• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KERANGKA TEORITIS

2.2.1 Beberapa Pendekatan Terhadap Stres

Definisi tentang stres berkaitan dengan pendekatan atau orientasi yang digunakan. Secara umum, ada tiga pendekatan terhadap stres (Baum; Coyne & Holroyd; Hobfoll, dalam Sarafino, 2002), yaitu: (a) pendekatan yang berorientasi pada stimulus (stimulus-oriented views); (b) pendekatan yang berorientasi pada respons (response-oriented views);dan(c)pendekatan transaksional.

Pendekatan yang berorientasi pada stimulus (stimulus-oriented views). Fokus pendekatan ini adalah pada lingkungan, yaitu menjelaskan stres sebagai

suatu stimulus. Pendekatan ini melihat bahwa stres merupakan hasil dari situasi-situasi yang mengancam atau situasi-situasi-situasi-situasi yang terlalu banyak memberikan tuntutan pada seseorang (Johnson, 1986). Pendekatan ini berdasar pada kecenderungan seseorang melihat stres dari sumber atau penyebab stres sebagai suatu peristiwa atau keadaan yang menimbulkan tekanan. Peristiwa atau keadaan yang dianggap mengancam dan menimbulkan ketegangan disebut sebagai stressor (Sarafino, 2002).

Hal yang termasuk dalam stressor adalah catasthropic events (misalnya: banjir besar, gempa bumi), major life events (misalnya: kematian pasangan dan kehilangan pekerjaan), dan chronic circumstances (misalnya: tinggal di lingkungan kumuh yang bising dan padat). Jadi, menurut pandangan ini, definisi stres adalah segala daya (force) yang berasal dari dalam diri individu atau lingkungan yang membawa dampak bagi individu tersebut (Johnson, 1986). Kelemahan dari pandangan ini yaitu setiap orang akan menilai potential stressor secara berbeda atau sesuatu yang dianggap sumber stres oleh satu orang, belum tentu dianggap sebagai sumber stres oleh orang lain.

Dalam pendekatan response-oriented views, stressor adalah suatu kondisi di lingkungan yang secara potensial dianggap sebagai suatu ancaman. Stressor hanya akan menimbulkan respons stres setelah individu mendefinisikan suatu kejadian sebagai suatu hal yang mengancam kehidupannya (Lazarus, dalam Appley & Trumbull, 1986). Feldman (1989) mendefinisikan stressor sebagai keadaan-keadaan dan kejadian-kejadian yang dapat menghasilkan stres. Sedangkan Sarafino (2002) mengatakan stressor sebagai suatu keadaan yang dianggap mengancam dan menimbulkan ketegangan. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa stressor merupakan suatu keadaan yang berasal dari luar

diri, maupun dari dalam diri individu yang dapat membuat dirinya merasa terancam atau tertekan.

Menurut Wills dan Shiffman (dalam Mates & Allison, 1992), stressor yang umumnya terjadi pada remaja, antara lain: (a) major life events

;

(b) masalah-masalah dalam kehidupan sehari-hari; dan (c) masalah-masalah-masalah-masalah yang berkaitan dengan peran

.

Major life events. Sifat jenis stressor ini adalah akut, tetapi umumnya berlangsung dalam durasi yang tidak lama. Misalnya, karena suatu penyakit, pindah ke sekolah lain, atau kematian salah seorang yang dicintainya.

Masalah-masalah dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya, gangguan karena kondisi lingkungan yang terlalu ramai, harus mengantri untuk menunggu sesuatu, perselisihan kecil dalam kehidupan sehari-hari.

Masalah-masalah yang berkaitan dengan peran. Ini merupakan jenis stressor yang kronik. Misalnya, tekanan-tekanan yang terjadi dalam jangka panjang yang berkaitan dengan performance dari peran yang dijalaninya, seperti peran sebagai pelajar atau sebagai anak.

Kebanyakkan penelitian tentang stres pada remaja terfokus pada major life events atau perubahan-perubahan yang terjadi dalam hidup remaja (Bruns & Geist; Swearington & Cohen, dalam Mates & Allison, 1992). Oleh karena itu, peneliti ingin mengembangkan alat ukur coping stress yang berkaitan dengan tekanan-tekanan hidup sehari-hari yang dialami remaja dalam menjalankan perannya sebagai pelajar.

Pendekatan yang berorientasi pada respons (response-oriented views). Pendekatan ini melihat stres sebagai suatu respons yang terfokus pada reaksi individu terhadap stressor. Kita dapat melihat contoh pendekatan ini ketika

seseorang menggunakan konsep stres sebagai keadaan tertekan yang dirasakannya. Respons mempunyai dua komponen yang saling berhubungan, yaitu komponen psikologis dan fisiologis. Komponen psikologis melibatkan tingkah laku, pola pikir, dan emosi. Komponen fisiologis melibatkan arousal tubuh yang meningkat, seperti: jantung berdebar-debar, mulut kering, dan keringat dingin. Respons psikologis dan fisiologis individu terhadap stressor disebut sebagai strain (Sarafino, 2002).

Pendekatan ini paling tergambar pada model stres dari Hans Selye. Menurut Selye (dalam Reivich & Shatte, 2002), respons awal terhadap adanya sumber stres adalah alarm reaction. Pada tahap ini, individu akan mengalami serangkaian perubahan fisiologis agar bisa mengatasi sumber stres tersebut. Perubahan-perubahan fisiologis tersebut adalah temperatur menurun, tekanan darah menurun, dan perubahan biokimia. Tahap alarm berlangsung singkat dan individu tersebut akan pindah ke tahap resistance sebagai upaya mengatasi stresnya. Pada tahap ini, tubuh individu dipenuhi oleh hormon-hormon stres yang akan meningkatkan tekanan darah, detak jantung, temperatur, dan pernafasan (Santrock, 1998).

Individu telah mengalami adaptasi terhadap stres dan melakukan coping. Bila stres masih terus berlangsung untuk jangka waktu lama atau bila situasi makin memburuk karena adanya sumber stres baru, maka tahap exhaustion akan dicapai. Pada tahap ini, kemampuan coping individu menjadi tidak sesuai untuk mengatasi situasi. Ada beberapa kelemahan dalam pendekatan ini. Pertama, adanya kegagalan pada individu untuk menunjukkan adanya tanda-tanda stres yang mengindikasikan bahwa stimulus yang ada sebenarnya bukan merupakan indikator dari stres. Kelemahan kedua adalah ketidakmampuan pendekatan ini

untuk menunjukkan stimulus-stimulus yang menjadi penyebab terlepasnya stres dari respons individu (Reivich & Shatte, 2002).

Pendekatan transaksional. Pendekatan ini menjelaskan stres sebagai suatu proses yang melibatkan stressor dan strain, serta menambahkan suatu dimensi yang penting. Dimensi tersebut adalah hubungan antara individu (person) dan lingkungannya (Cox; Lazarus & Folkman; Lazarus & Launier; Mechanics, dalam Sarafino, 2002). Proses ini melibatkan interaksi dan penyesuaian yang berkesinambungan yang disebut sebagai transaksi antara individu dengan lingkungannya. Menurut pendekatan ini, stres dipandang bukan hanya sebagai stimulus atau respons, tetapi lebih sebagai suatu proses saat individu adalah agen aktif yang dapat memengaruhi dampak dari stressor melalui strategi kognitif dan emosional yang dilakukannya (Sarafino, 2002).

Pendekatan transaksional ini sangat memperhitungkan adanya perbedaan individual dan proses persepsi kognitif yang melandasi perbedaan tersebut (Cox & Ferguson, dalam Cooper & Payne, 1991). Hal yang penting dalam variabel perbedaan individual (individual differences) adalah masing-masing individu akan sangat berbeda dalam menilai situasi yang menyebabkan stres. Penilaian ini bisa menentukan penilaian terhadap sumber stres sebagai tantangan atau ancaman (Singer & Davidson, dalam Appley & Trumbull, 1986). Tiap individu juga berbeda dalam menilai kemampuan dan sumber dayanya. Perbedaan ini belum pasti diketahui penyebabnya, bisa berasal dari perbedaan pengalaman, pengetahuan, latihan, atau dipengaruhi self-esteem dan kemampuan diri (self-competence).

Dengan keterbatasan-keterbatasan yang terdapat pada pendekatan dengan orientasi stimulus atau respons, maka banyak ahli yang mendefinisikan stres berdasarkan pendekatan transaksional. Keterbatasan paling utama pada dua

pendekatan sebelumnya adalah tidak diperhitungkannya perbedaan individual (individual differences) dan proses persepsi kognitif yang melandasi perbedaan tersebut (Cox & Ferguson, dalam Cooper & Payne, 1991). Perbedaan ini disebabkan oleh adanya penilaian kognitif yang terdiri dari penilaian primer dan sekunder.

Dokumen terkait