• Tidak ada hasil yang ditemukan

Attitude, Penunjang Kesuksesan Menulis

Dalam dokumen Panduan Menulis Buku Nonfiksi (Halaman 91-95)

Perihal Gambar atau Ilustrasi :

G. Attitude, Penunjang Kesuksesan Menulis

Menjadi seorang penulis yang pintar dan pandai mengolah kata saja tidak cukup untuk membuat diri kita nyaman berada di dunia kepenulisan naskah nonfiksi. Karena untuk membuat sebuah buku bisa mencari referensi dan data dari pihak-pihal lain yang terkait dan berkompeten.

Tidak lantas penulis tidak boleh pintar, bukan itu maksudnya. Namun di atas semua kepintaran tersebut, seorang penulis harus memiliki attitude atau kepribadian yang baik. Karena setiap orang yang memiliki attitude baik, jalan terang dan terbuka selalu ada buat mereka.

Berikut beberapa hal yang perlu dipikirkan dan dicermati sebagai seorang penulis dalam hubungan dengan attitude :

Dimanapun dan kapanpun seorang penulis nonfiksi perlu meneguhkan niat baik pada diri sendiri. Agar apapun yang kita tulis dan kita lakukan kepada orang lain tidak berdasarkan atas niat buruk dan mencelakakan. Niatan baik ini tentu datang dari hati yang bersih dan pemikiran positif.

Menjalani semua prosedur pekerjaan menulis dengan wajar. Tidak memiliki niat memanfaatkan orang lain, mencelakakan orang lain, dan berbagai niat buruk lainnya. Perlu setiap hari selesai berdo’a dan mendekatkan diri kepada Sang Pencipta, kita meluruskan niat lagi bahwa menulislah dengan baik, untuk kebaikan, dan dengan cara yang baik pula.

- Memiliki sopan santun atau tata krama

Sopan santun atau tata krama adalah jiwa utama kita sebagai bangsa Indonesia yang menggunakan adat ketimuran dengan berbagai macam agama yang saling bertoleransi. Sopan santun memang harus dimiliki oleh setiap orang, tak terkecuali oleh penulis naskah nonfiksi. Karena dengan sopan santun maka lebih mudah bagi kita untuk menjalin hubungan dengan orang lain. Baik hubungan pertemanan, kekeluargaan, dan hubungan kerja.

Beberapa hal terkait dengan sopan santun yang perlu dicermati :  Berpikir sopan

Kesopanan seseorang diawali dari pikiran yang sopan. Pikiran yang sopan adalah pikiran positif yang mendasari orang untuk melakukan kegiatan sehari-harinya. Berpikir bahwa setiap orang adalah baik tanpa mengurangi kewaspadaan. Berpikir bahwa apa yang kita lakukan akan menuai dampak bagi diri dan orang lain. Hal-hal semacam ini yang nantinya membuat seseorang sanggup meredam negatif thinking dan mengubahnya menjadi positif thinking.

 Berkata sopan

Seseorang yang membenamkan pikirannya dengan sesuatu hal kebaikan maka pengungkapannya juga pasti mengandung hal-hal yang baik. Perkataan seseorang mencerminkan isi hati dan pikirannya.

Oleh karenanya perlu bagi seorang penulis naskah nonfiksi, apalagi jika kita telah menghasilkan karya di bidang buku anak, agama, dan parenting untuk

selalu berkata sopan. Bukan berarti kita harus berpura-pura, tetapi justru membiasakan diri untuk menjadi seseorang yang baik dan sopan.

Kata-kata yang kasar, jelek, mencemooh orang lain, merendahkan orang lain, menghina, dan berbagai kata buruk lainnya sebaiknya dihilangkan dari alam pikiran kita. Meskipun hal ini merupakan kebiasaan sejak kecil, tetapi rasanya masih bisa diubah setelah kita dewasa. Mengganti kata-kata buruk dengan kalimat yang sopan, baik, penuh motivasi, dan menunjukkan keikhlasan hati jauh lebih baik daripada terbelenggu dengan keluhan dan makian kepada orang lain atau keadaan.

Kata-kata sopan juga berarti tidak memuji secara berlebihan, tidak menyindir, dan mengungkapkan keadaan dengan bahasa yang wajar. Perkataan sopan ini bukan hanya perlu dilakukan ketika kita bertatap muka dan berkomunikasi dengan orang lain. Tetapi kata-kata sopan perlu juga dipikirkan ketika akan menulis status di jejaring sosial atau mengirim surat dalam bentuk apapun. Contohnya : ketika kita melihat status seorang penulis semacam Asma Nadia, maka yang ada dalam pikiran kita adalah betapa tangguh dan baiknya attitudenya. Tanpa mengenal beliaupun saya langsung bisa kagum karena kata-kata dalam setiap tulisannya pasti sopan dan menginspirasi.

Berperilaku sopan

Perilaku sopan juga perlu dimiliki oleh setiap penulis nonfiksi. Tak perlulah kita menganggap diri sebagai artis sehingga perlu membuat kontroversi yang akan meningkatkan kapasitas penjualan buku tulisan kita. Justru dengan perilaku yang sopan dan tulus, maka pembaca akan bisa melihat sendiri bagaimana kualitas pribadi penulisnya.

Perilaku sopan di sini bisa dilihat dari cara tersenyum dan menyapa orang lain, cara berbicara, dan cara memperlakukan orang lain. Tatapan mata seseorangpun bisa menunjukkan bagaimana dia berperilaku. Karena ada tatapan mata yang selalu sinis, penuh curiga, dan tidak ramah. Ada pula tatapan mata yang ramah, ikhlas, dan penuh ketulusan.

Mestikah dipelajari? Sebenarnya untuk berperilaku sopan sudah tertanam dari kebiasaan waktu kecil.

Tetapi jika memang masa kecil tak memungkinkan kita mempelajari hal tersebut, maka kini saatnya kita bisa menimba ilmu tentang perilaku sopan tersebut. Ada banyak sekolah kepribadian diantaranya adalah JRP (John Robert Powers) dan Ratih Sang yang siap membantu seseorang lebih bisa memiliki perilaku sopan dan keseluruhan attitude yang baik.

- Memiliki komitmen

Seorang penulis nonfiksi perlu memiliki komitmen kuat dalam hal penyusunan naskah yang tengah dilakukannya. Komitmen di sini bukan hanya tepat deadline. Tetapi juga adanya komunikasi yang baik dan terbuka kepada editor jika ada satu atau dua hal yang menghalangi kita untuk menulis dan untuk tepat deadline tersebut.

Komitmen juga harus ditunjukkan dari kemauan seorang penulis untuk merevisi naskahnya. Menulis saja tidak cukup jika kita tidak mau merevisi naskah dari editor. Karena revisi tersebut mutlak diperlukan agar naskah kita bisa layak terbit dan layak baca. Sesuai juga dengan selera pembaca yang ada di saat ini.

- Memiliki kerendahan hati

Seseorang boleh menyimpan kepuasan atas apa yang telah dicapainya. Namun hendaknya kepuasan tersebut tidak lantas tercetus sebagai sebuah kesombongan. Kerendahan hati sangat diperlukan untuk menunjang karir kita sebagai seorang penulis.

Rendah hati bukan berarti menutup diri dari pergaulan di luar. Tetapi lebih pada menyadari bahwa “di atas langit masih ada langit”. Apa yang mungkin kita capai saat ini patut disyukuri tetapi bukan untuk disombongkan. Apalagi dengan membandingkan diri dan mencemooh penulis lainnya. Kerendahan hati membuat kita selalu merasa bersyukur dan menyadari bahwa masih ada DIA yang Maha segalanya.

DAFTAR PUSTAKA

Dalam dokumen Panduan Menulis Buku Nonfiksi (Halaman 91-95)

Dokumen terkait