TEKNIK PENURUNAN KADAR AIR MADU DALAM RUANGAN MENGGUNAKAN DEHUMIDIFIER
B. Bahan dan Alat Penelitian
II. BAHAN DAN METODE A. Waktu dan Lokasi Penelitian
Penelitian dilaksanakan pada bulan Januari – Oktober 2012. Uji penurunan kadar air madu dilakukan di Desa Batu Dulang, Kecamatan Batu Lantek, Kabupaten Sumbawa NTB.
B. Bahan dan Alat Penelitian
Bahan yang digunakan adalah madu hutan dari lebah A. dorsata dengan kadar air rata-rata sebesar ± 22%. Peralatan yang digunakan di antaranya bangunan penurun kadar air berukuran 4,5 x 2 x 2,5 m3, dehumidifier merk E-tech kapasitas 16 ltr, alat tulis, wadah plastik, dan refraktometer kadar air.
C. Metode Penelitian
1. Rancangan Percobaan
Percobaan dilakukan dengan menguji perlakukan ketebalan madu terhadap laju penurunan kadar air selama waktu tertentu di dalam kondisi ruangan kedap udara dengan dehumidifier terpasang. Penelitian menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) dengan tiga perlakukan tebal madu, yaitu 2, 4 dan 6 cm, masing-masing tiga ulangan.
Madu ditempatkan dalam wadah aluminium berukuran 30 x 27 x 7 cm dengan ketebalan madu sesuai perlakuan. Wadah madu ditempatkan pada rak dengan susunan penempatan perlakuan seperti pada Gambar 1. Sebagai kontrol adalah madu dari sumber yang sama yang disimpan di suhu kamar tanpa perlakuan.
139
Gambar 1. Lay out perlakuan
Ruang penyimpanan madu yang kedap udara digunakan dalam kondisi bersih. Kondisi suhu ruangan diatur pada suhu 25°C menggunakan air conditioner (AC) serta kelembaban pada dehumidifier diatur 40%.
2. Pengumpulan Data
Pada penelitian ini proses penurunan kadar air madu ditetapkan selama enam hari. Data yang dikumpulkan meliputi kecepatan penurunan kadar air madu dan rendemen berat madu. Selain itu, juga dilakukan uji mutu madu berdasarkan standar SNI terhadap contoh madu kontrol dan salah satu contoh madu yang telah melalui proses penurunan kadar air. Pengujian mutu madu dilakukan di Balai Besar Industri Agro (BBIA) Bogor.
Kecepatan penurunan kadar air madu yaitu nilai rata-rata persentase penurunan kadar air madu per hari. Kecepatan penurunan kadar air madu dihitung berdasarkan selisih nilai kadar air madu awal dan kadar air madu akhir dibagi lama proses penurunan. Pengukuran kadar air awal dan kadar air madu akhir dilakukan pada semua contoh madu menggunakan refraktometer.
Rendemen berat madu adalah persentase bobot madu yang diperoleh setelah proses penurunan kadar air. Pengukuran rendemen madu dilakukan dengan menghitung persentase hasil penimbangan madu setelah penurunan kadar air terhadap hasil penimbangan madu pada kondisi awal (b/b). Hasil akhir pengukuran rendemen madu adalah rata-rata rendemen madu yang diperoleh dari pengukuran ke tiga ulangan dari masing-masing perlakuan ketebalan madu.
140
3. Analisis Data
Data rendemen dan hasil penurunan kadar air madu masing-masing dianalisis menggunakan sidik ragam. Apabila hasilnya menunjukkan berbeda nyata, maka dilanjutkan dengan uji tukey dengan taraf signifikan 95%.
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
Proses penurunan kadar air madu berlangsung selama enam hari dengan rata-rata penurunan sebesar 2,31–4,02%. Informasi mengenai kadar air madu pada tiga macam ketebalan simpan dapat di lihat di Gambar 2.
21.87 21.44 22.44 19.25 19.13 18.42 0.00 10.00 20.00 30.00 2 4 6
ketebalan simpan madu (cm)
k a d a r ai r m a d u ( % ) kondisi awal kondisi akhir
Gambar 2. Persentase kadar air madu sebelum dan sesudah proses penurunan pada ketiga perlakuan tebal simpanan madu
Pada gambar 2 terlihat bahwa semakin tinggi kondisi awal kadar air madu maka laju penurunan kadar air yang terjadi semakin besar. Pada ketebalan 2 cm, kondisi awalnya 22,44% menjadi 18,42% dan, sebaliknya, pada ketebalan simpan madu 4 cm dari 21,44% menjadi 19,13%. Menurut Stanford (2003), madu dengan kadar air rendah akan lebih sulit dikeringkan (dikurangi kadar airnya) daripada madu dengan kadar air tinggi. Hal tersebut sejalan dengan penelitian ini di mana laju penurunan kadar air madu lebih cepat pada madu yang mengandung air tinggi.
Untuk mengetahui laju penurunan kadar air madu dilakukan pengujian secara statistik. Hasil sidik ragam menunjukkan ketebalan simpan tidak berpengaruh nyata (P = 95%) terhadap penurunan kadar air madu tersebut. Nilai F hitung 3,97 (Pr > F 0,0798) dengan R2 0,569437 dan koefisien variasinya 26,5 (perhitungan selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 1a). Walaupun rerata laju penurunan kadar air madu pada
141
tiga level ketebalan simpan terlihat ada perbedaan, namun secara statistik tidak berbeda (Lampiran 1b).
Berdasarkan perhitungan langsung terhadap berat madu awal dan akhir proses penurunan kadar air (primer) terjadi pengurangan berat sebesar 2,70–4,29% dengan rata-rata 3,13% (Tabel 1) dan penurunan kadar air rata-rata sekitar 2,98%. Pada sampel pengamatan, rata-rata berat madu awal sebesar 4.239 g turun menjadi 4.116 g, yaitu terjadi pengurangan sebesar 122,78 g. Apabila penurunan berat dihitung berdasarkan konversi kadar air maka diperoleh penurunan berat madu sekitar 118,02 g. Dari kedua cara penentuan pengurangan berat madu (primer dan sekunder) terdapat selisih sebesar 4,76 g.
Tabel 1. Pengurangan berat setelah perlakuan penurunan kadar air madu
Ketebalan Madu
(cm)
Sampel
Perhitungan Langsung Berdasarkan Berat (Primer)
Perhitungan dari Konversi Penurunan KA (Sekunder) Selisih Perhitungan Primer- Sekunder (g) Awal (g) Akhir (g) Selisih (g) % Penurunan KA (%) Selisih (g) 2 2.1 2.400 2.300 100,00 4,17 3,72 89,28 10,72 2.2 2.400 2.300 100,00 4,17 4,92 118,08 -18,08 2.3 2.200 2.100 100,00 4,55 3,42 75,24 24,76 Rerata 2.333 2.233 100,00 4,29 4,02 94,20 5,80 4 4.1 4.250 4.100 150,00 3,53 2,94 124,95 25,05 4.2 4.000 3.950 50,00 1,25 2,04 81,60 -31,60 4.3 4.200 4.100 100,00 2,38 1,96 82,32 17,68 Rerata 4.150 4.050 100,00 2,39 2,31 96,29 3,71 6 6.1 6.200 6.000 200,00 3,23 1,52 94,24 105,76 6.2 6.300 6.145 155,00 2,46 3,38 212,94 -57,94 6.3 6.200 6.050 150,00 2,42 2,96 183,52 -33,52 Rerata 6.233 6.065 168,33 2,70 2,62 163,57 4,77 Rerata 4.239 4.116 122,78 3,13 2,98 118,02 4,76
Penurunan berat madu yang didapatkan dari metode primer dan sekunder, mengalami perbedaan (Gambar 3). Ini mengindikasikan bahwa terjadi pengurangan berat madu yang berbeda. Seharusnya, berat madu yang hilang akibat pengurangan kadar air adalah berat madu berdasarkan penghitungan kadar air (sekunder), namun, pada akhir pengamatan, berat madu yang hilang dengan penimbangan (primer) lebih besar. Hal tersebut membuktikan bahwa selama proses perlakuan terjadi juga penurunan berat selain dari kandungan air pada madu. Pengurangan berat dapat berasal dari penguapan bahan madu yang terfermentasi.
142
Gambar 3. Penurunan berat madu setelah proses pengurangan kadar air Data rendemen pengurangan berat madu berdasarkan ketebalan simpan hasilnya tidak berbeda nyata (P = 95%) setelah dianalisis menggunakan uji sidik ragam (Lampiran 2). Selisih pengurangan berat madu yang hilang sekitar 4,76 g. Berdasarkan pengamatan tidak terdapat perbedaan secara statisik penggunaan ketebalan simpan madu dalam proses penurunan kadar air madu, begitu juga dengan penurunan berat madu. Oleh karena itu, secara teknis pelaksanaan (SOP), lebih efektif menggunakan ketebalan 4 cm. Sebab jika menggunakan ketebalan 6 cm, penurunan berat madu akan makin banyak dan madu yang disimpan terlampau memenuhi wadah (Tabel 1), sehingga kerugian petani madu akan semakin besar. Sebaliknya, jika menggunakan ketebalan 2 cm terlalu sedikit kapasitas madu yang akan diturunkan. Oleh karena itu penggunaan tebal 4 cm lebih ideal. Dan untuk lebih menguatkan hasil pengamatan, dilakukan uji laboratorium terhadap sampel madu hasil perlakuan dan kontrol sebagai pembanding. Pengujian laboratorium dilakukan di BBIA dengan parameter sesuai standar SNI ditambah dengan cemaran logam (kadnium, timah dan raksa) dan cemaran mikroba. Hasil selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 2.
168.33 100.00 100.00 163.57 96.29 94.20 0.00 75.00 150.00 225.00 2 4 6
ketebalan simpan madu (cm)
penimbangan konversi kadar air
143
Tabel 2. Hasil pengujian berdasarkan SNI sampel madu hasil penurunan KA dengan sistem dehumidifikasi
Parameter Satuan SNI
Perlakuan
Kontrol Tebal 4 cm Aktifitas enzim diastase DN min. 3 0,95 1,04
HMF mg/kg maks. 50 0,00 0,00
Air % maks. 22 23,20 21,00
Abu % maks. 0,5 0,83 0,84
Gula Pereduksi % min. 66 73,80 74,40
Sukrosa % maks. 5 5,93 3,69
Keasaman ml N NaOH1N/kg maks. 50 94,70 80,80 Padatan yg tak larut air % maks. 0,5 0,02 0,07 Cemaran Logam :
- Timbal (Pb) mg/kg maks. 1 <0,042 <0,042 - Tembaga (Cu) mg/kg maks. 5 0,170 0,530
- Kadnium (Cd) <0,003 <0,003
- Timah (Sn) < 0,800 < 0,800
- Raksa (Hg) <0,005 <0,005
Arsen (As) mg/kg maks. 0,5 < 0,003 < 0,003 Cemaran Mikroba :
- Angka lempeng total 30°C 72 jam koloni/gram < 5 x 10³ 3,2 x 102 2,2 x 102
- Coliform APM/gram < 3 <3 < 3 - Kapang koloni/gram < 1 x 10¹ <10 <10 - Khamir koloni/gram < 1 x 10¹ <10 <10
Sumber : Data primer hasil analisis laboratorium di BBIA, Bogor (2012)
Kadar air pada perlakuan dehumidifier dengan tebal simpan madu 4 cm telah memenuhi standar SNI, sedangakan pada kontrol belum memenuhi standar. Hasil uji menunjukkan 21% untuk kadar air pada perlakuan tebal 4 cm dan 23,2% pada kontrol. Aktivitas enzim diastase menjadi salah satu kriteria untuk menentukan kualitas madu, yaitu sebagai penanda adanya pemanasan terhadap madu atau penyimpanan yang terlalu lama. Kadar HMF biasanya meningkat sedangkan aktivitas enzim diastase menurun sejalan dengan lama penyimpanan (Krauze & Krauze, 1991). Enzim diastase sangat sensitif terhadap kenaikan suhu. Semakin tinggi suhu, maka semakin rendah aktivitas enzim diastase (White, 1979). HMF adalah produk antara (intermediate) dari dua reaksi, yaitu dehidrasi heksosa yang dikatalisis oleh asam dan dekomposisi 3-deoxyosone karena reaksi Maillard (Fallico et al., 2008). Semakin tinggi nilai HMF berarti madu telah mengalami proses pemanasan pada suhu yang lebih tinggi.
Berdasar hasil pengujian, terlihat aktivitas enzim diastase tidak memenuhi standar yang ditentukan karena masih di bawah 3 DN, tetapi kadar HMFnya telah memenuhi standar SNI. Ini mengindikasikan bahwa madu yang digunakan tidak mengalami pelakuan pemanasan. Rendahnya aktivitas enzim diastase dapat disebabkan dari sampel
144
madu yang telah disimpan dalam waktu lama. Namun, bila dicermati lebih lanjut, terlihat ada peningkatan aktifitas enzim diastase dari 0,95 DN (kontrol) menjadi 1,04 DN (perlakuan dehumidifikasi). Sistem penurunan kadar air dengan dehumidifikasi tidak menggunakan panas yang dapat merusak enzim diastase, bahkan diduga selama proses dehumidifikasi tercipta kondisi yang mendukung perubahan enzim inaktif (zimogen) atau prekrusor enzim menjadi enzim yang aktif (Winarno, 1985).
Gula pereduksi madu merupakan hasil aktivasi enzim diastase yang menghidrolisis polisakarida menjadi karbohidrat atau gula pereduksi yang lebih sederhana (maltosa) serta aktivitas enzim intervase yang memecah sukrosa menjadi glukosa dan fruktosa (White, 1979; Mayes, 1983). Kadar gula pereduksi kedua sampel telah memenuhi standar SNI (Tabel 2), tetapi terdapat perbedaan nilai antara kontrol dan perlakuan. Penurunan kadar air dengan sistem dehumidifikasi dapat meningkatkan gula pereduksi (74,4%) dibandingkan kontrol (73,8%). Peningkatan gula pereduksi terrjadi akibat perombakan sukrosa yang ditandai dengan penurunan kadar sukrosa (3,69%). Selain itu, kenaikan kadar gula pereduksi ini kemungkinan juga disebabkan oleh kenaikan kadar bahan kering akibat penurunan kadar air.
Kandungan sukrosa dalam madu seharusnya rendah karena kandungan sukrosa madu yang tinggi kemungkinan madu tersebut telah mengalami pencampuran. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa kandungan sukrosa madu yang diuji memiliki variasi antara sampel kontrol dan perlakuan, masing-masing sebesar 5,93 dan 3,69%. Sampel kontrol tidak sesuai dengan standar mutu SNI karena melebihi batas maksimal yakni 5% (Tabel 2). Tingginya kandungan sukrosa pada kontrol kemungkinan disebabkan karena madu yang telah disimpan lama (Anklam, 1998).
Untuk parameter keasaman, walaupun secara hasil uji kadar keasaman kedua sampel masih di atas batas normal SNI, namun terlihat metode dehumidifikasi yang digunakan menurunkan kadar dari nilai keasaman 94,7% pada kontrol menjadi 80,8% pada sistem dehumidifikasi. Proses penurunan kadar air tidak berpengaruh terhadap keasaman madu (Ghazali & Sin, 1986; Siregar, 2002). Berkaitan dengan parameter lainnya seperti abu dan padatan yang tidak larut dalam air pada kedua sampel masih di atas prasyarat SNI. Namun parameter lainnya seperti cemaran logam dan cemaran mikroorganisme masih di bawah ambang batas.
145
IV. KESIMPULAN
1. Semakin tinggi kondisi awal kadar air madu maka laju penurunan kadar air yang terjadi semakin besar. Sementara itu ketebalan simpan madu tidak berpengaruh terhadap laju penurunan kadar air. Pengurangan berat madu terendah dihasilkan dari penyimpanan pada ketebalan 2 dan 4 cm sehingga untuk aplikasi atau teknis pelaksanaan sebaiknya menggunakan ketebalan simpan 4 cm.
2. Kadar air madu kontrol sebesar 23,20% mampu diturunkan menjadi 21,00% dalam waktu 6 hari pada ketebalan simpan 4 cm sehingga telah memenuhi standar SNI.
DAFTAR PUSTAKA
Anklam E. 1998. A review of the analytical methods to determine the geographical and botanical origin of honey. Food Chemistry. 63. 549-562.
Badan Standarisasi Nasional. 2004. Standar Nasional Indonesia SNI 01-3545-2004. Jakarta.
Bappeda NTB. 2007. Sumberdaya alam spasial daerah. Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Provinsi NTB.
Fallico B., Arena E., & Zappala M. 2008. Degradation of 5 -hydroxymethylfurfural in honey. Journal of Food Science 73 (9): 625-631.
Ghazali HM & Sin MK. 1986. Coconut honey : the effect of storage temperature on some of its physical properties. J. Agric. Res. 25 (25) : 109 - 112
Handoko C. 2006. Teknologi peningkatan kualitas madu di NTB. Laporan Penelitian (Publikasi Terbatas). Balai Penelitan dan Pengembangan Kehutanan Bali dan Nusa Tenggara. Kupang.
Krauze A. & Krauze J. 1991. Changes in chemical composition of stored honeys. Acta Alimentaria Polonica 17 (2) : 119 - 126
Mayes PA. 1983. Karbohidrat. Dalam : Martin DW, Mayes PA & Rodwell VW (eds.). Biokimia (Harper’s Review of Biochemistry). Edisi ke-19. EGC Penerbit Buku Kedokteran, Jakarta.
Siregar HCH. 2002. Pengaruh Metode Penurunan Kadar Air, Suhu dan Lama Penyimpanan terhadap Kualitas Madu Randu. Tesis : Program Pascasarjana. IPB Bogor.
Stanford MT. 2003. Mouister in honey. This document is ENY130, one of a series of the Entomology and Nematology Department, Florida Cooperative Extension Service, Institute of Food and Agricultural Sciences, University of Florida. http://edis.ifas.ufl.edu.
White JW. 1979. Composition of honey. In : Crane E. (ed.). Honey : an comprehensive Survey. Heinemann, London
146
Lampiran 1a. Hasil uji ANOVA terhadap selisih penurunan kadar air pada berbagai ketebalan simpan
Lampiran 1b. Hasil uji lanjut Tukey terhadap selisih penurunan kadar air pada berbagai ketebalan simpan
147
-$':$/$&$5$
WAKTU ACARA PETUGAS
07.30 – 08.00 Registrasi Panitia/MC 08.00 – 08.10 Doa
08.10 – 08.20 Laporan Kabalai Kepala BPK Kupang 08.20 – 08.40 Sambutan Kepala Dinas Kehutanan
Provinsi NTT
08.40 – 09.10 Arahan Kabadan/Pembukaan Kabadan Litbang Kehutanan 09.10 – 09.30 Rehat Kopi MC
Sesi I
09.30 – 09.45 Makalah 1 – Kebijakan Pengelolaan HHBK di Provinsi NTT
Dinas Kehutanan Provinsi NTT
09.45 – 10.00 Makalah 2 – Kelembagaan Pengelolaan HHBK di NTT
ITTO 10.00 – 10.15 Makalah 3 – Strategi Pelestarian dan Upaya
Konservasi Cendana
Sumardi S.Hut, M.Sc 10.15 – 10.30 Makalah 4 – Analisis Finansial Berbagai
Persemaian Cendana di Pulau Timor
S. Agung Sri Raharjo, S.Hut, MT
10.30 – 12.00 Diskusi Moderator 12.00 – 13.00 Ishoma MC
Sesi II
13.00 – 13.15 Makalah 5 – Keragaman Spesies Avifauna Hutan Penelitian Oilsonbai
Oki Hidayat, S.Hut 13.15 – 13.30 Makalah 6 – Peluang Penangkaran
Kura-Kura Leher Ular Rote (Chelodina Mccordi) Sebagai Alternatif Sumber Pendapatan
Grace S.Saragih, S.Hut/ Oki Hidayat, S.Hut
13.30 – 13.45 Makalah 7 – Efektifitas Pestisida Alami untuk Pengendalian Hama Kutu Sisik pada Tanaman Cendana di Ponain Kabupaten Kupang
Rina Yuana Puspiyatun, S.Hut/ Heny Rianawati, S.Hut
13.45 – 14.00 Makalah 8 – Pendugaan Simpanan Karbon di Beberapa Tipe Hutan di Provinsi NTT
Dhany Yuniati, S.Hut 14.00 – 15.15 Diskusi Moderator
15.15 – 15.45 Rehat kopi/Perumusan MC 15.45 – 16.00 Pembacaan rumusan Moderator