• Tidak ada hasil yang ditemukan

tentang pemilihan gubernur, bupati, dan walikota yang mengatur wakil kepala daerah dipilih secara berpasangan dengan kepala

daerah. Sehingga perlu diatur pembagian tugas antara kepala daer-

ah dan wakil kepala daerah agar tidak terjadi disharmoni dan per-

lunya pengaturan mekanisme pengisian jabatan kepala daerah dan

wakil kepala daerah dalam hal terjadi kekosongan jabatan untuk

meneruskan sisa masa jabatan. Maka selanjutnya lahirlah UU No: 9

Tahun 2015 tentang perubahan kedua atas UU No. 23 Tahun 2014

tentang pemerintah daerah.

3.2 Kebijakan Pembangunan Bantul

Instrument utama yang digunkan oleh pemerintah daerah dalam menjalankan roda pemerintahan dan pembangunan di daerah adalah Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). APBD mempunyai fungsi otorisasi, perencanaan, pengawasan, alokasi, distribusi dan fungsi stabilisasi (Basuki, 2007: 19). Dengan bergulirnya otonomi daerah, seharusnya desentralisasi fiskal bisa memberikan kontribusi paling signifikan dalam menyelesaikan persoalan ketimpangan pembangunan antar daerah di Indonesia. Secara skematis, APBD merupakan bentuk penjabaran atas kebijakan prioritas dan plafon anggaran yang menjadi acuan setiap pemerintah daerah dalam menjalankan roda pemerintahan. APBD yang disusun setiap tahun, dimana merupakan hasil kesepakatan bersama antara Pemerintah Daerah dan DPRD, adalah bentuk penjabaran dari sisi keuangan daerah atas rencana strategis yang disusun pada awal masa jabatan, baik itu oleh gubernur maupun bupati selama lima tahun periode pemerintahan.

Pemerintah Kabupaten Bantul dalam upaya mencapai kesejahteraan rakyat melalui berbagai penyediaan

pembangunan selama jangka waktu 5 (lima) tahun. Rencana pembangunan tersebut, selanjutnya dijabarkan ke dalam suatu dokumen perencanaan pembangunan yang dikenal dengan sebutan “RPJMD”. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Kabupaten Bantul (RPJMD: 2016 – 2021), menetapkan 11 (Sebelas) program prioritas, yakni: 1) pendidikan; 2) kesehatan; 3) optimalisasi pemanfaatan lahan pekarangan; 4) pengembangan peternakan modern: 5) akselerasi penanggulangan kemiskinan; 6) pengembangan destinasi pariwisata; 7) pengembangan kawasan budaya; 8) pengembangan kawasan strategis terkait dengan investasi, 10) pengembangan perikanan; 11) pengembangan industri kreatif.

Program prioritas yang terkait langsung dalam pengelolaan sumberdaya alam potensial adalah optimalisasi pemanfaatan lahan pekarangan dan pengembangan peternakan modern (antara lain ayam, itik, sapi dan kambing). Dalam rangka optimalisasi pengelolaannya diperlukan inovasi teknologi yang diarahkan untuk mendorong nilai tambah, yang berdampak terhadap peningkatan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat. Kebijakan Pemerintah Kabupaten Bantul untuk aspek ketahanan pangan yang tertuang dalam RPJMD 2016-2021 diarahkan untuk mewujudkan kemandirian pangan, meliputi 4 (empat) aspek yaitu:

1) Ketersediaan energi dan protein per kapita, yakni menjamin pasokan pangan untuk memenuhi kebutuhan seluruh penduduk, dari segi kuantitas, kualitas, keragaman dan keamanannya;

2) Penguatan cadangan pangan, merupakan sumber pasokan untuk mengisi kesenjangan antara produksi dan kebutuhan

dalam negeri atau daerah dari waktu ke waktu;

3) Pola pangan harapan, yakni beragam pangan yang didasarkan pada sumbangan energi dari kelompok pangan utama baik secara absolut maupun dari suatu pola ketersediaan atau konsumsi pangan;

4) Penanganan kerawanan pangan, yakni suatu kondisi ketidak-cukupan pangan yang dialami daerah, masyarakat, atau rumah tangga, pada waktu tertentu untuk memenuhi standar kebutuhan fisiologi bagi pertumbuhan dan kesehatan masyarakat.

3.3 Pangan Sebagai Agenda Strategis

Ketersediaan pangan dapat dilihat dari aspek ketersediaan energi dan protein untuk berbagai jenis kebutuhan konsumsi dan industri. Tahun 2014, tingkat ketersediaan energi sebesar 139,28% dan protein sebesar 133,38%. Secara kuantitatif, data tersebut meningkat dari tahun 2013 dimana masing-masing sebesar 131,49%, dan 131,17%. Data tahun 2014 dibandingkan tahun 2013, tingkat ketersediaan energi dan protein mengalami kenaikan masing-masing sebesar 7,79% dan 2,21%.

Penyelenggaraan penguatan cadangan pangan dilakukan melalui pengembangan lumbung pangan masyarakat dan pemberdayaan masyarakat. Langkah ini dilakukan dengan harapan masyarakat mampu menciptakan satu pola kelembagaan lumbung pangan yang mandiri. Cadangan pangan Kabupaten Bantul Pada Tahun 2013 mencapai 314 ton, dengan penguatan cadangan pangan mencapai 314,32%. Kerawanan pangan sangat dipengaruhi oleh daya beli masyarakat yang ditentukan dengan tingkat pendapatan memperburuk konsumsi energi dan protein.

Kebijakan yang ditempuh Pemerintah Kabupaten Bantul untuk mengatasi masalah penanganan rawan pangan dilakukan melalui: 1) Pencegahan kerawanan pangan untuk menghindari terjadinya rawan pangan di suatu wilayah sedini mungkin; dan 2) Melakukan penanggulangan kerawanan pangan pada daerah yang rawan “kronis” melalui program-progam sehingga rawan pangan di wilayah tersebut dapat tertangani, dan penanggulangan daerah rawan transien melalui bantuan sosial.

Penggunaan lahan untuk mengembangkan pertanian menuju pangan berkelanjutan, mempertahankan dan mengembangkan pusat pertumbuhan di kawasan yang telah memberikan manfaat secara optimal yang meliputi kawasan pertanian lahan basah, kawasan pertanian lahan kering, dan kawasan peternakan. Kawasan pertanian lahan basah direncanakan seluas kurang lebih 13.324 Hektar atau 26,29%, kawasan pertanian lahan kering direncanakan seluas kurang lebih 5.247 Hektar atau 10,35% dari luas wilayah Kabupaten Bantul.

Alih fungsi lahan pertanian ke non pertanian merupakan ancaman besar terhadap ketahanan pangan, dimana pada tahun 2015 terjadi alih fungsi lahan seluas 50 ha. Sesuai UU No 41 Tahun

2009 tentang Pelindungan lahan Pertanian Pangan berkelanjutan dan ditindaklanjuti dengan adanya Peraturan Daerah (Perda) DIY No. 10 Tahun 2011 tentang Pelindungan lahan Pertanian Pangan berkelanjutan, mengamanatkan agar pemerintah melakukan perlindungan terhadap lahan-lahan produktif paling kurang 13.000 ha dalam rangka mewujudkan kedaulatan pangan.

Dari sisi kebijakan sektoral, Pemerintah Daerah Kabupaten Bantul selama kurun waktu tertentu, telah cukup berhasil mengimplementasikan berbagai paket kebijakan pengembangan sektor pertanian dalam arti luas, sehingga problem kerawanan pangan tidak menjadi masalah signifikan dalam penanganannya. Hal ini dapat tercapai, oleh karena adanya “kearifan” yang dimiliki oleh Pemerintah daerah dalam merumuskan satu pola kebijakan pembangunan daerah yang sesuai dengan kultur sosial ekonomi setempat, singkron dan kompatibel dengan kebutuhan masyarakat.

3.4 Jaringan Aktivitas Produktif Masyarakat

Pemerintah Kabupaten Bantul dalam pengelolaan potensi unggulan pertanian (pangan), mengintegrasikan kegiatannya dengan pengelolaan lingkungan melalui Inovasi Jejaring Pengelolaan Sampah Mandiri (JPSM). Pada Tahun 2015 telah terbentuk 121 JPSM yang memiliki Bank Sampah sendiri, masing-masing memiliki nasabah dengan kesepakatan pengelola bank sampah dan penyetor.

Setoran sampah dihargai dengan uang atau tukar barang berupa sembako/pulsa telepon/lainnya dan ada juga yang menyetorkan sampah sebagai sedekah untuk biaya kepentingan umum seperti membangun gapura, jalan kampung, dan membantu

warga kurang mampu. Kegiatan JPSM terus berkembang dan bukan hanya pengelolaan sampah rumah tangga, tetapi merambah pada penanganan sampah untuk dikumpulkan dan dipilah di pasar: Bantul, Niten, Imogiri, Pijenan, dan Jejeran masing-masing ditempatkan unit alat pengolah kompos. Kompos yang dihasilkan dibagikan ke petani secara cuma-cuma (gratis), upaya ini merupakan terobosan dan pionir yang hasilnya telah menjadikan sampah bukan lagi musibah tetapi justru sangat bermanfaat bagi kebersihan lingkungan dan meningkatkan produksi pangan.

Kemampuan SDM sangat berpengaruh dalam setiap tahapan prosesnya, mulai dari tata cara pengumpulan, teknologi yang diterapkan hingga dampak dari upaya-upaya peningkatan produktivitas. Dari pengamatan langsung (directly observated) atas proses tersebut, diperoleh informasi karakteristik dan proses pengelolaan potensi sumberdaya lokal yang efektif dalam pengembangan kawasan perdesaan.

Bentuk dan pola pemberdayaan masyarakat, dengan model strategi pengolahan dan pemanfaatan sampah seperti telah dilakukan oleh masyarakat di Kabupaten Bantul, khususnya di Kecamatan Sedayu, juga menarik untuk diduplikasi menjadi satu model adopsi inovasi. Dari sisi manfaat sosial ekonomi, dengan melakukan pengolahan dan pemanfaatan sampah melalui satu wadah kelembagaan yang solid, selain dapat menjadi satu sumber pendapatan bagi masyarakat setempat, juga semakin kuat dalam mempererat relasi sosial dan solidaritas masyarakat lokal yang tergabung serta aktif berpartisipasi pada kegiatan tersebut.

Peran aktif pemerintah daerah dan masyarakat lokal dalam menjalankan satu program pemberdayaan, adalah satu nilai sosial yang menjadi contoh adanya pola kemitraan strategis

antara pemerintah dan masyarakat yang berjalan secara sinergis. Model ini juga bisa dijadikan satu bentuk strategi pemberdayaan masyarakat untuk diterapkan pada daerah lain di seluruh Indonesia. Oleh karena itu, para tenaga fasilitator pemberdayaan masyarakat diharapkan mampu untuk terus berinovasi, dan aktif melakukan langkah-langkah diplomatik dengan setiap pihak yang bersentuhan langsung dengan aktivitas pemberdayaan masyarakat.

3.5 Argorejo dan Argosari: Suatu Konteks Sosial-Budaya Agro

Desa Argorejo merupakan kawasan sub urban di bagian barat Kota Yogyakarta, tidak begitu padat penduduknya jika dilihat sisi permukiman. Perspektif pertanian dengan kepadatan penduduk sekitar 1.709/km2/jiwa menyebabkan lahan-lahan pertanian menjadi terfragmentasi dalam petak-petak kepemilikan yang sempit. Pekerjaan masyarakatnya sebagian besar adalah petani, sehingga tidak dapat hidup hanya bersandar pada pengelolaan pertanian tetapi ditopang sumber pendapatan formal (buruh/karyawan) ataupun pekerjaan informal (buruh bangunan, buruh industri dan lainnya) di perkotaan.

Bidang perdagangan, Desa Argorejo memiliki letak strategis dan akses jalan sebagai pendukung sektor perhubungan yang mudah sebagai wilayah transit dan jalur ekonomi. Posisi tersebut memberikan peluang pengembangan ekonomi dan sosial dalam kegiatan usaha produktif berbasis sumber daya alam, produk olahan, dan lainnya yang dikelola masyarakat setempat. Pengolahan produk telah banyak dilakukan masyarakat, namun masih terkendala teknik pengemasan dan pemasaran, di antaranya untuk produk: 1) emping garut dari tumbuhan umbi yang kerap

ditanam di pekarangan. Garut menjadi cadangan pangan pada musim paceklik, dan diolah menjadi emping yang aman dari penyakit asam urat; 2) ceriping pisang telah lama dikembangkan dan terbentuk embrio jaringan pasar walau pengelolaannya dalam skala kecil; 3) ceriping ketela; dan 4) emping jamur. Desa Argorejo merupakan sentra emping jamur di wilayah Kabapaten Bantul karena jamur yang dikembangkan murni organik sehingga produknya punya nilai ekonomi tinggi.

Gambar 3.2. Pendamping Program Pemberdayaan berdiskusi dengan petani desa Argorejo tentang perkembangan tanaman padi

Bidang pertanian, Argorejo merupakan salah satu desa andalan produksi komoditas pertanian di Sedayu karena memiliki luas areal pertanaman, sumberdaya air, dan SDM pengelola pertanian. Komoditas pertanian potensial yang dikembangkan masyarakat adalah:

Pertama budidaya padi; Desa Argorejo dengan luas lahan sawah 169 ha dan sekitar 77,85% masyarakatnya berprofesi sebagai petani dan buruh tani dapat melakukan penanaman padi sepanjang tahun dengan menerapkan pola tanam Padi – Padi – Padi, dan Padi – Padi – Palawija, karena sistim pasokan air yang lancar dengan irigasi teknis tersedia baik.

Kedua Budidaya Jagung; areal tanam jagung setiap tahun rata-rata 10 ha dengan produksi 46 kwt/ha, sehingga diperoleh total produksi 46 ton jagung pipil kering yang biasa digunakan menjadi makanan alternatip pengganti beras.

Ketiga Budidaya umbi-umbian: produktivitas umbi– umbian ditargetkan meningkat 5% melalui inovasi budidaya intensif di lahan pekarangan dan pemanfaatan lahan tegakan melalui keswadayaan masyarakat, serta perluasan luas areal pertanaman dengan kenaikan 20% sejak tahun 2014.

Keempat Budidaya Empon-empon: di antaranya: jahe, temulawak, kunir putih, dan tanaman lainnya dibutuhkan untuk mensuplai bahan baku olahan oleh pengrajin jamu-jamuan.

Bidang peternakan, umumnya masih diusahakan masyarakat dalam skala kecil/rumah tangga dan sebagai pekerjaan sampingan (sambilan), Data BPS (2016) mencatat jumlah ternak yang dikembangkan masyarakat adalah: bebek 580 ekor, kambing 250 ekor, sapi 372 ekor, kerbau 6 ekor, ayam Ras Petelur 6.232 ekor, ayam ras pedaging 11.087 ekor, ayam buras 1.642 ekor. Pemeliharaan sapi umumnya (70%) dilakukan untuk pembibitan (breeding) dengan metode kawin suntik (inseminasi buatan) oleh mantri hewan setempat/terdekat, dan 30% dengan penggemukan sebagai pemeliharaan hewan tabungan.

Kandang biasanya ditempatkan di samping atau belakang rumah dengan alasan memudahkan untuk pemeliharaan dan pengawasan, desain kandang masih tradisional yakni tempat pembuangan kotoran terkadang masih diluar kandang sehingga tidak dapat terlindung dari hujan dan panas, pengolahan limbah juga pada umumnya belum dilakukan kontruksi kandang dibuat dengan rangka kayu ditopang bambu dan atap dari genteng, lantainya ada yang tanah biasa atau lempengan batul.

Sedikit berbeda dengan desa Argorejo, desa Argosari memiliki areal pertanian cukup luas namun kondisinya merupakan lahan kering dan sangat sedikit terhubung jaringan irigasi teknis. Secara topografis wilayahnya agak berbukit, sehingga lahan pertanian didominasi tadah hujan yang dimanfaatkan masyarakat untuk mengembangkan tanaman keras (kehutanan). Beberapa dusun sering mengalami kekeringan saat musim kemarau.

Kondisi infrastruktur sistem pengairan areal persawahan dikatagorikan setengah teknis, karena masih ada beberapa jalan usaha tani (JUT) yang belum terakses dengan baik. Selain kegiatan pertanian, peternakan dan perikanan, masyarakat Argosari

juga mengembangkan jamur di Dusun Klangon, beragam usaha produktif produk olahan, dan produk industri kerajinan sangkar burung dan tenun dengan Alat Tenun Bukan Mesin (ATBM) yang usahanya dilakukan di rumah masing-masing dan umumnya ibu- ibu dengan produksi utama berupa stagen (jawa: udet) yang berfungsi mengikat jarik dalam pakaian adat jawa, dan taplak meja kombinasi bahan dari lidi bamboo ditenun menggunakan benang.

Penerapan adopsi inovasi pengembangan peternakan dari sub-sistem ke pola kegiatan terintegrasi di Desa Argorejo dan Argosari, dalam program Mandiri Bersama Mandiri (MBM) kerjasama Fakultas Peternakan-Universitas Gadjah Mada dengan Bank Mandiri menjadi relevan menjadi satu model pemberdayaan masyarakat, untuk selanjutnya diterapkan secara massal dan konsisten di seluruh pelosok indonesia. Tentu saja, hal ini memerlukan dukungan dari berbagai pihak yang berkepentingan, khususnya pemerintah pusat dan pemerintah daerah, tenaga fasilitator pemberdayaan, dan peran aktif masyarakat sebagai subjek yang sekaligus juga menjadi objek pemberdayaan itu sendiri.

BAGIAN - 4 : KONSEPSI DAN IMPLEMEN-