• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 5. Model Pembelajaran Eksperiensial

A. Asumsi Dasar

Penerapan model life-skills training dalam psikoedukasi untuk tujuan

preventif-developmental semacam ini didasarkan pada sejumlah pengan-daian sebagai berikut (bandingkan Gazda, 1989; h. 44):

1. Kemampuan untuk berfungsi secara efektif sebagai seorang pribadi ditentukan oleh dikuasainya sampai taraf tertentu berbagai tugas

perkem-4 bangan manusia. Dalam buku ini, misalnya, bidang perkembangan yang dimaksud dibedakan dalam tiga kategori, yaitu bidang pribadi-sosial, akademik, dan karir.

2. Individu yang mampu berfungsi secara efektif akan mengalami kem-ajuan atau perkembangan pribadi lewat sejumlah tahap tertentu. 3. Coping skills atau ketrampilan mengatasi aneka tekanan atau

tantang-an hidup, jadi life skills juga, akan dipelajari secara optimal dalam

rentang usia tertentu. Pengandaian ini terkait dengan konsep

readi-ness atau teachable moments dalam belajar dan perkembangan. 4. Kendati kapasitas untuk belajar bersifat bawaan, taraf pencapaian

belajar seseorang terkait erat dengan lingkungan atau pengalaman hidupnya.

6. Life skills paling efektif dan paling efisien dipelajari dalam kelompok (kecil) dan ketika pembelajar sedang berada pada puncak kesiapan-nya untuk belajar.

7. Life skills akan diserap dan ditransfer ke situasi lain di luar situasi

belajar kelompok manakala keseluruhan kurikulum life skills

dilak-sanakan secara komprehensif dan sistematis pada berbagai taraf usia dan sesuai taraf perkembangan dan taraf kesiapan pembelajar.

De-ngan kata lain, seperti halnya kemampuan membaca atau menulis life

skills perlu diorganisasikan sedemikian rupa sehingga bisa diajarkan pada semua tingkatan usia mulai dari kanak-kanak, remaja, dewasa, bahkan sampai usia lanjut.

B. Model Pembelajaran Eksperiensial

Model pembelajaran yang lazim diterapkan dalam life-skills

train-ing adalah structured groups (Drum & Knott, dalam Gazda, 1989) alias

kelompok terstruktur atau structured experiences (Pfeiffer & Jones, 1977)

alias pengalaman terstruktur. Seperti dikutip Gazda (1989), Drum dan

Knott mendefinisikan structured groups atau kelompok terstruktur sebagai

berikut: “A structured group is a delimited learning situation with a

prede-termined goal, and a plan designed to enable each group member to reach this identified goal with minimum frustration and maximum ability to transfer

the new learning to a wide range of life events” (h. 13). Artinya, kelompok terstruktur merupakan situasi pembelajaran spesifik dilengkapi dengan tujuan yang ditetapkan sebelumnya, serta sebuah program yang dituju-kan untuk menjadidituju-kan setiap anggota kelompok mencapai tujuan belajar masing-masing dengan tingkat kekecewaan minimum serta dengan ke-mampuan maksimum untuk mentransfer hasil pembelajaran baru yang diperoleh ke dalam cakupan kondisi atau tuntutan kehidupan yang luas.

Pfeiffer dan Jones (1979) mendeskripsikan structured experiences atau

pengalaman terstruktur sebagai berikut: “learning situations …based on

ex-periential model …inductive rather than deductive, providing direct rather than vicarious learnings … participants discover meaning for themselves and validate their own experience” (h. 1). Maksudnya, pengalaman terstruktur merupakan situasi pembelajaran yang didasarkan pada model pembelajar-an eksperiensial, ypembelajar-ang lebih bersifat induktif daripada deduktif, memberi-kan pengalaman belajar langsung daripada lewat pengalaman orang lain, dan para partisipan diberi kesempatan menemukan sendiri makna hasil belajarnya serta menguji sendiri kesahihan pengalamannya itu.

Model pembelajaran ini meliputi suatu experiential learning cycle atau

siklus belajar dari pengalaman yang terdiri atas lima tahap pengalaman atau aktivitas, seperti dilukiskan dalam Gambar 1 (Pfeiffer & Jones, 1979).

Gambar 1. Siklus pembelajaran eksperiensial menurut Pfeiffer & Jones (1979)

4 Seperti tampak dalam Gambar 1, tahap-tahap pengalaman atau ak-tivitas dalam siklus pembelajaran eksperiensial yang dimaksud adalah se-bagai berikut:

1. Mengalami (Experiencing). Peserta terlibat atau dilibatkan dalam ke-giatan tertentu, seperti melakukan tugas tertentu atau meng amati objek atau rekaman kejadian tertentu, entah secara sendiri-sendiri atau bersama satu atau lebih peserta atau anggota kelompok lain. Pfeiffer dan Jones (1979) mengingatkan, jika model ini berhenti di sini, maka kegiatan pembelajarannya hanya menjadi sekadar “fun

and games” alias ketawa-ketiwi atau hura-hura belaka. Maka, tahap

ini perlu segera diikuti dengan tahap:

2. Membagikan pengalaman (Publishing). Peserta membagikan hasil pelaksanaan tugas atau hasil pengamatannya terhadap objek atau ke-jadian tertentu pada tahap sebelumnya termasuk reaksi pribadinya baik berupa tanggapan pikiran maupun tanggapan perasaannya, pada peserta lain baik dalam kelompok-kelompok kecil maupun ke-pada seluruh peserta. Pfeiffer dan Jones (1979) menyebut tahap ini tahap menciptakan data. Tahap berikutnya adalah:

3. Memroses pengalaman (Processing). Peserta mengolah data yang baru dibagikan dengan cara mendiskusikan atau memikirkannya ber-sama, memaknai atau menafsirkannya, membandingkan tanggapan peserta yang satu dengan peserta yang lain, menemukan hubungan antar makna atau tanggapan yang muncul, dan sebagainya. Pfeiffer dan Jones (1979) menyebut tahap ini sebagai tahap kunci dari peng-alaman terstruktur, dan menyarankan agar fasilitator mengalokasikan waktu yang cukup leluasa untuk tahap ini. Selanjutnya, agar hasil be-lajar ini dapat dialihkan atau diterapkan ke situasi kehidupan nyata, maka peserta diajak masuk ke tahap:

4. Merumuskan kesimpulan (Generalizing). Pada tahap ini peserta di-ajak dan dibantu untuk menyimpulkan prinsip-prinsip, merumus-kan hipotesis-hipotesis, dan merumusmerumus-kan hikmat-manfaat untuk didiskusikan atau dipikirkan bersama dalam tahap ter akhir, yaitu: 5. Menerapkan (Applying). Pada tahap ini fasilitator perlu

memasti-kan bahwa para peserta sungguh-sungguh menangkap relevansi atau makna-manfaat dari pelatihan yang baru dijalaninya, serta memiliki tekad untuk menerapkan hasil belajarnya itu dalam kehidupan se-hari-hari. Menurut Pfeiffer dan Jones (1979), pene rapan hasil belajar tersebut dalam bentuk perilaku nyata akan menjadi pengalaman yang sekaligus menjadi awal dari siklus pembelajaran eksperiensial yang baru.

Model pembelajaran di atas sejalan dengan prinsip belajar dalam an-dragogi atau pendidikan bagi orang dewasa, sekalipun juga sangat cocok diterapkan dalam pedagogi atau pembelajaran bagi anak. Prinsip-prinsip belajar bagi orang dewasa yang kiranya juga berlaku bagi anak tersebut adalah sebagai berikut (Ortigas, 1990, dalam Sinurat, 1996):

1. Belajar adalah pengalaman yang terjadi dalam diri pembelajar. 2. Belajar adalah penemuan makna dan relevansi dari ide, konsep, atau

prinsip bagi kehidupan pribadi maupun masyarakat luas.

3. Belajar sebagai perubahan tingkah laku adalah hasil pengalam an.

4. Belajar berlangsung lewat proses bekerja sama dan berperan serta da-lam suatu aktivitas.

5. Belajar adalah proses yang bersifat evolusioner atau perubahan yang berlangsung secara pelan-pelan dan berkesinambungan.

6. Belajar kadang-kadang merupakan proses yang menyakitkan. 7. Sumber belajar yang sangat kaya adalah diri pembelajar sendiri. 8. Proses belajar melibatkan baik pikiran maupun emosi atau perasaan. 9. Proses belajar bersifat sangat pribadi dan unik.