• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengembangan Alat Ukur Coping Stress Untuk Pelajar Sekolah Menengah Atas (SMA) - Repository UNTAR

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "Pengembangan Alat Ukur Coping Stress Untuk Pelajar Sekolah Menengah Atas (SMA) - Repository UNTAR"

Copied!
184
0
0

Teks penuh

(1)

PENGEMBANGAN ALAT UKUR

COPING STRESS

UNTUK PELAJAR SEKOLAH MENENGAH ATAS (SMA)

SKRIPSI

Untuk Memenuhi Prasyarat Kelulusan Program Strata 1 (S1)

Dosen Pembimbing:

P. Tommy Y. S. Suyasa, M. Si., Psi.

Disusun oleh:

Debi Susanti Suhendra (705050020)

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS TARUMANAGARA

JAKARTA

2009

(2)

Yesus Kristus atas segala anugerah dan penyertaan-Nya dari awal kuliah hingga peneliti dapat menyelesaikan penyusunan skripsi yang berjudul Pengembangan Alat Ukur Coping Stress untuk Pelajar Sekolah Menengah Atas (SMA) ini. Tanpa hikmat dan kemurahan-Nya, peneliti tidak dapat menyelesaikan skripsi ini. Tuhan Yesus Kristuslah yang memakai pihak-pihak yang membantu dalam penyelesaian skripsi ini. Tuhan Yesus Kristus juga menjadi inspirasi peneliti. Skripsi ini peneliti dedikasikan secara khusus kepada Tuhan Yesus Kristus.

Judul yang peneliti angkat dalam penyusunan skripsi ini didasarkan pada fenomena yang peneliti amati di lapangan. Masa remaja merupakan masa pencarian jati diri yang disertai dengan adanya masalah-masalah, khususnya masalah yang berhubungan dengan area sekolah. Oleh karena itu, peneliti berharap dengan adanya pengembangan alat ukur coping stress ini, para remaja, khususnya pelajar SMA dapat mengidentifikasi stres yang dialaminya dan juga coping stress yang mereka gunakan saat ini.

(3)

M. Si., Psi. Terima kasih atas bimbingan, pengertian, dan kesabarannya sehingga peneliti dapat menyelesaikan skripsi ini. Peneliti juga mendapat berbagai pengetahuan baru mengenai psikologi dan pengukuran.

Peneliti mengucapkan terima kasih kepada Ibu Henny E. Wirawan, M. Hum, Psi., Ibu Prof. Dr. Sjamsunuwijati Mar’at, Bapak Sandy Kartasasmita, M. Psi., Ibu Dr. Fransisca Iriani, dan Bapak Agoes Dariyo, M. Si., Psi. atas kesediaannya untuk menjadi reviewer alat ukur ini. Peneliti juga mengucapkan terima kasih kepada Bapak Yadi karena beliau telah membantu dalam proses pembuatan surat ijin untuk pengambilan data ke sekolah-sekolah.

Peneliti berterima kasih kepada Ibu Kepala SMA Strada St. Thomas Aquino, Bapak Kepala SMA Perguruan Budhi, Bapak Kepala SMA Dharma Putra, dan Bapak Kepala SMA Kristen Kanaan atas kesediaan dan ijinnya untuk pengambilan data di sekolah-sekolah mereka. Peneliti juga berterima kasih kepada Ibu guru bidang studi Bimbingan Konseling (BK) SMA Dharma Putra, Bapak Wakil Kepala SMA Strada St. Thomas Aquino, dan Bapak guru bidang studi Bimbingan Konseling (BK) SMA Perguruan Budhi, dan Ibu guru bidang studi Bimbingan Konseling (BK) SMA Kristen Kanaan atas bantuannya dalam proses pengambilan data.

(4)

penyusunan skripsi ini. Beliau selalu menguatkan peneliti saat peneliti patah semangat. Peneliti juga berterima kasih kepada pihak-pihak lain yang terlibat dalam penyusunan skripsi ini.

Peneliti menyadari bahwa hasil skripsi ini jauh dari sempurna. Namun, kiranya pembaca memaklumi hal ini karena tak ada manusia yang tak luput dari kesalahan, seperti kata pepatah, “Tak ada gading yang tak retak.” Oleh karena itu, saran dan kritik yang membangun sangatlah peneliti butuhkan. Besar harapan peneliti, skripsi ini bermanfaat bagi para pembaca, khususnya pelajar SMA dan para praktisi pendidikan.

Tangerang, 5 Juni 2009

(5)

vi DAFTAR ISI

Lembar Judul... i

Lembar Pengesahan... ii

Kata Pengantar…... iii

Daftar Isi... vi

Daftar Tabel... x

Daftar Lampiran... xi

Abstrak…... xiii

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Permasalahan... 1

1.2 Pertanyaan Penelitian... 13

1.3 Tujuan Penelitian…... 13

1.4 Manfaat Pengembangan Alat Ukur Coping Stress……… 13

1.5 Sistematika Berpikir... 14

BAB II KERANGKA TEORITIS 2.1 Coping Stress... 16

2.1.1 Pengertian Coping Stress... 16

2.1.2 Jenis Strategi Coping Stress... 17

2.1.3 Problem-focused Coping………. 21

2.1.4 Emotional-focused Coping……….. 22

2.1.5 Maladaptive Coping... 25

(6)

vii Coping Stress

2.1.7 Pengaruh Coping Stress terhadap Kondisi Psikologis...33

Individu 2.2 Stres…...34

2.2.1 Beberapa Pendekatan Terhadap Stres………. 34

2.2.2 Pengertian Stres... 39

2.2.3 Pengaruh Stres terhadap Kondisi Psikologis Individu... 41

2.2.4 Tahap-tahap Stres... 42

2.3 Remaja... 44

2.3.1 Pengertian Remaja... 44

2.3.2 Tugas Perkembangan Remaja... 47

2.3.3 Aspek Psikologis Remaja ... 49

2.3.3.1 Aspek Psikososial……… 49

2.3.3.2 Aspek Kognitif……….. 49

2.3.3.4 Aspek Emosional……….. 52

2.3.4 Permasalahan pada Individu Remaja………. 54

2.4 Pengukuran... 55

2.4.1 Pengertian Pengukuran……… 55

2.4.2 Pengujian Validitas……… 57

2.4.3 Pengujian Reliabilitas……… 63

2.4.4 Analisis Faktor……….. 64

2.4.4.1 Pengertian Analisis Faktor………. 64

2.4.4.2 Tujuan Analisis Faktor……… 65

(7)

viii

2.4.5 Norma……… 66

2.5 Stres pada Remaja ... 69

2.6 Kerangka Berpikir... 75

BAB III METODE PENYUSUNAN ALAT UKUR 3.1 Partisipan Alat Ukur Coping Stress... 78

3.1.1 Gambaran Subjek Berdasarkan Jenis Kelamin……… 79

3.1.2 Gambaran Subjek Berdasarkan Usia………. 79

3.1.3 Gambaran Subjek Berdasarkan Kelas……….. 79

3.1.4 Gambaran Subjek Berdasarkan Jurusan……….. 80

3.1.5 Gambaran Subjek Berdasarkan Agama……… 81

3.1.6 Gambaran Subjek Berdasarkan Status Tempat Tinggal…….. 81

3.2 Administrasi Alat Ukur Coping Stress... 82

3.2.1 Setting Lokasi……… 82

3.2.2 Waktu……….. 84

3.2.3 Perlengkapan dan Peralatan……… 84

3.2.4 Instruksi……….. 85

3.3 Prosedur Penyusunan Alat Ukur Coping Stress... 86

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS DATA 4.1 Rancangan Alat Ukur Coping Stress... 93

4.2 Gambaran Stressor Pelajar Sekolah Menengah Atas (SMA)... 106

4.3 Gambaran Stres Pelajar SMA... 107

(8)

ix

4.5 Gambaran Studi Validitas Alat Ukur Coping Stress... 109

4.5.1 Hasil Uji Validasi Isi (Content Validity)... 109

4.5.2 Hasil Uji Validasi Tampilan (Face Validity)... 109

4.5.3 Hasil Uji Validasi Konstruk (Construct Validation Study)……. 110

4.5.4 Hasil Uji Validasi Kriteria (Criterion Validation Study)……….. 112

4.6 Gambaran Norma Alat Ukur Coping Stress……… 113

4.7 Analisis Tambahan………..117

BAB V SIMPULAN, DISKUSI dan SARAN 5.1 Simpulan... 118

5.2 Diskusi... 119

5.3 Saran... 122

5.3.1 Saran untuk penelitian selanjutnya ... 122

(9)

x DAFTAR TABEL

Tabel 1 Daftar Alat Ukur Coping Stress yang Pernah Dikembangkan………… 6

Tabel 2 Contoh butir Alat Ukur Coping Inventory for Adolescents (CIA)... 11

Tabel 3 Gambaran Subjek Berdasarkan Jenis Kelamin... 79

Tabel 4 Gambaran Subjek Berdasarkan Kelas... 80

Tabel 5 Gambaran Subjek Berdasarkan Jurusan………. 80

Tabel 6 Gambaran Subjek Berdasarkan Agama……… 81

Tabel 7 Gambaran Subjek Berdasarkan Status Tempat Tinggal………. 82

Tabel 8 Keterangan Pengambilan Data di SMA Strada St. Thomas Aquino…. 90 Tabel 9 Keterangan Pengambilan Data di SMA Perguruan Budhi……….. 90

Tabel 10 Butir Alat Ukur Coping Stress……….. 94

Tabel 11 Gambaran Test-retest Alat Ukur Coping Stress……… 108

Tabel 12 Gambaran Construct Validity Berdasarkan Convergent Evidence…. 110 Tabel 13 Gambaran Construct Validity Berdasarkan Discriminant Evidence… 111 Tabel 14 Gambaran Criterion Validity……….. 112

Tabel 15 Norma Coping Stress Problem-Focused Coping (N = 383; Usia: 15 – 19 tahun; Siswa SMU)………. 114

Tabel 16 Norma Coping Stress Problem Emotional-Focused Coping (N = 383; Usia: 15 – 19 tahun; Siswa SMU)………. 115

Tabel 17 Norma Coping Stress Emotional-Focused Coping (N = 383; Usia: 15 – 19 tahun; Siswa SMU)………. 115

Tabel 18 Norma Coping Stress Emotional Physical-Focused Coping (N = 383; Usia: 15 – 19 tahun; Siswa SMU)………. 116

(10)

xi DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1A Gambaran Subjek Berdasarkan Jenis Kelamin……… L-1 Lampiran 1B Gambaran Subjek Berdasarkan Usia... L-1 Lampiran 1C Gambaran Subjek Berdasarkan Kelas... L-1 Lampiran 1D Gambaran Subjek Berdasarkan Jurusan……… L-2 Lampiran 1E Gambaran Subjek Berdasarkan Agama……… L-2 Lampiran 1F Gambaran Subjek Berdasarkan Status Tempat Tinggal……….. L-3 Lampiran 2 Gambaran Stressor Pelajar SMA……….. L-3 Lampiran 3A Gambaran Stres Pelajar SMA (Emosional)………L-12 Lampiran 3B Gambaran Stres Pelajar SMA (Behavioral)………L-13 Lampiran 3C Gambaran Stres Pelajar SMA (Fisik)... L-13 Lampiran 4 Reliabilitas Test-Retest Strategi Supporting Activities………… L-14 Lampiran 5 Reliabilitas Test-Retest Strategi Suppression of Competing

Activities………. L-14 Lampiran 6 Reliabilitas Test-Retest Strategi Planning……… L-15 Lampiran 7 Reliabilitas Test-Retest Strategi Seeking Social Support (peer)...L-15 Lampiran 8 Reliabilitas Test-Retest Strategi Seeking Social Support

(parents)………. L-15 Lampiran 9 Reliabilitas Test-Retest Strategi Seeking Social Support

(11)

xii

Lampiran 14 Reliabilitas Test-Retest Strategi Makan………. L-17 Lampiran 15 Reliabilitas Test-Retest Strategi Body Massage………... L-18 Lampiran 16 Reliabilitas Test-Retest Strategi Body Relaxation…………... L-18 Lampiran 17 Reliabilitas Test-Retest Strategi Pengkonsumsian Penambah Stamina Tubuh……… L-18 Lampiran 18 Reliabilitas Test-Retest Strategi Pengkonsumsian Zat

Adiktif…………...L-19 Lampiran 19 Reliabilitas Test-Retest Strategi Displacement…………... L-19 Lampiran 20 Construct Validity Berdasarkan Convergent Evidence…………..L-19 Lampiran 21 Construct Validity Berdasarkan Discriminant Evidence…….. L-21 Lampiran 22 Criterion Validity……….. L-21 Lampiran 23 Kuesioner………. L-23 Lampiran 24 Analisis Tambahan………. L-40 Lampiran 25 Surat Pernyataan Pakar

(12)

xiii ABSTRAK

Debi Susanti Suhendra

Pengembangan Alat Ukur Coping Stress untuk Pelajar Sekolah Menengah Atas (SMA). (P. Tommy Y. S. Suyasa, M. Si., Psi.); Strata 1, Fakultas Psikologi, Universitas Tarumanagara; 124 H, P1-P7, L1-L40)

Penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan alat ukur coping stress untuk pelajar Sekolah Menengah Atas (SMA). Subjek dalam penelitian ini berjumlah 383 orang. Pengumpulan data penelitian dilakukan dengan menggunakan kuesioner dan data tersebut diproses dengan menggunakan progam SPSS versi 13.0. Alat ukur coping stress ini terdiri dari 85 pasang pernyataan. Format butir yang digunakan ialah method of paired comparison. Alat ukur coping stress ini sudah reliabel secara consistency cross-time reliability (test-retest). Alat ukur coping stress ini sudah valid secara face validity, content validity, construct validity (convergent evidence dan discriminant evidence), dan criterion validity. Alat ukur coping stress ini memiliki lima norma. Norma tersebut ialah norma problem-focused coping, norma problem emotional-focused coping, norma emotional-focused coping, norma emotional physical-focused coping, dan norma maladaptive coping.

(13)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Permasalahan

Para pelajar Sekolah Menengah Atas (SMA) mengalami banyak kegiatan, antara lain: (a) mempersiapkan Ujian Nasional (UN) (“UN Makin Dekat,” 2008); (b) mempersiapkan saringan masuk ke jurusan (Ilmu Pengetahuan Alam [IPA], Ilmu Pengetahuan Sosial [IPS], atau bahasa) (Teviningrum, 2007); (c) mempersiapkan jenjang universitas (Rahayu, 2008); dan (d) mereka juga mengambil banyak les atau kursus (Wisudo, 2003). Kegiatan-kegiatan tersebut merupakan tuntutan-tuntutan yang harus mereka hadapi.

Dengan banyaknya tuntutan tersebut, hal ini dapat menjadi stressor bagi para pelajar (Nasution, 2007). Menurut Slemon (dalam Baldwin, 2002), remaja mengalami stres dalam menghadapi pelajaran yang berat di sekolah, terutama bagi remaja high school. Fanshawe dan Burnett (1991) juga mengatakan bahwa

(14)

faktor penyebab utama timbulnya stres bagi para remaja ialah berhubungan dengan area sekolah. Stressor merupakan faktor atau stimulus yang memicu reaksi stres (Reivich & Shatte, 2002).

Pernyataan Nasution (2007) dapat dibenarkan karena para pelajar Sekolah Menengah Atas (SMA) yang tergolong dalam tahap perkembangan remaja juga memiliki tugas-tugas perkembangan yang harus mereka hadapi. Masa remaja ditandai oleh perubahan yang besar di antaranya kebutuhan untuk beradaptasi dengan perubahan fisik dan psikologis, pencarian identitas, dan membentuk hubungan baru termasuk mengekspresikan perasaan seksual (Santrock, 1998). Hall (1991; Santrock, 1999 dikutip oleh Dariyo, 2004) memandang periode ini sebagai periode topan badai dan stres (storm & stress). Periode topan badai dan stres ini merupakan periode saat ketegangan emosi meningkat sebagai akibat dari perubahan fisik dan kelenjar (Papalia, Olds, & Feldman; 1998).

(15)

Selain itu, stressor yang dialami oleh para pelajar tidak hanya berasal dari area sekolah dan tugas-tugas perkembangan mereka saja, tetapi juga dapat berasal dari kejadian-kejadian tak terduga dalam kehidupan sehari-hari. Stres yang disebabkan oleh kejadian-kejadian yang tak terduga dalam kehidupan sehari-hari disebut daily hassles (DiMatteo & Martin, 2002). Contoh-contoh daily hassles yang terjadi dalam kehidupan pelajar, yaitu: (a) keadaan di kelas yang terlalu bising; (b) perpustakaan yang terlalu bising; (c) hanya memiliki sedikit waktu; (d) hanya memiliki sedikit uang; dan (e) tidak memiliki banyak teman dekat (Sarafino, 2002). Hal-hal tersebut juga dapat menjadi pemicu stres bagi para pelajar Sekolah Menengah Atas (SMA).

Sarafino (2002) mengatakan bahwa stres merupakan keadaan psikologis yang timbul jika ada ketidakseimbangan antara persepsi individu mengenai tuntutan yang harus dihadapi dan dengan kemampuan mereka untuk mengatasi tuntutan tersebut. Stressor dapat menyebabkan pelajar menjadi stres dengan disertai respons dari pelajar tersebut. Respons dari stressor ini bermacam-macam, misalnya: (a) respons secara psikologis; (b) fisiologis; (c) kognitif; (d) tingkah laku; dan (e) respons dalam hubungan dengan masyarakat.

Sarwono (1994) mengatakan bahwa kondisi stres dapat menurunkan prestasi belajar. Pada pelajar Sekolah Menengah Atas (SMA), turunnya prestasi belajar disebabkan karena turunnya motivasi belajar mereka. Hal ini merupakan contoh umum dari dampak respons stres yang pelajar SMA alami. Contoh-contoh lainnya ialah emosi menjadi tidak stabil dan sampai pada kondisi melarikan diri ke pergaulan yang kurang baik.

(16)

dengan cara mengontrol stressor dan juga perlu adanya keterampilan dari seorang pelajar SMA dalam mengatasi stresnya (coping stress). Seperti yang telah dinyatakan oleh Sarafino (2002), bahwa dalam menghadapi stressor-nya, seorang individu perlu memiliki respons yang baik. Respons dari setiap individu berbeda, tergantung pada kepribadian dan strategi coping stress masing-masing individu.

Berdasarkan perlunya coping stress pada masing-masing individu, maka langkah awal yang perlu dilakukan, agar para pelajar Sekolah Menengah Atas (SMA) memiliki keterampilan dalam mengatasi stresnya, ialah mengidentifikasinya dengan menggunakan alat ukur coping stress. Menurut Sarafino (2002), coping stress adalah suatu proses saat individu berusaha untuk mengatasi situasi stres yang dinilai menimbulkan ketidaksesuaian antara tuntutan dan sumber daya yang dimilikinya. Individu melakukan perilaku coping stress sebagai usaha untuk menetralisir atau mengurangi stres. Menurut Santrock (1998), coping stress dapat dilakukan dengan mengatur beban lingkungan, memperluas usaha untuk memecahkan masalah hidup dan mencari penyebab utama dari kondisi stres.

(17)

menghasilkan suatu pola pikir dan perilaku yang efektif pula, demikian pula sebaliknya (Santrock, 1998).

Dalam rangka mengidentifikasi kemampuan coping stress yang dimiliki oleh individu, para peneliti memerlukan suatu alat ukur sebagai sarananya. Sebagai sarana untuk mengidentifikasi kemampuan coping stress para pelajar Sekolah Menengah Atas (SMA), maka diperlukan suatu alat ukur coping stress. Alat ukur coping stress merupakan sarana pengumpulan data untuk mengidentifikasi atribut coping stress seseorang. Peneliti akan mengembangkan alat ukur coping stress untuk pelajar SMA berupa kuesioner, seperti yang telah dikembangkan oleh peneliti sebelumnya.

(18)

Daftar Alat Ukur Coping Stress yang Pernah Dikembangkan

Nama Alat Ukur Nama

Tahun Coping Stress Tokoh Kelebihan Kekurangan

1970 Ways of Coping Checklist (WCC) Lazarus et al. - Tidak ada bukti empiris,

seperti confirmatory

factor analysis

(Schwarzer & Schwarzer,

1996)

1981 The Billing and Moos Coping Measures Billing & Moos - Kurang memuaskan

dalam internal

consistencies, tidak

ada informasi

mengenai validitas

dan reliabilitas

(Schwarzer & Schwarzer,

1996)

1984 Broad Range Coping Responses McCrae - Tidak memuaskan dalam

for Different Cognitive internal consistencies,

tidak ada informasi

mengenai validitas dan

(19)

Nama Alat Ukur Nama

Tahun Coping Stress Tokoh Kelebihan Kekurangan

reliabilitasnya

(Schwarzer

& Schwarzer, 1996)

1984 The Measure of Daily Coping Stone & Neale - Tidak memperhatikan

validitas dan reliabilitas

(Schwarzer & Schwarzer,

1996)

1987 The Miller Behavioral Style Scale Miller - Tidak ada informasi (MBSS) mengenai validitas dan reliabilitas (Schwarzer &

Schwarzer, 1996) 1987 Coping Response Inventory Elwood - Tidak ada informasi

mengenai validitas dan

reliabilitas (Fanshawe &

Burnett, 1991)

1987 Adolescent Coping Orientation for Patterson & Memiliki validitas konstruk Tidak ada internal

(20)

Nama Alat Ukur Nama

Tahun Coping Stress Tokoh Kelebihan Kekurangan

Problem Experiences (A-COPE) McCubbin (convergent evidence dan consistency, penjelasan distinct group evidence) mengenai reliabilitas

tidak lengkap (Fanshawe

& Burnett, 1991;

Schwarzer & Schwarzer,

1996)

1988 The Life Events and Coping Inventory Dise-Lewis Sampel homogen, memiliki Tidak ada informasi (LECI) test-retest reliability mengenai validitas

(Schwarzer &

Schwarzer, 1996)

1989 The Life Situation Inventory (LSI) Feifel & Strack - Tidak ada informasi

mengenai validitas

dan reliabilitas

(Schwarzer &

Schwarzer, 1996)

1989 COPE Scale Carver et al. Memiliki evidence of Tidak ada penjelasan validity, memiliki exploratory lebih lanjut mengenai

(21)

Nama Alat Ukur Nama

Tahun Coping Stress Tokoh Kelebihan Kekurangan

factor analysis kelebihan-kelebihannya

itu (Schwarzer &

Schwarzer, 1996)

1990 The Coping Strategy Indicator (CSI) Amirkhan - Tidak memuaskan dalam

confirmatory factor

analysis, tidak ada

informasi mengenai

validitas dan reliabilitas

(Schwarzer & Schwarzer,

1996)

1990 The Coping Inventory for Stressful Endler & Parker Memiliki validitas konstruk Tidak ada informasi Situations (CISS) (memiliki korelasi dengan mengenai reliabilitas

the Ways of Coping (Schwarzer & Questionnaire dan memiliki Schwarzer, 1996) korelasi dengan kepribadian)

1991 Coping Inventory for Adolescents Fanshawe & Burnett Memiliki validitas (face validity Tidak memiliki content (CIA) dan construct validiy) dan validity (Fanshawe &

(22)

Nama Alat Ukur Nama

Tahun Coping Stress Tokoh Kelebihan Kekurangan

memiliki internal consistency Burnett, 1991) reliability

1993 The Mainz Coping Inventory Krohne Sampel homogen Tidak ada informasi mengenai validitas dan

reliabilitas (Schwarzer &

(23)

Berdasarkan penelitian Fanshawe & Burnett, 1991; Herwina, 2006; Koesandari, 2007; & Munawarah, 2008,alat ukur coping stress yang populer dan sering digunakan ialah COPE Scale dan Coping Inventory for Adolescents (CIA). Alat-alat ukur yang telah tersebut pada tabel 1, validitas dan reliabilitasnya kurang diperhatikan. Memang untuk Adolescent Coping Orientation for Problem Experiences (A-COPE), COPE Scale, dan CIA sudah memiliki construct validity, face validity, dan reliabilitas. Namun, tidak hanya terbatas pada construct dan face validity saja, tetapi juga content validity dan criterion validity juga harus diperhatikan. Selain itu, reliabilitas untuk alat-alat ukur tersebut di atas kurang terperinci informasinya.

Peneliti melampirkan contoh butir-butir yang ada pada salah satu alat ukur yang populer dan yang sering digunakan, yaitu Coping Inventory for Adolescents (CIA). CIA merupakan salah satu alat ukur yang mengidentifikasi cara yang dilakukan para remaja dalam menghadapi stressor-nya. Pertanyaan yang diajukan dalam CIA ialah ”Apa yang Anda lakukan jika Anda sedang mengalami stres dalam menghadapi tuntutan-tuntutan di dalam kehidupan Anda sehari-hari?” Contoh butir pada alat ukur Coping Inventory for Adolescents (CIA) akan dilampirkan pada tabel 2 sebagai berikut.

Tabel 2

Contoh butir Alat Ukur Coping Inventory for Adolescents (CIA)

No. Pernyataan STS TS KK S SS 1. Merokok

2. Minum alkohol

3. Menggunakan obat-obatan terlarang

4. Berkeliling menggunakan mobil

(24)

(Sambungan Tabel 2...)

No. Pernyataan STS TS KK S SS 5. Mencoba untuk keluar dari rumah

sebanyak mungkin

Catatan. STS = Sangat Tidak Setuju, TS = Tidak Setuju, KK = Kadang-kadang, S = Setuju, SS = Sangat Setuju.

Peneliti memandang bahwa alat-alat ukur coping stress yang ada (tabel 1) belum cukup mengukur kemampuan coping stress pelajar SMA, khususnya pada setting pelajar SMA di Tangerang. Selain itu, tahun pengkonstruksian alat-alat ukur yang tersebut di atas sudah terbilang sangat lama, sehingga ada kemungkinan alat ukur tersebut perlu direvisi ulang dengan menyusun alat ukur coping stress baru sebagai pembaharuan dari alat-alat ukur yang sudah ada sebelumnya.

(25)

1.2 Pertanyaan Penelitian

1.2.1 Bagaimana gambaran rancangan alat ukur coping stress?

1.2.2 Bagaimana hasil studi reliabilitas (test-retest reliability) alat ukur coping stress?

1.2.3 Bagaimana hasil studi validitas (face, content, criterion dengan variabel tingkat stres, dan construct validity) alat ukur coping stress?

1.2.4 Bagaimana gambaran norma alat ukur coping stress pelajar SMA?

1.3 Tujuan Penelitian

Peneliti ingin mengembangkan alat ukur coping stress untuk pelajar SMA yang reliabel dan valid, serta memiliki norma alat ukurnya.

1.4 Manfaat Pengembangan Alat Ukur Coping Stress

Banyak manfaat yang dapat diperoleh dari pengembangan alat ukur ini, baik secara teoretis maupun praktis. Bagi peneliti, pengembangan alat ukur ini memberikan manfaat untuk menambah khasanah ilmu pengetahuan mengenai teori stres dan coping stress remaja. Peneliti juga dapat mengetahui gambaran kemampuan coping stress pelajar SMA.

(26)

kemampuan coping stress yang efektif, maka para praktisi pendidikan dapat membantu anak didiknya dalam mengembangkan kemampuan coping stress yang efektif bagi mereka.

Demikian juga bagi para pelajar SMA, dengan adanya alat ukur coping stress yang dikembangkan ini, para pelajar SMA dapat mengetahui keefektifan strategi coping stress yang mereka lakukan selama ini. Selain itu, dengan adanya pengembangan alat ukur coping stress ini, dapat dilakukan studi lanjut yang dapat memberikan informasi kepada para praktisi pendidikan, siswa, maupun orang tua, sehubungan dengan akibat-akibat stres yang ada.

Pengembangan alat ukur ini juga dapat menjadi sarana bagi penerapan dan pembuktian teori-teori coping stress yang sudah ada sebelumnya. Lebih lanjut, diharapkan pengembangan alat ukur ini akan dapat menjadi sarana bagi munculnya teori-teori baru yang dilakukan dengan cara mengkaitkan variabel coping stress dengan variabel psikologis lainnya.

1.5 Sistematika Berpikir

(27)

kemampuan coping stress pelajar SMA, maka peneliti mengembangkan alat ukur coping stress.

Pada Bab II, peneliti menjabarkan mengenai landasan-landasan teori mengenai stressor, stres, coping stress, perkembangan remaja, dan pengukuran sebagai dasar bagi penyusunan alat ukur coping stress ini. Pada Bab III, peneliti menjabarkan mengenai partisipan yang dipakai sebagai sampel dalam pengembangan alat ukur coping stress. Selain itu, peneliti juga menjabarkan mengenai metode penelitian yang dipakai sebagai sarana pengumpulan data. Dalam Bab III, peneliti juga menjabarkan mengenai prosedur penyusunan alat ukur ini dari langkah awal yang dilakukan oleh peneliti yaitu pengumpulan literatur sampai dengan penyusunan norma alat ukur coping stress untuk pelajar SMA ini.

(28)
(29)
(30)

BAB II

KERANGKA TEORETIS 2.1 Coping Stress

2.1.1 Pengertian Coping Stress

Hal-hal yang dilakukan individu untuk mengatasi keadaan atau situasi yang tidak menyenangkan, menantang, menekan, ataupun mengancam disebut sebagai coping (Lazarus, 1976). Coping stress adalah suatu proses saat individu berusaha untuk mengatasi situasi stres yang dinilai menimbulkan ketidaksesuaian antara tuntutan dan sumber daya yang dimilikinya. Lazarus dan Folkman (1984; dalam Lazarus, 2000) memandang bahwa coping stress merupakan suatu respons terhadap stres. Coping stress juga didefinisikan sebagai suatu usaha dalam bentuk kognitif dan perilaku untuk mengatasi tuntutan eksternal dan atau internal yang dinilai melebihi sumber daya penyesuaian yang dimiliki orang tersebut (Lazarus, 2000).

(31)

Cohen dan Lazarus (dalam Holahan & Moos, 1987) mendefinisikan coping stress secara umum sebagai segala usaha yang digunakan untuk mengatasi stres. Keadaan yang sangat stres, dapat berkurang ketika seseorang dapat dengan sukses menyelesaikan masalah tersebut. Coping stress melibatkan pengaturan keadaan yang sulit, melakukan usaha untuk menyelesaikan masalah kehidupan, dengan menemukan cara untuk mereduksi dan menguasai stres (Santrock, 2003). Coping stress memiliki hubungan dengan health-risk behaviors (Schwarzer & Schwarzer, 1996).

Sebagian ahli mengatakan bahwa perilaku coping stress diarahkan untuk memperbaiki atau menguasai masalah, namun perilaku ini juga dapat hanya sekadar membantu individu tersebut mengubah persepsinya terhadap ketidaksesuaian, mentolerir atau menerima kerugian, melarikan diri, atau menghindari situasi (Lazarus & Folkman; Moos & Schaefer, dalam Sarafino, 2002).

Berdasarkan beberapa definisi coping di atas, dapat disimpulkan bahwa coping stress merupakan suatu usaha kognitif maupun perilaku nyata yang dilakukan individu untuk mengatasi tuntutan dari dalam atau luar dirinya. Hal ini disebabkan karena adanya situasi yang dirasa menekan, mengancam, dan membebani sumber daya yang dimilikinya.

2.1.2Jenis Strategi Coping Stress

(32)

mereka tanpa menghadapi penyebab tekanan. Strategi adaptasi tersebut berupa upaya untuk mengenali masalah dan menerima stres lebih berguna untuk jangka waktu yang panjang (Santrock, 1990).

Secara umum, ada dua macam coping, yaitu (a) problem-focused coping, saat coping diarahkan pada masalah yang dihadapi; dan (b) emotional-focused coping, saat coping diarahkan pada perasaan dan reaksi emosional (Lazarus & Folkman, 1984; dalam Santrock, 1990). Namun, seiring dengan makin banyaknya penelitian, maka teori mengenai coping pun semakin bervariasi. Variasi-variasi ini tetap berdasarkan pada dua jenis coping stress utama yang dikembangkan oleh Lazarus dan Folkman.

Menurut Wortman (1999; dalam Thomas, 2008), ada dua jenis pendekatan dalam melakukan coping, yaitu problem-directed dan emotional-directed. Problem-directed merupakan cara menyelesaikan stres dengan cara menghadapi stres tersebut secara langsung. Emotional-directed dilakukan dengan cara mengubah aspek-aspek emosional dalam diri agar dapat mengurangi tekanan yang dialaminya. Teknik problem-directed coping memiliki tiga jenis cara, antara lain: (a) confrontational; (b) seeking social support; dan (c) planful problem solving. Teknik emotional-directed coping memiliki lima jenis cara, antara lain: (a) reappraisal; (b) distancing; (c) self-control; (d) escape/avoidance; dan (e) accept responsibility.

(33)

langkah-langkah yang efektif dan mempertimbangkannya berulang kali sebelum akhirnya memutuskan suatu tingkah laku (Thomas, 2008).

Self-control dilakukan dengan cara mengontrol diri agar emosi tidak menguasai pikiran dan tingkah laku. Distancing dilakukan dengan cara melakukan aktivitas lain untuk menghindari hal yang menyebabkan stres tersebut. Reappraisal dilakukan dengan cara berusaha melihat kejadian yang menyebabkan stres dari perspektif yang berbeda. Accept responsibility dilakukan dengan cara melakukan introspeksi, berusaha menyadari kesalahan apa yang telah diperbuat yang kemudian digunakan sebagai suatu pelajaran agar lain kali tidak melakukan kesalahan yang sama. Escape/avoidance dilakukan dengan cara tidak mau menerima kenyataan dan berusaha selalu lari dari situasi yang menyebabkan stres tersebut. Teknik ini adalah teknik yang buruk dan dapat menyebabkan seseorang kecanduan obat-obatan (Thomas, 2008).

(34)

Optimism dan positive thinking adalah suatu pemikiran yang beranggapan bahwa seseorang akan mencapai apa saja yang ia inginkan. Perilaku asertif adalah perilaku yang dapat mengekspresikan perasaannya, meminta apa saja yang mereka inginkan. Program manajemen stres ialah cara yang mengajarkan individu mengenai penilaian kejadian-kejadian stres, untuk mengembangkan coping, dan menempatkan kemampuan tersebut untuk digunakan dalam kehidupan sehari-hari (Santrock, 2003). Program manajemen stres juga dapat dilakukan dengan teknik relaksasi (Charlesworth & Nathan, 2006).

Menurut Fanshawe dan Burnett (1991), terdapat empat strategi coping stress, yaitu: (a) negative avoidance, meliputi penghindaran terhadap stressor-stressor dengan merokok, minum alkohol, dan menggunakan obat-obatan terlarang; (b) marah, dilakukan dengan mengalihkan kemarahannya itu kepada orang lain; (c) positive avoidance, dengan melakukan suatu kegiatan positif yang tidak berhubungan dengan pemecahan masalah dan yang dapat mengurangi stressor; dan (d) komunikasi dengan keluarga, dilakukan dengan mendiskusikan masalah, pemecahan masalah, dan pengurangan stressor dengan anggota keluarga.

(35)

2.1.3Problem-focused Coping

Menurut Lazarus dan Folkman (dalam Carver et al., 1989), problem-focused coping merupakan usaha melakukan suatu tindakan langsung pada sumber stres dengan tujuan untuk menyelesaikan masalah atau mengurangi stres. Hal ini dilakukan jika individu merasa bahwa sesuatu yang konstruktif dapat dilakukan terhadap situasi tersebut, atau individu tersebut yakin bahwa sumber daya yang dimilikinya dapat mengubah situasi (Folkman & Lazarus, dalam Taylor, 1995). Lima strategi coping yang termasuk dalam problem-focused coping, yaitu: (a) active coping; (b) planning; (c) suppression of competing activities; (d) restraint coping; dan (e) seeking social support for instrumental reason.

Active coping. Active coping adalah proses pengambilan langkah-langkah aktif yang berusaha untuk memindahkan stressor atau memperbaiki efeknya. Strategi ini meliputi: (a) inisiatif untuk bertindak langsung (initiating direct action); (b) meningkatkan usaha yang dilakukan (increasing one’s effort); dan (c) mencoba untuk melakukan usaha coping dalam langkah-langkah yang bijaksana (trying to execute a coping attempt in stepwise fashion) (Carver et al., 1989).

Planning. Planning adalah proses memikirkan usaha atau cara untuk

mengatasi stressor. Strategi ini meliputi strategi pada tindakan yang akan dilakukan, memikirkan langkah-langkah yang akan diambil dan seberapa baik langkah tersebut dapat mengatasi masalah (Carver et al., 1989).

(36)

yang disebabkan oleh kejadian-kejadian lain, bahkan (c) membiarkan hal-hal lain berlalu begitu saja dengan tujuan untuk mengatasi stressor (Carver et al., 1989).

Restraint coping (penundaan tindakan mengatasi stres). Dalam coping ini, individu menunggu sampai ada kesempatan yang tepat untuk bertindak, menahan diri agar tidak bertindak terlalu cepat. Dengan demikian, coping ini memerlukan kontrol atau kendali diri yang cukup baik dari individu. Coping ini dipandang sebagai strategi coping yang aktif karena individu dengan aktif mengarahkan tindakannya untuk menghadapi stres secara efektif. Dari sisi lain, coping ini dapat juga dipandang sebagai strategi coping yang pasif karena dalam hal ini individu menahan diri berusaha untuk tidak melakukan sesuatu, sehingga terlihat seperti tidak melakukan apapun (Carver et al., 1989).

Seeking social support for instrumental reason. Strategi ini merupakan usaha mencari dukungan sosial dari teman atau keluarga, berupa nasihat, informasi, atau bantuan lain sebagai cara individu untuk mengatasi masalah atau sumber stres yang dihadapinya (Carver et al., 1989).

2.1.4 Emotional-focused Coping

(37)

berlangsung cukup lama (Folkman & Lazarus, dalam Taylor, 1995). Menurut Lazarus (dalam Santrock, 1998), emotional-focused coping juga melibatkan penggunaan defense mechanisms.

Dalam emotional-focused coping, remaja menghindari sesuatu, melakukan rasionalisasi atas apa yang telah terjadi, mengingkari bahwa hal tersebut terjadi atau justru mentertawakan hal tersebut. Menurut Nietzel, Bernstein, dan Millich (1991), tidak ada perbedaan penggunaan emotional-focused coping pada laki-laki dan perempuan. Lima strategi coping yang termasuk dalam emotional-focused coping, yaitu: (a) seeking social support for emotional reason; (b) positive reinterpretation and growth (positive appraisal); (c) denial; (d) acceptance; dan (e) turning to religion.

Seeking social support for emotional reason. Individu yang merasa tidak aman karena situasi yang stressful dapat merasa tenang kembali dengan memperoleh dukungan dari orang lain. Dukungan sosial yang dicari, misalnya berupa dukungan moral, simpati, pengertian, atau sikap orang lain yang memahami masalahnya. Pengertian tersebut berfungsi sebagai sarana untuk berbagi perasaan ketika ia menceritakan masalahnya kepada orang lain. Strategi ini bermanfaat ganda, yaitu selain memberi keyakinan atau rasa aman, juga membuat individu dapat mengarahkan diri pada usaha coping yang terarah pada pemecahan masalah (Carver et al., 1989).

(38)

pengalamannya. Setelah emosi teratasi, lalu individu dapat secara aktif melakukan tindakan yang lebih terfokus untuk menyelesaikan masalah (Carver et al., 1989).

Denial. Individu melakukan coping ini mengingkari atau menolak untuk percaya bahwa stressor itu nyata ada. Denial kadang-kadang berguna meminimalkan distress sehingga individu dapat melakukan coping dengan lebih baik. Namun demikian, apabila hal ini dilakukan terus-menerus dan pada kenyataannya stressor tidak dapat diabaikan, maka akan membuat masalah menjadi lebih parah dan akhirnya mempersulit coping (Carver et al., 1989).

Acceptance. Merupakan respons coping yang fungsional saat individu menerima kenyataan dari suatu situasi yang stressful bagi dirinya dan ia berusaha untuk mengatasi situasi tersebut. Acceptance yang terjadi pada tahap primary appraising adalah menerima stressor sebagai kenyataan yang tidak dapat dihindari, sedangkan acceptance yang terjadi pada tahap secondary appraising berupa penerimaan bahwa tidak ada strategi coping aktif yang dapat dilakukan (Carver et al., 1989).

(39)

2.1.5 Maladaptive Coping

Coping ini cenderung berkeinginan untuk melarikan diri, menyangkal, dan mendapat gangguan penurunan fisik dan mental. Hal ini lebih cenderung pada kerugian pada diri seseorang daripada menguntungkan bagi dirinya. Di sisi lain, bukti penelitian menunjukkan bahwa maladaptive coping menjadi efektif untuk menghadapi stressor yang singkat (bising, sakit, dan ketidaknyamanan prosedur medis). Secara kognitif, coping ini dapat berguna karena dapat memberikan seseorang untuk beristirahat secara psikologis dan kesempatan untuk lari dari tekanan konstan dari situasi stres (Carver et al., 1989). Tiga strategi coping yang termasuk dalam maladaptive coping, yaitu: (a) focusing on and venting of emotion; (b) behavioral disengagement; dan (c) mental disengagement.

Focusing on and venting of emotion. Strategi coping ini berupa

kecenderungan untuk memusatkan diri pada pengalaman yang membuat distress atau pada kekecewaaan yang dialami individu dan kemudian melampiaskan emosi-emosi tersebut. Respons ini kadang-kadang berfungsi dengan baik, misalnya ketika kematian orang yang dicintai. Individu menggunakan masa berkabung untuk melupakan rasa kehilangan yang dialaminya (Carver et al., 1989).

(40)

mengusahakan coping yang aktif dan keluar dari distress-nya (Carver et al., 1989).

Behavioral disengagement. Strategi coping ini dalam bentuk mengurangi usaha individu untuk mengatasi stressor, bahkan menyerah atau menghentikan usaha untuk mempertahankan tujuan yang terganggu oleh stressor yang muncul. Strategi ini mencerminkan adanya gejala helplessness yaitu ada rasa tidak berdaya, sehingga individu menyerah dan tidak lagi berusaha untuk mengatasi masalah yang dihadapinya. Jenis coping ini, biasanya terjadi pada sebagian besar orang yang kurang atau bahkan tidak percaya bahwa coping yang aktif akan berhasil menyesuaikan masalahnya (Carver et al., 1989).

Mental disengagement. Strategi ini adalah variasi dari behavioral

disengagement, dan merupakan bentuk lain dari tindakan menghentikan usaha coping yaitu dengan tidak memikirkan masalah yang dihadapinya. Mental disengagement dapat dilakukan dalam bentuk melakukan kegiatan untuk mengalihkan pikiran, melamun, atau berkhayal, tidur berlebihan ataupun terpaku menonton televisi sebagai cara untuk melarikan diri dari masalah. Jenis strategi ini merupakan kebalikan dari suppression of competing activities (Carver et al., 1989).

(41)

mengambil salah satu contoh dari mental disengagement ini yaitu tidur, pengkonsumsian zat adiktif, menikmati media, dan displacement.

Selain dari Carver, Scheir, dan Weintraub, peneliti juga memakai teori dari Miner (1992, dikutip oleh Christina, 2007) sebagai landasan teori daripengambangan alat ukur coping stress untuk pelajar SMA. Miner (1992) membagi coping stress menjadi sepuluh jenis, antara lain: (a) acceptance; (b) meditasi; (c) praying; (d) psychological withdrawal; (e) planning ahead; (f) an appropriate phylosophy/positive reappraisal of life; (g) makan; (h) olahraga/latihan fisik/relaksasi; (i) social support; dan (j) actual withdrawal. Acceptance merupakan suatu keadaan saat individu menerima suatu hal/kondisi apa adanya. Individu tersebut tidak berusaha melawan tekanan. Meditasi merupakan salah satu usaha yang dilakukan individu untuk menenangkan dirinya dengan cara duduk dalam posisi nyaman, menutup kedua mata, mengistirahatkan otot, bernafas secara perlahan. Individu tersebut juga membersihkan pikiran yang membuatnya stres dan memusatkan pikirannya pada hal-hal yang disukainya.

(42)

(narkotika dan obat-obatan terlarang) dan minum-minuman alkohol (Miner, 1992).

Planning ahead merupakan usaha yang dilakukan individu untuk mengatasi tekanan dengan cara mengatur jadwal, menyusun prioritas, dan menghubungi pihak tertentu yang berkaitan dengan pelaksanaan tugas. An appropriate phylosophy/positive reappraisal of life merupakan usaha yang dilakukan individu dalam mengatasi tekanan dengan cara berpikir positif mengenai kehidupan yang dijalaninya. Makan merupakan usaha yang dilakukan individu untuk mengatasi tekanan sebagai upaya untuk meningkatkan daya tahan tubuhnya dan juga sebagai pengalihan pikiran dan tindakan atas tekanan yang dialaminya (Miner, 1992).

Olahraga/latihan fisik/relaksasi merupakan usaha yang dilakukan individu untuk meningkatkan daya tahan tubuhnya dan membuat tubuhnya lebih relaks, sehingga individu tersebut mampu mengatasi tekanan yang dialaminya. Social support merupakan usaha yang dilakukan individu untuk mengatasi tekanan yang dialaminya dengan mencari dukungan dari lingkungan sosialnya, seperti: teman sebayanya, orang tua, guru ataupun ahli. Actual withdrawal merupakan usaha yang dilakukan individu untuk mengatasi tekanan yang dialaminya dengan cara melakukan tindakan keluar sementara ataupun selamanya dari lingkungan atau keadaan yang membuat dirinya merasa tertekan (Miner, 1992).

(43)

(c) latihan fisik/relaksasi yang peneliti modifikasi menjadi body relaxation dan body massage. Selain dari strategi yang telah tersebut di atas yang berasal dari teori Carver, Scheir, dan Weintraub dan juga Miner, peneliti menambahkan strategi coping stress yaitu pengkonsumsian penambah stamina tubuh.

Berdasarkan beberapa jenis coping stress yang telah tersebut di atas, peneliti menyimpulkan bahwa coping stress memiliki 16 strategi. Peneliti memodifikasi subdimensi-subdimensi coping stress yang telah tersebut di atas, khususnya yang telah disampaikan oleh Carver, Scheir, & Weintraub (1989; dalam Schwarzer & Schwarzer, 1996) dan Miner (1992, dikutip oleh Christina, 2007). Hal ini disebabkan oleh pembagian strategi coping stress yang diajukan oleh Carver et al. dan Miner dapat mencakup keseluruhan pembagian yang diajukan oleh para ahli lain dan juga pembagian strategi coping stress yang diajukan oleh Carver et al. dan Miner cocok dengan partisipan yang digunakan oleh peneliti.

(44)

Peneliti juga menemukan bahwa ada beberapa strategi yang telah tersebut di atas dapat diklasifikasikan menjadi kategori baru yang merupakan hasil turunan dari dua kategori besar. Hal ini disebabkan oleh adanya keterkaitan antara dua kategori besar tersebut. Seeking social support (peer), seeking social support (parents), dan seeking social support (teacher) termasuk dalam kategori

emotional-focused coping, sekaligus problem-focused coping

.

Peneliti beranggapan bahwa individu yang mencari dukungan dari lingkungan sosialnya tidak hanya mendapat dukungan secara emosional, namun dapat juga memperoleh dukungan untuk dapat menyelesaikan masalahnya.

Stretching/body relaxation, tidur, makan, pengkonsumsian penambah stamina, dan body massage termasuk dalam kategori emotional-focused coping, namun jika dilihat seksama, kelima strategi ini juga dapat termasuk dalam physical-focused coping. Peneliti memandang bahwa individu melakukan usaha untuk mengatasi stresnya tidak hanya terfokus pada keadaan emosional, maupun penyelesaian masalahnya saja, tetapi juga terfokus pada keadaan fisiknya. Sebagaimana hal tersebut disampaikan oleh Cox (dalam Appley & Trumbull, 1986) mengenai sumber-sumber yang dapat memengaruhi individu dalam mengatasi stresnya. Selain itu, individu merespons stresnya tergantung dari dua komponen yang saling berhubungan, yaitu komponen psikologis dan komponen fisiologis (Sarfino, 2002). Oleh karena itu, strategi physical-focused coping stress juga penting bagi individu dalam mengatasi stresnya.

2.1.6 Faktor-faktor yang Memengaruhi Pemilihan Strategi Coping Stress

(45)

mengungkapkan ada tiga faktor yang menentukan strategi coping stress, yaitu: (a) faktor sosial demografi; (b) faktor kontekstual; dan (c) faktor kepribadian.

Faktor sosial demografi. Sejumlah studi menemukan adanya hubungan antara status sosial ekonomi dan tingkat pendidikan dengan pemilihan strategi coping stress tertentu (Managhan, 1983 dalam Holahan & Moos, 1987). Individu dengan status sosial ekonomi tinggi lebih cenderung sering menggunakan bentuk coping stressyang adaptif, fleksibel, logis, realistis, menerima kenyataan, dan kurang menyukai strategi yang defensif dan irasional (Hann, 1977 dalam Holahan & Moos, 1987). Menurut Billing dan Moos (dalam Holahan & Moos, 1987), individu yang memiliki pendidikan yang lebih tinggi juga cenderung menyukai penggunaan problem-focused coping daripada avoidance coping. Selain itu, usia dan jenis kelamin juga berkaitan dengan penggunaan coping stress tertentu. Pria cenderung memilih jenis coping yang terarah pada masalah (problem-focused coping), sedangkan wanita cenderung pada jenis coping yang terarah pada emosi (emotional-focused coping) (Pearlin & Schooler, 1978; Folkman & Lazarus, dalam Haber & Runyon, 1984).

(46)

Respons coping yang positif biasanya terjadi pada situasi yang dirasa menantang bagi individu, sedangkan coping yang negatif terjadi pada situasi yang dirasa mengancam bagi individu. Menurut Lazarus dan Folkman (1984, dalam Holahan & Moos, 1987), pada situasi yang masih dapat diubah secara konstruktif (seperti mengalami pemutusan hubungan kerja), strategi yang dipakai adalah problem-focused coping. Sementara pada situasi yang sulit diubah (seperti kematian pasangan), strategi yang dipakai adalah emotional-focused coping.

Sumber daya sosial juga berkorelasi positif dengan kesehatan mental individu karena sumber daya sosial menyediakan dukungan emosional, bantuan nyata, dan bantuan informasi (Heller & Swindle; Moos & Mitchell, dalam Holahan & Moos, 1987). Individu yang memiliki cukup sumber daya sosial cenderung menggunakan strategi problem-focused coping dan menghindari strategi avoidance coping (Cronkite & Moos, dalam Holahan & Moos, 1987).

(47)

yang bersifat distress dan tidak suka menjauh dari tujuannya ketika menemui stressor.

2.1.7 Pengaruh Coping Stress terhadap Kondisi Psikologis Individu

Menurut Lazarus dan koleganya (dalam Sarafino, 2002), coping stress dapat memberikan dua manfaat utama, yaitu coping stress dapat membantu individu menyelesaikan masalah yang menjadi penyebab stres dan coping stress juga dapat mengatur respons emosi dalam menghadapi suatu masalah. Emotional-focused coping bertujuan untuk mengontrol respons emosi terhadap suatu situasi yang stressful. Individu dapat mengatur respons emosinya melalui pendekatan tingkah laku dan kognitif.

Sejumlah contoh dari pendekatan tingkah laku ialah menggunakan obat-obatan terlarang dan minum alkohol, mencari dukungan sosial dari teman-teman atau keluarga, dan memperluas aktivitas, seperti menonton televisi, olahraga, yang dapat mengalihkan perhatian seseorang dari masalahnya. Pendekatan kognitif meliputi cara seseorang berpikir mengenai situasi yang membuatnya merasa stres (Sarafino, 2002). Pada pendekatan kognitif, individu mengubah arti atau makna dari situasi. Individu cenderung menggunakan emotional-focused coping saat mereka percaya bahwa mereka tidak dapat melakukan sesuatu untuk mengubah situasi yang membuatnya merasa stressful (Lazarus & Folkman, 1984b dalam Sarafino, 2002).

(48)

stressful, membuat jadwal baru, dan memilih pekerjaan lain untuk meneruskan perjalanan hidup individu. Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa coping stress dapat memengaruhi tingkah laku dan kognitif seseorang (Sarafino, 2002).

2.2 Stres

Setiap orang pernah mengalami stres, termasuk pada diri remaja yang berada di usia Sekolah Menengah Atas (SMA). Menurut Santrock (2003), stres merupakan suatu respons individu terhadap stressor, lingkungan, dan peristiwa-peristiwa yang mengancam dan membebani seseorang. Menurut Hans Selye (dalam Reivich & Shatte, 2002), stres merupakan respons non-spesifik terhadap tuntutan yang terjadi pada tubuh. Tuntutan-tuntutan itu berasal dari suatu kekecewaan hingga penyakit-penyakit yang parah. Menurut Atkinson, Atkinson, Smith, Bem, dan Hoeksema (1996), stres merupakan keadaan yang terjadi bila individu berada dalam suatu peristiwa (situasi), yang dirasakan sebagai keadaan yang membahayakan kesejahteraan fisik maupun psikologisnya.

2.2.1 Beberapa Pendekatan Terhadap Stres

Definisi tentang stres berkaitan dengan pendekatan atau orientasi yang digunakan. Secara umum, ada tiga pendekatan terhadap stres (Baum; Coyne & Holroyd; Hobfoll, dalam Sarafino, 2002), yaitu: (a) pendekatan yang berorientasi pada stimulus (stimulus-oriented views); (b) pendekatan yang berorientasi pada respons (response-oriented views);dan(c)pendekatan transaksional.

(49)

suatu stimulus. Pendekatan ini melihat bahwa stres merupakan hasil dari situasi-situasi yang mengancam atau situasi-situasi-situasi-situasi yang terlalu banyak memberikan tuntutan pada seseorang (Johnson, 1986). Pendekatan ini berdasar pada kecenderungan seseorang melihat stres dari sumber atau penyebab stres sebagai suatu peristiwa atau keadaan yang menimbulkan tekanan. Peristiwa atau keadaan yang dianggap mengancam dan menimbulkan ketegangan disebut sebagai stressor (Sarafino, 2002).

Hal yang termasuk dalam stressor adalah catasthropic events (misalnya: banjir besar, gempa bumi), major life events (misalnya: kematian pasangan dan kehilangan pekerjaan), dan chronic circumstances (misalnya: tinggal di lingkungan kumuh yang bising dan padat). Jadi, menurut pandangan ini, definisi stres adalah segala daya (force) yang berasal dari dalam diri individu atau lingkungan yang membawa dampak bagi individu tersebut (Johnson, 1986). Kelemahan dari pandangan ini yaitu setiap orang akan menilai potential stressor secara berbeda atau sesuatu yang dianggap sumber stres oleh satu orang, belum tentu dianggap sebagai sumber stres oleh orang lain.

(50)

diri, maupun dari dalam diri individu yang dapat membuat dirinya merasa terancam atau tertekan.

Menurut Wills dan Shiffman (dalam Mates & Allison, 1992), stressor yang umumnya terjadi pada remaja, antara lain: (a) major life events

;

(b) masalah-masalah dalam kehidupan sehari-hari; dan (c) masalah-masalah-masalah-masalah yang berkaitan dengan peran

.

Major life events. Sifat jenis stressor ini adalah akut, tetapi umumnya berlangsung dalam durasi yang tidak lama. Misalnya, karena suatu penyakit, pindah ke sekolah lain, atau kematian salah seorang yang dicintainya.

Masalah-masalah dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya, gangguan karena kondisi lingkungan yang terlalu ramai, harus mengantri untuk menunggu sesuatu, perselisihan kecil dalam kehidupan sehari-hari.

Masalah-masalah yang berkaitan dengan peran. Ini merupakan jenis stressor yang kronik. Misalnya, tekanan-tekanan yang terjadi dalam jangka panjang yang berkaitan dengan performance dari peran yang dijalaninya, seperti peran sebagai pelajar atau sebagai anak.

Kebanyakkan penelitian tentang stres pada remaja terfokus pada major life events atau perubahan-perubahan yang terjadi dalam hidup remaja (Bruns & Geist; Swearington & Cohen, dalam Mates & Allison, 1992). Oleh karena itu, peneliti ingin mengembangkan alat ukur coping stress yang berkaitan dengan tekanan-tekanan hidup sehari-hari yang dialami remaja dalam menjalankan perannya sebagai pelajar.

(51)

seseorang menggunakan konsep stres sebagai keadaan tertekan yang dirasakannya. Respons mempunyai dua komponen yang saling berhubungan, yaitu komponen psikologis dan fisiologis. Komponen psikologis melibatkan tingkah laku, pola pikir, dan emosi. Komponen fisiologis melibatkan arousal tubuh yang meningkat, seperti: jantung berdebar-debar, mulut kering, dan keringat dingin. Respons psikologis dan fisiologis individu terhadap stressor disebut sebagai strain (Sarafino, 2002).

Pendekatan ini paling tergambar pada model stres dari Hans Selye. Menurut Selye (dalam Reivich & Shatte, 2002), respons awal terhadap adanya sumber stres adalah alarm reaction. Pada tahap ini, individu akan mengalami serangkaian perubahan fisiologis agar bisa mengatasi sumber stres tersebut. Perubahan-perubahan fisiologis tersebut adalah temperatur menurun, tekanan darah menurun, dan perubahan biokimia. Tahap alarm berlangsung singkat dan individu tersebut akan pindah ke tahap resistance sebagai upaya mengatasi stresnya. Pada tahap ini, tubuh individu dipenuhi oleh hormon-hormon stres yang akan meningkatkan tekanan darah, detak jantung, temperatur, dan pernafasan (Santrock, 1998).

(52)

untuk menunjukkan stimulus-stimulus yang menjadi penyebab terlepasnya stres dari respons individu (Reivich & Shatte, 2002).

Pendekatan transaksional. Pendekatan ini menjelaskan stres sebagai suatu proses yang melibatkan stressor dan strain, serta menambahkan suatu dimensi yang penting. Dimensi tersebut adalah hubungan antara individu (person) dan lingkungannya (Cox; Lazarus & Folkman; Lazarus & Launier; Mechanics, dalam Sarafino, 2002). Proses ini melibatkan interaksi dan penyesuaian yang berkesinambungan yang disebut sebagai transaksi antara individu dengan lingkungannya. Menurut pendekatan ini, stres dipandang bukan hanya sebagai stimulus atau respons, tetapi lebih sebagai suatu proses saat individu adalah agen aktif yang dapat memengaruhi dampak dari stressor melalui strategi kognitif dan emosional yang dilakukannya (Sarafino, 2002).

Pendekatan transaksional ini sangat memperhitungkan adanya perbedaan individual dan proses persepsi kognitif yang melandasi perbedaan tersebut (Cox & Ferguson, dalam Cooper & Payne, 1991). Hal yang penting dalam variabel perbedaan individual (individual differences) adalah masing-masing individu akan sangat berbeda dalam menilai situasi yang menyebabkan stres. Penilaian ini bisa menentukan penilaian terhadap sumber stres sebagai tantangan atau ancaman (Singer & Davidson, dalam Appley & Trumbull, 1986). Tiap individu juga berbeda dalam menilai kemampuan dan sumber dayanya. Perbedaan ini belum pasti diketahui penyebabnya, bisa berasal dari perbedaan pengalaman, pengetahuan, latihan, atau dipengaruhi self-esteem dan kemampuan diri (self-competence).

(53)

pendekatan sebelumnya adalah tidak diperhitungkannya perbedaan individual (individual differences) dan proses persepsi kognitif yang melandasi perbedaan tersebut (Cox & Ferguson, dalam Cooper & Payne, 1991). Perbedaan ini disebabkan oleh adanya penilaian kognitif yang terdiri dari penilaian primer dan sekunder.

2.2.2 Pengertian Stres

Menurut Hans Selye (dalam Waughfield, 1998), stres merupakan suatu respons non-spesifik terhadap tuntutan yang berasal dari tubuh. Tuntutan-tuntutan dapat berasal dari suatu ketidakpuasan sampai pada suatu rasa sakit. Sarafino (2002) mengatakan bahwa stres merupakan keadaan psikologis yang timbul jika ada ketidakseimbangan antara persepsi individu mengenai tuntutan yang harus dihadapi dan dengan kemampuan mereka untuk mengatasi tuntutan tersebut. Stres juga merupakan suatu respons yang terfokus pada reaksi individu terhadap stressor dan suatu keadaan tertekan yang dirasakan individu. Respons stres mempunyai dua komponen yang saling berhubungan, yaitu komponen psikologis dan komponen fisiologis. Salah satu respons stres ialah cemas yang merupakan keadaan emosional yang tidak menyenangkan dan memiliki sumber yang kurang jelas.

Stress is the condition that results when person environment transactions lead the individual to perceive a discrepancy – whether real or not – between the demands of a situation and the resources of the person’s biological, psychological or social systems (Sarafino, 2002, p. 70).

(54)

mengatakan bahwa stres adalah proses menilai suatu kejadian atau peristiwa sebagai sesuatu yang mengancam, menantang atau membahayakan, dan menunjukkan respons terhadap peristiwa tersebut dari segi fisiologis, emosional, kognitif, atau tingkah laku. Selain itu, Mason (dalam Santrock, 2003) mendefinisikan stres, meliputi: (a) stimulus, didefinisikan sebagai stressor; (b) respons, didefinisikan sebagai reaksi terhadap stres; dan (c) stres sebagai interaksi antara stimulus dan respons.

Stressor yang dimaksudkan di atas didapat dari beberapa faktor, antara lain: (a) faktor lingkungan (seperti: overload, konflik, dan frustrasi terhadap kejadian-kejadian dalam hidup dan daily hassles); (b) faktor kepribadian (seperti: tidak sabar dan kemarahan yang mencakup dalam pola tingkah laku tipe A); (c) faktor kognitif (seperti: penilaian kognitif); dan (d) faktor sosiokultural (seperti: stres yang terakumulasi dan kemiskinan) (Santrock, 1998).

(55)

2.2.3 Pengaruh Stres terhadap Kondisi Psikologis Individu

Berdasarkan pengaruh yang ditimbulkan stres, Atwater (1983) membagi stres menjadi dua bagian, yaitu eustressdan distress. Eustress merupakan stres yang memiliki dampak positif karena mampu mendorong individu untuk melakukan hal yang terbaik untuk menghadapi masalahnya. Sedangkan distress merupakan stres yang berdampak negatif, seperti tuntutan yang berlebihan dan tidak menyenangkan yang memerlukan energi dan membuat kita lebih mudah terkena penyakit. Berbeda dengan Atwater, Sarafino (2002) mengelompokkan pengaruh stres ke dalam beberapa segi, antara lain: (a) kognitif, (b) emosi, dan (c) tingkah laku sosial.

Pengaruh stres terhadap kognitif. Perubahan psikologis yang terjadi akibat stres dapat mengakibatkan gangguan pada kognitif individu. Pada fungsi kognitif, stres dapat mengganggu perhatian seseorang akan suatu hal. Stres juga dapat membantu seseorang dalam memfokuskan perhatian pada suatu hal, dalam hal ini, memfokuskan perhatian pada stressor itu sendiri. Stres yang tingkatnya sudah tinggi bisa mengganggu ingatan dan perhatian seseorang dalam melakukan kegiatan yang melibatkan kognitif (Cohen, Evans, Stokols, & Krantz dalam Sarafino, 2002). Banyak pelajar yang sedang menjalani ujian yang mempunyai tingkat stres tinggi, tidak memperhatikan atau salah menginterpretasikan informasi yang penting. Mereka juga mengalami kesulitan dalam mengingat hal-hal yang sudah mereka pelajari sebelumnya.

(56)

takut (fear), perasaan sedih, dan rasa marah (anger). Rasa takut merupakan kombinasi ketidaknyamanan psikologis (psychological discomfort) dan physical arousal dalam situasi yang mengancam. Pada rasa takut yang menyertai stres, depresi merupakan hal yang biasanya timbul pada diri individu.

Pengaruh stres terhadap tingkah laku sosial. Stres dapat mengubah perilaku seseorang terhadap orang lain. Dalam situasi yang menyebabkan stres, seperti: bencana alam, orang-orang akan bekerja sama untuk bisa menolong orang lain. Hal ini dilakukan karena mereka mempunyai tujuan yang sama yang hanya bisa diwujudkan dengan berkerja sama (Sherif & Sherif, dalam Sarafino, 2002). Tetapi, situasi stres lainnya juga dapat membuat seseorang menjadi tidak sensitif, kurang peduli, dan lebih agresif terhadap orang lain.

2.2.4 Tahap-tahap Stres

Lazarus (2000) berpendapat bahwa reaksi individu terhadap stres terjadi melalui tiga tahap yang diawali dengan primary appraising (menilai secara primer), secondary appraising (menilai secara sekunder), dan coping. Primary appraising terjadi saat individu merasakan adanya ancaman. Ketika dihadapkan pada situasi yang secara potensial untuk menimbulkan stres, maka hal pertama yang dilakukan individu adalah mengartikan situasi tersebut dan melihat dampaknya terhadap kesejahteraan dirinya.

(57)

situasi yang dihadapi menimbulkan stres ditambah dengan kesadaran akan masalah, maka akan terbentuk perubahan psikologis dan fisiologis yang bentuknya adalah perasaan cemas, tegang, depresi, dan emosi-emosi negatif lainnya.

Secondary appraising merupakan penilaian yang dilakukan individu terhadap sumber daya yang tersedia untuk dapat melakukan coping. Meskipun umumnya penilaian sekunder ini terjadi setelah penilaian primer, namun menurut Cohen dan Lazarus (dalam Sarafino, 2002) tidak harus selalu demikian. Kedua proses ini saling terkait dan terkadang ketika individu berada pada tahap sekunder, proses stresnya dapat kembali ke tahap primer. Hal ini dapat terjadi saat individu memiliki keterbatasan sumber daya yang dapat dianggap sebagai ancaman. Sumber daya tersebut dinilai tidak ada atau sangat kurang untuk mengatasi stres.

Pada secondary appraising, individu mengevaluasi sumber daya yang dimilikinya dan menentukan seberapa efektifnya sumber daya itu untuk digunakan dalam mengatasi kejadian tersebut. Sumber-sumber ini meliputi: sumber-sumber sosial, materi dan fisik, serta faktor-faktor intelektual, seperti kemampuan menyelesaikan masalah, keterampilan verbal, dan kemampuan sosial (Cox, dalam Appley & Trumbull, 1986).

(58)

2.3 Remaja

2.3.1 Pengertian Remaja

Secara umum, Papalia, Olds, dan Feldman (1998; 2004; dikutip oleh Dariyo, 2006) membagi perkembangan manusia menjadi sembilan tahap, antara lain: (a) masa pra-natal; (b) bayi dan bawah tiga tahun (toddler); (c) anak-anak awal (early childhood); (d) anak tengah (middle childhood); (e) anak akhir (late children); (f) remaja (adolescence); (g) dewasa muda (young adulthood); (h) dewasa tengah (middle adulthood); dan (i) dewasa akhir (late adulthood). Pelajar SMA memasuki tahap perkembangan remaja (adolescence).

Penggolongan remaja menurut Thornburg (1982, dalam Dariyo, 2004) terbagi menjadi tiga tahap, antara lain: (a) remaja awal (usia 13-14 tahun); (b) remaja tengah (usia 15-17 tahun); dan (c) remaja akhir (usia 18-21 tahun). Masa remaja awal, umumnya individu telah memasuki pendidikan di bangku Sekolah Menengah Pertama (SMP). Masa remaja tengah, individu sudah duduk di Sekolah Menengah Atas (SMA). Kemudian, mereka yang tergolong remaja akhir, umumnya sudah memasuki dunia perguruan tinggi atau lulus SMA dan mungkin sudah bekerja.

(59)

memiliki tanggung jawab, namun jika tidak terbimbing maka bisa menjadi seorang yang tidak memiliki masa depan yang baik.

Istilah asing yang sering digunakan untuk menunjukkan masa remaja, menurut Yulia S. D. Gunarsa dan Singgih D. Gunarsa (1991, dalam Dariyo, 2004) antara lain: (a) puberteit, puberty dan (b) adolescentia. Istilah puberty (bahasa Inggris) berasal dari istilah Latin, pubertas yang berarti kelaki-lakian. Pubescence dari kata pubis (pubic hair) yang berarti rambut (bulu) pada daerah kemaluan (genital), maka pubescence berarti perubahan yang dibarengi dengan tumbuhnya rambut pada daerah masa pertumbuhan tulang-tulang dan kematangan seksual yang terjadi pada masa awal remaja. Menurut Stanley Hall (dalam Santrock, 1998) usia remaja adalah antara 12 sampai 23 tahun.

Secara kronologis, yang tergolong remaja adalah individu dengan usia 12 atau 13 tahun sampai dengan 21 tahun (Gunarsa & Gunarsa, 2006). Menurut Erikson, untuk menjadi orang dewasa, remaja akan melalui masa krisis dimana remaja berusaha mencari identitas diri (search for self identity). Oleh karena itu, remaja mudah diombang-ambingkan oleh munculnya: (a) kekecewaan dan penderitaaan; (b) meningkatnya konflik, pertentangan-pertentangan dan krisis penyesuaian; (c) impian dan khayalan; (d) percintaan; dan (e) keterasingan dari kehidupan dewasa dan norma kebudayaan (Santrock, 1998).

(60)

emosi, dan perasaan terhadap tubuh remaja sendiri. The social self mencakup hubungan dengan teman sebaya sebaya, sikap moral, dan tujuan pendidikan. The sexual self merupakan sikap terhadap seksualitas dan perilaku seksual pada diri remaja. The familial self merupakan perasaan individu remaja tentang orang tua mereka dan keadaan rumah. The coping self merupakan kemampuan untuk mengatasi keberadaan diri remaja di dunia (Papalia, Olds, & Feldman; 2004).

Menurut Piaget (dalam Hurlock, 1999; dikutip oleh Nasution, 2007), secara psikologis, masa remaja adalah usia saat individu berintegrasi dengan masyarakat dewasa. Masa remaja juga merupakan masa saat seorang anak tidak lagi merasa di bawah tingkat orang-orang yang lebih tua, melainkan berada di tingkat yang sama, sekurang-kurangnya dalam masalah hak. Menurut Monks (1999; dikutip oleh Nasution, 2007), remaja adalah individu yang berusia 12-21 tahun yang sedang mengalami masa peralihan dari masa anak-anak menuju masa dewasa.

(61)

Bagi remaja yang belum dapat menyelesaikan konflik-konfliknya, diberi peluang sampai batas usia 24 tahun, untuk mencapai kedewasaan. Status perkawinan sangat penting karena membutuhkan tanggung jawab yang besar pada keluarga dan masyarakat. Individu yang sudah menikah dianggap dan diperlakukan seperti individu dewasa, sehingga itu tidak dapat digolongkan sebagai remaja (Sarwono, 2001). Dari beberapa definisi remaja yang telah tersebut di atas, maka dapat disimpulkan bahwa remaja adalah masa transisi dari masa anak-anak menuju dewasa yang berkisar antara 12-13 tahun sampai 21 tahun yang ditandai dengan perubahan aspek fisik, psikis, dan psikososial.

2.3.2 Tugas Perkembangan Remaja

Tugas-tugas perkembangan remaja, menurut Havighurst (dalam Helms & Turner, 1995; Suardiman, 1987; Thornburg,1982; dikutip oleh Dariyo, 2004), ada beberapa, yaitu sebagai berikut:

Menyesuaikan diri dengan perubahan fisiologis-psikologis. Perubahan fisiologis yang dialami oleh individu memengaruhi pola perilakunya. Di satu sisi, ia harus dapat memenuhi kebutuhan dorongan biologis (seksual), yang bila dipenuhi hal itu pasti akan melanggar norma-norma sosial, padahal dari penampilan fisik, remaja sudah seperti orang dewasa. Dengan demikian, dirinya dituntut untuk dapat menyesuaikan diri (adjustment) dengan baik.

(62)

Memperoleh kebebasan secara emosional dari orang tua dan orang dewasa lain. Ketika sudah menginjak remaja, individu memiliki hubungan pergaulan yang lebih luas, dibandingkan dengan masa anak-anak. Hal ini menunjukkan bahwa individu remaja tidak lagi bergantung pada orang tua. Sebagian besar remaja bergaul bersama dengan teman-temannya (peer-group) dibandingkan kehidupan remaja dengan keluarganya.

Remaja bertugas untuk menjadi warga negara yang bertanggung jawab. Menurut Schaie (1991; dalam Santrock, 1999; dikutip oleh Dariyo, 2004), untuk dapat mewujudkan tugas ini, umumnya remaja berusaha mempersiapkan diri dengan menempuh pendidikan formal maupun non formal agar memiliki taraf ilmu pengetahuan, keterampilan atau keahlian yang profesional. Masa tersebut diistilahkan sebagai masa aquisitif, yakni masa di mana remaja berusaha untuk mencari bekal pengetahuan dan ketrampilan atau keahlian guna mewujudkan cita-citanya, agar seorang menjadi ahli yang profesional di bidangnya.

(63)

2.3.3 Aspek Psikologis Remaja 2.3.3.1 Aspek Psikososial

Setiap individu pada dasarnya dihadapkan pada suatu krisis. Krisis itulah yang menjadi tugas bagi seseorang untuk dapat dilaluinya dengan baik (dalam Dariyo, 2004). Pada diri remaja yang mengalami krisis, menurut Erik Erikson (Hall, Lindzey, dan Campbell, 1998; dikutip oleh Dariyo, 2004) berarti dirinya sedang berusaha mencari jati dirinya. Krisis (crisis) merupakan suatu masalah yang berkaitan dengan tugas perkembangan yang harus dilalui oleh setiap individu, termasuk remaja. Keberhasilan menghadapi krisis akan meningkatkan dan mengembangkan kepercayaan dirinya.

Hal tersebut berarti seorang remaja mampu mewujudkan jati dirinya (self-identity), sehingga ia merasa siap untuk menghadapi tugas perkembangan berikutnya dengan baik. Sebaliknya, individu yang gagal dalam menghadapi suatu krisis cenderung akan memiliki kebingungan identitas (identity confusion). Orang yang memiliki kebingungan ini ditandai dengan adanya perasaan tidak mampu, tidak berdaya, penurunan harga diri, tidak percaya diri, akibatnya remaja tersebut pesimis menghadapi masa depan. Ciri-ciri individu yang memiliki identitas diri yakni individu tersebut memiliki karakteristik-karakteristik, seperti: (a) konsep diri; (b) evaluasi diri; (c) harga diri (self-esteem); (d) self-efficacy; (e) percaya diri (self-confidence); (f) tanggung jawab; (g) komitmen pribadi; (h) ketekunan (endurance); dan (i) kemandirian (independent) (Dariyo, 2004).

2.3.3.2 Aspek Kognitif

Gambar

Tabel 1
Tabel 2 Contoh butir Alat Ukur Coping Inventory for Adolescents (CIA)
Tabel 8 Keterangan Pengambilan Data di SMA Strada St. Thomas Aquino
Tabel 10 Butir Alat Ukur Coping Stress
+4

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini diharapkan mampu memberikan pemahaman terkait dengan materi siklus hidrologi pada siswa-siswi kelas X-IS di SMA Muhammadiyah 1 Surakarta dan

Tujuan dari penyusunan buku paduan media pembelajaran toleransi dan kerukunan dengan menggunakan Macromedia Flash pada Mata Pelajaran PAI untuk siswa Kelas XI Sekolah Menengah Atas

Abstrak: Penelitian ini bertujuan untuk menghasilkan multimedia interaktik materi Teori Kinetik Gas untuk siswa kelas XI MIA dimana penelitianya dilaksanakan di SMA Xaverius