluruh wilayah Aceh, dimana di Meureudu tidak ada Pengadilan Negeri.

Perlu diketahui pula bahwa sejak keluarnya Keputusan Menteri Agama RI Nomor 6 Tahun 1980, maka penyebutan Pengadilan Agama/Mahkamah Syar’iyah yang ada di Luar Jawa dan Madura dan diluar Sebagian Kalimantan Selatan dan Timur, termasuk yang ada di Aceh menjadi ”Pengadilan Agama” ( PA ) untuk tingkat pertama dan ”Pengadilan Tinggi Agama” ( PTA ) untuk tingkat banding.

Suatu pertanyaan mungkin timbul, mengapa Pemerintah mengatur tentang Pengadilan Agama/Mahkamah Syar’iyah tidak meliputi Jawa dan Madura. Hal ini karena untuk wilayah Jawa dan Madura telah ada dasar hukum yang ditetapkan Pemerintah Hindia Belanda yakni Stbl. 1882 Nomor 152 jo. Stbl 1937 Nomor 160 dan 610.

(39)

Bila dibandingkan dengan Pengadilan Agama yang telah ada di Jawa dan Madura sejak tahun 1882 dan Kerapatan Qadli di Sebagian Kalimantan Selatan dan Timur yang lahir sejak tahun 1937, maka kewenangan Pengadilan Agama/Mahkamah Syar’iyah di Luar Jawa dan Madura termasuk di Aceh jauh lebih luas.

Perlu diketahui pula bahwa sejak awal zaman kemerdekaan RI hingga saat ini, Pengadilan Agama tingkat banding yang ada di Aceh telah berganti-ganti nama/sebutannya, mulai dari Mahkamah Syar’iyah Daerah Aceh, Pengadilan Agama/Mahkamah Syar’iyah Provinsi di Banda Aceh, Pengadilan Tinggi Agama Banda Aceh, dan terakhir berdasarkan Undang-undang Nomor 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh disebut dengan nama Mahkamah Syar’iyah Aceh. Adapun orang-orang yang telah pernah memimpinnya sebagai Ketua secara berurutan adalah sebagai berikut :

1. Tgk.H.Ahmad Hasballah Indrapuri, dari tanggal 1 Maret 1946 sampai 30 September 1955.

2. Tgk. Muhammad Saleh Lambhuk, dari tanggal 1 Oktober 1955 sampai 31 Desember 1960.

3. Tgk.H.Abdullah Ujong Rimba, dari tanggal 1 Januari 1961 sampai 31 April 1971. 4. Drs Tgk.H.Abdul Hamid Irsyad, dari tanggal 1 Mai 1971 sampai 31 Desember

1975.

5. H.Zainal Abidin Abubakar, SH., dari tanggal 1 Januari 1976 sampai 31Januari 1992.

6. Drs H.Mahfudh Arhasy, SH., dari tanggal 1 Pebruari 1992 sampai tanggal 31 Oktober 2000.

(40)

5. MAHKAMAH SYAR’IYAH PADA MASA OTONOMI KHUSUS ACEH

Dengan lahirnya Undang-undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Propinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, maka terjadilah sejarah baru bagi peradilan agama di Aceh. Karena salah satu lembaga yang harus ada di Nanggroe Aceh Darussalam dalam rangka pelaksanaan otonomi khusus adalah Peradilan Syari’at Islam yang dilaksanakan oleh Mahkamah Syar’iyah.

Mahkamah Syar`iyah adalah lembaga Peradilan Syari'at Islam di Nanggroe Aceh Darussalam sebagai pengembangan dari Peradilan Agama yang diresmikan pada tanggal 4 Maret 2003 M/1 Muharram 1424 H sesuai dengan Undang-undang Nomor 18 Tahun 2001, Keppres Nomor 11 Tahun 2003 dan Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 10 Tahun 2002.

H.Armia Ibrahim7 menjelaskan pada saat ini mahkamah syar’iayah aceh (diluar aceh disebut Pengadilan Tinggi Agama) wilayah hukumnya meliputi 23 mahkamah syariyah tingkat kabupaten/kota, sebagai berikut ini:

1. Mahkamah Syar’iyah Banda Aceh ( Kota ) 2. Mahkamah Syar’iyah Aceh Besar

3. Mahkamah Syar’iyah Sabang ( Kota ) 4. Mahkamah Syar’iyah P i d i e

5. Mahkamah Syar’iyah Bireuen

6. Mahkamah Syar’iyah Lhokseumawe ( Kota ) 7. Mahkamah Syar’iyah Aceh Utara

8. Mahkamah Syar’iyah Langsa ( Kota ) 9. Mahkamah Syar’iyah Aceh Timur 10. Mahkamah Syar’iyah Aceh Tamiang 11. Mahkamah Syar’iyah Aceh Tengah

7 H. Armia Ibrahim, Mahkamah Syar’iyah Nangro Aceh Darussalam, Makalah: Disampaikan Pada Diklat

(41)

12. Mahkamah Syar’iyah Bener Meriah 13. Mahkamah Syar’iyah Aceh Tenggara 14. Mahkamah Syar’iyah Gayo Lues 15. Mahkamah Syar’iyah Aceh Jaya 16. Mahkamah Syar’iyah Aceh Barat 17. Mahkamah Syar’iyah Nagan Raya 18. Mahkamah Syar’iyah Aceh Barat Daya 19. Mahkamah Syar’iyah Aceh Selatan 20. Mahkamah Syar’iyah Aceh Singkil 21. Mahkamah Syar’iyah Simeulue 22. Mahkamah Syar’iyah Pidie Jaya

23. Mahkamah Syar’iyah Subulussalam (Kota)

C. MAHKAMAH SYAR’IYAH DALAM SISTEM PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA

Pengertian Syariat Islam Menurut UU No.44 Th. 1999 tentang keistimewaan Aceh dan Perda No.5 Th.2000 tentang pelaksanaan syari’at islam adalah tuntunan ajaran Islam dalam semua aspek kehidupan. Djamil Ibrahim8 menyatakan bahwa di era reformasi yang mulai bergulir di negeri ini Aceh tidak ketinggalan membaca peluang diantaranya ialah keingin menjalankan Syari’at Islam secara kaffah.

Perjuangan ini membuahkan hasil dengan lahir tiga buah Undang-Undang, yaitu Undang-Undang keistimewaan Aceh No. 44 Tahun 1999 dan Undang-Undang No 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus, dan Undang Undang No.11 tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh.

Selanjutnya dalam pelaksanaannya diaturlah beberapa Perda dan Qanun sebagai penjabaran dari pada amanah Undang-Undang tersebut. Perda dan Qanun tersebut adalah:

8 Djamil Ibrahim, Mahkamah Syar’iyah Nagro Aceh Darussalam: Makalah Disampaikan Pada Calon

(42)

1. Perda No.5 Tahun 2000 tentang pelaksanaan Syari’at Islam

2. Perda No.3 Tahun 2000 tentang pembentukan organisasi dan tata kerja Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU)

3. Perda No.6 Tahun 2000 tentang penyelenggaraan pendidikan. 4. Perda No.7 Tahun 2000 tentang penyelenggaraan kehidupan adat. 5. Qanun Provinsi NAD No.10 Tahun 2002 tentang peradilan Syari’at Islam.

6. Qanun Provinsi NAD No.11 Tahun 2002 tentang pelaksanaan Syari’at Islam bidang ibadah dan Syari’at Islam.

7. Qanun Provinsi NAD No.12 Tahun 2003 tentang minuman khamar dan sejenisnya. 8. Qanun Provinsi NAD No.13 Tahun 2003 tentang perjudian.

9. Qanun Provinsi NAD No.14 Tahun 2003 tentang khalwat.

10. Qanun Provinsi NAD No.7 Tahun 2004 Tentang Pengelolaan Zakat.

11. Qanun Aceh Nomor 3 Tahun 2007 Tentang Tata Cara Pembentukan Qanun 12. Qanun Aceh Nomor 10 Tahun 2007 Tentang Baitul Mal ;

13. Qanun Aceh Nomor 9 Tahun 2008 Tentang Pembinaan Kehidupan Adat Dan Adat Istiadat ;

14. Qanun Aceh Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Perlindungan Anak . 15. Dan Lain-Lain.

D. KEWENANGAN DAN KEKUASAAN MAHKAMAH SYAR’IYAH DI INDONESIA 1. Kewenangan Relatif

Kewenangan relatif adalah kewenangan mengadili oleh mahkamah syar’iyah berdasarkan pada wilayah teritorialnya masing-masing. Pada kewenangan ini mahkamah syar’iyah hanya menerima perkara yang berada pada wilayahnya. (lihat Bab I bagian D)

2. Kewenangan Absolute

(43)

di seluruh wilayah Aceh dan satu Mahkamah Syar’iyah Provinsi selaku pengadilan tingkat banding yang berkedudukan di ibukota Provinsi Nangroe Aceh Darussalam yakni di Banda Aceh.

Adapun Kekuasaan dan kewenangan Mahkamah Syar`iyah dan Mahkamah Syar`iyah Provinsi (disebut Mahkamah Syar’iyah Aceh) adalah kekuasaan dan kewenangan Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi Agama ditambah dengan kekuasaan dan kewenangan lain yang berkaitan dengan kehidupan masyarakat dalam bidang ibadah dan syi`ar Islam yang ditetapkan dalam Qanun.

Kekuasaan dan Kewenangan Pengadilan Agama, sesuai dengan Pasal 49 ayat (1) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 jo. Pasal 49 Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989, adalah memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara-perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang:

1. perkawinan; 2. waris; 3. wasiat; 4. hibah; 5. wakaf; 6. zakat; 7. infaq;

8. shadaqah; dan 9. ekonomi syari’ah “.

Bidang perkawinan sebagaimana yang dimaksud pada pada point 1 di atas, adalah kekuasaan dan kewenangan menyangkut hal-hal yang diatur dalam atau didasarkan kepada Undang-undang mengenai perkawinan yang berlaku.

(44)

penentuan mengenai harta peninggalan, penentuan bagian masing-masing ahli waris, dan melaksanakan pembagian harta peninggalan tersebut.

Adapun yang dimaksud dengan “ekonomi syari’ah” adalah perbuatan atau kegiatan usaha yang dilaksanakan menurut prinsip syari’ah, antara lain meliputi : a) Bank syari’ah; b) Lembaga keuangan mikro syari’ah; c) Asuransi syari’ah; d) Reasuransi syari’ah; e) Reksa dana syari’ah; f) Obligasi syari’ah dan surat berharga berjangka menengah syari’ah; g) Sekuritas syari’ah; h) Pembiayaan syari’ah; i) Pegadaian syari’ah; j) Dana pensiun lembaga keuangan syari’ah; dan k) Bisnis syari’ah9.

Dalam melaksanakan amanat dari Pasal 25 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 dan Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 10 Tahun 2002 telah memberikan kewenangan terhadap Mahkamah Syar`iyah untuk memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara-perkara pada tingkat pertama dalam bidang:

a. Al-Ahwal al-Syakhshiyah; b. Mu'amalah;

c. Jinayah.

Kekuasaan dan kewenangan tersebut akan dilaksanakan secara bertahap sesuai dengan kemampuan kompetensi dan ketersediaan sumber daya manusia dalam kerangka sistem Peradilan Nasional.

Lahirnya Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh tidak merubah status dan kewenangan Mahkamah Syar’iyah di Aceh. Bahkan dengan Undang-undang tersebut, kewenangan Mahkamah Syar’iyah telah disebut langsung di dalamnya yakni sebagaimana diatur dalam pasal 128 ayat (3) yang berbunyi : ”Mahkamah Syar’iyah berwenang memeriksa, mengadili, memutus dan

9 Undang-Undang No.3 Tahun 2006 Tentang Perubahan Undang-Undang Nomor7 Tahun 1989

(45)

dan menyelesaikan perkara yang meliputi bidang ahwal al-syakhshiah (hukum keluarga), mu’amalah (hukum perdata) dan jinayah (hukum pidana) yang didasarkan atas syari’at Islam”. Di samping itu Undang-undang tersebut mengamanatkan pula

untuk membentuk Qanun tentang hukum acara bagi Mahkamah Syar’iyah di Aceh, baik hukum acara perdata Islam maupun hukum acara jinayah Islam.

Secara rinci kewengan absolute mahkamah syar’iyah dapat dikelompokan sebagai berikut ini:

a. Bidang Ahwal Al-Syakhshiyah10

Dalam bidang Munakahah mahkamah syar’iayah berwenang mengadili perkara-perkara, yang meliputi kewenangan dalam bidang al-Ahwal al-Syakhshiyah dalam Pasal 49 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama beserta penjelasan dari pasal tersebut, kecuali waqaf, hibah, dan sadaqah.

b. Bidang Muamalah11

Dalam bidang muamalah mahkamah syar’iayah berwenang mengadili perkara-perkara yang meliputi:

1) Jual beli

2) Hutang piutang 3) Qiradh (Permodalan)

4) Musaqah, muzara`ah, mukharabah (bagi hasil pertanian) 5) Wakilah (Perwakilan)

6) Syirkah (Perkongsian) 7) `Ariyah (Pinjam-meminjam) 8) Hajru (Penyitaan harta) 9) Syuf`ah (Hak lang-geh) 10) Rahnun (Gadai)

10 Qanun Provinsi Nangro Aceh Darussalam Nomor 10 Tahun 2002 Tentang Peradilan Syariat Islam

pasal 49 huruf (a) dan penjelasannya.

(46)

11) Ihya`ul mawat (Pembukaan la-han) 12) Ma`din (Tambang)

13) Luqathah (Barang temuan) 14) Perbankan

15) Ijarah (Sewa me-nyewa) 16) Takaful

17) Perburuhan 18) Wakaf 19) Hibah 20) Shadaqah 21) Hadiah

Kemudian timbul satu pertanyaan apakah mahkamah syar`iyah dengan kekhususannya hanya berwenang mengadili bidang muamalat versi qanun no. 10 tahun 2002 dan tidak berwenang mengadili ekonomi syariah versi uu no. 3 tahun 2006 ? menurut Dr. H. Syamsuhadi Irsyad, SH, MH, dalam disertasinya yang berjudul Mahkamah Syar`iyah Dalam Sistem Peradilan Nasional (2009 :

369) berpendapat bahwa perkara-perkara ekonomi syariah juga merupakan kewenangan Mahkamah Syar`iyah dalam bidang muamalah , karena dalam konteks ini Pengadilan Agama perlu dibaca sebagai Mahkamah Syar`iyah.

Dengan demikian Mahkamah syar’iyah juga berwenang mengadili “ekonomi syari’ah” yang meliputi :

1) Bank syari’ah;

2) Lembaga keuangan mikro syari’ah; 3) Asuransi syari’ah;

4) Reasuransi syari’ah; 5) Reksa dana syari’ah;

6) Obligasi syari’ah dan surat berharga berjangka menengah syari’ah; 7) Sekuritas syari’ah;

(47)

10) Dana pensiun lembaga keuangan syari’ah; dan 11) Bisnis syari’ah12.

c. Bidang Jinayah

Dalam bidang Jinayah13 mahkamah syar’iyah berwenang mengadili perkara-perkara yang meliputi: hudud, Qishas/diyat dan ta’zir, secara rinci sebagai berikut:

Hudud, yang meliputi : 1) Zina

2) Qadzaf (Menu-duh berzina) 3) Mencuri

4) Merampok

5) Minuman ke-ras dan Nafza 6) Murtad

7) Pemberontakan

Qishash/Diyat, meliputi : 1) Pembunuhan

2) Penganiayaan

Ta’zir, hukuman yang dijatuhkan kepada orang yang melakukan pelanggaran syariat selain hudud dan qishash, me-liputi :

1) Judi 2) Penipuan 3) Pemalsuan 4) Khalwat

5) Meninggalkan shalat fardhu 6) Meninggalkan puasa Ramadhan.

12 Undang-Undang No.3 Tahun 2006 Tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989

Tentang Peradilan Agama Pasal 49 Huruf (i) Dan Penjelasannya.

(48)

BAB III

ASAS-ASAS HUKUM ACARA PIDANA MAHKAMAH SYAR’IYAH14

A. PENDAHULUAN

Salah satu persoalan fundamental yang tidak boleh diabaikan jika kita membicarakan tentang penyelesaian perkara pidana di lingkungan peradilan, adalah pembicaraan tentang keterkaitan antara asas-asas hukum acara pidana disatu pihak dengan teknis pemeriksaan dan penyelesaian perkara pidana oleh hakim di lain pihak. Fungsi dari asas-asas hukum acara pidana di dalam penyelesaian perkara pidana, tidak lain untuk menjaga agar konsistensi peraturan hukum tetap dapat dipertahankan dalam penegakan hukum yang berkeadilan.

Keberadaan asas-asas hukum acara pidana dalam kewenangan proses penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan sampai dengan pemeriksaan dan penyusunan putusan pada majelis persidangan pengadilan negeri atau pengadilan hak asasi manusia ad hoc sampai dengan pelaksanaan putusan yang dibuat oleh hakim itu adalah untuk menjaga ketaatan asas, sebagai contoh : Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia berlaku asas retro aktif (berlaku surut), terhadap pelanggaran HAM yang terjadi sebelum berlakunya UU tersebut tanggal 23 November 2000. Misalnya dapat dilakukan terhadap pelanggaran HAM yang terjadi ketika peristiwa G-30 S PKI, Tanjung Priok, Lampung dan lain sebagainya. Menurut Pasal 46 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 untuk pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat tidak berlaku ketentuan mengenai kedaluwarsa.

Asas hukum acara pidana sebagai “aturan yang abstrak” dapat “dilahirkan” kembali secara lebih kongkrit melalui berbagai perwujudan, baik dalam peraturan-peraturan hukum tertulis maupun dalam kebiasaan dan jurisprudensi. Untuk itu, bagi

14 Badan Litbang Diklat Kumdil Mahkamah Agung RI, Bahan Ajar Diklat II Calon Hakim Peradilan

(49)

setiap hakim yang memeriksa perkara pidana biasa maupun pelanggaran HAM berat senantiasa harus “taat asas” atau konsisten dengan asas-asas hukum acara pidana yang berlaku dalam pemeriksaan dan penyelesaian perkara pidana maupun pelanggaran HAM.

B. TERMINOLOGI ASAS HUKUM

Pengertian asas berasal dari bahasa arab, asasun. Artinya dasar, basis, fondasi.

Kalau dihubungkan dengan sistem berfikir yang dimaksud dengan asas adalah landasan berfikir yang sangat mendasar. Oleh karena itu, didalam bahasa Indonesia, asas mempunyai arti (1) dasar, alas, pedoman. Asas dalam pengertian ini dapat dilihat misalnya, dalam urutan yang disesuaikan dengan kata-kata:…..”batu itu baik benar untuk fondamen atau fondasi rumah”. (2) kebenaran yang menjadi tumpuan berpikir atau pendapat. Makna ini terdapat misalnya dalam ungkapan; “pernyataan itu bertentangan dengan asas-asas hukum acara pidana”. (3) cita-cita yang menjadi dasar organisasi atau Negara. Hal ini jelas dalam kalimat; “dasar Negara Republik Indonesia adalah Pancasila”.15

Salah satu “term” yang harus diketahui oleh kalangan hakim dalam menjalankan fungsinya sebagai penegak hukum dan keadilan adalah mengenai ”asas hukum”. Istilah “asas” dalam bahasa Inggris disebut dengan “principle”. Menurut kamus A.S.

Homby,16 principle dalam arti sempit adalah “basic-truth” atau “general law of couse

and effect”. Sedangkan principle dalam arti yang lebih luas adalah “Principle is a fundamental truth or doctrine, as of law : a comprehensive rule or doctrine which fumishes a basis or origin for others”. Asas hukum adalah yang melahirkan aturan

hukum dan merupakan ratio legis dari peraturan hukum. Dengan demikian, asas

hukum adalah lebih abstrak dari peraturan hukum.

15 H. Mohammad Daud Ali, Pengantar Ilmu Hukum Dan Tata Hukum Islam Di Indonesia, Cet.XVI, PT. Raja

Grafindo Persada, Jakarta, 2011, Hal.126.

16 A.S. Homby, The Advanced Leaner’s Dictionary of Current English, The English Language Book Society

(50)

Menurut Satjipto Rahardjo, asas hukum adalah merupakan “jantungnya” peraturan hukum.17 Sedangkan menurut Paton, asas hukum tidak akan pernah habis kekuatannya hanya karena telah melahirkan suatu aturan atau peratuan hukum, melainkan tetap saja ada dan akan mampu terus melahirkan aturan dan peraturan hukum untuk seterusnya.18 Asas hukum mengandung nilai-nilai dan tuntuan-tuntutan “etis”. Apabila kita membaca suatu peraturan hukum, mungkin kita tidak menemukan pertimbangan etis di situ, tetapi asas hukum menunjukkan adanya tuntutan etis yang demikian itu, atau setidak-tidaknya kita bisa merasakan adanya petunjuk ke arah itu.19

Aturan hukum sebagai suatu sistem tidak menghendaki adanya konflik, dan andaikata timbul konflik dalam sistem hukum itu, asas-asas hukumlah yang berfungsi untuk menyelesaikan konflik-konflik itu. Sebagai contoh, jika ada konflik antara suatu peraturan yang umum dengan peraturan sederajat yang khusus, maka diselesaikan dengan asas “Lex specialis derogat legi generali ”, hukum khusus didahulukan dari

hukum umum. Demikian juga jika ada peraturan yang lebih rendah bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi, diselesaikan dengan asas “Lex superior derogat legi inferiori”, hukum yang lebih tinggi tingkatannya didahulukan dari hukum yang lebih

rendah. Jika ada pertentangan antara peraturan lama dengan peraturan baru, maka diselesaikan dengan asas “Lex posteriori derogat legi priori”, peraturan yang baru

didahulukan dari peratuan yang lama.

Meskipun asas hukum bukan peraturan hukum, namun keberadaannya adalah sebagai susuatu yang bersifat “ratio legis-nya” hukum, tidak ada hukum yang dapat

dipahami tanpa mengetahui asas-asas hukum yang ada didalamnya. Asas hukum berperan sebagai pemberi arti “etis” terhadap peraturan-peraturan hukum, tata hukum, dan sistem hukum.

17 Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Alumni, Bandung, 1982, halaman 85.

18 Paton (1971: 204) dalam Rusli Effendy, Achmad Ali, Poppy Andi Lolo, Teori Hukum, Cet. I, Hasanuddin

University Press, Ujung Pandang, 1991, halaman 28.

Referensi

Dokumen terkait

Terhadap putusan perkara pidana yang diberikan pada tingkat terakhir oleh pengadilan lain dari pada Makamah Agung, terdakwa atau penuntut umum dapat mengajukan permintaan

3 Pada dasarnya pelaksanaan Syari’at Islam di Aceh selain mengatur tentang aqidah dan ibadah juga mengatur tentang Jinayat (Hukum Pidana), berdasarkan beberapa yang Qanun

Berdasarkan hasil penelitian dari penulisan skripsi ini diketahui bahwa perbedaan tindak pidana homoseksual antara KUHP dan Qanun Aceh Nomor 6 tahun 2014 tentang Hukum Jinayat,

k. mengadakan tindakan lain sesuai dengan Peraturan Perundang-undangan Dari ketentuan peraturan yang tertuang dalam Qanun Nomor 7 tentang Hukum Acara Jinayat, PPNS

Berdasarkan putusan Mahkamah Syar'iyah Lhokseumawe Nomor 4/JN/2018/MS.Lsm bahwa perbuatan terdakwa telah memenuhi Pasal 33 ayat (1) Qanun Aceh Nomor 6 Tahun 2014 Tentang

Pada Qanun Jinayat Aceh Liwath diatur dalam Qanun Aceh Nomor 6 Tahun 2014 tentang hukum jinayat dikatakan pengertian “liwath ialah suatu pertbuatan dimana serang laki laki

Di Aceh, pelaksanaan hukum cambuk tersebut diakui secara jelas dalam qanun Aceh, yaitu Qanun Nomor 7 Tahun 2013 tentang Hukum Acara Jinayat sebagai hukum

Mahkamah Syar‟iyah memiliki kewenangan yang cukup luas yakni selain kewenangan yang berasal dari kewenangan Pengadilan Agama (bidang Al-Ahwal Al- Syakhshiyah),