BAB 7. Menyusun Program Psikoedukasi
A. Melakukan Asesmen Kebutuhan
Langkah pertama dalam menyusun program psikoedukasi yang
ber-hasil adalah melakukan needs assessment atau asesmen kebutuhan dari
kelompok klien yang hendak dilayani, entah dalam lingkungan pendidik-an sekolah, industri, atau komunitas. Ypendidik-ang dimaksud asesmen kebutuhpendidik-an adalah (Abella, 1986): ”finding out about the people to be trained and the type of training they need” (h. 3). Artinya, mencari tahu tentang keadaan
kelompok klien yang akan dilayani atau diberi psikoedukasi, serta jenis psikoedukasi atau pelatihan yang mereka butuhkan.
Ada dua tujuan utama melakukan needs assessment dalam
penyeleng-garaan layanan psikoedukasi di lingkungan pendidikan formal khususnya, maupun di lingkungan industri/organisasi dan lingkungan komunitas (Erford, 2007). Pertama, membantu psikolog-konselor memahami ke-butuhan aneka kelompok dalam suatu komunitas. Di lingkungan seko-lah, kelompok-kelompok yang dimaksud bisa kelompok siswa, kelompok guru, kelompok siswa dengan kebutuhan khusus, dan sebagainya. Kedua, membantu menentukan prioritas sebagai pedoman dalam menyusun pro-gram psikoedukasi yang komprehensif untuk kelompok sasaran tertentu, sekaligus sebagai pedoman untuk melakukan penyempurnaan program yang bersangkutan secara berkesinambungan.
Sejalan dengan tujuan-tujuan seperti dikemukakan oleh Erford
(2007) di atas, khususnya di lingkungan industri pelaksanaan needs
as-sessment lazimnya dibedakan dalam beberapa tingkat kedalaman (Landy,
1989). Tingkat yang paling dalam adalah tingkat organisasi (
organization-al anorganization-alysis)berupa pemeriksaan yang mendalam terhadap tujuan organi-sasi, aneka sumber daya yang dimiliki, serta iklim atau suasana lingkungan yang melingkupi kiprah organisasi dan para pegawai di dalamnya.
Tingkat kedua dan lazimnya dilakukan sebagai kelanjutan dari
anali-sis tingkat pertama adalah analianali-sis pada tingkat jabatan tertentu (task atau
job analysis) yang akan dijadikan sasaran psikoedukasi. Pemeriksaan di-fokuskan pada standar kinerja yang perlu dipenuhi dan sejauh mana para
pegawai dalam jabatan yang bersangkutan sudah memiliki hard maupun
soft skills yang diperlukan untuk memenuhinya.
Tingkat ketiga adalah analisis pada tingkat pribadi (person analysis),
yaitu pemeriksaan terhadap masing-masing pribadi atau kelompok pegawai untuk menetapkan siapa yang perlu mendapatkan psikoedu kasi. Analisis pada tingkat pribadi ini bahkan bisa diperdalam lagi dengan analisis pada tingkat keempat, dengan memfokuskan pemeriksaan pada kebutuhan
khusus aneka kelompok pegawai (demographic analysis), seperti pegawai
4 Menyangkut pendekatan yang dipakai dalam needs assessment
lazim-nya bisa dibedakan menjadi dua, yaitu (1) data-driven needs assessment atau
asesmen kebutuhan berbasis data, dan (2) perceptions-based needs
assess-ment atau analisis kebutuhan berbasis persepsi atau kesan (Erford, 2007). Pada pendekatan yang pertama dan khususnya dalam konteks lingkung-an sekolah, lazimnya diawali denglingkung-an menglingkung-analisis data kinerja maupun data sekolah pada umumnya, misal latar belakang sosial-ekonomi siswa, jumlah siswa yang tinggal kelas pada tiap jenjang kelas, jumlah siswa pu-tus sekolah, rerata nilai ujian nasional, prestasi-prestasi yang diraih siswa atau sekolah, tingkat kehadiran guru, dan sebagainya, serta kemungkinan kaitan antara data-data tersebut misal kaitan antara putus sekolah dan latar belakang sosial-ekonomi siswa, dan sebagainya. Data-data ini selanjutnya bisa dipakai sebagai dasar untuk menentukan kebutuhan siswa dan selan-jutnya merancang program psikoedukasi bagi mereka.
Pada pendekatan kedua yang sering juga disebut pendekatan tradi-sional, dalam melakukan asesmen kebutuhan psikolog-konselor mengandal-kan persepsi, kesan, atau pendapat baik dari nara sumber terkait maupun dari khalayak sasaran layanannya sendiri. Dalam lingkungan pendidikan sekolah, psikolog-konselor bisa menjaring pendapat para guru, orang tua, maupun siswa sendiri tentang kebutuhan-kebutuhan siswa yang dirasa-kan mendesak untuk dibantu dipenuhi. Dalam lingkungan industri, in-formasi tentang jenis-jenis kebutuhan mendesak yang dialami karyawan di berbagai jenjang maupun bagian dapat dijaring dari pihak direksi, ka-langan manajer, maupun dari kaka-langan karyawan sendiri. Begitu pula di lingkungan komunitas, informasi tentang kebutuhan itu bisa dihimpun dari pimpinan komunitas entah lurah, kepala dusun, ketua atau pimpin an orga nisasi, dan sebagainya, selain dari kalangan anggota komunitas sendiri. Berbeda dari pendekatan pertama yang berbasis data, pendekatan kedua ini berbasis persepsi, pendapat, atau kesan.
Untuk lingkungan pendidikan sekolah, metode atau instrumen yang lazim dipakai untuk menjaring data atau informasi meliputi (Stone dan Bradley, 1994, dalam Erford, 2007) kuesioner dan inventori, analisis re-kam jejak, wawancara, statistik, kunjungan kelas, jasa konsultan dari luar,
dan evaluasi sistematis terhadap penyelenggaraan program psikoedukasi di sekolah yang bersangkutan. Dengan penyesuaian seperlunya, berbagai jenis metode atau instrumen tersebut kiranya juga bisa diterapkan di ling-kungan industri maupun lingling-kungan komunitas. Apa pun metode atau in-strumennya, Erford (2007) menyarankan agar analisis kebutuhan tersebut dilaksanakan berdasarkan jenis topik (misal, ketrampilan sosial, pemilihan jurusan, dan sebagainya) dan bukan berdasarkan berdasarkan jenis layanan yang diselenggarakan (misal, konseling individual, bimbingan kelompok, dan sebagainya), serta diusahakan untuk mendapatkan data atau informasi
yang objektif. Dalam Lampiran 1 disajikan contoh instrumen asesmen
kebutuhan tentang ketrampilan interpersonal untuk siswa sekolah dasar yang diadaptasikan dari Erford (2007).
Secara umum, pelaksanaan asesmen kebutuhan yang baik akan men-cakup langkah-langkah sebagai berikut (Erford, 2007):
1. Putuskan dulu, informasi apa saja yang ingin kita ketahui. 2. Putuskan pendekatan atau metode paling efektif untuk
menda-patkan informasi yang ingin kita ketahui.
3. Susun metode atau instrumen asesmen kebutuhan yang sudah kita tetapkan sebagai yang paling efektif.
4. Minta bantuan kolega dan beberapa wakil dari kelompok sasar-an ysasar-ang aksasar-an kita laysasar-ani untuk mereview metode atau instru-men yang sudah kita susun, sekaligus instru-menguji-cobakan apakah mudah dipahami, mudah dilaksanakan, dan sebagainya.
5. Laksanakan bentuk final dari metode atau instrumen kita pada subjek sasaran yang kita pilih.
6. Data yang terkumpul kita olah dan kita interpretasikan.
7. Hasil-hasil interpretasi data tersebut selanjutnya akan kita
terje-mahkan menjadi tujuan-tujuan umum (goals) maupun
tujuan-tujuan khusus (objectives) dari program psikoedukasi yang akan
kita susun.
Baik dengan atau tanpa mempertimbangkan tingkat kedalaman se-perti disarankan oleh Landy (1989) maupun dengan atau tanpa
memper-4 timbangkan jenis pendekatan yang dipakai seperti disarankan oleh Erford (2007), secara garis besar sebuah asesmen kebutuhan untuk keperluan penyusunan program psikoedukasi harus mampu memberikan informasi tentang siapakah kelompok klien yang hendak dilayani, meliputi paling tidak gambaran tentang ciri-ciri demografik dan ciri-ciri psikologis ke-lompok klien yang hendak dilayani (bandingkan Abella, 1986).
1. Ciri-ciri Demografik Klien
Aspek atau bagian ini meliputi yang terpenting: jenis kelamin, usia, status perkawinan, latar belakang agama atau kepercayaan, suku, pekerjaan dan/atau latar belakang pekerjaan, latar belakang pendidikan, latar bela-kang tempat tinggal, latar belabela-kang sosial ekonomi, jika berstatus kawin: pekerjaan istri/suami, jumlah anak, hobi, riwayat kesehatan, dan hal-hal lain yang dipandang relevan untuk semakin mengenal dan memahami siapa kelompok subjek yang kita layani.
2. Ciri-ciri Psikologis Klien
Seperti sudah disinggung informasi ini secara khusus akan sangat bermanfaat sebagai dasar dalam menentukan tujuan, isi, dan format
pro-gram psikoedukasi yang akan disusun. Ada beberapa cara untuk men-Ada beberapa cara untuk
men-deskripsikan ciri-ciri psikologis kelompok klien: (1) berdasarkan tugas-tugas perkembangannya, mengikuti teori tentang tugas-tugas perkembangan yang dikemukakan oleh Havighurst; (2) berdasarkan teori perkembangan menyangkut aspek kepribadian tertentu sebagaimana dikemukakan oleh tokoh tertentu, misalnya: (a) teori perkembangan kognisi atau intelek se-perti dikemukakan oleh Jean Piaget; (b) teori perkembangan psikososial seperti dikemukakan oleh Erik Erikson; (c) teori perkembangan moral se-perti dikemukakan oleh Lawrence Kohlberg; dan (d) teori perkembangan kepercayaan seperti dikemukakan oleh James Fowler; serta (3) berdasarkan hasil asesmen terhadap berbagai masalah atau kebutuhan yang menonjol pada berbagai tahap perkembangan tertentu.
Ada beberapa instrumen yang lazim dipakai untuk melakukan ases-men masalah atau kebutuhan khususnya bagi kelompok remaja, misalnya
(a) Mooney Problem Checklist, berasal dari Amerika Serikat, sudah di-adaptasikan ke dalam bahasa Indonesia; (b) Survei Kebutuhan Siswa, yang dikembangkan oleh Sinurat, Supratiknya, & Retno Priyani (1988). Kemung kinan lain adalah menyusun sendiri instrumen asesmen masalah dan kebutuhan sesuai kondisi nyata kelompok klien yang akan dilayani (lihat Lampiran 1). Hasilnya adalah daftar atau gambaran tentang masalah
atau kebutuhan sebagai life skills deficit yang dialami oleh kelompok
klien, yang selanjutnya perlu dijadikan dasar dalam mengembangkan program intervensi berupa program psikoedukasi bagi kelompok klien
yang bersangkutan untuk mengatasi life skills deficit mereka. Sebagaimana
dinyatakan oleh Erford (2007), ”A good needs assessment directly translates into program development” (h. 243). Artinya, hasil asesmen kebutuhan yang dilakukan dengan baik secara langsung akan bisa diterjemahkan ke dalam penyusunan program (psikoedukasi).
B. Menyusun Grand Design, Program Besar atau Rencana Induk