• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KERANGKA TEORITIS

2.3.3 Aspek Psikologis Remaja

Setiap individu pada dasarnya dihadapkan pada suatu krisis. Krisis itulah yang menjadi tugas bagi seseorang untuk dapat dilaluinya dengan baik (dalam Dariyo, 2004). Pada diri remaja yang mengalami krisis, menurut Erik Erikson (Hall, Lindzey, dan Campbell, 1998; dikutip oleh Dariyo, 2004) berarti dirinya sedang berusaha mencari jati dirinya. Krisis (crisis) merupakan suatu masalah yang berkaitan dengan tugas perkembangan yang harus dilalui oleh setiap individu, termasuk remaja. Keberhasilan menghadapi krisis akan meningkatkan dan mengembangkan kepercayaan dirinya.

Hal tersebut berarti seorang remaja mampu mewujudkan jati dirinya (self-identity), sehingga ia merasa siap untuk menghadapi tugas perkembangan berikutnya dengan baik. Sebaliknya, individu yang gagal dalam menghadapi suatu krisis cenderung akan memiliki kebingungan identitas (identity confusion). Orang yang memiliki kebingungan ini ditandai dengan adanya perasaan tidak mampu, tidak berdaya, penurunan harga diri, tidak percaya diri, akibatnya remaja tersebut pesimis menghadapi masa depan. Ciri-ciri individu yang memiliki identitas diri yakni individu tersebut memiliki karakteristik-karakteristik, seperti: (a) konsep diri; (b) evaluasi diri; (c) harga diri (self-esteem); (d) self-efficacy; (e) percaya diri (self-confidence); (f) tanggung jawab; (g) komitmen pribadi; (h) ketekunan (endurance); dan (i) kemandirian (independent) (Dariyo, 2004).

2.3.3.2 Aspek Kognitif

Menurut Piaget (dalam Papalia, Olds, & Feldman; 2004), para remaja memasuki tingkat tertinggi pada perkembangan kognitif, yaitu tahap operasi

formal. Pada tahap ini, mereka dapat mengembangkan kapasitas untuk berpikir secara abstrak, idealistik, dan logika (Dariyo, 2004). Perkembangan ini memberikan para remaja suatu cara baru yang lebih fleksibel untuk memanipulasi informasi. Mereka sudah dapat mempelajari dan memahami perhitungan aljabar dan kalkulus.

Para remaja dapat membayangkan kemungkinan dan dapat membentuk, serta menguji hipotesis. Individu-individu yang telah memasuki tahap operasi formal ini dapat mengintegrasikan sesuatu yang telah mereka pelajari di masa lalu dengan tantangan-tantangan saat ini dan membuat rencana untuk masa mendatang. Tipe penyelesaian masalah ini disebut hypothetical-deductive reasoning (Santrock, 1990). Oleh karena itu, untuk memilih alternatif perilaku coping, para remaja diharapkan telah dapat mempertimbangkannya dengan lebih tenang dan bijaksana (Conger, 1991).

Pemikiran pada tahap ini memiliki fleksibilitas yang tidak mungkin ada pada tahap operasi konkret. Kemampuan untuk berpikir secara abstrak memiliki implikasi emosional pula (Papalia, Olds, & Feldman; 2004). Menurut Bracee dan Bracee (dalam Thornburg, 1982; Rice, 1993; dikutip oleh Dariyo, 2004), ciri-ciri perkembangan kognitif pada masa operasi formal, antara lain: (a) individu telah memiliki pengetahuan gagasan inderawi yang cukup baik; (b) individu mampu memahami hubungan antara dua ide atau lebih; (c) individu dapat melaksanakan tugas tanpa perintah atau instruksi dari gurunya; dan (d) individu dapat menjawab secara praktis (applied), menyeluruh (comprehensive), mengartikan (interpretative) suatu informasi yang dangkal.

Menurut Elkind, seorang psikolog Amerika Serikat (dalam Papalia et al., 1998) ada tujuh aspek pemikiran yang dialami remaja, antara lain: (a) remaja

dituntut untuk bersikap mandiri dalam tindakannya di masyarakat; (b) remaja bersikap kritis; (c) remaja sering mengajukan argumentasi; (d) remaja bersikap ragu-ragu dalam bertindak (indivieveness); (e) remaja terkadang menampakkan sikap munafik (hypocrisy); (f) remaja memiliki kesadaran diri (self-consciousness); dan (g) remaja menganggap dirinya kebal terhadap segala sesuatu (assumption of invulnerability).

Dalam kaitannya dengan pola pemikiran remaja yang dikemukakan oleh Elkind, maka Santrock (1999 dalam Dariyo, 2004) mengemukakan ciri pemikiran remaja masih bersifat egosentris. Keegoisan remaja tampak bahwa mereka menganggap dirinya sebagai individu yang unik dan berbeda dengan orang lain. Mereka memiliki gaya hidup, sikap, minat, dan perilaku yang tidak ada duanya dengan orang lain. Bahkan tidak ada orang lain yang mampu menyamainya. Keunikan ini justru menumbuhkan perasaan bangga. Apalagi bila diperhatikan oleh orang lain, sehingga membuat remaja semakin merasa berharga di mata orang lain.

Tanda keegoisan pemikiran remaja, menurut Elkind (Santrock, 1999 dalam Dariyo, 2004) ada dua macam, yaitu imaginary audience dan a personal fable. Imaginary audience merupakan keyakinan diri remaja bahwa semua orang lain memperhatikan dirinya. A personal fable merupakan anggapan diri remaja bahwa mereka adalah seseorang yang memiliki pribadi yang unik dan berbeda dengan orang lain. Anggapan bahwa diri seorang remaja memiliki pribadi yang unik dan berbeda dengan orang lain akan memberi dorongan remaja untuk mengembangkan potensinya di mata masyarakat umum.

Menurut Vygotsky (dalam Santrock, 1998), perkembangan kognitif remaja dapat diperoleh dengan bimbingan dan petunjuk dari individu yang telah terlatih

dalam menggunakan alat-alat hasil budaya tempat tinggalnya. Lingkungan aktivitas sosial remaja dapat berperan penting dalam pembentukkan cara berpikir pada remaja. Pendidikan formal bukan satu-satunya agen budaya yang menentukan perkembangan kognitif remaja. Orang tua, teman sebaya, komunitas, dan orientasi teknologi dari budaya tempat remaja tinggal adalah kekuatan lain yang memengaruhi cara berpikir remaja. Perkembangan kognitif remaja dapat ditingkatkan melalui perkembangan dari lingkungan yang dapat lebih menstimulasi perkembangan kognitifnya (Brown, Metz, & Camplone; dikutip oleh Santrock, 1998).

2.3.3.3 Aspek Emosional

Perkembangan fisik dan seksual yang pesat memengaruhi perkembangan emosi para remaja. Perubahan emosi ini menyebabkan hubungan remaja dengan orang tua, teman, dan orang lain dalam lingkungannya juga mengalami perubahan. Misalnya, remaja mudah melakukan tindakan agresif kepada temannya, berkeluh kesah tentang orang tua mereka, dan lain-lain. Santrock (1998) mengatakan bahwa proses sosial-emosional melibatkan perubahan dalam suatu hubungan individu dengan orang lain secara emosi, kepribadian, dan peran konteks sosial dalam perkembangannya.

Oleh karena kondisi-kondisi tersebut, banyak masalah yang harus dihadapi oleh remaja, di samping kondisi emosional remaja yang masih belum stabil, sehingga periode krisis penyesuaian diri banyak ditemui pada masa remaja (Lazarus, 1976). Miller (dalam Rice, 1999) mengatakan bahwa remaja butuh untuk meredakan ketegangan yang dihasilkan oleh tekanan sosial terutama melalui jalan keluar yang konstruktif dan terarah pada tujuan. Jika jalan keluar

yang konstruktif tidak tersedia, maka remaja dapat bereaksi dengan amarah atau justru dengan menarik diri. Beberapa remaja mengekspresikan kemarahan mereka dengan melakukan perusakkan dan protes yang liar, sedangkan yang lainnya menarik diri dan drop-out dari sekolah. Pada kasus tersebut, penyebabnya adalah sama, yaitu remaja menghadapi banyak situasi yang dapat menimbulkan stres, padahal kondisi mereka belum siap menghadapi dan mengatasinya secara positif (Rice, 1999).

Para remaja memiliki keinginan bebas untuk menentukan nasibnya sendiri, yang sering disebut sebagai masa topan badai dan stres (storm & stress) (Hall, 1991, dalam Dariyo, 2004). Hal ini menunjukkan bahwa aspek emosional pada diri remaja dianggap masih labil. Masa remaja merupakan suatu masa saat seorang individu mencari identitas dirinya. Dengan adanya hal ini, kematangan emosional seorang remaja bergantung pada keberhasilan dalam menemukan identitas dirinya, kemandiriannya terhadap orang tua, pengembangan suatu sistem atau persepsi terhadap hal-hal yang menurutnya berharga, dan keberhasilan dalam menjalin hubungan dengan orang lain (Papalia, Olds, & Feldman; 2004).

Sebagai proses dari pencarian identitas dirinya, remaja mulai merasa tidak mau dikekang atau dibatasi secara kaku oleh aturan keluarga. Mereka ingin memperoleh kesempatan untuk mengembangkan diri guna mewujudkan jati dirinya (self-identity). Remaja juga memiliki sifat pemberontak, revolusioner, dan progresif yang cenderung ingin mengubah kondisi yang mapan. Apabila sifat ini terarah dengan baik, maka mereka dapat menjadi pemimpin yang baik di masa depan. Sebaliknya, bila tidak terbimbing dengan baik, maka mereka cenderung akan merusak tatanan dan nilai-nilai sosial masyarakat (Dariyo, 2006).

Salah satu gangguan emosional yang dirasakan sangat berat oleh sebagian kaum remaja adalah depresi. Pandangan medis-psikiatri menyatakan bahwa depresi merupakan gangguan yang terjadi pada susunan syaraf pusat (otak) yang menyebabkan terganggunya keseimbangan dalam berpikir (thinking), emosi (afection), maupun tenaga (energi) (Clark, 1997/2000, dikutip oleh Dariyo, 2004). Dalam penelitian yang dilakukan oleh Peterson et al. (dalam Papalia, Olds, & Feldman; 1998), gejala-gejala depresi banyak ditemukan pada remaja wanita (antara 15-40 persen) daripada remaja laki-laki (10-35 persen).

Hal tersebut disebabkan oleh kurangnya sikap asertif pada remaja wanita yaitu kurang mampu dalam mengungkapkan perasaan ketika menghadapi suatu permasalahan dalam hidupnya, seperti menghadapi perubahan fisik (menarche atau masa pubertas). Selain itu, depresi dapat terjadi pada kaum remaja, sebagai akibat dari: (a) kegagalan meraih prestasi belajar di sekolah; (b) kegagalan dalam pemilihan teman hidup (pacar); dan (c) penolakkan dalam lingkungan pergaulan sosial. Kegagalan-kegagalan tersebut menyebabkan remaja merasa dirinya tidak berharga, putus asa, sampai pada gangguan-gangguan lain (seperti: anorexia nervosa) (Papalia, Olds, & Feldman; 1998).

Dokumen terkait