• Tidak ada hasil yang ditemukan

6.1 Siapakah Yang Diber-daya-kan ?

Konsep utama pemberdayaan adalah bagaimana memberikan kesempatan luas bagi masyarakat untuk menentukan sendiri arah kehidupan dalam komunitasnya. Cerita sukses program pemberdayaan masyarakat di Desa Argosari dan Argorejo (Bantul-Yogyakarta) merupakan satu contoh program pemberdayaan yang fenomenal. Betapa tidak, adanya berbagai manfaat “ekstra” yang dirasakan oleh masyarakat dari ragam aktivitas sosial ekonomi baru yang timbul melalui serangkaian proses adopsi inovasi peternakan terintegrasi tersebut, telah mampu meningkatkan pendapatan, skala ekonomi usaha produktif, dan semakin memperkuat ikatan solidaritas antar individu maupun kelompok masyarakat.

Tantangan utama yang dihadapi oleh para fasilitator pemberdayaan masyarakat desa saat ini adalah bagaimana “merawat” dan menumbuh-

kembangkan nilai-nilai solidaritas sosial masyarakat dalam bentuk gotong-royong dan perilaku hidup guyub yang belakangan ini, mulai memudar oleh karena adanya pengaruh berbagai faktor. Adanya “kompetisi” antar individu maupun antar kelompok usaha berpotensi menghilangkan keguyuban dan sifat gotong- royong sebagai karakter asli masyarakat perdesaan untuk sukses bersama. Penyebab paling dominan atas mulai “lunturnya” budaya gotong royong dan guyub di dalam masyarakat kita, seringkali justru disebabkan oleh adanya intervensi taktis dari pemerintah dalam bentuk regulasi dan kebijakan penganggaran yang kurang memperhatikan kultur sosial budaya asli masyarakat desa. Kondisi seperti itu justru membuat masyarakat desa menjadi tidak berdaya.

Kegiatan pemberdayaan memiliki makna membangkitkan sumber daya, kesempatan, pengetahuan dan keterampilan masyarakat untuk meningkatkan kapasitas dalam menentukan masa depan mereka (Suparjan dan Hempri, 2003). Melalui satu rangkaian proses adopsi inovasi, masyarakat desa telah semakin menjadi “berdaya” dibandingkan masa-masa sebelum adanya program pemberdayaan, dimana proses adopsi inovasi peternakan terintegrasi adalah “roh-nya”.

Proses pemberdayaan masyarakat desa melalui optimalisasi pengelolaan dan pemanfaatan berbagai potensi sumber daya ekonomi lokal, dimana sebelumnya kurang mendapat perhatian serius oleh karena belum ada pengetahuan tentang ragam potensi usaha produktif yang bisa diciptakan oleh masyarakat sendiri dengan mengolah potensi sumber daya ekonomi tersebut menjadi satu komoditas yang bisa menjadi sumber pendapatan, merupakan suatu langkah transformatif yang menarik untuk ditelaah secara seksama. Melalui proses

transformasi sosial ekonomi tersebut, bukan hanya pendapatan masyarakat yang meningkat, tapi juga kelestarian lingkungan menjadi lebih baik, kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) sektor ekonomi primer kita juga ikut meningkat, dan aspek sosial kemasyarakatan menjadi semakin baik.

Bukti dan hasil nyata yang dirasakan langsung oleh masyarakat setelah menerapkan adopsi inovasi terintegrasi telah mendorong peningkatan motivasi dan keinginan, baik secara individual maupun berkelompok untuk mewujudkan kehidupan yang lebih baik secara mandiri. Tentu saja itu tidak terlepas dari peran aktif fasilitator dan pendamping dalam mengarahkan, menuntun serta membangkitkan motivasi bekerja sehingga dicapai titik temu perihal pencapaian sasaran atau tujuan yang diharapkan atas upaya pengembangan kegiatan usaha yang dikelola sendiri oleh kelompok masyarakat yang ada di desa.

Dalam konteks pemberdayaan masyarakat desa, inovator adalah orang yang selalu berupaya melakukan perbaikan, menyajikan sesuatu yang baru atau unik berbeda dengan sebelumnya dan mampu membawa perubahan pada lingkungan masyarakat desa secara langsung maupun tidak langsung. Pada sisi lain inovator juga merupakan orang yang “sanggup” menerima perubahan yang terjadi dan menyikapi perubahan tersebut dengan positif, serta berani mengambil resiko berhasil ataupun gagal di setiap jalan yang diputuskannya dalam melakukan adopsi inovasi. Mereka itulah para adopter yang menerapkan metode dan teknologi baru dalam upaya meningkatkan kualitas hidupnya menjadi lebih baik, terutama dari sisi aspek pendapatan yang semakin meningkat.

Proses pemberdayaan masyarakat dalam adopsi inovasi pengembangan kegiatan terintegrasi, diselenggarakan fasilitator melalui berbagai tahapan yakni : 1) pemetaan potensi; 2) peningkatan kompetensi; 3) pendampingan dalam proses adopsi inovasi; dan 4) pembangunan demo-plotting (demplot) untuk memunculkan inovator dari masyarakat sebagai agen perubahan atau adopter yang melakukan proses penyebaran informasi dalam rangka peningkatan kemampuan anggota kelompok dan pengembangan kegiatan usaha terintegrasi berbasis potensi sumber daya unggulan lokal yang berdaya saing secara ekonomi.

Alur proses pemberdayaan yang dilakukan pendamping dalam pengembangan usaha produktif berbasis sumber daya lokal, secara skematis terlihat pada Gambar 6.1 dibawah ini:

Gambar 6.1. Proses Pemberdayaan dan Pendampingan Proses Adopsi Inovasi Peternakan Terintegrasi

6.2 Transformasi Perilaku Masyarakat

Secara umum, setiap desa di Indonesia memiliki kearifan lokal (local wisdom) yang beragam. Dengan terminologi (istilah) yang disesuaikan dengan bahasa asli penduduk setempat. Untuk konteks masyarakat Jawa sendiri, kita mengenal ada istilah 3 N. Seorang pendamping kegiatan pemberdayaan masyarakat dalam kiprahnya di masyarakat dituntut mampu membudayakan prinsip 3 N (Jawa: Niteni, Niru, Nambahi), yang dapat diartikan sederhana bahwa dalam transfer teknologi terjadi proses Niteni yakni memperhatikan dengan sungguh-sungguh hingga

dapat memahami), Niru bermakna meniru atau mencontoh dan melaksanakan sesuai anjuran, dan selanjutnya dapat Nambahi yaitu menambahkan dengan inovasi yang lebih sesuai dengan situasi dan kondisi setempat.

Selain prinsip 3 N tersebut, teknologi yang diadopsi juga harus memenuhi unsur 2 M yaitu bersifat mudah dan murah. Makna “mudah” tidak berarti dilakukan dengan cara “seadanya” apalagi “seperlunya”, tetapi dapat dijangkau oleh kemampuan dasar kelompok sasaran dalam menentukan derajat kemudahan adopsi teknologi. Kelompok sasaran harus dipahamkan, bahwa meraih kesuksesan tidak ada jalan yang mudah. Pengertian “murah” tidak berarti segala sesuatu bersifat “gratisan”, yakni bagaimana teknologi yang dipakai atau digunakan mampu memberikan nilai tambah signifikan atas modal yang dikeluarkan.

Program pemberdayaan masyarakat, disusun sedemikian rupa dalam format dan model pendekatan “solusi total”, dimana sebelumnya telah dilakukan pemetaan terlebih dahulu atas kondisi objektif dan pemasalahan riil yang dihadapi masyarakat desa. Prinsip utama yang menentukan keberhasilan suatu program pemberdayaan adalah partisipasi aktif dari masyarakat lokal yang menjadi subjek (pelaku) sekaligus objek (sasaran) program itu sendiri.

Keterlibatan masyarakat dalam proses perencananaan, rencana aksi, hingga pada tahapan implementasi merupakan

variabel penting dalam proses dan tahapan pemberdayaan. Masyarakat sebagai “agen” sekaligus “pemilik” hasil-hasil pembangunan yang lahir dari program pemberdayaan tersebut.

Terkait dengan hal ini, Suparjan & Hempri (2003) mengungkapkan bahwa Pemberdayaan juga mengutamakan adanya pengakuan subyek atas kemampuan atau daya (power) yang dimiliki obyek, secara garis besar proses ini melihat pentingnya mengalihfungsikan individu yang tadinya sebagai obyek menjadi subyek.

Indikator yang juga krusial dalam melihat keberhasilan suatu program pemberdayaan adalah andanya perubahan perilaku masyarakat. Beberapa parameter yang bisa digunakan diantaranya ialah masyarakat baik secara individu maupun kelompok, menjadi lebih produktif dan inovatif dalam proses pengolahan dan pemanfaatan berbagai potensi sumber daya lokal. Adanya peningkatan produktivitas dan tumbuhnya perilaku inovatif masyarakat ini, selanjutnya berimplikasi pada meningkatnya daya saing setiap jenis produk yang dihasilkan.

Target pemberdayaan merubah obyek menjadi subyek dimaksudkan untuk memberikan peran dan tanggung jawab yang lebih besar, sehingga masyarakat yang mendapatkan intervensi pendampingan memiliki motivasi kuat untuk “meng-eksekusi” sendiri rencana aksi yang termuat dalam program pemberdayaan tersebut, secara terintegrasi dan berkelanjutan. Pemberdayaan harus memberi pengaruh perubahan perilaku masyarakat menjadi produktif dan inovatif, dalam pengelolaan potensi sumber daya lokal sehingga perubahan obyek pendampingan menjadi subyek, pelaku pembangunan itu sendiri.

Kemauan dan kemampuan yang tumbuh pada diri setiap peserta untuk mengoperasikan dan mengembangkan pemanfaatan teknologi baru dalam kegiatan usaha, merupakan hal yang sangat positif. Motivasi dan kepercayaan diri mernjadi faktor penguat proses pengambilan keputusan untuk menerapkan adopsi inovasi.

Adanya motivasi dan rasa percaya diri yang tinggi ini juga akan sangat menentukan keberhasilan dan keberlanjutan program pemberdayaan masyarakat setempat. Perubahan perilaku dan cara pandang masyrakat tersebut menunjukkan peran pendampingan berhasil dalam memunculkan adopter yang kritis sekaligus sebagai inovator aktif dalam kelompok pengembangan kegiatan usaha terintegrasi.

Penyakit kronis yang

seringkali menjadi hambatan dan tantangan yang dihadapi oleh para

fasilitator pemberdayaan masyarakat, ketika memulai langkah awal adalah adanya paradigma tradisional di masyarakat desa yang pasrah terhadap apa yang diterima atau yang telah ditakdirkan. Dalam bahasa jawa, istilah ini dikenal dengan ungkapan “nrimo ing pandum”. Sikap pasif seperti ini umumnya berkembang di kalangan petani di Pedesaan, dimana tingkat pendidikan formal yang diselesaikan umumnya sangat rendah. Perilaku seperti ini berimplikasi negatif bagi suksesnya suatu program pemberdayaan di masyarakat. Penyebabnya adalah sikap dan pola pikir tertutup (defensif) dalam melakukan penetrasi pada setiap lini dan tahapan aktivitas produksi, terlebih jika bicara soal perluasan pasar. Dampaknya, kegiatan usaha yang dikerjakan secara berkelompok seringkali memperoleh hambatan struktural secara internal dari dalam kelompok itu sendiri, khususnya perihal kualitas, kuantitas dan ketepatan waktu (3K) pada produk yang dihasilkan.

Bagi masyarakat sendiri, tantangan keberhasilan pengelolaan usaha peternakan terintegrasi sesuai konsepnya, adalah bagaimana memunculkan inovator dalam kelompok masyarakat tersebut. Disnilah peran penting seorang fasilitator pemberdayaan masyarakat harus secara total dan konsisten memainkan tugas dan tanggung jawabanya. Fasilitator pemberdayaan harus mampu mendorong lahirnya anggota masyarakat yang mampu menjadi pelaku utama pengelola usaha produktif berbasis sumber daya unggulan lokal, dengan peranannya masing-masing. Terbaginya peran secara “alamiah” di dalam kelompok, baik sebagai adopter, inovator, integrator atau hanya sekedar pengikut dalam proses penerapan konsep kegiatan terintegrasi sebagai inovasi tersebut, merupakan suatu fakta sosial yang menjadi potret karakteristik masyarakat secara umum. Melalui proses integrasi yang telah diterapkann oleh para inovator dan adopter itulah, peningkatan produktivitas dan kualitas produk yang dihasilkan keuntungan maksimal dalam pengeloaan usaha peternakan dapat terwujud.

6.4 Pemberdayaan Masyarakat : Pemetaan Potensi Sumber Daya

Program pemberdayaan masyarakat, disusun sedemikian rupa dalam format dan model pendekatan solusi total, dimulai dengan pemetaan atas kondisi objektif dan pemasalahan riil yang dihadapi masyarakat desa. Tahapan pemetaan potensi dan pengenalan permasalahan yang dihadapi masyarakat desa, dimaksudkan untuk memperoleh gambaran atas kebutuhan program dan kegiatan prioritas sebagai dasar penyusunan rencana aksi dan implementasi program pemberdayaan, sehingga efektif dalam meningkatkan kualitas hidup masyarakat desa pada berbagai dimensinya, khususnya aspek peningkatan

pendapatan dan pelestarian lingkungan. Mengutip pernyataan Muhi (2011) bahwa, kegiatan atau aktivitas untuk mengetahui dan menggambarkan posisi, serta penyebaran potensi dan permasalahan dalam suatu wilayah desa inilah yang disebut dengan memetakan potensi dan permasalahan wilayah desa.

Optimalisasi pengelolaan potensi sumber daya ekonomi melalui program pemberdayaan, dapat terselenggara dengan efektif apabila dalam pelaksanaan (implementation) program fasilitator mampu berperan membantu masyarakat setempat dalam mengidentifkasi secara menyeluruh (holistik) potensi sumber daya unggulan lokal yang tersedia sebagai komoditas bernilai ekonomi dan berdaya saing dipasaran. Serta mengetahui permasalahan dan tantangan dalam pengembangannya menjadi komoditas bernilai ekonomi.

Pemetaan dan peningkatan kompetensi merupakan bagian terpenting dalam proses pemberdayaan masyarakat di setiap desa tertentu, sebagai dasar penyelenggaraan adopsi inovasi pengembangan kegiatan terintegrasi dalam optimalisasi pengelolaan potensi sumber daya ekonomi desa. Hal ini dimaksudkan untuk menjadi dasar pengembangan aktifitas ekonomi produktif, meningkatkan pendapatan, terbukanya peluang usaha dan kesempatan kerja bagi masyarakat sehingga dapat mendorong peningkatan kesejahteraan masyarakat.

Pemberdayaan dan pendampingan dalam proses pemetaan, diperlukan untuk memberikan “suntikan” motivasi bagi masyarakat untuk bekerja lebih produktif dan inovatif berdasarkan keunggulan komparatif sumber daya yang tersedia, dan menentukan bentuk adopsi inovasi yang aplikatif secara tersistem. Dalam proses pemetaan sumber daya ekonomi lokal,

data dan informasi yang harus diperoleh, diantaranya meliputi: 1) potensi SDA,

khususnya keaneka- ragaman sumber daya hayati; 2) SDM, diantaranya kondisi masyarakat; 3) sosial dan ekonomi, yang terdiri kelembagaan dan kohesi sosial, tokoh masyarakat, kepemilikan aset dan tingkat kesejahteraan; 4) kondisi infrastruktur, berupa sarana transportasi, sumber daya air, listrik dan sumber energi lainnya, serta peralatan pendukung peningkatan produktivitas, kualitas produk dan nilai tambah dalam satu sistem usaha terintegrasi secara vertikal maupun

horizontal.

Tindaklanjut dari hasil pemetaan, data dan informasi yang diperoleh melalui wawancara dan diskusi secara terfokus menjadi dasar penyusunan rencana aksi dan menentukan skala prioritas kegiatan. Rencana aksi yang telah disusun juga harus dilengkapi rancangan kebutuhan anggaran, serta strategi pelaksanaan yang efektif untuk mengembangkan usaha.

Keberhasilan dan keberlanjutan atas pencapaian target

dan sasaran pemberdayaan ekonomi masyarakat desa yang didasarkan pada hasil pemetaan, sangat ditentukan oleh kelembagaan kelompok yang baik dalam

pembagian peran, dan tanggung jawab para pihak sebagai wujud pelaksanaan komitmen yang disepakati bersama. Struktur dan manajemen organisasi yang rapih, memainkan peran strategis dalam mendistribusikan tugas dan wewenang dalam menjalankan program pemberdayaan melalui adopsi inovasi peternakan teintegrasi.

6.4 Pemberdayaan Jalur Peningkatan Kompetensi

Problematika klasik yang menjadi kendala dan tantangan dalam suksesnya setiap kegiatan atau program pemberdayaan adalah persoalan rendahnya kapasitas sumber daya manusia. Manusia sebagai pelaku pembangunan, khususnya agen dan sekaligus aktor dari aktivitas pemberdayaan dituntut mampu memenuhi “syarat minimal” agar rencana aksi yang telah diimplementasikan dapat berjalan sukses dengan hasil yang memuaskan. Masalah kualitas sumber daya manusia yang rendah ini juga menjadi hambatan tersendiri bagi pencapaian keberhasilan program. Oleh karena itu, peningkatan kompetensi SDM dalam bentuk pengenalan dan pemanfaatan teknlogi dan keterampila teknis “perihal” kegiatan usaha terintegrasi, strategi dan konsep manajement usaha yang terlembagakan secara baik, menjadi mutlak untuk dilakukan, guna tercapai peningkatan kesejahteraan.

Dalam upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat pedesaan itulah, inisiasi pengembangan peternakan terintegrasi menjadi “jalan lurus” yang bisa ditempuh. Sudah lumrah diketahui bersama, bahwa kultur sosial ekonomi masyarakat pedesaan yang umumnya bertumpu pada aktivitas ekonomi primer seperti pertanian dan peternakan, belum secara sistematis menerapkan model peternakan terintegrasi. Imbasnya, setiap unit produk

yang dihasilkan oleh masyarakat di daerah pedesaan memiliki nilai tambah dan daya saing yang rendah. Implikasi derivatifnya adalah, rendahnya tingkat pendapatan dan level kesejahteraan masyarakat desa di Indonesia.

Keputusan penetapan sistem

yang digunakan dalam pengembangan usaha, perubahan pola pikir dan

pencarian model yang efektif dalam pengelolaan potensi sumber daya unggulan menjadi ekonomi riil sangat ditentukan oleh kemampuan SDM kelompok sebagai pelaku utama. Kelompok masyarakat adalah pelaku utama adaposi inovasi pengembangan peternakan terintegrasi, maka peningkatan kapasitas sumber daya manusia (SDM) pengelola untuk terciptanya budaya produktif merupakan prasyarat bagi keberhasilan pemberdayaan masyarakat dalam optimalisasi pengelolaan potensi sumber daya unggulan lokal. Sehingga pada gilirannya, peningkatan kompetensi itu akan mendorong peningkatan produktivitas masyarakat desa.

Adopsi inovasi pengembangan peternakan terintegrasi merupakan model terapan bagi pengembangan dan pengelolaan potensi sumber daya lokal yang “diproyeksikan” mampu menuntaskan berbagai persoalan dan tantangan budidaya pertanian. Aspek kunci yang hendak disasar oleh program pemberdayaan masyarakat dengan menerapkan adopsi inovasi peternakan terintegrasi adalah peningkatan produktivitas dan

kualitas hasil produk pangan yang diproduksi oleh masyarakat. Salah satu strategi yang ditempuh dalam program ini adalah pemanfaatan limbah peternakan sebagai komoditas bernilai ekonomi, sehingga dapat menjadi sumber pendapatan tambahan serta mampu mendorong pengembangan potensi sumber daya unggulan lokal lainnya, secara terintegrasi melalui daur ulang limbah ternak menjadi kompos sebagai pupuk organik.

Proses penyatuan (integrasi) sektor peternakan dan pertanian melalui adopsi inovasi diyakini mampu mengoptimalkan pemanfaatan beragam sumber daya potensial yang ada di setiap desa di Indonesia. Melalui serangkaian proses integrasi tersebut, diharapkan akan mampu menumbuhkan ragam sumber pangan yang mampu diproduksi sendiri oleh masyarakat lokal dengan memanfaatkan berbagai metode, teknologi, dan teknik- teknik budidaya tanaman dengan dukungan sektor peternakan. Dengan demikian, sumber pendapatan baru juga akan tercipta dan tambah produk hasil pertanian-peternakan ikut meningka. Pada giliranya, jika model dan strategi baru ini diterapkan secara massif di seluruh daerah-daerah pedesaan di Indonesia, maka secara agregatif pendapatan masyarakat desa akan bertumbuh, seiring dengan pertumbuhan ekonomi makro secara nasional. Paling tidak, hasil penelitian Syamsidar (2012) yang menunjukkan bahwa terjadi peningkatan pendapatan masyarakat di Kabupaten Sinjai-Sulawesi Selatan telah memperkuat dan sekaligus memberikan satu “pembenaran” ilmiah tentang konsep pemberdayaan masyarakat yang menjadi esensi utama penulisan buku ini.

Setiap fasilitator memainkan peranan penting untuk memperkenalkan ragam teknologi tepat guna yang dibutuhkan masyarakat, melalui serangkaian proses pendampingan dalam

pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya lokal yang potensial menjadi satu komoditas bernilai ekonomi. Anggota kelompok yang “bertindak” sebagai adopter, lazimnya berani mengambil keputusan untuk mengadopsi inovasi peternakan terintegrasi tersebut, dan sudah memiliki kemampuan untuk pengelola usaha produktif itu sendiri. Pelatihan hanya merupakan salah satu wahana peningkatan kompetensi masyarakat dalam aspek pengetahuan dan keterampilan serta kemandirian kelompok dalam mengelola potensi dan peluang bagi pengembangan sumber daya yang tersedia menjadi komoditas bernilai ekonomi dan bisa menjadi pilihan alternatif konsumen ketika sudah dipasarkan.

Optimalisasi pengelolaan potensi sumber daya lokal menjadi ekonomi rill, dipengaruhi oleh prilaku dan tindakan pengelola yang memiliki kompetensi sebagai enterpreneur. Artinya setiap jenis atau kegiatan usaha produktif yang dilakukan harus benarbenar memberi keuntungan maksimal, sehingga hasil usaha yang dikembangkan tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan konsumsi tetapi harus dapat menciptakan nilai tambah untuk kebutuhan lainnya seperti: papan, pendidikan, kesehatan dan ada yang disisihkan untuk tabungan sebagai modal pengembangan usaha lebih besar.

Kegiatan ini menjadi kerangka program secara berkelanjutan dalam tahapan pemberdayaan masyarakat, untuk memunculkan adopter atau penggerak inovasi kelompok pengembangan potensi sumber daya lokal secara terintegrasi dengan mempertimbangkan aspek sosial dan budaya setempat. Peran fasilitator pemberdayaan di lapangan adalah sebagai narasumber utama dalam proses pelatihan pada program pemberdayaan masyarakat tersebut. Oleh karena itu, peningkatan kompetensi dalam program ini ditempuh melalui jalur pelatihan

secara terstruktur dan sistematis.

Kaitanya dengan pelatihan dan pengembangan kompetensi, Mathis dan Jackson (2002), mengungkapkan bahwa pelatihan adalah suatu proses dimana orang-orang mencapai kemampuan tertentu untuk membantu tercapainya tujuan organisasi. Proses pelatihan terikat dengan tujuan organisasi, secara terbatas pelatihan menyediakan para peserta dengan pengetahuan yang spesifik untuk dapat dengan mudah diketahui dan terfokus pada keterampilan yang digunakan dalam pekerjaan saat ini.

Terkadang terdapat batasan yang ditarik antara pengembangan dengan pelatihan, yakni pengembangan bersifat lebih luas dalam cakupan serta memfokuskan pada individu untuk mencapai kemampuan baru yang berguna bagi pekerjaannya saat ini maupun masa mendatang. Pernyataan tersebut didukung Ivancevich et al. (2008) mengemukakan sejumlah butir penting terkait pelatihan yang dianggapnya sebagai proses sistematis, untuk mengubah perilaku kerja seseorang atau sekelompok pegawai dalam upaya meningkatkan kinerja organisasi. Pelatihan terfokus pada keterampilan dan kemampuan yang diperlukan untuk pekerjaan yang dilakukan sekarang, atau berorientasi ke masa depan untuk menguasai kompetensi yang spesifik agar berhasil dalam pekerjaannya.

Proses pelatihan memiliki kekuatan besar dalam merubah pola fikir para peserta yang dilatih, untuk lebih atraktif dan responsif mengadopsi sebanyak mungkin teknologi aplikatif yang bermanfaat dalam peningkatan produktvitas dan kualitas produk berbasis sumber daya unggulan lokal. Dengan demikian, peningkatan kompetensi masyarakat melalui pelatihan sangat

tepat dilakukan untuk merangsang kelompok masyarakat usaha produktif lebih “welcome” dalam mengadopsi inovasi baru, peningkatan kompetensi masyarakat diperlukan dalam proses budidaya yang mampu menekan biaya produksi dan sekaligus meningkatkan kapasitas produksi, serta pengolahan produk hasil “kerja sambilan” yang bernilai tambah dan menjadi sebagai sumber pendapatan baru.

Penerapan inovasi atau metode baru yang dipelajari dalam pelatihan memerlukan pendampingan dan dukungan sarana prasarana yang memadai. Dalam prakteknya di lapangan dapat dilakukan dengan pembuatan model percontohan skala kecil dalam bentuk demo-plotting (demplot). Kegiatan ini dilakukan dengan melibatkan seluruh anggota kelompok dan masyarakat yang berminat, untuk berpartisipasi dalam praktek langsung menerapkan konsep inovatif usaha produktif berbasis sumber daya unggulan lokal secara terintegrasi.

Pelatihan teknis dalam rangka meningkatkan kompetensi yang berdampak positif pada peningkatan produktivitas dan kualitas produk yang dikembangkan dalam usaha kelompok, meliputi semua aktivitas program pemberdayaan dan usaha produktif, baik secara veritikal maupun horizontal sebagaimana yang telah dijelaskan pada bab sebelumnya. Bentuk pelatihan antara lain dalam: 1) usaha produktif berbasis peternakan, yaitu: pembuatan pupuk dan pestisida organik, serta

manajemen pengelolaan rumah produksi pupuk kompos. Sasaran pelatihan adalah merangsang masyarakat untuk meningkatkan usaha peternakan dan mengintegrasikan kegiatannya dalam pengembangan komoditas pertanian di lahan sawah maupun tanaman produktif bernilai ekonomi di lahan pekarangan, serta pemanfaatan kotoran ternak dan limbah pertanian menjadi pupuk atau pestisida organik dan pakan ternak; 2) usaha produktif berbasis tanaman pekarangan, yaitu: pembuatan produk olahan minuman segar dari jahe/kunyit dan pengemasan produk untuk meningkatkan daya tarik konsumen, serta manajemen pemasaran. Sasaran pelatihan diarahkan untuk menumbuhkan motivasi dan inovasi pengembangan usaha integrasi secara vertikal dari aspek hulu dalam penyediaan bahan baku, dan integrasi horizontal melalui diversifikasi produk untuk peningkatan nilai tambah dan nilai jual produk yang berkorelasi terhadap peningkatan