• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAGIAN-3 : STRATEGI PEMBERDAYAAN MASYARAKAT “VERSI” BANTUL

3.1 Otonomi Daerah Sebagai Momentum

Dalam konteks otonomi daerah, setiap satuan dan tingkatan pemerintah daerah diberi kewenangan oleh Undang-Undang Nomor: 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, yang mengatur, merumuskan, merencanakan, dan menyelenggarakan pemerintahan daerah. Sesuai prinsip otonomi daerah, sebagian kekuasaan Presiden tersebut diserahkan kepada Gubernur/Bupati/Walikota selaku kepala pemerintahan daerah dan mewakili pemerintah pusat. Sampai pada titik ini, peran strategis pemerintah daerah dalam rangka pelaksanaan fungsi dekonsentrasi dan desentralisasi fiskal menjadi sangat krusial. Dalam konteks itu juga, evaluasi terhadap pemanfaatan dana perimbangan, yakni Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK) dan Dana Bagi Hasil (DBH), serta Dana Desa bagi pencapaian target-target pembangunan di daerah menjadi penting.

Di samping proses demokratisasi dan desentralisasi politik ekonomi yang sudah berlangsung sejak bergulirnya era reformasi 1998, desa sebagai unit pemerintahan “berskala” kecil di

tingkat daerah, juga memperoleh ruang yang lebih luas dibanding periode rezim pemerintahan sebelumnya. Status desa sebagai satu daerah otonom dalam lingkup pemerintah daerah semakin dipertegas dengan lahirnya Undang-Undang Nomor: 6 Tahun 2014 Tentang Desa. Dasar hukum tersebut menegaskan bahwa desa memiliki hak asal usul dan hak tradisional dalam mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat, serta berperan mewujudkan cita-cita kemerdekaan berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Selain itu juga disebutkan bahwa, dalam perjalanan ketatanegaraan Republik Indonesia, desa telah berkembang dalam berbagai bentuk sehingga perlu dilindungi dan diberdayakan agar menjadi kuat, maju, mandiri, dan demokratis sehingga dapat menciptakan landasan yang kuat dalam melaksanakan pemerintahan dan pembangunan menuju masyarakat yang adil, makmur, dan sejahtera;

Untuk aspek pemberdayaan masyarakat, UU Nomor: 6 Tahun 2014 telah menegaskan bahwa pemberdayaan masyarakat desa adalah upaya mengembangkan kemandirian dan kesejahteraan masyarakat dengan meningkatkan pengetahuan, sikap, keterampilan, perilaku, kemampuan, kesadaran, serta memanfaatkan sumber daya melalui penetapan kebijakan, program, kegiatan, dan pendampingan yang sesuai dengan esensi masalah dan prioritas kebutuhan masyarakat desa. Proses dan strategi pemberdayaan masyarakat dalam bentuk penerapan adopsi inovasi peternakan terintegrasi, dimaksudkan dalam rangka untuk mengisi “ruang” sosial ekonomi sebagaimana yang dimaksud dalam UU Nomor: 6 Tahun 2014 tersebut, dimana aspek pemberdayaan dan kemandirian desa menjadi spirit utamanya.

Pembahasan tentang desa tidak dapat dilepaskan dari proses reformasi dan demokratisasi yang bergulir sejak

1998. Sebagai evaluasi terhadap Pemerintahan Orde Baru yang sentralistik, pemerintahan di awal era reformasi melahirkan kebijakan yang mendorong terciptanya desentralisasi secara hakiki, dalam arti daerah diberikan otonomi lebih luas untuk menjalankan urusannya sendiri. Namun demikian, UU Nomor: 22 tahun 1999 belum mengatur secara jelas posisi Desa dalam relasinya dengan pemerintah di atasnya, yakni pemerintah kabupaten/kota. Undang-Undang ini hanya mengatur tentang kewenangan Desa yang mencakup: 1) kewenangan yang sudah ada berdasarkan hak asal-usul desa; 2) kewenangan yang oleh peraturan perundang-perundangan yang berlaku belum dilaksanakan oleh pemerintah daerah dan pemerintah pusat; dan 3) tugas pembantuan dari pemerintah pusat, pemerintah provinsi, dan/atau pemerintah kabupaten/kota.

Selanjutnya lahir UU Nomor: 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah menggantikan UU Nomor: 22 Tahun 1999 yang memposisikan pemerintah Desa sebagai bagian dari pemerintah kabupaten/kota, sehingga kedudukan desa dalam UU Nomor: 32 Tahun 2004 berimplikasi pada kewenangan yang dimiliki Desa. Desa hanya menjalankan kewenangan dari pemerintahan di atasnya, bukan melaksanakan kewenangan yang berdasar kebutuhan dan inisiasi dari Desa itu sendiri.

Lalu, bagaimana posisi desa dalam konstelasi desentralisasi menurut UU Nomor: 6 Tahun 2014 tentang Desa ! Apakah pemerintah Desa tidak lagi menjadi bagian dari subsistem pemerintahan kabupaten/kota, sehingga memiliki kewenangan yang luas daripada sekadar perpanjangan tangan pemerintah kabupaten/kota ? Jawaban atas pertanyaan ini, ditegaskan secara jelas pada pasal 69 ayat 1, ayat 2 dan ayat 3 dan menjadi dasar hukum bagi Pemerintah Desa untuk mengeluarkan satu regulasi

yang berkaitan dengan kepentingan dan kebutuhan desa tersebut. Bunyi pasal 69 ayat 1, 2 dan ayat 3 dalam UU No. 6 Tahun 2014 adalah sebagai berikut :

1) Jenis peraturan di Desa terdiri atas Peraturan Desa, Peraturan bersama Kepala Desa, dan Peraturan Kepala Desa;

2) Peraturan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilarang bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi;

3) Peraturan Desa ditetapkan oleh Kepala Desa, setelah dibahas dan disepakati bersama Badan Permusyawaratan Desa.

Peraturan Desa adalah jenis peraturan perundang- undangan yang menjadi kewenangan dan diterbitkan oleh organ pemerintahan desa. Kewenangan desa membuat peraturan merupakan perwujudan dari pemberian kekuasaan kepada desa untuk mengatur dan mengurus dirinya sendiri. UU Desa mengatur jenis, persiapan pembuatan, dan mekanisme pembahasan Peraturan Desa. Pada ayat 1 & 2 pasal 69 UU no.6 Tahun 2014, secara implisit menyebutkan adanya wewenang pemerintah desa untuk menyusun dan menetapkan Peraturan Desa (PerDes). Dasar hukum ini dapat menjadi rujukan bagi setiap pemerintah desa yang ada di Indonesia untuk dijadikan landasan bagi penyusunan regulasi di tingkat desa yang mendukung kegiatan dan program pemberdayaan masyarakat, khususnya dalam mendorong penerapan adopsi inovasi peternakan terintegrasi.

perkembangan zaman dan kondisi ketatanegaraan, UU No. 32/2004 selanjutnya dicabut dan digantikan dengan UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Bahwa penyelenggaraan pemerintahan daerah diarahkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan dan peran serta masyarakat, serta peningkatan daya saing daerah dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, dan kekhasan suatu daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), merupakan salah satu spirit yang mendasari lahirnya UU No. 23/2014 tersebut. Undang-undang yang baru tersebut memberikan kesempatan yang lebih luas bagi masyarakat sipil untuk berpartisipasi aktif dalam pembangunan nasional, khususnyapada aspek pemberdayaan dan peningakatan daya saing produk yang ada di daerah.

Proses politik yang berkembang sepanjang tahun 2014, telah membawa pengaruh yang cukup kuat dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah. Dengan berlakunya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota yang mengatur pemilihan kepala daerah dilakukan secara langsung dan untuk memberikan kepastian hukum dalam pelaksanaan pemilihan kepala daerah yang berlandaskan kedaulatan rakyat dan demokrasi maka telah dilakukan perubahan terhadap ketentuan mengenai tugas dan wewenang DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota. Tugas dan kewenangan tersebut diatur dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2015 tentang Perubahan atas UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.