• Tidak ada hasil yang ditemukan

Adopsi Inovasi Peternakan Terintegrasi Konsep Baru Meretas Stagnasi Ekonomi Perdesaan - repository civitas UGM

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "Adopsi Inovasi Peternakan Terintegrasi Konsep Baru Meretas Stagnasi Ekonomi Perdesaan - repository civitas UGM"

Copied!
213
0
0

Teks penuh

(1)

BAGIAN - 1 : SELAYANG PANDANG

1. Dasar Pemikiran

Ketersediaan pangan dan energi merupakan isu krusial dan klasik yang dihadapi semua pemerintahan di seluruh negeri, terutama pada bangsa-bangsa di benua Asia, Afrika dan Amerika Latin. Permasalahan utamanya terletak pada ketergantungan impor sumber bahan pangan dan adanya kewajiban konstitusional (constitutional obligation) negara untuk memenuhi kebutuhan dasar konsumsi warganya. Kebutuhan pemenuhan konsumsi bahan pangan dan energi terus meningkat seiring waktu, sebagai implikasi terus meningkatnya laju pertumbuhan penduduk suatu negara, tidak terkecuali Indonesia. Pertumbuhan penduduk diproyeksi akan terus tumbuh pesat, disebabkan berbagai variabel sosial ekonomi dihadapi masyarakat.

(2)

timbul karena tidak tersedianya energi adalah meningkatnya pengangguran dan dampak lebih jauhnya adalah meningkatnya angka kemiskinan. Bangsa-bangsa di dunia ke depan akan berkompetisi untuk mendapatkan sumber penghidupan yang sifatnya (limited) terbatas seperti pangan dan energi.

Dari sisi regulasi, Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan, menyebutkan:

1) Pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber ha-yati produk pertanian, perkebunan, kehutanan, perikanan, peternakan, perairan, dan air, baik diolah maupun tidak di-olah yang diperuntukkan sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi manusia. Dalam hal ini termasuk bahan tambahan pangan, bah1an baku pangan, dan bahan lainn-ya lainn-yang digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan, dan/atau pembuatan makanan atau minuman;

2) Kedaulatan pangan adalah hak negara dan bangsa yang secara mandiri menentukan kebijakan pangan yang menjamin hak atas pangan bagi rakyat dan memberikan hak bagi masyarakat untuk menentukan sistem pangan yang sesuai dengan potensi sumber daya lokal;

3) Kemandirian pangan adalah kemampuan negara dan bangsa dalam memproduksi beraneka ragam pangan dalam negeri yang dapat menjamin pemenuhan kebutuhan pangan cukup sampai di tingkat perseorangan dengan memanfaatkan potensi sumberdaya alam, manusia, sosial, ekonomi, dan kearifan lokal secara bermartabat;

(3)

bagi negara sampai perseorangan, tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, beragam, bergizi, merata, terjangkau serta tidak bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat, untuk hidup sehat, aktif, dan produktif secara berkelanjutan (BPKP, 2016).

Pemenuhan pangan (karbohidrat, protein dan vitamin) adalah suatu kondisi sosial-ekonomi yang ditandai dengan adanya kecukupan penyediaan kebutuhan untuk sumber pangan konsumsi masyarakat dan bahan baku industri yang diproyeksikan terus meningkat sangat cepat seirama dengan pertambahan jumlah penduduk, perkembangan ekonomi, perbaikan tingkat pendidikan, kesadaran gizi, perubahan gaya hidup dan arus globalisasi.

(4)

Tabel 1.1 Impor Komoditi Pangan Pokok Sumber Energi dan

1 Beras 861.630 2,79 79.171.916 256,06 30.919.317

2 Jagung 3.500.104 19,99 19,612,435 112,02 17.507.265

3 Kedelai 2.256.931,68 70,40 963.183 30,05 3.205.754,26

4 Daging sapi

82.300 99,37 523,9 0,63 82.823,9

Sumber: Diolah dari Outlook Daging Sapi,Beras, Jagung, dan Kedelai 2016

Secara statistik, data di atas menunjukkan “level”

ketahanan pangan Indonesia cukup baik. Untuk sumber pangan berupa beras misalnya, berdasarkan data BPS secara periodik menggambarkan kemampuan produksi para petani kita mencapai 54,15 juta ton pada tahun 2005 dan meningkat menjadi 66,46 juta ton pada tahun 2010. Sementara pada tahun 2015, capaian produksi gabah kita mencapai 138,898 juta ton atau sekitar 79,171 juta ton dengan angka konversi 0,57.

Impor bahan pangan hanya ditujukan melengkapi kekurangan 5% sampai 10% kebutuhan konsumsi masing-masing komoditas. Kabar kurang menggembirakan pada komoditas daging sapi yang mana jumlah impor lebih tinggi dibandingkan jenis komoditas lainya untuk mencukupi kebutuhan daging nasional, impor daging sapi dilakukan. Rendahnya perkembangan populasi ternak menjadi penyebab produksi daging, tidak mampu mengimbangi meningkatnya kebutuhan konsumsi masyarakat. Hal tersebut kemudian diselesaikan dengan “jalan pintas”

(5)

Jika angka konsumsi beras sebesar 113,5 kg per kapita per tahun, maka total konsumsi beras untuk 245 juta penduduk dibutuhkan sekitar 30,9 juta ton. Artinya Indonesia telah mencapai target surplus beras 49,1 juta ton, ditambah produksi jagung pipilan kering tahun 2015 mencapai 19,83 juta ton.

Namun demikian, kondisi sebaliknya terjadi pada komoditas pangan berupa daging sapi dimana selisih antara kapasitas produksi nasional dan tingginya permintaan konsumsi, masih harus diselesaikan dengan jalan impor. Oleh karena itu, dibutuhkan model inovasi yang dapat diterapkan (implementatif),

yang secara efektif dapat meningkatkan produktivitas dan memberikan nilai tambah guna mencukupi konsumsi daging nasional, sehingga dapat menekan impor daging maupun ternak hidup dan menghemat pengeluaran pemerintah dan swasta dalam bentuk devisa negara.

1.2 Nawa Cita Ketiga: Membangun Indonesia Dari Pinggiran

(6)

Kabinet kerja pemerintahan periode 2014-2019 menempatkan: pangan, energi, maritim dan kelautan serta pariwisata sebagai program strategis dan kegiatan prioritas sektoral yang harus diselenggarakan secara sinergis dan terintegrasi. Nawa Cita ketiga yang digagas Presiden Jokowi sebagai bentuk manifestasi dari Undang-undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, yaitu membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan desa dalam kerangka negara kesatuan. Lingkup program dan kegiatannya menempatkan desa dan masyarakatnya bukan lagi sebatas obyek pembangunan. Namun lebih dari itu, masyarakat-lah yang menjadi pelaku utama dalam perencanaan, pelaksanaan sekaligus penikmat program pembangunan yang dihasilkan dari proses musyawarah masyarakat desa melalui suatu rangkaian proses perencanaan pembangunan yang kita kenal dengan istilah ”MusRemBang” secara rutin setiap tahunnya. Sasaran uatamanya mendorong desa menjadi pusat produksi dan industri pengolahan produk, berbasis komoditas unggulan lokal berdaya saing yang dikelola sumber daya manusia setempat.

Hal ini diharapkan dampaknya akan mampu meningkatkan kualitas hidup masyarakat perdesaan dengan adanya lapangan kerja dan kesempatan usaha yang lebih luas bagi masyarakat setempat, serta mencegah urbanisasi dan deformasi struktural. Pelaksanaan kebijakan tersebut mengharuskan program prioritas pangan, energi, maritim kelautan, dan pariwisata serta desa sebagai lokus dan masyarakat setempat menjadi fokus pemberdayaan dalam pelaksanaan program pembangunan daerah sehingga mampu memberikan stimulus yang positif dan signifikan dalam mendukung akseslerasi pembangunan ekonomi nasional.

(7)

(1970), menyatakan bahwa perencanaan merupakan serangkaian program yang meliputi: tujuan, nilai dan praktik, sebagai proses keputusan aktif pemerintah yang didesain untuk mengatasi masalah publik, baik itu rill atau masih direncanakan (imagined). Komitmen pemerintah dalam pelaksanaan UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, menegaskan bahwa pembangunan harus dimulai dari desa, yang bertumpu pada potensi unggulan dan berdasarkan kearifan lokal melalui kegiatan pemberdayaan masyarakat untuk mampu mengoptimalkan pengelolaan potensi sumber daya menjadi ekonomi riil secara terintegrasi dengan pendekatan kewilayahan yang terpadu dan sinergis.

Kebijakan tersebut, di antaranya dalam rangka mewujudkan capaian target dan sasaran pelaksanaan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang pangan, yakni terpenuhinya kondisi ketahanan pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan cukup jumlah maupun mutunya, aman, merata, dan terjangkau oleh daya beli masyarakat. Operasionalisasinya berpedoman pada Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2015 tentang Ketahanan Pangan dan Gizi, yang secara spesifik menjelaskan peran pemerintah dalam menyelenggarakan pengaturan, pembinaan, pengendalian dan pengawasan terhadap ketersediaan pangan yang cukup dalam jumlah dan mutu yang memadai.

1.3 Sektor Peternakan dan Problemnya

(8)

mengarah pada pengelolaan manajemen usaha dengan skala ekonomi tertentu. Masyarakat di berbagai daerah di Indonesia masih mengelola peternakan secara konvensional dan sub-sistem. Hal ini berdampak pada tingkat pendapatan yang masih relatif rendah sehingga tingkat kesejahteraan masyarakat juga belum maksimal.

Selain itu, perbedaan kondisi geografis, keunggulan sumber daya alam, ketersediaan sarana prasarana ekonomi (infrastruktur), serta kondisi sosial budaya dan kapasitas sumber daya manusia menyebabkan adanya kesenjangan antar daerah, tingginya tingkat kemiskinan dan pengangguran di perdesaan. Hal ini berdampak terhadap deformasi struktural dan urbanisasi. Pengelolaan ternak secara ekonomis ditunjukkan seberapa besar insentif keuntungan diperoleh dari pengembangan usaha ternak. Rendahnya produktivitas dan keuntungan usaha yang diperoleh tergantung pola pemeliharaan ternak. Secara teknis hal ini sangat dipengaruhi oleh adanya faktor pendukung pengelolaan peternakan, seperti: pengetahuan peternak dalam penguasaan teknologi, pengalaman dan keterampilan memadai untuk memilih alternatif model pengelolaan peternakan dan pemanfaatan limbah ternak sebagai potensi ekonomi dalam sistem usaha-tani, serta distribusi dan pemasaran produk yang memberikan keuntungan maksimal.

Umumnya masyarakat perdesaan belum mampu mengelola dan memanfaatkan sumberdaya yang tersedia dalam sistem usaha-taninya secara optimal, sehingga usaha peternakan tidak memiliki daya saing secara ekonomi dibanding komoditas lainnya yang dikelola masyarakat (Prawiradiputra, 2004).

(9)

rumuskan beberapa inti permasalahan yang dihadapi oleh sektor peternakan saat ini, yakni sebagai berikut :

1) Budidaya ternak yang dikelola secara tradisional dan menjadi kegiatan sampingan, produktivitas dan keuntungan yang diperoleh tidak akan sebanding dengan investasi yang dikeluarkan. Untuk itu dibutuhkan adopsi inovasi peternakan terintegrasi, mendorong pengelolaan sumber daya lokal skala ekonomi, penciptaan nilai tambah sehingga diperoleh keuntungan lebih besar dibandingkan dengan pola konvensional.

2) Pengembangan peternakan yang tidak berorientasi ramah lingkungan (zero waste), tidak mendapatkan nilai tambah dari potensi sumberdaya yang tersedia sebagai sumber daya ekonomi. Adopsi inovasi pengolahan limbah ternak menjadi pupuk organik dan energi terbarukan melalui proses biogas, mendorong pengembangan potensi unggulan lokal lainnya dan bernilai ekonomi. Manfaatnya dapat meningkatkan pendapatan masyarakat, dan mendukung perkembangan ekonomi daerah.

(10)

Keberhasilan capaian target pembangunan pertanian khusunya sub sektor peternakan, dengan kompleksitas pernasalahan sosial masyarakat dan teknis pengelolaan sangat ditentukan oleh peran aktif pemerintah, dalam tata kelola pengembangan peternakan terintegrasi untuk pemenuhan kebutuhan pangan hewani maupun nabati dalam mewujudkan ketahanan, kemandirian dan kedaulatan pangan nasional. Selain itu, peran masyarakat dalam menyelenggarakan produksi, penyediaan, perdagangan, distribusi sekaligus sebagai konsumen. Diperlukan dukungan penguatan teknologi dan pembiayaan melalui kebijakan penciptaan sistem inovasi nasional (kerjasama: Swasta-Pemerintah-Perguruan Tinggi), khususnya untuk riset dan pengembangan dasar skala industri yang didukung pendanaan pemerintah juga menjadi faktor yang ikut menentukan keberhasilan suatu program.

Bercermin pada pengalaman pilihan komoditas unggulan lokal dari beberapa program pengentasan kemiskinan yang telah dilakukan, data Proyek Inpres Desa Tertinggal (IDT) mengungkapkan bahwa komoditas yang dipilih sebagian besar (60-70%) adalah ternak. Demikian juga untuk Program Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Inovasi (P4MI) bahwa semua lokasi kegiatan ingin diterapkannya sistem usaha pertanian yang melibatkan ternak sebagai basis dalam sistem usaha pertaniannya (Kusnadi et al. 2005).

(11)

pendorong pengembangan potensi sumberdaya lokal lainnya.

Keberhasilan usaha ternak atau besar kecilnya keuntungan yang diperoleh tergantung pola pemeliharaan ternak, pengelolaan dengan cara tradisional yang didasarkan pengalaman, sub-sistem dan belum mengarah pada manajemen usaha dengan skala ekonomi tertentu, mengakibatkan perkembangan sektor peternakan tidak sesuai dengan biaya yang diinvestasikan. Mengutip pandangan Manwan dan Oka (1991), penyebab rendahnya produktivitas peternakan adalah kemampuan kreativitas dan keterampilan teknis, serta pendidikan dan kondisi sosial ekonomi peternak yang masih sangat rendah.

Selain itu, Suradisastra dan Lubis (2014) menyatakan, bahwa terbatasnya sumber daya modal dan sempitnya lahan untuk penyediaan pakan ternak menyebabkan pengelolaan peternakan yang dilakukan masyarakat dalam skala usaha kecil, serta rendahnya harga produk yang dihasilkan mengakibatkan minat peternak semakin rendah dan dampaknya usaha budidaya ternak di perdesaan tidak berkembang dengan baik.

(12)

Ciri utama model integrasi ternak - tanaman pangan ialah memunculkan nilai tambah dan terbangun lingkungan ekonomi hijau, atas pengelolaan limbah ternak menjadi pupuk organik, sumber energi terbarukan dalam proses biogas, media jamur, pakan olahan ikan, yang dapat mengurangi bahkan menghentikan praktek penggunaan input produksi non-organik yang merusak lahan, mengganggu lingkungan dan kesehatan masyarakat. Pemanfaatan limbah tanaman juga dapat meningkatkan “ketahanan pakan ternak”, yang mampu menekan biaya tenaga kerja mencari rumput. Pada saat musim kemarau, limbah tersebut dapat menyediakan pakan berkisar 33,3 % dari total rumput yang dibutuhkan (Kariyasa, 2003).

Memperhatikan uraian tersebut di atas diperlukan model inovatif kegiatan terintegrasi dalam mengelola potensi unggulan lokal berbasis peternakan, sehingga usaha masyarakat yang bertumpu pada sumber daya ekonomi lokal berbasis pada aktivitas sosial ekonomi peternakan lebih maju dan menguntungkan dengan dihasilkannya produk berkualitas, bernilai tambah dan berdaya saing tinggi di pasaran.

1.4 Fakta Empiris dan Hasil Riset Terdahulu

(13)

Penelitian dengan topik “Inovasi Teknologi Pada Sistem Integrasi Tanaman Pangan dan Peternakan” yang “digarap”

oleh Budi Haryanto (Balai Penelitian Ternak), yang mana fokus penelitian ini adalah menganalisis pemanfaatan jerami padi sebagai pakan melalui proses fermentasi dan pembuatan pupuk organik dari kotoran sapi, serta penerapan sistem integrasi pengelolaan tanaman dan peternakan. Dalam teori Roger tentang adopsi inovasi digunakan untuk melihat pengaruh perubahan sosial dan ekonomi, terhadap inovasi sistem integrasi tanaman pangan dan ternak sapi. Hasilnya terjadi peningkatan produktivitas padi dan pendapatan petani.

Penelitian lain dengan topik “Difusi Inovasi Pengolahan Kotoran Ternak Menjadi Kompos Pada Kelompok Peternak Sapi Potong Sido Rejo Dan Sido Mulyo Di Kabupaten Bantul” yang dikerjakan Oleh: Emiliana Anggriyani. Hasilnya sebagian besar anggota kelompok memilih sumber informasi personal, semakin tinggi tingkat kosmopolitan seperti di Kelompok Sido Rejo cenderung menyukai sumber informasi non-personal. Kelompok peternak Sido Mulyo yang memiliki pengetahuan tinggi cenderung mempunyai afeksi positif, sedangkan kelompok Sido Rejo yang memiliki afeksi tinggi cenderung mengadopsi pembuatan kompos. Teori difusi Rogers digunakan dalam menganalisis faktor yang mempengaruhi kelompok peternak dalam mengadopsi inovasi kompos, yakni opinion leader dipegang oleh ketua kelompok masing-masing.

(14)

dan mekanisme yang terlibat dalam transfer teknologi ke UKM yang inovatif. Model ini tidak hanya berkaitan dengan “praktek terbaik”, tetapi juga untuk kasus-kasus di mana kegiatan kecil dapat ditingkatkan. Kesimpulan hasil penelitian membawa implikasi antara kebijakan, teknologi dan kewirausahaan, bahwa terjadinya perubahan sosial menimbulkan efek secara langsung untuk mengembangkan teknologi ditingkat UKM, yakni dengan difusi inovasi menghasilkan transfer teknologi yang dapat mengembangkan secara internal maupun eksternal.

Penelitian-penelitian tersebut bersifat parsial dan belum menunjukkan capaian konsep pengembangan peternakan terintegrasi (hulu-hilir), yakni introduksi paket teknologi dan manajemen budidaya peternakan dan budidaya tanaman belum terkelola secara komprehensif dan integratif sebagai upaya peningkatan produktivitas dan nilai tambah ekonomi.

(15)

Perbedaan dengan penelitian sebelumnya, penelitian ini menganalisis proses adopsi inovasi dan peta kegiatan integrasi vertikal dan horizontal sebagai acuan penyusunan model pengembangan kegiatan terintegrasi yang menjadikan peternakan sebagai basis kegiatan usaha, sehingga mampu mendorong pengembangan potensi unggulan lokal lainnya sebagai sumber pendapatan. Keberhasilan proses integrasi vertikal dan horizontal yang telah dicapai oleh para pelaku usaha yang bertumpu pada sumber daya ekonomi lokal pada wilayah tertentu, akan mampu mendorong “cerita sukses” yang sama pada wilayah lainya di Indonesia, apabila konsep adopsi inovasi ini diterapkan secara massif dan konsisten menjadi satu pola pengembangan ekonomi perdesaan secara nasional.

1.5 Bio-Cycles Farming

Orisinalitas gagasan baru dan konsep adopsi inovasi dengan pola pengelolaan dan pengembangan secara terintegrasi yang ditawarkan dalam buku ini disebut dengan istilah Bio-Cycles Farming. Konsep ini menekankan pada pemanfaatan secara maksimal seluruh potensi sumber daya yang “timbul”

dari aktivitas sosial ekonomi di sektor peternakan-pertanian. Maksimalisasi pemanfaatan segala potensi sumber daya dengan model siklus zero waste, yang mana tidak ada (zero) sumber daya yang terbuang percuma (waste) di dalam satu alur mata rantai pengolahan.

Proses adopsi inovasi ini dilakukan secara terintegrasi dengan menggabungkan dan menghubungkan seluruh jaringan-jaringan aktivitas sosial-ekonomi dimana sektor peternakan menjadi inti dari semua aktivitas (the core of the all activities)

(16)

dimaksudkan untuk menjawab adanya masalah “kronis” belum terintegrasinya proses sosial ekonomi pada banyak masyarakat pedesaan dan daerah pinggiran di Indonesia yang mengandalkan aktivitas peternakan-pertanian dan perikanan sebagai sumber mata pencaharian utama disamping pemenuhan kebutuhan pangan keluarga.

Masalah utama yang dihadapi oleh sebagian besar para petani dan peternak kita ialah para pelaku usaha masih mengerjakan “cabang-cabang” aktivitas ekonomi pertanian dan peternakan secara terpisah, atau dalam usaha yang belum terintegrasi. Sementara kita tahu, bahwa di sektor ekonomi primer ini sebagian besar (majority) dari rakyat Indonesia, terutama di daerah-daerah pedesaan dan pinggiran banyak menggantungkan hajat hidup dan penghidupanya.

(17)

Gambar 1.1. Siklus Proses Zero Waste dengan konsep Bio-Cycle Farming (dokumen olahan pribadi)

Konsepsi baru ini digagas karena melihat fakta empiris di lapangan, bahwa proses pengelolaan dan pemanfaatan berbagai potensi sumber daya ekonomi lokal di Indonesia belum dikerjakan secara terintegrasi menjadi satu kesatuan proses dengan banyak manfaat ekonomi. Kendatipun proses dan alur kerjanya tetap mempehatikan kearifan lokal (Local Wisdom)

(18)

Ditambah lagi, mode produksi yang digunakan oleh pelaku usaha hingga saat ini masih banyak yang belum mengadopsi teknologi modern sebagai hasil dari inovasi dan invensi atas kerjasama kemitraan strategis antar pemerintah, sektor swasta dan perguruan tinggi. Hal ini disebabkan oleh terbatasnya akses informasi bagi para pelaku usaha di sektor pertanian-peternakan, mengenai penerapan dan penggunaan teknologi baru untuk menunjang peningkatan output sektor pertanian-peternakan. Selain oleh karena memang belum tersedianya tenaga fasilitator handal dalam jumlah memadai yang bergerak di bidang pemberdayaan masyarakat yang mencakup seluruh bidang dan wilayah, dimana basis-basis produksi dan penyediaan bahan pangan hasil bidang peternakan di Indonesia berada. Imbasnya, cita-cita pembangunan ekonomi nasional di bidang penyediaan bahan pangan khususnya daging sapi sebagai contoh masih belum menunjukan tanda-tanda positif.

1.6 Pembangunan Ekonomi Perdesaan

Berkaitan dengan Otonomi Daerah, bagi pemerintah desa; dimana keberadaannya berhubungan langsung dengan masyarakat dan sebagai ujung tombak pembangunan. Sudah lama diakui bahwa pembangunan pedesaan merupakan faktor penting dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Ada manfaat langsung dan tidak langsung dari pembangunan prasarana yang sangat signifikan, baik dalam penciptaan kesempatan kerja maupun strategi yang efektif untuk mengentaskan kemiskinan. Pembangunan pedesaan juga merupakan suatu strategi dalam mencapai tujuan-tujuan pembangunan.

(19)

bagi perekonomian dan kondisi sosial masyarakat pedesaan. Berbagai indikator ekonomi seperti peningkatan penghasilan, kesempatan kerja, produktifitas dan distribusi pendapatan yang lebih baik. Manfaat sosial meliputi penghematan waktu, akses yang lebih mudah ke sekolah dan sarana kesehatan serta semakin baiknya arus informasi.

Mengalirnya tenaga kerja dari desa ke kota secara massif, ternyata tidak dapat ditampung secara memadai dan berarti dalam struktur ekonomi perkotaan sebagai manifestasi dari perekonomian modern. Inilah yang memicu terjadinya apa yang disebut dengan deformasi struktural, wujudnya adalah terjadinya perluasan dan berkembangnya secara drastis sektor jasa dalam penyerapan tenaga kerja.

Dorodjatun Kuntjorojati (1994) mengemukakan bahwa masalah-masalah pokok masyarakat desa terdiri dari keterbelakangan dan kemiskinan, atau lebih tepat disebut masalah struktur yang menampilkan diri dalam wujud makin buruknya perbandingan antara luas tanah dan jumlah individu dan pola pemilikan atas tanah. Hal ini mendorong meningkatnya jumlah pengangguran baik terselubung maupun terbuka, serta berlakunya upah yang rendah. Di Indonesia, terdapat beberapa masalah nasional mendasar yang menjadi pangkal problema pembangunan pedesaan yang perlu mendapat perhatian, yaitu:

1) Pemikiran mendasar tentang dua titik tolak strategi pembangunan desa yang berlawanan, yaitu pola strategi yang bersifat perencanaan dari atas dengan pola strategi perencanaan dari bawah;

(20)

keterbelakangan, dan ketidaktahuan;

3) Masalah kepemilikan tanah yang semakin sempit dan terbatasnya peluang kesempatan kerja di luar sektor pertanian, yang mendorong tingginya tingkat pengangguran dan urbanisasi;

4) Potensi pembangunan Indonesia yang terdapat di desa, yang apabila dilaksanakan dengan konsisten, maka pembangunan desa akan mampu mendorong akselerasi pemecahan masalah nasional yang multidimensi.

Di sisi lain pembangunan yang digerakkan oleh masyarakat sangat tampak dari sisi swadaya dan gotong-royong masyarakat secara kolektif. Jika ditinjau dari sudut pemerintahan lokal, swadaya dan gotong-royong masyarakat merupakan ciri khas dan basis “otonomi asli” desa, yang ada sejak dulu. Sementara jika dilihat dari konteks pembangunan desa di era Orde Baru, swadaya dan gotong-royong masyarakat merupakan komponen utama dalam pembangunan prasarana fisik spasial desa, yang dikombinasikan dengan bantuan dari pemerintah. Pemerintah selalu mengatakan bahwa bantuan desa merupakan “stimulan” yang membangkitkan swadaya. Ini adalah upaya lokalisasi pembangunan, bahwa masyarakat hanya diberi ruang yang sempit untuk mengelola pembangunan prasarana fisik yang berskala sangat kecil, sehingga masyarakat desa tidak perlu berpikir dan menyentuh pembangunan desa yang berskala lebih besar.

(21)

kekuatan-kekuatan masyarakat desa, meliputi :

1) Masyarakat desa memiliki jiwa kekeluargaan dan kegotong-royon9gan yang kuat, menjunjung tinggi semangat kebersamaan berdasarkan prinsip musyawarah dan mufakat;

2) Masyarakat desa sangat religius, berperilaku sesuai dengan norma-norma agama yang dianut sehingga mereka lebih jujur, sabar dan ulet;

3) Menghargai atau patuh terhadap pimpinan baik formal maupun non-formal;

4) Menjunjung tinggi dan mempertahankan tradisi sehingga mereka kurang terbuka terhadap perubahan.

5) Masyarakat desa mudah diajak kerjasama untuk membangun desa, terutama pembangunan yang dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan dan memecahkan masalah-masalah keseharian mereka.

Kelemahan-kelemahan masyarakat pedesaan dimaksud, meliputi:

(22)

yang dipusatkan di kota. Akibatnya, SDM yang tinggal di desa adalah mereka yang pola pikirnya statis, tradisional, dan sulit mengadopsi inovasi;

2) Kemiskinan primer; yaitu suatu keadaan di mana penghasilan yang mereka peroleh dari hasil usaha tani tidak cukup memenuhi kebutuhan-kebutuhan pokok untuk hidup sebagai manusia yang layak. Kesempatan kerja di luar sektor pertanian hampir tidak ada di pedesaan;

3) Posisi tawar masyarakat desa sangat lemah terutama waktu menjual hasil produksi usaha tani. Mereka selalu di dalam posisi yang dirugikan dan menjadikan mereka semakin miskin dan tidak berdaya;

4) Masyarakat desa tidak mau atau sering menolak inovasi, kalaupun ada hanya terbatas pada beberapa orang saja. Hal ini berhubungan dengan kehidupan mereka yang terikat pada tradisi. Mereka lebih yakin bahwa apa yang mereka miliki adalah yang terbaik. Pola pikir mereka sangat lokalita.

(23)

sarana dan prasarana desa, pengembangan potensi ekonomi lokal, serta pemanfaatan sumber daya alam dan lingkungan secara berkelanjutan.

Secara konseptual, penerapan adopsi inovasi peternakan terintegrasi adalah merupakan upaya sistematis bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat desa, melalui pemanfaatan dan pengembangan potensi sumber daya ekonomi lokal, sebagaimana yang dimaksudkan pada pasal 78 tersebut di atas. Dengan kata lain, gagasan konseptual yang terkadung dalam buku ini, sesungguhnya dimaksudkan untuk dijakan satu role model

(24)

BAGIAN - 2 : RELEVANSI TEORI

DAN

IM-PLEMENTASI

2.1 Adopsi: Pengertian dan Aplikasinya

Adopsi adalah suatu proses dimulai dan keluarnya ide-ide dari satu pihak disampaikan kepada pihak lain, sampai ide-ide tersebut diterima masyarakat sebagai pihak kedua. Adopsi juga didefinisikan sebagai proses mental seseorang dari mendengar dan mengetahui inovasi sampai akhirnya mengambil keputusan untuk menerima atau menolak ide baru dan menegaskan lebih lanjut tentang penerimaan dan penolakan mengadopsi inovasi atau ide baru tersebut (Rogers, 1983).

(25)

4) mencoba (trial); dan 5) adopsi (adoption). Secara skematik, tahapan proses adopsi digambarkan sebagai berikut:

Tingkat Adopsi Indikator Tahap Adopsi

Gambar 2.1 Tingkat Adopsi dan Indikator Tahap Adopsi (sumber: Agus, 2014)

Penjelasan tingkat adopsi dapat diuraikan sebagai berikut: Pertama: Tahap Sadar, yaitu sasaran telah mengetahui informasi, tetapi informasi tersebut dirasa kurang. Pada tahap ini sasaran mulai sadar adanya inovasi yang ditawarkan fasilitator, dan sasaran sudah maklum atau menghayati sesuatu hal baru yang aneh atau tidak biasa. Kebiasaan atau cara yang mereka lakukan kurang baik atau mengandung kekeliruan, cara baru tersebut dapat meningkatkan hasil usaha dan pendapatannya serta dapat mengatasi kesulitan yang sering dihadapi. Tahapan mengetahui adanya inovasi dapat diperoleh seseorang dari mendengar, membaca atau melihat, tetapi pengertian seseorang tersebut belum mendalam.

(26)

banyak perihal baru tersebut, dan menginginkan keterangan-keterangan lebih rinci lagi.

Ketiga: Tahap Menilai, yaitu sasaran sudah menilai dengan cara value atau bandingkan inovasi terhadap keadaan dirinya saat itu dan dimasa akan datang, serta menentukan apakah petani sasaran mencoba inovasi atau tidak. Tahap ini sasaran mulai berpikir dan menilai keterangan-keterangan perihal baru, juga menghubungkan hal baru itu dengan keadaan pribadi sasaran (kesanggupan, resiko, modal). Pertimbangan-pertimbangan atau penilaian terhadap inovasi dapat dilakukan dari tiga segi, yaitu : teknis, ekonomis dan sosiologis.

Keempat: Tahap Mencoba, yaitu sasaran sudah mencoba meskipun skala kecil untuk menentukan angka dan kesesuaian inovasi atau tidak. Tahap ini sasaran sudah mulai mencoba dalam luasan atau jumlah sedikit dan sering juga terjadi bahwa usaha mencoba ini tidak dilakukan sendiri, tetapi sasaran mengikuti (dalam pikiran dan percakapan-percakapan) sepak-terjang tetangga atau instansi yang mencoba hal baru itu (dalam pertanaman percobaan atau demonstrasi).

(27)

Mardikanto dan Sri Sutarni (1982) mengartikan adopsi sebagai penerapan atau penggunaan suatu ide, alat-alat atau teknologi baru yang disampaikan berupa pesan komunikasi melalui penyuluhan. Manifestasi dari bentuk adopsi ini dapat dilihat atau diamati berupa tingkah laku, metoda, maupun peralatan dan teknologi yang dipergunakan dalam kegiatan komunikasinya. Adopsi dalam penyuluhan pada hakekatnya diartikan sebagai proses penerimaan inovasi atau perubahan perilaku, berupa: pengetahuan, sikap, keterampilan pada diri seseorang setelah menerima inovasi yang disampaikan penyuluh kepada petani atau masyarakat sasarannya.

Adopsi inovasi merupakan suatu proses mental atau perubahan perilaku berupa pengetahuan (cognitive), sikap (affective) maupun keterampilan (psychomotor) pada diri seseorang sejak mengenal inovasi sampai memutuskan mengadopsinya setelah menerima inovasi. Dalam adopsi inovasi, terdapat 5 (lima) kategori perbedaan individu atau kelompok yang harus diperhatikan, yaitu:

Pertama: Para pembaharu atau pioner/perintis

(innovators), mereka paling cepat mengadopsi inovasi dalam masyarakat. Mereka tergolong proaktif dan senang mencari ide-ide dan gagasan baru yang relevan, serta aktif mencoba menerapkan metode baru itu dalam lingkungan sosialnya. Menjadi inovator

(28)

petualang (Rogers dan Shoemaker, 1971).

Tingkatan adopsi inovator biasanya seseorang yang memiliki kedudukan penting atau terkadang seseorang pemimpin yang memiliki pengaruh terhadap masyarakat. Kelompok ini prosentasenya sangat kecil, sekitar 2,5% sebagai individu pertama mengadopsi inovasi, dengan ciri-ciri pribadi: petualang, berani ambil resiko, mobile, cerdas, kemampuan ekonomi tinggi.

Kedua: Para adopter awal atau pelopor (early adopters), orang-orang yang tergolong cepat mengikuti kelompok inovator. Mereka kelompok rasional yang telah melihat beberapa perubahan kearah lebih baik, namun selalu mempertimbangkan keputusannya dan berfikir kritis ketika telah memutuskan suatu keputusan, sehingga keputusan tersebut sudah benar diyakini dan mantap untuk segera diaplikasikan. Pelopor biasanya meneliti terlebih dahulu inovasi sebelum memutuskan menggunakannya, kelompok ini seringkali terdiri para pemuka pendapat. Anggota sistem sosial lainnya calon adopter biasanya mencari pelopor ini, untuk meminta nasehat dan keterangan mengenai suatu inovasi. Kelompok tersebut umumnya dicari para agen pembaru untuk menjadi teman penyebaran inovasi dalam mempercepat proses adopsi, karena pelopor atau adopter pemula ini tingkat keinovatifannya tak jauh berbeda dengan rata-rata anggota sistem lain, ia cocok menjadi modal tauladan bagi sebagian besar anggota sistem (Rogers dan Shoemaker, 1971).

(29)

orang dihormati, akses di lingkungannya tinggi.

Ketiga: Para kelompok mayoritas awal atau pengikut dini (early mayority), yaitu kelompok kebanyakan yang mau meniru cara baru apabila telah benar-benar berhasil. Mereka menerima ide-ide baru setelah banyak berinteraksi dengan anggota sistem lainnya yang berhasil, karena tidak mau mengambil resiko dan cenderung mengadopsinya secara massal. Penganut dini biasanya jarang ada diantara mereka untuk memegang posisi kepemimpinan. Sebelum menerima inovasi penganut dini terlebih dahulu berulangkali mempertimbangkannya (Rogers dan Shoemaker, 1971).

Tingkatan adopsi early majority adalah seseorang yang cerdas, terbuka terhadap hal-hal baru tetapi tidak terlalu berfikiran kritis dan penuh pertimbangan. Segala sesuatu hanya berfikir disisi positifnya atau dapat dikatakan selalu mengikuti

trend terbaru yang sedang popoler, orang tersebut bukan seorang pemimpin tetapi pengikut yang senang dengan hal-hal baru. Kelompok ini berjumlah kirakira 34% yang menjadi para pengikut awal, ciri-cirinya: penuh pertimbangan, interaksi internal tinggi.

(30)

inovasi, jika sudah banyak masyarakat menggunakan inovasi tersebut terbukti baik dan aman untuk digunakan akhirnya baru ikut gunakan inovasi tersebut. Kelompok ini kira-kira 34% menjadi pengikut akhir dalam penerimaan inovasi, ciri-cirinya: skeptis, menerima karena pertimbangan ekonomi atau tekanan sosial, terlalu hati-hati.

Kelima: Adopter akhir atau kolot (laggard adopters), kelompok sangat skeptis dan senantiasa resisten terhadap perubahan. Mereka sangat tradisional dalam berpikir, cenderung menolak dan mengadakan “perlawanan” terhadap inovasi yang ditawarkan. Sehingga merupakan orang paling akhir mengadopsi suatu inovasi, hampir tidak ada diantara mereka ini menjadi pemuka pendapat.

(31)

Gambar 2.2. Pengkategorian Adopter berdasarkan Keinovatifan

Kondisi riil dilapangan, tenaga fasilitator pemberdayaan masyarakat akan menjumpai berbagai kelompok sebagaimana klasifikasi di atas. Oleh karena itu, penting bagi tenaga fasilitator pemberdayaan masyarakat untuk bisa mengenal dan memahami karakteristik dari masing-masing kekompok adopter tersebut.

Proses adopsi inovasi pada umumnya tidak berjalan mulus dan tanpa hambatan. Setiap suatu ide baru pertama kali diperkenalkan ke tengah-tengah masyarakat, seringkali akan ditemukan berbagai hambatan dalam proses sosialisasinya. Para tenaga fasilitator pemberdayaan masyarakat juga harus mengenali hambatan-hambatan tersebut. Menurut Mosher (1970) terdapat 3 (tiga) hambatan utama yang berpotensi timbul dalam proses adopsi inovasi, yaitu hambatan sifatnya:

(32)

terhadap setiap perubahan;

2) culture block (hambatan budaya), hal ini lebih dilatar-belakangi: a) adat yang sudah mengakar dan mentradisi; b) taat terhadap tradisi setempat; c) ada perasaan berdosa bila merubah “tatali karuhun”;

3) social block (hambatan sosial), yaitu hambatan inovasi sebagai akibat dari faktor sosial dan pranata masyarakat sekitar, antara lain: a) perbedaan suku dan agama ataupun ras; b) perbedaan sosial ekonomi; c) nasionalisme yang sempit; d) arogansi primordial; e) fanatisme daerah yang kurang terkontrol.

Berbagai hambatan tersebut, sangat mungkin “melekat”

pada masyarakat Indonesia yang ada di wilayah pedesaan dan pinggiran, khususnya kelompok masyarakat yang bertumpu aktivitas sosial ekonomi pada sektor pertanian dan peternakan. Oleh karena itu, seorang tenaga fasilitator pemberdayaan dituntut mampu merumuskan suatu kerangka pendekatan yang tepat untuk menyelesaikan permasalahan dan hambatan-hambatan tersebut.

2.2 Apa itu Inovasi ??

(33)

pada ide baru dan dianggap baik untuk diperkenalkan ke suatu sistem sosial tertentu. Kata baru yaitu inovasi pada suatu sistem sosial yang belum diputuskan sikapnya, apakah menerima atau menolak.

Inovasi merupakan perubahan sosial yang dapat digunakan untuk mencapai tujuan tertentu dan diamati sebagai sesuatu yang baru bagi sekelompok orang (Zaltman dan Duncan, 1973). Inovasi bukan merupakan kegiatan satu kali pukul (one time phenomenon) melainkan suatu proses panjang dan komulatif, meliputi banyak proses pengambilan keputusan di dan oleh organisasi dari mulai penemuan gagasan sampai implementasinya di pasar (Kuniyoshi Urabe, 1988).

Pengembangan dan implementasi inovasi dimaksudkan sebagai gagasan baru oleh orang tertentu dan dalam jangka waktu tertentu, melakukan transaksi dengan orang lain dalam suatu tatanan organisasi (Van de Ven dan Andrew, 2007). Proses pengembangan inovasi, terbuka kemungkinan terjadinya perubahan (re-invention) atau modifikasi dan para penerima inovasi berperan secara aktif.

(34)

seluruh warga masyarakat yang bersangkutan. Lebih lanjut Mardikanto (2010) menjelaskan bahwa substansi inovasi terdapat 3 (tiga) perbedaan materi komunikasi pembangunan, yaitu: 1) materi dalam pemecahan masalah yang sedang dan akan dihadapi; 2) materi tentang petunjuk atau rekomendasi yang harus dilaksanakan; dan 3) materi yang bersifat instrumental.

Keberhasilan pengembangan inovasi sebagai penemuan gagasan sampai penerapannya dapat berjalan melalui proses adopsi sebagai ide baru, praktek baru, atau obyek yang dapat dirasakan sebagai sesuatu yang baru. Sesuatu dinilai sebagai hal baru atau sesuatu yang dapat mendorong terjadinya pembaharuan dalam masyarakat atau pada lokalita tertentu (Rogers et al.,

1982). Dalam Teori Rogers (1983), di kemukakan 5 (lima) karakteristik inovasi, yaitu:

1) keuntungan relatif (relative advantage), yakni tingkat kelebihan suatu inovasi dari yang ada sebelumnnya, biasanya diukur dari segi ekonomi, prestasi sosial, kenyamanan dan kepuasan. Semakin besar keuntungan relatif dirasakan adopter, semakin cepat inovasi tersebut diadopsi;

2) kompatibilitas (compatibility), yaitu tingkat keserasian dengan nilai-nilai, pengalaman dan kebutuhan yang ada. Jika inovasi berlawanan atau tidak sesuai dengan nilai-nilai dan norma yang dianut adopter, maka inovasi baru tersebut tidak dapat diadopsi dengan mudah;

(35)

dimengerti dan dipahami adopter, semakin cepat inovasi diadopsi;

4) triabilitas (triability), yaitu merupakan tingkat suatu inovasi dapat dicoba terlebih dahulu, atau harus terikat untuk digunakannya. Untuk lebih mempercepat proses adopsi maka inovasi harus mampu menunjukkan keunggulannya, suatu inovasi yang dapat diuji-cobakan pada keadaan sesungguhnya, inovasi umumnya lebih cepat diadopsi;

5) dapat diobservasi (observability), adalah tingkat bagaimana hasil penggunaan suatu inovasi dapat dilihat orang lain. Semakin mudah seseorang melihat hasil suatu inovasi, semakin besar kemungkinan inovasi dapat diadopsi untuk pengembangan kegiatan usaha yang lebih menguntungkan.

Pendapat lain yang selaras, menurut Mannan dan Nordin (2004) bahwa karakteristik inovasi yang sangat mempengaruhi derajat adopsi, yaitu:

(36)

Kedua: memiliki kekompakan dan kesepahaman (compatibility), artinya sejauh-mana suatu inovasi dapat sejalan dan kompak dengan sistem nilai yang ada, ataupun sejalan dengan pengalaman masa lalu masyarakat yang akan mengadopsinya.

Ketiga: memiliki derajat kompleksitas (complexity) tertentu, artinya sejauh-mana derajat kompleksitas, kesukaran dan kerumitan suatu produk inovasi dirasakan masyarakat. Semakin kecil derajat kerumitan atau semakin gampang dicerna dan dipahami suatu hasil inovasi, maka semakin besar kemungkinannya untuk diadopsi oleh persorangan atau masyarakat.

Keempat: dapat dicobakan (trialability), artinya sejauh-mana suatu inovasi dapat diujicobakan keandalan dan manfaatnya. Hasil inovasi dapat dengan “gampang” diadopsi, manakala hal tersebut dapat dilihat dan diuji-cobakan melalui pengalaman lapangan. Misalnya, ketika jagung hybrida sebagai produk inovasi pertanian, maka jagung jenis unggulan ini dapat dengan mudah diadopsi karena jagung varietas unggulan ini dapat diuji langsung oleh para petani di lahan pertanian mereka.

Kelima: Dapat diamati (observability), yaitu sampai sejauh mana suatu hasil inovasi dapat diamati semakin gampang suatu hasil inovasi diamati, maka akan semakin tinggi peluang hasil inovasi dapat diadopsi.

2.3 Integrasi Vertikal dan Horizonal Usaha Produktif

(37)

aktivitas sosial ekonomi berbasis pertanian dan peternakan. Sebagai masyarakat yang jauh dari “kemeriahan” aktivitas pabrik pada industri-industri di perkotaan, penduduk wilayah pedesaan dan pinggiran sudah terlatih untuk memanfaatkan berbagai potensi ekonomi lokal yang ada di daerahnya masing-masing. Namun demikian, untuk mencapai target kedaulatan dan kemandirian pangan secara nasional sebagaimana menjadi salah satu agenda prioritas dan kebijakan strategis pembangunan ekonomi nasional, sifat “lumrah” yang dimiliki dalam aktivitas sosial ekonomi masyarakat pedesaan dan pinggiran di Indonesia tidak bisa terlalu banyak diharapkan. Pemerintah harus pro-aktif melakukan berbagai terobosan kebijakan pembangunan, guna terwujudnya Nawa Cita yang telah menjadi narasi dan konsepsi pembangunan kita, khususnya pada sektor ekonomi primer seperti pertanian dan peternakan.

Berkaitan dengan hal ini, Rangkuti (2009) menjelaskan bahwa kebijakan pencapaian kedaulatan, kemandirian dan ketahanan pangan telah mewarnai program dan kegiatan sektor pertanian sejak tahun 1970-an, disadari bahwa peranan pangan bukan hanya sebagai komoditas ekonomi tetapi menjadi persoalan sosial bahkan politik. Kondisi kritis akibat kekurangan pangan dan gizi dapat membahayakan stabilitas nasional dan meruntuhkan pemerintahan sedang berkuasa, karenanya pangan sebagai kebutuhan dasar harus dapat dipenuhi setiap saat mengikuti pertambahan populasi dan perkembangan pola konsumsi masyarakat.

(38)

perseorangan, yaitu pengembangan produksi beraneka ragam pangan dengan kemampuan dari dalam negeri. Saat ini usaha pertanian yang dilakukan masyarakat umumnya pada lahan sempit dengan aksesibilitas dan sarana prasarana terbatas, maka sulit bagi masyarakat meningkatkan produktivitas dan kualitas secara efisien. Hal ini akan berpengaruh pada pemenuhan pangan untuk kebutuhan konsumsi maupun industri sebagai sasaran pembangunan dan pertumbuhan ekonomi nasional.

Namun demikian, aktivitas sosial ekonomi masyarakat pertanian dan peternakan di Indonesia bukanlah tanpa hambatan. Persoalan yang dihadapi petani perdesaan adalah rendahnya akses dan kemampuan memperoleh informasi dalam pengembangan budidaya yang sangat diperlukan untuk meningkatkan produktivitas, kualitas produk, nilai tambah dan daya saing. Informasi tersebut bagi petani sangat diperlukan untuk menambah pengetahuan dan kemampuan teknis pengelolaan usaha pertanian dan peternakan secara efektif dan efisien, seiring perkembangan teknologi dan kebutuhan pangan yang semakin meningkat. Untuk mendukung tercapaianya sasaran tersebut, maka dibutuhkan sebuah sistem yang memudahkan petani dalam mengadopsi sebuah inovasi, yang mampu meningkatkan kompetensi para petani di perdesaan.

(39)

Secara sederhana, integrasi vertikal adalah suatu bentuk penyatuan beberapa tahapan produksi di dalam satu unit usaha yang pada dasarnya masing-masing tahapan produksi tersebut dapat dilaksanakan beberapa organisasi secara terpisah. Integrasi vertikal dibagi menjadi dua jenis, yaitu integrasi ke hulu (up-stream) dan integrasi ke hilir (down-stream). Integrasi ke hulu adalah jenis integrasi vertikal dimana perusahaan yang terintegrasi memproduksi sendiri input yang dibutuhkannya, sedangkan integrasi ke hilir adalah perusahaan yang memutuskan menyalurkan output yang dihasilkan kepada konsumen melalui perusahaan yang terintegrasi dengannya (Hasibuan, 1993).

Kegiatan integrasi horizontal adalah penggabungan beberapa kegiatan yang memiliki proses produksi sama dan produk dihasilkan serupa atau menambahkan produk dan jasa pelayanan baru, tetapi tidak saling berhubungan untuk ditawarkan kepada konsumen yang ada sekarang. Strategi integrasi horizontal digunakan untuk memperluas kegiatan lini produk atau membangun di lokasi lain, tujuannya meningkatkan jenis produk dan jasa. Perusahaan melakukan integrasi horizontal dapat memperluas pasar, fasilitas produksi maupun teknologi, melalui pengembangan internal maupun eksternal melalui akuisisi, joint venture dengan perusahaan lain dalam industri yang sama (Rangkuti, 2006).

2.4 Adopsi Inovasi pada Dunia Peternakan-Pertanian

(40)

1993). Penerapan inovasi berkaitan dengan sumber informasi yang didapatkan, ketidak-tahuan peternak menyebabkan tidak/ belum diterapkannya inovasi yang direkomendasikan. Tidak semua peternak selalu berusaha mencari informasi, sedangkan sumber-sumber informasi yang ada belum berfungsi secara intensif dalam menyebarkan informasi (Bariroh dan Dhyani, 2006). Penerapan teknologi dipengaruhi tingkat pendidikan secara tidak langsung melalui sikap petani terhadap teknologi, serta pendidikan secara tidak langsung mempengaruhi pola pikir, perilaku atau sikap dalam penerapan teknologi (Azwar, 2002).

Adopsi terhadap perubahan kondisi hanya mungkin dilakukan melalui aplikasi yang cepat dari inovasi (Atsan

et al., 2009; Ozkaya et al., 2005). Salah satu gejala paling mempengaruhi dunia saat ini adalah perkembangan teknologi berubah cepat, maka teknik dan metode produksi dan pengolahan perlu ditingkatkan terus menerus dalam setiap tahap pengelolaan sumber daya peternakan dan pertanian. Walaupun inovasi teknologi yang disajikan kepada petani sudah tak terhitung

jumlahnya (Tatlıdil, 1997).

(41)

urbanisasi dan deformasi struktural. Dampak lain, muncul penyedia produk kebutuhan dasar dan investasi, meningkatnya produktivitas dan daya beli masyarakat serta perluasan aktivitas ekonomi maka secara agregat dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi daerah.

Model pengelolaan peternakan terintegrasi yang diterapkan sesuai konsepnya dapat meningkatkan nilai tambah secara ekonomi, menumbuhkan kegiatan produktif sebagai usaha baru dan membuka peluang kesempatan kerja sehingga terwujud peningkatan kesejahteraan masyarakat di perdesaan. Penerapan konsep pengelolaan yang memadukan manajemen sumber daya alam dan sumber daya manusia dimaksud, dapat diperoleh masyarakat secara empiris melalui “adopsi inovasi”, yaitu berupa penerapan nilai-nilai dan pengalaman individu atau kelompok sebagai inovator, motivator, dinamisator dan katalisator masyarakat dalam pengembangan peternakan dan potensi sumber daya lokal lainnya.

2.5 Pengembangan Sumber Daya Berbasis Kawasan

Kawasan perdesaan perlu dibangun dengan pendekatan yang sesuai sifat dan cirinya, jika 4 (empat) upaya strategi pokok pembangunan perdesaan dilakukan maka kegiatan satu dengan lainnya saling berkaitan atau bersinergi. Strategi yang dimaksud ialah antara lain:

(42)

2) Meningkatkan kualitas sumber daya manusia perdesaan, agar memiliki dasar memadai untuk meningkatkan produktivitas dan daya saing. Hal ini sangat membutuhkan inovasi atau informasi dari luar dan proses adopsi untuk menyebarkan informasi ke dalam lingkungan tersebut;

3) Pembangunan sarana prasarana di pedesaan, prasarana perhubungan merupakan kebutuhan mutlak untuk memacu ketertinggalan masyarakat perdesaan; dan

4) Membangun kelembagaan perdesaan bersifat formal maupun non-formal, serta kelembagaan untuk terciptanya pelayanan yang memacu perekonomian perdesaan seperti lembaga keuangan (Syahza, 2007).

Keberhasilan pembangunan suatu kawasan akan berdampak terhadap perkembangan ekonomi dan perubahan sosial pada wilayah tersebut, yakni proses tranformasi dari suatu masyarakat tradisional menjadi masyarakat modern meliputi aspek multi-dimensional. Pembangunan ekonomi bukan berarti hanya perubahan struktur ekonomi suatu daerah, tetapi juga ditunjukkan oleh peranan sektor pertanian dan peranan sektor industri yang seimbang.

(43)

lahan akan semakin tinggi apabila jarak pusat produksi dengan pasar mengecil (dekat), demikian sebaliknya (Adisasmita, 1982).

2.6 Kerangka Teori: Invensi dan Komparasi

Berdasarkan beberapa uraian tersebut di atas, dimana merupakan suatu studi komparasi teoritik atas beberapa pendapat dan rujukan ilmiah dari para ahli, maka selanjutnya ialah tahap perumusan kerangka konseptual perihal hasil temuan (invention)

atas pengamatan secara sistematis pada proses pemberdayaan masyarakat. Invensi yang dimaksud adalah kerangka alur yang menjelaskan proses bagaimana inovasi baru disampaikan dan dikomunikasikan melalui sebuah pola dalam saluran tertentu sepanjang waktu kepada masyarakat dari sistem sosial.

Adopsi sebagai penyebaran informasi atau inovasi berasal dari luar lingkungan atau komunitas, kemudian salah seorang yang “ditokohkan” dari dalam lingkungan tersebut menyampaikan inovasi yang didapatkan dari sumber luar kepada orang lain yang berada dalam satu lingkungan. Hal tersebut mengindikasikan bahwa proses adopsi inovasi merupakan sebuah bagian proses perubahan sosial atau proses tempat perubahan terjadi dalam struktur dan fungsi sistem sosial. Adopsi inovasi juga sebagai peran komunikasi dapat mengubah masyarakat secara luas, melalui penyebaran ide-ide dan hal baru secara terus menerus.

Proses inovasi dibagi dalam empat unsur pokok, yaitu:

(44)

serta semuanya dapat diadopsi;

2) saluran komunikasi merupakan media pertukaran informasi mengenai inovasi, lebih mudah dekat, mudah akrab, bahkan mudah menerima informasi dari orang yang memiliki kesamaan;

3) jangka waktu menunjukkan berapa lama rentang waktu dalam mengambil sikap untuk memutuskan sebagai pengguna awal, tengah, atau pengguna akhir;

4) sistem sosial bergabung dalam sebuah kerjasama untuk memecahkan permasalahan.

Inovasi dapat diartikan sebagai sesuatu yang baru dalam situasi sosial tertentu, untuk menjawab dan memecahkan permasalahan dengan meningkatkan nilai tambah. Persepsi petani yang melakukan maupun tidak melakukan adopsi inovasi terhadap pengaruh informasi interpersonal, berpengaruh positif atau nyata terhadap keputusan petani dalam adopsi inovasi.

Hasil dari suatu inovasi, selanjutnya akan disebarluaskan oleh para fasilitator pemberdayaan masyarakat. Fasilitator pemberdayaan merupakan sumber informasi yang dipercaya petani-peternak adopter, tetapi bukan pengurus kelompok tani dan petani non-adopter. Sumber informasi yang dipercaya adalah sesama petani-peternak termasuk ketua kelompok dan tokoh masyarakat, sumber informasi inter-personal dinilai petani-peternak sebagai narasumber yang dapat dipercaya dan informasi relevan dengan kebutuhan.

(45)

“fenomena sosial” masyarakat dalam menyerap inovasi yang dikembangkan dalam program pemberdayaan masyarakat tersebut. Pengembangan peternakan terintegrasi merupakan model strategis dalam pengelolaan potensi sumber daya lokal menjadi ekonomi riil yang dikelola masyarakat, dampaknya mendorong berbagai kegiatan usaha produktif berkelanjutan, meningkatkan pendapatan dan memperluas lapangan kerja untuk kesejahteraan masyarakat setempat.

Pengembangan peternakan berdaya saing memerlukan introduksi teknologi baru, adopsi inovasi terhadap perubahan cara pengelolaan yang efektif dan efisien dapat meningkatkan: produktivitas, nilai tambah dan peningkatan pendapatan petani dan peternak serta mampu melakukan saving untuk investasi pengembangan usaha berdaya saing. Prinsip dasar pengembangan usaha produktif berbasis sumber daya lokal adalah besar kecilnya keuntungan yang diperoleh sangat tergantung:

1) pola pemeliharaan ternak yang dilakukan;

2) kemampuan peternak dalam penguasaan teknologi tepat guna;

3) pengalaman dan keterampilan memadai dalam memilih alernatif model pengembangan peternakan terbaik.

(46)

pengembangan potensi sumber daya unggulan lokal lainnya seperti pertanian terpadu dan kawasan ekonomi hijau lainnya di perdesaan.

Kemajuan bidang peternakan dan pertanian mempunyai peranan penting, antara lain dalam rangka:

1) penyediaan bahan pangan bagi penduduk, hal ini akan menjamin setiap penduduk agar tidak kekurangan bahan pangan pokok dan menghemat devisa kerena impor bahan pangan dapat dihindari;

2) peningkatan produktivitas peternakan dan pertanian akan mengembangkan berbagai kegiatan bio-industri, pasar industri penyediaan sarana dan prasarana pendukung, modernisasi pengembangan usaha peternakan dan pertanian;

3) kenaikan pendapatan petani akan memperluas pasar industri barang-barang konsumsi;

4) Kenaikan pendapatan di bidang peternakan dan pertanian akan menciptakan tabungan yang dapat digunakan untuk berbagai bidang usaha produktif dan prospektif lain (terutama industri), sehingga meningkatkan investasi pengembangan peternakan.

(47)

diubah-ubah berdasarkan informasi yang lebih baru dan lebih baik, berkaitan dari efek yang timbul dari kebijakan tersebut.

Inovasi teknologi sistem integrasi ternak-tanaman pangan dalam suatu sistem usaha peternakan terintegrasi, untuk berbagai agro-ekosistem telah terbukti dapat meningkatkan efisiensi usaha produktif berbasis sumber daya unggulan lokal. Hal tersebut dikarenakan fungsi dan peran ternak dalam penyediaan daging, tenaga kerja untuk mendukung pengolahan lahan pertanian, pemanfaatan limbah untuk pupuk, biogas, dan peningkatan keuntungan merupakan teknologi ideal dalam pengembangan peternakan terintegrasi.

Adopsi inovasi seperti inseminasi artifisial, silase, pakan komplit, pupuk kompos, bio-urine dan biogas telah lama diketahui peternak. Namun dalam pemanfaatan teknologi baru tersebut, belum seluruhnya diterapkan dalam proses pengembangan usaha peternakan. Hal tersebut sangat dipengaruhi situasi, kondisi sosial dan ekonomi peternak serta ketersediaan dana dan waktu yang dimiliki.

(48)

Gambar 2.3. Konsep Model Kegiatan usaha agro terintegrasi berbasis AgroTechno Park (Bappenas, 2017)

Kelemahan dasar dari konsep ini ialah terletak pada

positioning sektor peternakan yang belum maksimal untuk mampu dijadikan satu aktivitas ekonomi yang menguntungkan. Posisi sektor peternakan masih berada di bawah sektor pertanian dan dipandang sebagai sub-sektor. Ide utama yang digagas dalam konsep pengembangan Peternakan-Pertanian terintegrasi adalah menjadikan sektor peternakan sebagai leading dalam proses pengelolaan dan pemanfaatan beragam sumber daya ekonomi potensial dalam proses produksi.

(49)

Selain konsep agro-techno park, dalam diskursus akademik juga sudah dikenal satu konsep yang disebut Integrated Farming System (IFS). Sistem pertanian terpadu (IFS) adalah sistem pengelolaan (usaha) yang memadukan komponen pertanian, seperti tanaman, hewan dan ikan dalam suatu kesatuan yang utuh. Definisi lain menyatakan, SPT adalah suatu sistem pengelolaan tanaman, hewan ternak dan ikan dengan lingkungannya untuk menghasilkan suatu produk yang optimal dan sifatnya cenderung tertutup terhadap masukan luar (Preston, 2000).

Kedua model pengembangan tersebut di atas belum secara aktif memperhatikan pemanfaatan terknologi dalam prose pengelolaanya. Peranan aktif masyarakat lokal dengan berbagai identitas kultural budayanya yakni kearifal lokal (local wisdom)

masing-masing daerah juga kurang diperhatikan. Di samping itu juga, model pendekatan “pem-berdaya-an” yang tidak digunakan, dimana penekanan pada model penerapan Top Down dalam pelaksanaanya, juga kurang memperhatikan unsur swadaya dan partisipasi aktif dari masyarakat lokal dalam memberikan respon dan penilainya atas suatu konsep program.

(50)

Tenaga fasilitator ini, diharapkan mampu menjadi penyuluh dan sekaligus pendamping yang mampu menerapkan

best practise dalam pelaksanaan adopsi inovasi dan proses integrasi pengembangan usaha ekonomi pertanian-peternakan dengan pendekatan “Total Solution”, baik secara vertikal dari hulu ke hilir, maupun secara horizontal antar “sesama” pelaku usaha di sektor pertanian-peternakan.

Contoh best practise yang dicapai dalam program pemberdayaan berlokasi di Desa Argorejo dan Argosari, Kecamatan Sedayu-Bantul, menarik untuk menjadi bahan kajian. Buku di hadapan anda ini disusun berdasarkan temuan ilmiah yang diangkat dari sebuah karya disertasi tentang konsep baru dalam pengembangan output peternakan-pertanian pada kedua desa tersebut. Konsep baru dimaksud adalah tentang model adopsi inovasi pada kegiatan sosial-ekonomi berbasis peternakan yang terintegrasi, tanpa meninggalkan identitas asli masyarakat lokal dengan menuntun perilaku masyarakat lebih produktif dalam mengembangkan usaha ekonominya dengan skala yang lebih besar dan bernilai tambah tinggi.

(51)

2.7 Tahapan eksekusi kebijakan

Aspek paling prinsip dan krusial dari suatu konsep baru ialah terletak pada sisi penerapannya dalam praktek riil di lapangan. Pada tahapan ini, penerapan suatu konsep akan teruji apakah konsep baru tersebut “kompatibel” dengan kultur sosial ekonomi masyarakat dimana proses adopsi inovasi tersebut akan diterapkan. Inilah tahap implemantasi kebijakan.

Teori Jones (1977) menjelaskan implementasi kebijakan merupakan proses dinamis yang melibatkan secara terus menerus dalam upaya mencari apa yang akan dan dapat dilakukan, serta mengatur kegiatan-kegiatan yang mengarah pada penempatan suatu program kedalam tujuan kebijakan yang diinginkan (Tangkilisan, 2003). Jones menganalisis implementasi kebijakan dengan mendasarkan pada konsepsi kegiatan fungsional, teori ini mengemukakan beberapa dimensi serta implementasi dari program pemerintah mengenai yang sudah disahkan, kemudian menentukan implementasi dan membahas aktor yang terlibat dengan memfokuskan pada birokrasi yang merupakan lembaga eksekutor.

(52)

program.

Nakamura dan Frank (1980) menjelaskan hal-hal yang berhubungan dengan implementasi kebijakan adalah keberhasilan dalam mengevaluasi masalah, kemudian menerjemahkan ke dalam keputusan bersifat khusus. Pressman dan Wildavsky (1984) berpendapat implementasi kebijakan diartikan sebagai interaksi antara penyusunan tujuan dengan sarana tindakan dalam mencapai tujuan tersebut atau kemampuan menghubungkan dalam hubungan kausal antara yang diinginkan dengan cara untuk mencapainya.

Implementasi kebijakan sangat dipengaruhi 4 (empat) variabel saling berhubungan, yaitu: 1) komunikasi; 2) sumber daya; 3) disposisi, dan 4) struktur birokrasi. Sedangkan keberhasilan implementasi kebijakan dipengaruhi oleh 2 (dua) variabel besar, yakni: 1) isi kebijakan; dan 2) lingkungan implementasi (Subarsono, 2005).

Peran pemerintah, khususnya Pemerintah Daerah (Pemda) sangat penting untuk mendukung penerapan konsep adopsi inovasi peternakan terintegrasi. Melalui berbagai kewenangan administratif dan otoritatif yang dimiliki oleh Pemda, proses “eksekusi” kebijakan pengembagan sektor peternakan dan pertanian dengan pendekatan “Total Solution” dan “Zero Waste”

(53)

BAGIAN-3 : STRATEGI PEMBERDAYAAN

MASYARAKAT “VERSI” BANTUL

3.1 Otonomi Daerah Sebagai Momentum

Dalam konteks otonomi daerah, setiap satuan dan tingkatan pemerintah daerah diberi kewenangan oleh Undang-Undang Nomor: 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, yang mengatur, merumuskan, merencanakan, dan menyelenggarakan pemerintahan daerah. Sesuai prinsip otonomi daerah, sebagian kekuasaan Presiden tersebut diserahkan kepada Gubernur/Bupati/Walikota selaku kepala pemerintahan daerah dan mewakili pemerintah pusat. Sampai pada titik ini, peran strategis pemerintah daerah dalam rangka pelaksanaan fungsi dekonsentrasi dan desentralisasi fiskal menjadi sangat krusial. Dalam konteks itu juga, evaluasi terhadap pemanfaatan dana perimbangan, yakni Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK) dan Dana Bagi Hasil (DBH), serta Dana Desa bagi pencapaian target-target pembangunan di daerah menjadi penting.

(54)

tingkat daerah, juga memperoleh ruang yang lebih luas dibanding periode rezim pemerintahan sebelumnya. Status desa sebagai satu daerah otonom dalam lingkup pemerintah daerah semakin dipertegas dengan lahirnya Undang-Undang Nomor: 6 Tahun 2014 Tentang Desa. Dasar hukum tersebut menegaskan bahwa desa memiliki hak asal usul dan hak tradisional dalam mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat, serta berperan mewujudkan cita-cita kemerdekaan berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Selain itu juga disebutkan bahwa, dalam perjalanan ketatanegaraan Republik Indonesia, desa telah berkembang dalam berbagai bentuk sehingga perlu dilindungi dan diberdayakan agar menjadi kuat, maju, mandiri, dan demokratis sehingga dapat menciptakan landasan yang kuat dalam melaksanakan pemerintahan dan pembangunan menuju masyarakat yang adil, makmur, dan sejahtera;

Untuk aspek pemberdayaan masyarakat, UU Nomor: 6 Tahun 2014 telah menegaskan bahwa pemberdayaan masyarakat desa adalah upaya mengembangkan kemandirian dan kesejahteraan masyarakat dengan meningkatkan pengetahuan, sikap, keterampilan, perilaku, kemampuan, kesadaran, serta memanfaatkan sumber daya melalui penetapan kebijakan, program, kegiatan, dan pendampingan yang sesuai dengan esensi masalah dan prioritas kebutuhan masyarakat desa. Proses dan strategi pemberdayaan masyarakat dalam bentuk penerapan adopsi inovasi peternakan terintegrasi, dimaksudkan dalam rangka untuk mengisi “ruang” sosial ekonomi sebagaimana yang dimaksud dalam UU Nomor: 6 Tahun 2014 tersebut, dimana aspek pemberdayaan dan kemandirian desa menjadi spirit utamanya.

(55)

1998. Sebagai evaluasi terhadap Pemerintahan Orde Baru yang sentralistik, pemerintahan di awal era reformasi melahirkan kebijakan yang mendorong terciptanya desentralisasi secara hakiki, dalam arti daerah diberikan otonomi lebih luas untuk menjalankan urusannya sendiri. Namun demikian, UU Nomor: 22 tahun 1999 belum mengatur secara jelas posisi Desa dalam relasinya dengan pemerintah di atasnya, yakni pemerintah kabupaten/kota. Undang-Undang ini hanya mengatur tentang kewenangan Desa yang mencakup: 1) kewenangan yang sudah ada berdasarkan hak asal-usul desa; 2) kewenangan yang oleh peraturan perundang-perundangan yang berlaku belum dilaksanakan oleh pemerintah daerah dan pemerintah pusat; dan 3) tugas pembantuan dari pemerintah pusat, pemerintah provinsi, dan/atau pemerintah kabupaten/kota.

Selanjutnya lahir UU Nomor: 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah menggantikan UU Nomor: 22 Tahun 1999 yang memposisikan pemerintah Desa sebagai bagian dari pemerintah kabupaten/kota, sehingga kedudukan desa dalam UU Nomor: 32 Tahun 2004 berimplikasi pada kewenangan yang dimiliki Desa. Desa hanya menjalankan kewenangan dari pemerintahan di atasnya, bukan melaksanakan kewenangan yang berdasar kebutuhan dan inisiasi dari Desa itu sendiri.

(56)

yang berkaitan dengan kepentingan dan kebutuhan desa tersebut. Bunyi pasal 69 ayat 1, 2 dan ayat 3 dalam UU No. 6 Tahun 2014 adalah sebagai berikut :

1) Jenis peraturan di Desa terdiri atas Peraturan Desa, Peraturan bersama Kepala Desa, dan Peraturan Kepala Desa;

2) Peraturan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilarang bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi;

3) Peraturan Desa ditetapkan oleh Kepala Desa, setelah dibahas dan disepakati bersama Badan Permusyawaratan Desa.

Peraturan Desa adalah jenis peraturan perundang-undangan yang menjadi kewenangan dan diterbitkan oleh organ pemerintahan desa. Kewenangan desa membuat peraturan merupakan perwujudan dari pemberian kekuasaan kepada desa untuk mengatur dan mengurus dirinya sendiri. UU Desa mengatur jenis, persiapan pembuatan, dan mekanisme pembahasan Peraturan Desa. Pada ayat 1 & 2 pasal 69 UU no.6 Tahun 2014, secara implisit menyebutkan adanya wewenang pemerintah desa untuk menyusun dan menetapkan Peraturan Desa (PerDes). Dasar hukum ini dapat menjadi rujukan bagi setiap pemerintah desa yang ada di Indonesia untuk dijadikan landasan bagi penyusunan regulasi di tingkat desa yang mendukung kegiatan dan program pemberdayaan masyarakat, khususnya dalam mendorong penerapan adopsi inovasi peternakan terintegrasi.

(57)

perkembangan zaman dan kondisi ketatanegaraan, UU No. 32/2004 selanjutnya dicabut dan digantikan dengan UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Bahwa penyelenggaraan pemerintahan daerah diarahkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan dan peran serta masyarakat, serta peningkatan daya saing daerah dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, dan kekhasan suatu daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), merupakan salah satu spirit yang mendasari lahirnya UU No. 23/2014 tersebut. Undang-undang yang baru tersebut memberikan kesempatan yang lebih luas bagi masyarakat sipil untuk berpartisipasi aktif dalam pembangunan nasional, khususnyapada aspek pemberdayaan dan peningakatan daya saing produk yang ada di daerah.

Proses politik yang berkembang sepanjang tahun 2014, telah membawa pengaruh yang cukup kuat dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah. Dengan berlakunya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota yang mengatur pemilihan kepala daerah dilakukan secara langsung dan untuk memberikan kepastian hukum dalam pelaksanaan pemilihan kepala daerah yang berlandaskan kedaulatan rakyat dan demokrasi maka telah dilakukan perubahan terhadap ketentuan mengenai tugas dan wewenang DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota. Tugas dan kewenangan tersebut diatur dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2015 tentang Perubahan atas UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.

(58)

tentang pemilihan gubernur, bupati, dan walikota yang mengatur

wakil kepala daerah dipilih secara berpasangan dengan kepala

daerah. Sehingga perlu diatur pembagian tugas antara kepala

daer-ah dan wakil kepala daerdaer-ah agar tidak terjadi disharmoni dan

per-lunya pengaturan mekanisme pengisian jabatan kepala daerah dan

wakil kepala daerah dalam hal terjadi kekosongan jabatan untuk

meneruskan sisa masa jabatan. Maka selanjutnya lahirlah UU No: 9

Tahun 2015 tentang perubahan kedua atas UU No. 23 Tahun 2014

tentang pemerintah daerah.

3.2 Kebijakan Pembangunan Bantul

Instrument utama yang digunkan oleh pemerintah daerah dalam menjalankan roda pemerintahan dan pembangunan di daerah adalah Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). APBD mempunyai fungsi otorisasi, perencanaan, pengawasan, alokasi, distribusi dan fungsi stabilisasi (Basuki, 2007: 19). Dengan bergulirnya otonomi daerah, seharusnya desentralisasi fiskal bisa memberikan kontribusi paling signifikan dalam menyelesaikan persoalan ketimpangan pembangunan antar daerah di Indonesia. Secara skematis, APBD merupakan bentuk penjabaran atas kebijakan prioritas dan plafon anggaran yang menjadi acuan setiap pemerintah daerah dalam menjalankan roda pemerintahan. APBD yang disusun setiap tahun, dimana merupakan hasil kesepakatan bersama antara Pemerintah Daerah dan DPRD, adalah bentuk penjabaran dari sisi keuangan daerah atas rencana strategis yang disusun pada awal masa jabatan, baik itu oleh gubernur maupun bupati selama lima tahun periode pemerintahan.

Pemerintah Kabupaten Bantul dalam upaya mencapai kesejahteraan rakyat melalui berbagai penyediaan

(59)

pembangunan selama jangka waktu 5 (lima) tahun. Rencana pembangunan tersebut, selanjutnya dijabarkan ke dalam suatu dokumen perencanaan pembangunan yang dikenal dengan sebutan “RPJMD”. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Kabupaten Bantul (RPJMD: 2016 – 2021), menetapkan 11 (Sebelas) program prioritas, yakni: 1) pendidikan; 2) kesehatan; 3) optimalisasi pemanfaatan lahan pekarangan; 4) pengembangan peternakan modern: 5) akselerasi penanggulangan kemiskinan; 6) pengembangan destinasi pariwisata; 7) pengembangan kawasan budaya; 8) pengembangan kawasan strategis terkait dengan investasi, 10) pengembangan perikanan; 11) pengembangan industri kreatif.

Program prioritas yang terkait langsung dalam pengelolaan sumberdaya alam potensial adalah optimalisasi pemanfaatan lahan pekarangan dan pengembangan peternakan modern (antara lain ayam, itik, sapi dan kambing). Dalam rangka optimalisasi pengelolaannya diperlukan inovasi teknologi yang diarahkan untuk mendorong nilai tambah, yang berdampak terhadap peningkatan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat. Kebijakan Pemerintah Kabupaten Bantul untuk aspek ketahanan pangan yang tertuang dalam RPJMD 2016-2021 diarahkan untuk mewujudkan kemandirian pangan, meliputi 4 (empat) aspek yaitu:

1) Ketersediaan energi dan protein per kapita, yakni menjamin pasokan pangan untuk memenuhi kebutuhan seluruh penduduk, dari segi kuantitas, kualitas, keragaman dan keamanannya;

(60)

dalam negeri atau daerah dari waktu ke waktu;

3) Pola pangan harapan, yakni beragam pangan yang didasarkan pada sumbangan energi dari kelompok pangan utama baik secara absolut maupun dari suatu pola ketersediaan atau konsumsi pangan;

4) Penanganan kerawanan pangan, yakni suatu kondisi ketidak-cukupan pangan yang dialami daerah, masyarakat, atau rumah tangga, pada waktu tertentu untuk memenuhi standar kebutuhan fisiologi bagi pertumbuhan dan kesehatan masyarakat.

3.3 Pangan Sebagai Agenda Strategis

(61)

Penyelenggaraan penguatan cadangan pangan dilakukan melalui pengembangan lumbung pangan masyarakat dan pemberdayaan masyarakat. Langkah ini dilakukan dengan harapan masyarakat mampu menciptakan satu pola kelembagaan lumbung pangan yang mandiri. Cadangan pangan Kabupaten Bantul Pada Tahun 2013 mencapai 314 ton, dengan penguatan cadangan pangan mencapai 314,32%. Kerawanan pangan sangat dipengaruhi oleh daya beli masyarakat yang ditentukan dengan tingkat pendapatan memperburuk konsumsi energi dan protein.

Kebijakan yang ditempuh Pemerintah Kabupaten Bantul untuk mengatasi masalah penanganan rawan pangan dilakukan melalui: 1) Pencegahan kerawanan pangan untuk menghindari terjadinya rawan pangan di suatu wilayah sedini mungkin; dan 2) Melakukan penanggulangan kerawanan pangan pada daerah yang rawan “kronis” melalui program-progam sehingga rawan pangan di wilayah tersebut dapat tertangani, dan penanggulangan daerah rawan transien melalui bantuan sosial.

Penggunaan lahan untuk mengembangkan pertanian menuju pangan berkelanjutan, mempertahankan dan mengembangkan pusat pertumbuhan di kawasan yang telah memberikan manfaat secara optimal yang meliputi kawasan pertanian lahan basah, kawasan pertanian lahan kering, dan kawasan peternakan. Kawasan pertanian lahan basah direncanakan seluas kurang lebih 13.324 Hektar atau 26,29%, kawasan pertanian lahan kering direncanakan seluas kurang lebih 5.247 Hektar atau 10,35% dari luas wilayah Kabupaten Bantul.

(62)

2009 tentang Pelindungan lahan Pertanian Pangan berkelanjutan dan ditindaklanjuti dengan adanya Peraturan Daerah (Perda) DIY No. 10 Tahun 2011 tentang Pelindungan lahan Pertanian Pangan berkelanjutan, mengamanatkan agar pemerintah melakukan perlindungan terhadap lahan-lahan produktif paling kurang 13.000 ha dalam rangka mewujudkan kedaulatan pangan.

Dari sisi kebijakan sektoral, Pemerintah Daerah Kabupaten Bantul selama kurun waktu tertentu, telah cukup berhasil mengimplementasikan berbagai paket kebijakan pengembangan sektor pertanian dalam arti luas, sehingga problem kerawanan pangan tidak menjadi masalah signifikan dalam penanganannya. Hal ini dapat tercapai, oleh karena adanya “kearifan” yang dimiliki oleh Pemerintah daerah dalam merumuskan satu pola kebijakan pembangunan daerah yang sesuai dengan kultur sosial ekonomi setempat, singkron dan kompatibel dengan kebutuhan masyarakat.

3.4 Jaringan Aktivitas Produktif Masyarakat

Pemerintah Kabupaten Bantul dalam pengelolaan potensi unggulan pertanian (pangan), mengintegrasikan kegiatannya dengan pengelolaan lingkungan melalui Inovasi Jejaring Pengelolaan Sampah Mandiri (JPSM). Pada Tahun 2015 telah terbentuk 121 JPSM yang memiliki Bank Sampah sendiri, masing-masing memiliki nasabah dengan kesepakatan pengelola bank sampah dan penyetor.

Gambar

Gambar 1.1. Siklus Proses Zero Waste dengan konsep Bio-Cycle Farming (dokumen olahan pribadi)
Gambar 3.3. Ternak kambing dikembang-biakan masyarakat Desa Argorejo.
Gambar 4.1 Konsep Dasar Program Pemberdayaan Masyarakat
Gambar 43. Proses Pembuatan Pakan Ikan Desa Argorejo.
+7

Referensi

Dokumen terkait

yang negatif. 4) thriving, pada tahap ini individu tidak hanya mampu kembali pada level fungsi sebelumnya, proses pengalaman menghadapi dan mengatasi kondisi menekan

Tabungan yang dimiliki saat ini masih dapat digunakan, bagi nasabah dengan cabang buka rekening dan bertransaksi di kantor cabang pilot dapat melakukan migrasi rekening tabungan

Selain pasien terkonfirmasi, orang yang kontak dengan penderita, tenaga kesehatan, dan mayat penderita COVID-19, penelitian lain juga memaparkan stigma bahkan

Sistem bike-sharing modern dilengkapi dengan teknologi IoT dan GPS yang berguna untuk mengirimkan data lokasi aktual sepeda, kondisi lock sepeda, atau bahkan untuk komunikasi

Ketika oleh peneliti diajukan pertanyaan, apakah kesan dan pesan bekerja di luar negeri, Niken men- jawab bahwa bekerja di Taiwan menye- nangkan, standar gaji lebih

Penurunan nilai akumulasi amonium pada pengamatan hari ke-2 yang justru diikuti dengan peningkatan jumlah sel bakteri endofit menunjukkan bahwa sejumlah besar amonium

“Pendapatan Asli Daerah (PAD) merupakan semua penerimaan daerah yang berasal dari sumber ekonomi asli daerah, Pendapatan Asli Daerah dipisahkan menjadi empat jenis

Menentukan padat populasi gulma mata ikan (L. perpusilla) yang optimal dalam penyerapan logam Pb, Cd, Zn, dan Fe dari limbah laboratorium.. BAHAN DAN METODE Bahan